We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 12 Mei 2014

Class Review 11




Unite As a Form of Peace


Serpihan pasir yang terkumpul menjadikan sebuah gunung yang begitu megah.  Tetesan air yang secara terus-menerus menghasilkan sebuah lautan yang begitu indah.  Semua itu berasal dari hal yang kecil.  Mayoritas orang sering melalaikan bahkan tidak peduli dengan hal yang kecil.  Padahal hal yang kecil berdampak sangat besar bagi kita.  Sebuah contoh kita mempunyai sebuah masalah yang amat banyak, maka kita pun bisa memilih masalah yang mana terlebih dahulu diselesaikan.  Maka, masalah yang terkecil terlebih dahulu yang diselesaikan, kemudian baru menginjak masalah yang terbesar.  Begitu pula dalam menulis.  Seseorang bisa menulis secara lebih dalam dan luas, itu karena adalanya kumpulan-kumpulan ide yang kian bergemuru menjadi satu sehingga akan menhasilkan sebuah tulisan yang dikarang sedemikian rupa.
Aliran air yang mengalir jernih sejalan dengan arus.  Sekarang, mulai beranjak pada tingkatan yang lebih tinggi dan tingkatannya pun semakin susah melewatinya.  Ini adalah tugas terakhir saya, dan ujian akhir semester pun telah melambai-lambai seakan ingin ku derai semua air mata ini.  Tanpa ku sadari titik finish berada di depan mataku.  Genggaman ini bukanlah hanya sebuah khayalan dan bayangan semu.  Namun, itu semua akan menjadi sebuah kenyataan yang begitu dahsyat.  Kini waktunya mengulas kembali tentang history, politic, and ideology.  Dalam argumentative essay, ketiga step itu harus dimunculkan.  Ketiganya akan menghasilakn segitiga yang tidak bisa dipisahkan yanitu “history, literacy, and ideology”.
Sejarah Menjadi Saksi Bisu
Inilah sejarah papua yang dipelopori oleh beberapa tokoh didalamnya.  Dan juga begitu besar perjuangan Indonesia dalam merangkul kembali papua di tanah air Indonesia.  Sesudah 17 Agustus 1945, transformasi raksasa mulai dilakukan, model negara kolonial yang dimulai sejak Hindia Belanda, pendudukan Jepang, diubah dengan lahirnya Republik Indonesia. Frances Gouda dalam bukunya American Vision of the Netherlands East Indies/Indonesia (2002,44) sendiri menyebutnya sebagai “1776 di Indonesia”, semangat Revolusi Kemerdekaan di Amerika Serikat untuk membangun Republik, diatas keruntuhan Hindia Belanda dan kalahnya Jepang di medan Asia Timur Raya. Namun, tahapan Republik Indonesia yang baru merangkak mengalami cobaan berat disaat periode dekolonisasi 1945-1962. Disaat yang bersamaan, Republik Indonesia menghadapi berbagai masalah internal, mulai dari administrasi pemerintahan, teritori, kebijakan luar negeri, kepartaian, organisasi ke-militer-an, sampai pemberontakan
Sementara itu, pasukan Sekutu dan Belanda menganggap bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hanyalah ‘lepas’ dari pendudukan Jepang. Peluncutan kekuatan militer Jepang, pengembalian tawanan perang Jepang, dan “pemulihan ketertiban” menjadi agenda utama bagi kedatangan pasukan Sekutu, 29 September 1945 dibawah pimpinan Jenderal Christison. Akan tetapi, kehadiran pasukan Sekutu yang diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration) memicu “tindakan provokasi” via kontak senjata dengan kaum Republik, sampai terjadinya Polisionale Actie melalui Operation Kraai dan Operation Product (hal.20-35). Sewaktu agresi militer tersebut, diselingi pula banyak perundingan yang justru membuat wilayah Republik semakin menciut, misal Perjanjian Linggarjati dan Renville. Bahkan, ibukota Republik pindah ke Yogyakarta tahun 1946, lalu dibentuk pula Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi tahun 1948,. Di bagian lain, setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 lewat Konferensi Meja Bundar, ternyata masih menyisakan problem Irian Barat, hutang Hindia-Belanda ke Republik Indonesia Serikat, format Uni Indonesia-Belanda.
Dalam buku terbitan tahun 1986 ini, Mr.Dr.C. Smit mencoba menjelaskan bahwa tahapan dekolonisasi yang dialami Indonesia dimulai sejak 17 Agustus 1945 sampai 15 Agustus 1962, saat masalah Papua Barat mulai menemui kata sepakat. Dalam lampirannya, buku ini juga menyertakan profil singkat para diplomat Belanda yang terlibat dalam berbagai perundingan dengan Republik Indonesia, misal Dr. H.J.Van Mook, Mr.D.U. Stikker, Dr. J.H.A Logemann, Dr.Ir.W.Schermerhorn dan sebagainya. Peran yang diambil oleh para diplomat Belanda tersebut adalah faktor kunci bagaimana garis politik luar negeri yang diambil oleh Belanda setelah Perang Dunia II. Sebab yang dihadapi adalah iklim dekolonisasi dan resistensi terhadap Eropa yang bergemuruh sejak 1945 sampai tahun 1960-an di wilayah Asia-Afrika, termasuk Indonesia sendiri.
Buku yang berjudul asli De Dekolonisatie van Indonesie menjelaskan bagaimana kronologi “tarik ulur” diplomasi Indonesia-Belanda yang ditebus dengan keterlibatan dunia internasional dan Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan sengketa itu. Dengan membaca buku ini, pembaca akan diajak untuk memahami fase penting dalam mempertahankan Republik setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Serupa dengan pengalaman Vietnam yang mendeklarasikan kemerdekaannya, 2 September 1945, namun menjalani perjuangan bersenjata sampai Perang Dien Bien Phu melawan Prancis, kemudian disambung Konferensi Geneva tahun 1954, meskipun akhirnya masih menyisakan masalah dengan Vietnam Selatan sampai tahun 1975.
Fase yang dikenal sebagai Revolusi Nasional Indonesia ini sangat kental dengan kombinasi kelihaian gerilya dan diplomasi. Tercatat peran Jenderal Sudirman, Wikana, Tan Malaka, A.H Nasution yang mencetuskan Merdeka 100% dalam perang gerilya, setara dengan nama Haji Agus Salim, Amir Syarifudin, Moh. Roem, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Anak Agung Gde Agung dan Ali Sastroamidjojo di aras diplomasi.
.Di sisi lain, Mr.Dr.C. Smit kurang memberikan banyak porsi tentang dekolonisasi Irian Barat. Padahal dekade 1950-1960-an, Republik Indonesia banyak mengalami gesekan sampai pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda di tanggal 17 Agustus 1960, akibat masalah Irian Barat, apalagi Kapal Karel Doorman  milik Belanda sudah ada di perairan wilayah itu. Lebih jauh lagi, untuk menggalang “tekanan” internasional, Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955 mengagendakan dukungan 29 negara peserta KAA 1955 akan Masalah Irian Barat untuk dibicarakan antara kedua belah pihak (Indonesia-Belanda), seperti yang termaktub di Final Komunike Asia-Afrika dalam poin Masalah-Masalah Lain.
Pada akhirnya dinamika hubungan Indonesia-Belanda selepas periode dekolonisasi 1945-1962, sampai sekarang masih menyisakan banyak tanda tanya, misal sikap Belanda yang (masih) belum mengakui kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, ditambah lagi aksi militer Belanda selama 1945-1949 yang merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan.
Kekuatan sejarah begitu dahsyat sehingga kita harus senantiasa mengetahui sebuah sejarah, bukan hanya sekedar menengok.  Dengan sejarah, seseorang bisa melihat masa depan yang lebih baik.  Sejarah adalah ilmu tentang waktu yang kian selalu berkesinambungan dan tidak bisa direkayasa.  Setelah kita mengetahui secara mendalam tentang sejarah papua yang kian sangatlah dahsyat.  Para pejuang rela mati demi memperjuangkan papua supaya kembali ke pangkuan ibu pertiwi.  Marilah kita mengetahui tentang keadaan politik di Papua.

Politik Bukanlah Segalanya
Tumbuhnya paham "Nasionalisme Papua" di Irian Jaya mempunyai sejarah yang panjang dan pahit. Sebelum dan selama perang dunia ke II di Pasifik, nasionalisme secara khas dinyatakan melalui gerakan Millinerian, Mesianic dan "Cargo-Cultis".
Mungkin yang paling tebuka dari gerakan seperti itu adalah gerakan "Koreri" dikepulauan Biak, gerakan "Were atau Wege" yang terjadi di Enarotali atau gerakan "Simon Tongkat" yang terjadi di Jayapura. Berhadapan dengan kebrutalan Jepang pada waktu itu, gerakan Koreri di Biak mencapai titik Kulminasinya pada tahun 1942 dengan suatu Proklamasi dan pengibaran Bendera.
Dengan masih didudukinya sebagian besar kepulauan Indonesia oleh Jepang, pemerintah Belanda di Nieuw Guinea dihadapkan kepada kekurangan personil yang terlatih di berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pada tahun 1944 Resident J. P. van Eechoud yang terkenal dengan nama "Vader der Papoea's" (Bapak Orang Papua) mendirikan sebuah sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949. Sekolah inilah yang melahirkan Elite Politik Terdidik (borjuis kecil terdidik) di Nieuw Guinea.
Resident J. P. van Eechoud mempunyai misi khusus untuk menanamkam Nasionalisme Papua dan membuat orang Papua setia kepada Pemerintah Belanda. Untuk itu setiap orang yang ternyata pro-Indonesia ditahan atau dipenjarakan dan dibuang keluar Irian Jaya sebagai suatu tindakan untuk mengakhiri aktivitas pro-Indonesia di Irian Jaya. Beberapa orang yang menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Likas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdulah Arfan.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ikut mempengaruhi para pemuda terdidik tersebut diatas yaitu antara lain Silas Papare, Albert Karubuy, Martin Indey. Pada tahun 1946 di Serui (Yapen Waropen), Silas Papare dan sejumlah pengikutnya mendirikan Organisasi Politik pro-Indonesia yang bernama "Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII)". Di Manokwari pada tanggal 17 Agustus 1947 dilakukan upacara penarikan bendera merah putih yang dipimpin oleh Silas Papare. Upacara itu dihadiri antara lain oleh Johan Ariks, Albert Karubuy, Lodwijk dan Baren Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, dan Franz Joseph Djopari. Upacara tersebut untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Akibatnya adalah bahwa seluruh peserta tersebut diatas harus masuk tahanan polisi Belanda untuk lebih dari 3 Bulan, pemerintah Belanda menghadapi tantangan yang berat dari Organisasi PKII sebab mereka mengklaim seluruh Indonesia Timur termasuk West Nieuw Guinea (Irian Barat/Jaya) termasuk Wilayah Indonesia. Dua nasionalis Papua lainnya yaitu Frans Kaisepo dan Johan Ariks bergabung dengan Silas Papare. Johan Ariks kemudian menjadi Orang yang sangat anti Indonesia setelah mengetahui bahwa ada usaha dari Indonesia untuk mengintegrasikan Irian Jaya dengan Indonesia dan bukannya membantu Irian Jaya untuk kemerdekaan Irian Jaya itu sendiri. Pada tanggal 16-24 Juli 1946 dilakukan konferensi Malino, hadir pada konferensi tersebut tokoh Nasionalis Papua Frans Kaisepo yang memperkenalkan nama "IRIAN" bagi West Nieuw Guinea dan secara tegas menuntut West Nieuw Guinea ke dalam Indonesia Timur. Tuntutan itu disampaikan dalam Konferensi yang dipimpin oleh wakil pemerintah Belanda Dr. H. J van Mook, namun permintaan tersebut ditolak oleh van Mook karena Belanda masih berkepentingan di Nieuw Guinea.
Selain gerakan politik PKII, maka terdapat juga suatu gerakan pro-Indonesia yang disebut gerakan nasionalis dari Soegoro Admoprasodjo yang pada waktu itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan Pamongpraja di Kontanica-Hollandia. Soegoro membina dan menghimpun semua orang Jawa, Sumatera, Makassar, Bugis dan Buton yang ada di Niew Guinea sebagai kekuatan yang pro-Indonesia. Kegiatan itu kemudian diketahui oleh pemerintahan Belanda dan sebagai konsekuensi maka aktivitasnya dilarang, ia diberhentikan sebagai direktur dan dikirim ke Batavia/Jakarta oleh Resident van Eechoud. Kalau PKII itu dibina oleh Dr. Sam Ratulangi yang menjalani pembuangan oleh Belanda ke Serui, maka pada tahun 1954 dr. Gerungan mendirikan suatu gerakan politik di Hollandia yang bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM). Gerakan atau organisasi politik itu dipimpin oleh sejumlah pemimpin Papua yaitu Marten Indey, Nicolaas Jouwe, dan Korinus Krey.Nicolaas Jouwe kemudian menjadi seorang pemimpin Papua yang anti-Indonesia. Untuk mewujudkan dan menumbuhkan Nasionalis Papua sebagai suatu misi dan cita-cita, van Eechoud melarang aktivitas PKII dan KIM, dan juga menangkap para pemimpinnya serta membuang mereka ke Makassar, Jawa dan Sumatera yaitu Silas Papare, Albert Karubuy, N.L. Suwages, Lukas Rumkorem dan Raja Rumagesang. Namun kegiatan PKII dan KIM terus berlanjut di bawah tanah dengan di pimpin oleh beberapa tokoh seperti Steven Rumbewas, Korinus Krey, Martin Indey, Abraham Koromat, Samuel Damianus Kawab, Elieser Jan Bonay, Eli Ujo. Untuk itu, Marten Indey, Kawab,Krey dan Ujo pernah menikmati penjara untuk beberapa saat, tapi semangat perjuangan itu terus hidup dan dilanjutkan di bawah tanah yaitu semangat pro-Indonesia atau semangat ingin menggabungkan Nieuw Guinea dengan Indonesia.
Eliezer Jan Bonay kemudian menjadi Gubernur pertama Irian Jaya untuk kurang dari satu tahun (1963-1964) yang kemudian pada tahun 1970 meninggalkan Irian Jaya dan menjadi pendukung dan tokoh OPM serta berdomisili di Belanda. Seperti telah dikemukakan bahwa Bonay semula adalah tokoh yang pro-Indonesia, pada awal integrasi ia dijadikan Gubernur Irian Jaya yang pertama. Namun pada tahun 1964 ia mendesak agar segera dilakukan Act of Free Choice di Irian Jaya bagi Kemerdekaan Irian Jaya dan desakan itu disampaikan ke PBB. Ia diberhentikan sebagai Gubernur dan digantikan oleh Frans Kaisepo.
Untuk menghadapi PKII dan KIM, pemerintah Belanda mendirikan gerakan persatuan Nieuw Guinea. Gerakan ini mempunyai tokoh-tokoh Papua yang terkenal, yaitu Markus Kaisiepo, Johan Ariks, Abdullah Arfan, Nicolaas Jouwe dan Herman Womsiwor dimana mereka itu kemudian menjadi pendukung yang kokoh bagi pemerintah Belanda dan Nasionalisme Papua.  Pada tahun 1960 dibentuklah suatu "Uni Perdagangan" yang pertama di Nieuw Guinea yang bernama Christelijk Werkneemers Verbond Nieuw Guinea (Serikat Sekerja Kristen Nieuw Guinea) yang pada mulanya hanya berhubungan dengan pemerintah Belanda dan pekerja-pekerja kontraktor Eurasia, dan dalam waktu yang singkat keanggotaan orang Papua menjadi 3.000 orang. Organisasi ini yang pada gilirannya bersama Gerakan Persatuan Nieuw Guinea membentuk dasar dan pemimpin dari Partai Nasional.
Implementasi otonomi khusus telah dan sedang berjalan kurang lebih 9 tahun untuk mentransformasikan dinamika kehidupan masyarakat ditanah papua dari ketertindasan, keterpurukan dan ketetbelakangan menuju modernisasi di negerinya sesuai bunyi undang-undang No. 21.tahun 2001. Otonomi khusus yang telah mengambil dan menyepakati adalah intelek,tapi intelek tolol dan pemerintah pusat demi mensejatrahkan masyarakat dari segala belenggu keburukan hidup diatas tanahnya, namun kenyataan implementasi otonomi khusus selama 9 tahun intelek tolol dan pemerintah hanya berhasil melahirkan pemekaran wilayah besar-besaran di seluruh tanah papua mulai dari kampung sampai propinsi. sebelum pemekaran dimulai intelek tolol ini telah mempengaruhi banyak masyarakat sehingga sebagian masyarakat pernah menuntut daerahnya harus dimekarkan, seperti kabupaten Dogiyai dari induk kabupaten Nabire, kabupaten Deiyai dari induk Kabupaten Paniai,
Kabupaten Intan Jaya dari induk Kabupaten Paniai, demikian juga daerah-daerah lain di seluruh tanah papua. Tuntutan pemekaran dengan memakai berbagai alasan yang rasional, misalnya karena kurang ada perhatian dan pelayanan dari kabupaten induk, karena kurang disentuh pembangunan daerah-daerah yang mana telah dimekarkan.
            Dalam argumentative essay, yang Mr Lala inginkan yaitu segitiga yang tidak bisa dipisahkan satu sam lain:
History
Ideology
Literacy
 
Ketiga segitiga diatas tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena mereka terlahir untuk bersama-sama.  Menurut Dr.Kuntowijoyo, sejarah adalah ilmu tentang waktu.  Didalam sejarah yang dijelaskan diatas menerangkan tentang waktu yaitu itu dahulu, sekarang, dan masa yang akan datang.  Sejarah berasal dari text dan context.  Menurut, Mikko Lehtonen, text dan context saling bergantungan.  Yang ada dalam sejarah adalah berisi context yang menjelaskan adanya sejarah dalam hal yang sebuah text.  History akan menghasilkan sebuah ideology karena dalam politik papua menjelaskan bahwa perbedaan persepsi antara masyarakat Papua dengan pemerintah Indonesia.  Disitulah values muncul karena sudah dilakukan denga sebuah praktik.  Values dan literacy itu adalah sebuah praktik yang saling berkaitan satu sama lain.  Dengan demikian dalam pembuatan argumentative essay segitiga diatas harus dimunculkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic