Unite As a
Form of Peace
Serpihan
pasir yang terkumpul menjadikan sebuah gunung yang begitu megah. Tetesan air yang secara terus-menerus
menghasilkan sebuah lautan yang begitu indah.
Semua itu berasal dari hal yang kecil.
Mayoritas orang sering melalaikan bahkan tidak peduli dengan hal yang
kecil. Padahal hal yang kecil berdampak
sangat besar bagi kita. Sebuah contoh
kita mempunyai sebuah masalah yang amat banyak, maka kita pun bisa memilih
masalah yang mana terlebih dahulu diselesaikan.
Maka, masalah yang terkecil terlebih dahulu yang diselesaikan, kemudian
baru menginjak masalah yang terbesar.
Begitu pula dalam menulis.
Seseorang bisa menulis secara lebih dalam dan luas, itu karena adalanya
kumpulan-kumpulan ide yang kian bergemuru menjadi satu sehingga akan
menhasilkan sebuah tulisan yang dikarang sedemikian rupa.
Aliran air
yang mengalir jernih sejalan dengan arus.
Sekarang, mulai beranjak pada tingkatan yang lebih tinggi dan
tingkatannya pun semakin susah melewatinya.
Ini adalah tugas terakhir saya, dan ujian akhir semester pun telah
melambai-lambai seakan ingin ku derai semua air mata ini. Tanpa ku sadari titik finish berada di depan
mataku. Genggaman ini bukanlah hanya
sebuah khayalan dan bayangan semu.
Namun, itu semua akan menjadi sebuah kenyataan yang begitu dahsyat. Kini waktunya mengulas kembali tentang
history, politic, and ideology. Dalam
argumentative essay, ketiga step itu harus dimunculkan. Ketiganya akan menghasilakn segitiga yang
tidak bisa dipisahkan yanitu “history, literacy, and ideology”.
Sejarah Menjadi
Saksi Bisu
Inilah
sejarah papua yang dipelopori oleh beberapa tokoh didalamnya. Dan juga begitu besar perjuangan Indonesia
dalam merangkul kembali papua di tanah air Indonesia. Sesudah 17
Agustus 1945, transformasi raksasa mulai dilakukan, model negara kolonial yang
dimulai sejak Hindia Belanda, pendudukan Jepang, diubah dengan lahirnya
Republik Indonesia. Frances Gouda dalam bukunya American Vision of the
Netherlands East Indies/Indonesia (2002,44) sendiri menyebutnya sebagai
“1776 di Indonesia”, semangat Revolusi Kemerdekaan di Amerika Serikat untuk
membangun Republik, diatas keruntuhan Hindia Belanda dan kalahnya Jepang di
medan Asia Timur Raya. Namun, tahapan Republik Indonesia yang baru merangkak
mengalami cobaan berat disaat periode dekolonisasi 1945-1962. Disaat yang
bersamaan, Republik Indonesia menghadapi berbagai masalah internal, mulai dari
administrasi pemerintahan, teritori, kebijakan luar negeri, kepartaian,
organisasi ke-militer-an, sampai pemberontakan
Sementara itu,
pasukan Sekutu dan Belanda menganggap bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945 hanyalah ‘lepas’ dari pendudukan Jepang. Peluncutan kekuatan militer
Jepang, pengembalian tawanan perang Jepang, dan “pemulihan ketertiban” menjadi
agenda utama bagi kedatangan pasukan Sekutu, 29 September 1945 dibawah pimpinan
Jenderal Christison. Akan tetapi, kehadiran pasukan Sekutu yang diboncengi
NICA (Netherland Indies Civil Administration) memicu “tindakan
provokasi” via kontak senjata dengan kaum Republik, sampai terjadinya Polisionale
Actie melalui Operation Kraai dan Operation Product
(hal.20-35). Sewaktu agresi militer tersebut, diselingi pula banyak
perundingan yang justru membuat wilayah Republik semakin menciut, misal Perjanjian
Linggarjati dan Renville. Bahkan, ibukota Republik pindah ke Yogyakarta tahun
1946, lalu dibentuk pula Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Bukittinggi tahun 1948,. Di bagian lain, setelah pengakuan kedaulatan 27
Desember 1949 lewat Konferensi Meja Bundar, ternyata masih menyisakan problem
Irian Barat, hutang Hindia-Belanda ke Republik Indonesia Serikat, format
Uni Indonesia-Belanda.
Dalam buku
terbitan tahun 1986 ini, Mr.Dr.C. Smit mencoba menjelaskan bahwa tahapan
dekolonisasi yang dialami Indonesia dimulai sejak 17 Agustus 1945 sampai 15
Agustus 1962, saat masalah Papua Barat mulai menemui kata sepakat. Dalam
lampirannya, buku ini juga menyertakan profil singkat para diplomat Belanda
yang terlibat dalam berbagai perundingan dengan Republik Indonesia, misal Dr.
H.J.Van Mook, Mr.D.U. Stikker, Dr. J.H.A Logemann, Dr.Ir.W.Schermerhorn dan
sebagainya. Peran yang diambil oleh para diplomat Belanda tersebut adalah
faktor kunci bagaimana garis politik luar negeri yang diambil oleh Belanda setelah
Perang Dunia II. Sebab yang dihadapi adalah iklim dekolonisasi dan resistensi
terhadap Eropa yang bergemuruh sejak 1945 sampai tahun 1960-an di wilayah
Asia-Afrika, termasuk Indonesia sendiri.
Buku yang
berjudul asli De Dekolonisatie van Indonesie menjelaskan bagaimana
kronologi “tarik ulur” diplomasi Indonesia-Belanda yang ditebus dengan
keterlibatan dunia internasional dan Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan
sengketa itu. Dengan membaca buku ini, pembaca akan diajak untuk memahami fase
penting dalam mempertahankan Republik setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945. Serupa dengan pengalaman Vietnam yang mendeklarasikan kemerdekaannya, 2
September 1945, namun menjalani perjuangan bersenjata sampai Perang Dien
Bien Phu melawan Prancis, kemudian disambung Konferensi Geneva tahun 1954,
meskipun akhirnya masih menyisakan masalah dengan Vietnam Selatan sampai tahun
1975.
Fase yang
dikenal sebagai Revolusi Nasional Indonesia ini sangat kental dengan kombinasi
kelihaian gerilya dan diplomasi. Tercatat peran Jenderal Sudirman, Wikana, Tan
Malaka, A.H Nasution yang mencetuskan Merdeka 100% dalam perang gerilya, setara
dengan nama Haji Agus Salim, Amir Syarifudin, Moh. Roem, Moh. Hatta, Sutan
Sjahrir, Anak Agung Gde Agung dan Ali Sastroamidjojo di aras diplomasi.
.Di sisi lain,
Mr.Dr.C. Smit kurang memberikan banyak porsi tentang dekolonisasi Irian Barat.
Padahal dekade 1950-1960-an, Republik Indonesia banyak mengalami gesekan sampai
pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda di tanggal 17 Agustus 1960, akibat
masalah Irian Barat, apalagi Kapal Karel Doorman milik Belanda
sudah ada di perairan wilayah itu. Lebih jauh lagi, untuk menggalang “tekanan”
internasional, Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955 mengagendakan dukungan 29
negara peserta KAA 1955 akan Masalah Irian Barat untuk dibicarakan antara kedua
belah pihak (Indonesia-Belanda), seperti yang termaktub di Final Komunike
Asia-Afrika dalam poin Masalah-Masalah Lain.
Pada akhirnya dinamika hubungan Indonesia-Belanda selepas periode
dekolonisasi 1945-1962, sampai sekarang masih menyisakan banyak tanda tanya, misal sikap Belanda yang (masih) belum mengakui kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945, ditambah lagi aksi militer Belanda selama 1945-1949
yang merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan.
Kekuatan
sejarah begitu dahsyat sehingga kita harus senantiasa mengetahui sebuah
sejarah, bukan hanya sekedar menengok.
Dengan sejarah, seseorang bisa melihat masa depan yang lebih baik. Sejarah adalah ilmu tentang waktu yang kian
selalu berkesinambungan dan tidak bisa direkayasa. Setelah kita mengetahui secara mendalam
tentang sejarah papua yang kian sangatlah dahsyat. Para pejuang rela mati demi memperjuangkan
papua supaya kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Marilah kita mengetahui tentang keadaan politik di Papua.
Politik
Bukanlah Segalanya
Tumbuhnya paham
"Nasionalisme Papua" di Irian Jaya mempunyai sejarah yang
panjang dan pahit. Sebelum dan selama perang dunia ke II di Pasifik, nasionalisme
secara khas dinyatakan melalui gerakan Millinerian, Mesianic dan
"Cargo-Cultis".
Mungkin yang
paling tebuka dari gerakan seperti itu adalah gerakan "Koreri"
dikepulauan Biak, gerakan "Were atau Wege" yang terjadi
di Enarotali atau gerakan "Simon Tongkat" yang terjadi di
Jayapura. Berhadapan dengan kebrutalan Jepang pada waktu itu, gerakan Koreri di
Biak mencapai titik Kulminasinya pada tahun 1942 dengan suatu Proklamasi dan
pengibaran Bendera.
Dengan masih
didudukinya sebagian besar kepulauan Indonesia oleh Jepang, pemerintah Belanda
di Nieuw Guinea dihadapkan kepada kekurangan personil yang terlatih di berbagai
bidang pemerintahan dan pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pada
tahun 1944 Resident J. P. van Eechoud yang terkenal dengan nama "Vader der
Papoea's" (Bapak Orang Papua) mendirikan sebuah sekolah Polisi dan sebuah
sekolah Pamongpraja (bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik
400 orang antara tahun 1944-1949. Sekolah inilah yang melahirkan Elite Politik
Terdidik (borjuis kecil terdidik) di Nieuw Guinea.
Resident J. P.
van Eechoud mempunyai misi khusus untuk menanamkam Nasionalisme Papua dan
membuat orang Papua setia kepada Pemerintah Belanda. Untuk itu setiap orang
yang ternyata pro-Indonesia ditahan atau dipenjarakan dan dibuang keluar Irian
Jaya sebagai suatu tindakan untuk mengakhiri aktivitas pro-Indonesia di Irian
Jaya. Beberapa orang yang menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi
terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisepo,
Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus
Mofu, Eliezer Jan Bonay, Likas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman
Womsiwor dan Abdulah Arfan.
Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ikut mempengaruhi para
pemuda terdidik tersebut diatas yaitu antara lain Silas Papare, Albert Karubuy,
Martin Indey. Pada tahun 1946 di Serui (Yapen Waropen), Silas Papare dan
sejumlah pengikutnya mendirikan Organisasi Politik pro-Indonesia yang bernama
"Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII)". Di Manokwari pada
tanggal 17 Agustus 1947 dilakukan upacara penarikan bendera merah putih yang
dipimpin oleh Silas Papare. Upacara itu dihadiri antara lain oleh Johan Ariks,
Albert Karubuy, Lodwijk dan Baren Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, dan Franz
Joseph Djopari. Upacara tersebut untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Akibatnya adalah bahwa seluruh peserta tersebut diatas harus masuk
tahanan polisi Belanda untuk lebih dari 3 Bulan, pemerintah Belanda menghadapi
tantangan yang berat dari Organisasi PKII sebab mereka mengklaim seluruh
Indonesia Timur termasuk West Nieuw Guinea (Irian Barat/Jaya) termasuk Wilayah
Indonesia. Dua nasionalis Papua lainnya yaitu Frans Kaisepo dan Johan Ariks
bergabung dengan Silas Papare. Johan Ariks kemudian menjadi Orang yang sangat
anti Indonesia setelah mengetahui bahwa ada usaha dari Indonesia untuk
mengintegrasikan Irian Jaya dengan Indonesia dan bukannya membantu Irian Jaya
untuk kemerdekaan Irian Jaya itu sendiri. Pada tanggal 16-24 Juli 1946
dilakukan konferensi Malino, hadir pada konferensi tersebut tokoh Nasionalis
Papua Frans Kaisepo yang memperkenalkan nama "IRIAN"
bagi West Nieuw Guinea dan secara tegas menuntut West Nieuw Guinea ke dalam
Indonesia Timur. Tuntutan itu disampaikan dalam Konferensi yang dipimpin oleh
wakil pemerintah Belanda Dr. H. J van Mook, namun permintaan tersebut ditolak
oleh van Mook karena Belanda masih berkepentingan di Nieuw Guinea.
Selain gerakan
politik PKII, maka terdapat juga suatu gerakan pro-Indonesia yang disebut
gerakan nasionalis dari Soegoro Admoprasodjo yang pada waktu itu menjabat
sebagai Direktur Pendidikan Pamongpraja di Kontanica-Hollandia. Soegoro membina
dan menghimpun semua orang Jawa, Sumatera, Makassar, Bugis dan Buton yang ada
di Niew Guinea sebagai kekuatan yang pro-Indonesia. Kegiatan itu kemudian
diketahui oleh pemerintahan Belanda dan sebagai konsekuensi maka aktivitasnya
dilarang, ia diberhentikan sebagai direktur dan dikirim ke Batavia/Jakarta oleh
Resident van Eechoud. Kalau PKII itu dibina oleh Dr. Sam Ratulangi yang
menjalani pembuangan oleh Belanda ke Serui, maka pada tahun 1954 dr. Gerungan
mendirikan suatu gerakan politik di Hollandia yang bernama Komite Indonesia
Merdeka (KIM). Gerakan atau organisasi politik itu dipimpin oleh sejumlah
pemimpin Papua yaitu Marten Indey, Nicolaas Jouwe, dan Korinus Krey.Nicolaas
Jouwe kemudian menjadi seorang pemimpin Papua yang anti-Indonesia. Untuk
mewujudkan dan menumbuhkan Nasionalis Papua sebagai suatu misi dan cita-cita,
van Eechoud melarang aktivitas PKII dan KIM, dan juga menangkap para
pemimpinnya serta membuang mereka ke Makassar, Jawa dan Sumatera yaitu Silas
Papare, Albert Karubuy, N.L. Suwages, Lukas Rumkorem dan Raja Rumagesang. Namun
kegiatan PKII dan KIM terus berlanjut di bawah tanah dengan di pimpin oleh
beberapa tokoh seperti Steven Rumbewas, Korinus Krey, Martin Indey, Abraham
Koromat, Samuel Damianus Kawab, Elieser Jan Bonay, Eli Ujo. Untuk itu, Marten Indey,
Kawab,Krey dan Ujo pernah menikmati penjara untuk beberapa saat, tapi semangat
perjuangan itu terus hidup dan dilanjutkan di bawah tanah yaitu semangat
pro-Indonesia atau semangat ingin menggabungkan Nieuw Guinea dengan Indonesia.
Eliezer Jan Bonay kemudian menjadi Gubernur pertama Irian Jaya untuk kurang dari satu tahun (1963-1964) yang kemudian pada tahun 1970 meninggalkan Irian Jaya dan menjadi pendukung dan tokoh OPM serta berdomisili di Belanda. Seperti telah dikemukakan bahwa Bonay semula adalah tokoh yang pro-Indonesia, pada awal integrasi ia dijadikan Gubernur Irian Jaya yang pertama. Namun pada tahun 1964 ia mendesak agar segera dilakukan Act of Free Choice di Irian Jaya bagi Kemerdekaan Irian Jaya dan desakan itu disampaikan ke PBB. Ia diberhentikan sebagai Gubernur dan digantikan oleh Frans Kaisepo.
Eliezer Jan Bonay kemudian menjadi Gubernur pertama Irian Jaya untuk kurang dari satu tahun (1963-1964) yang kemudian pada tahun 1970 meninggalkan Irian Jaya dan menjadi pendukung dan tokoh OPM serta berdomisili di Belanda. Seperti telah dikemukakan bahwa Bonay semula adalah tokoh yang pro-Indonesia, pada awal integrasi ia dijadikan Gubernur Irian Jaya yang pertama. Namun pada tahun 1964 ia mendesak agar segera dilakukan Act of Free Choice di Irian Jaya bagi Kemerdekaan Irian Jaya dan desakan itu disampaikan ke PBB. Ia diberhentikan sebagai Gubernur dan digantikan oleh Frans Kaisepo.
Untuk
menghadapi PKII dan KIM, pemerintah Belanda mendirikan gerakan persatuan Nieuw
Guinea. Gerakan ini mempunyai tokoh-tokoh Papua yang terkenal, yaitu Markus
Kaisiepo, Johan Ariks, Abdullah Arfan, Nicolaas Jouwe dan Herman Womsiwor
dimana mereka itu kemudian menjadi pendukung yang kokoh bagi pemerintah Belanda
dan Nasionalisme Papua.
Pada tahun 1960 dibentuklah suatu "Uni Perdagangan" yang pertama
di Nieuw Guinea yang bernama Christelijk Werkneemers Verbond Nieuw Guinea (Serikat
Sekerja Kristen Nieuw Guinea) yang pada mulanya hanya berhubungan dengan
pemerintah Belanda dan pekerja-pekerja kontraktor Eurasia, dan dalam waktu yang
singkat keanggotaan orang Papua menjadi 3.000 orang. Organisasi ini yang pada
gilirannya bersama Gerakan Persatuan Nieuw Guinea membentuk dasar dan pemimpin
dari Partai Nasional.
Implementasi
otonomi khusus telah dan sedang berjalan kurang lebih 9 tahun untuk
mentransformasikan dinamika kehidupan masyarakat ditanah papua dari
ketertindasan, keterpurukan dan ketetbelakangan menuju modernisasi di negerinya
sesuai bunyi undang-undang No. 21.tahun 2001. Otonomi khusus yang telah
mengambil dan menyepakati adalah intelek,tapi intelek tolol dan pemerintah
pusat demi mensejatrahkan masyarakat dari segala belenggu keburukan hidup
diatas tanahnya, namun kenyataan implementasi otonomi khusus selama 9 tahun
intelek tolol dan pemerintah hanya berhasil melahirkan pemekaran wilayah
besar-besaran di seluruh tanah papua mulai dari kampung sampai propinsi.
sebelum pemekaran dimulai intelek tolol ini telah mempengaruhi banyak
masyarakat sehingga sebagian masyarakat pernah menuntut daerahnya harus
dimekarkan, seperti kabupaten Dogiyai dari induk kabupaten Nabire, kabupaten
Deiyai dari induk Kabupaten Paniai,
Kabupaten Intan Jaya dari induk Kabupaten Paniai, demikian juga daerah-daerah lain di seluruh tanah papua. Tuntutan pemekaran dengan memakai berbagai alasan yang rasional, misalnya karena kurang ada perhatian dan pelayanan dari kabupaten induk, karena kurang disentuh pembangunan daerah-daerah yang mana telah dimekarkan.
Kabupaten Intan Jaya dari induk Kabupaten Paniai, demikian juga daerah-daerah lain di seluruh tanah papua. Tuntutan pemekaran dengan memakai berbagai alasan yang rasional, misalnya karena kurang ada perhatian dan pelayanan dari kabupaten induk, karena kurang disentuh pembangunan daerah-daerah yang mana telah dimekarkan.
Dalam
argumentative essay, yang Mr Lala inginkan yaitu segitiga yang tidak bisa
dipisahkan satu sam lain:
History
|
Ideology
|
Literacy
|
Ketiga segitiga diatas tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena mereka
terlahir untuk bersama-sama. Menurut
Dr.Kuntowijoyo, sejarah adalah ilmu tentang waktu. Didalam sejarah yang dijelaskan diatas
menerangkan tentang waktu yaitu itu dahulu, sekarang, dan masa yang akan
datang. Sejarah berasal dari text dan
context. Menurut, Mikko Lehtonen, text
dan context saling bergantungan. Yang ada
dalam sejarah adalah berisi context yang menjelaskan adanya sejarah dalam hal
yang sebuah text. History akan menghasilkan
sebuah ideology karena dalam politik papua menjelaskan bahwa perbedaan persepsi
antara masyarakat Papua dengan pemerintah Indonesia. Disitulah values muncul karena sudah
dilakukan denga sebuah praktik. Values
dan literacy itu adalah sebuah praktik yang saling berkaitan satu sama
lain. Dengan demikian dalam pembuatan
argumentative essay segitiga diatas harus dimunculkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic