Indonesia Membutuhkan Literasi yang Tinggi
Literasi adalah salah satu kata yang sedang marak dikalangan guru
bahasa. Literasi itu sendiri dapat
diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Literasi sangat asing ditelinga semuanya,
karena kebanyakan dari mereka hanya mengenal “Pengajaran bahasa atau
pembelajaran bahasa”. Terkadang
diartikan dengan educated.
Kini jamannya
sudah berubah dan canggih. Karena
tekhnologi yang semakin pesat, sehingga masyarakat Indonesia telah dimakan oleh
jaman yang tambah canggih ini. Kenapa
dikatakan telah dimakan??? Karena
tekhnologi yang bertambah canggih dan berkembang sangat pesat di Indonesia,
tetapi masyarakatnya kebanyakan tidak bisa menggunakannya atau memanfaatkan
fasilitas tersebut. Karena budaya barat
sudah banyak menyelinap ke Indonesia, sehingga masyarakat Indonesia (mati kutu) dengan perubahan jaman yang bertambah
canggih ini, dengan bertambah canggihnya, sehingga banyak tenaga kerja yang
kalah dengan mesin yang begitu canggih.
Akibatnya banyak tenaga buruh yang menganggur.
Kita kembali ke literasi!
Sesungguhnya
literasi adalah sebuah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social
dan politik. Tetapi dalam dunia
pendidikan sekarang telah beralih ke definisi baru, yaitu memaknai literasi dan
pembelajaran, sehingga ada ungkapan literasi computer, literasi arithmatika,
literasi IPA. Kemudian Freebody dan Luke
menawarkan model literasi:
1.
Memahami
kode dalam teks (Breaking the code of texts)
2.
Terlibat
dalam memaknai teks (Participating in the meaning of texts)
3.
Menggunakan
teks secara fungsional (Using texts functionally)
4.
Melakukan
analisis dan mentransformasi teks secara kritis (Critically analyzing and
transforming texts)
Kesimpulan yang dapat kita ambil, yaitu:
Ø Memahami
Ø Melibati
Ø Menggunakan
Ø Menganalisis
Ø Mentransformasi teks
Itulah hakikat berliterasi secara kritis dalam masyarakat yang
demokratis. Literasi hubungannya dengan
penggunaan bahasa dan merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh
dimensi yang saling berkaitan:
1.
Dimensi Geografis (lokal,
nasional, regional, dan internasional).
Literasi seseorang dapat dilihat dari tingkat pendidikan dan cara
bergaulnya.
2.
Dimensi Bidang (pendidikan,
komunikasi, administrasi, hiburan, militer).
Lain halnya dengan dimensi geografis, dimensi bidang akan tergantung
pada kecanggihan tekhnologi komunikasi dan persenjataan yang digunakan.
Contohnya,
pendidikan: Pendidikan yang berkualitas
tinggi, otomatis akan menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi juga.
3.
Dimensi Keterampilan
Ø Membaca
Ø Menulis
Ø Menghitung
Ø Berbicara
Literasi seseorang akan muncul ketika membaca, menulis, menghitung,
dan berbicara. Semua sarjana pasti mampu
membaca tetapi kadang tidak mampu menulis sama sekali. Karena kualitas tulisan yang mereka
terbitkan, yaitu tergantung dari mahasiswanya tersebut, apakah telah banyak
mengunyah dan menyerap kata-kata yang ada pada buku atau dari mana saja yang
dapat diperoleh, tidak hanya dari buku.
Itu semua sangat mempengaruhi dalam tingkat menulisnya dan cara
berbicaranya. Sehingga dapat dikatakan
memiliki literasi yang tinggi.
4.
Dimensi Fungsi (Memecahkan
persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan,
mengembangkan potensi diri).
Orang yang literat harus dapat memecahkan masalah atau situasi.
5.
Dimensi Media (Teks, cetak,
visual, digital).
Zaman sekarang untuk menjadi seorang literat tidak cukup membaca
dan menulis teks saja. Tetapi harus
menggunakan visual dan digital.
Penguasaan IT (Information Technology) sangat penting, sehingga kini
kehebatan universitas diukur lewat webometricks, sejauh mana perguruan tinggi
itu diperbincangkan dalam dunia maya.
6.
Dimensi Jumlah (satu, dua,
beberapa)
Orang multilaterat akan mampu berinteraksi dalam berbagai situasi. Jumlah dapat merujuk pada bahasa, variasi
bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media, dan masih banyak lagi.
7.
Dimensi Bahasa (etnis, lokal,
nasional, regional, internasional).
Ø Literasi Singular
Ø Literasi Plural
Jika seseorang mahasiswa jurusan bahasa inggris dan budayanya
sunda. Otomatis mahasiswa tersebut
memiliki tiga bahasa, yaitu: Sunda, Inggris, dan Indonesia. Semua bahasa ini harus benar-benar balance.
Perbandingan antara ORASI dan Literasi:
Menurut Chape, 1985: Nickercon, 1981; Smith, 1984,
Ellis, 1998.
Bahasa lisan atau orasi mengacu pada proses dari aspek berbicara
dan mendengarkan. Bahasa tulis atau
literasi dengan definisi yang paling umum, mengacu pada proses dari aspek
membaca dan menulis:
ORASI:
v Sifatnya hamper universal, individual, normal.
v Diperoleh tanpa banyak pelatihan formal, sepanjang kehidupan
seseorang.
v Secara khas melibatkan kontak langsung bersemuka (face to face).
v Sering melanggar aturan tata bahasa yang sifatnya formal.
v Diproduksi dalam periode waktu yang cepat.
v Kemungkinan lebih cepat dilupakan, tetapi dapat juga bertahan lebih
lama bergantung pada reaksi emosional dari penyimak.
v Dipercaya untuk mengakui kekurangan atau kesalahan dalam kaitannya
dengan susunan penyampaian lisan.
LITERASI:
v Jauh dari universal dan sering kurang dikembangkan dengan baik.
v Diperoleh melalui pembelajaran dan usaha keras, diperoleh setelah
penguasaan bahasa lisan.
v Pengiriman pesan kepada penerima melalui pemindahan yang leluasa
dalam bentuk tertulis, tidak bersemuka.
v Menurut ketaatan aturan bahasa.
v Diproduksi dalam waktu yang lambat.
v Bisa bertahan lebih lama (melalui penerbitan) dapat diubah-ubah
sebelum disampaikan kepada pembaca.
v Dipercaya untuk mencerminkan pengetahuan, ketepatan pribadi,
kepercayaan dan sikap.
Literasi secara
luas dimaknai sebagai kemampuan berbahasa yang mencakup kemampuan menyimak,
berbicara, membaca dan menulis, serta kemampuan berfikir yang menjadi elemen
didalamnya.
Tompkins
(1991:18), mengemukakan
bahwa literasi merupakan kemampuan menggunakan membaca dan menulis dalam
melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan dunia kerja dan kehidupan diluar
sekolah. Dan, WELLS berpendapat
bahwa literasi merupakan kemampuan bergaul dengan wacana sebagai presentasi
pengalaman, pikiran, perasaan, dan gagasan secara tepat sesuai dengan tujuan. Sedangkan,
Menurut UNESCO:
Seseorang disebut literate apabila ia memiliki pengetahuan yang
hakiki untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi
secara efektif dalam masyarakat dan pengetahuan yang dicapainya dengan membaca,
menulis, dan arithmetic, memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri
dan perkembangan masyarakat.
Kesimpulan:
Menrut saya,
literasi itu bisa diartikan dengan seseorang yang mengerti hukum di negaranya
sendiri. Bisa juga diartikan dengan
melek huruf atau kecakapan dalam membaca dan menulis. Tetapi, sedangkan menurut JAMES GEE (1990)
mengartikan bahwa literasi dari sudut pandang ideologis kewacanaan yang
menyatakan bahwa literasi adalah “Master of, or fluently control over,
secondary discourse”. Atas dasar
literasi yang dimiliki seseorang berdasarkan keterampilan, membaca, menulis,
berfikir, berbicara.
Pendapat saya bahwa
literasi itu dipengaruhi oleh budaya, dimana kita tinggal.
Contohnya:
1.
Jika
seseorang tinggal di desa yang terpencil dan banyak sampah yang
berserakan. Berarti seseorang tersebut
literasinya rendah. Kenapa dikatakan
rendah??? Karena jika seseorang memiliki
literasi yang tinggi, orang tersebut tidak akan membuang sampah sembarangan, dan
tidak akan ada sampah yang berserakan disekelilingnya.
2.
Jika
seseorang itu dari gaya bahasanya sopan berarti seseorang tersebut memiliki
literasi yang tinggi.
3.
Tidak
hanya membuang sampah pada tempatnya, tidak menyerobot lampu merah, mau
mengantri berjam-jam, merokok ditempat yang sudah disediakan, tidak parker
sembarangan.
Itulah yang
patut dikatakan seseorang yang memiliki literasi yang tinggi. Menurut saya, seorang pendidik di Indonesia
hanya mengerahkan pada empat kompetensi berbahasa, yaitu: mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis, masih belum dipahami oleh seorang pendidik. Kenyataan ditemukan, ketika pendidik
membelajarkan siswa untuk membaca dengan standar kompetensi “Memahami ragam
wacana tulis dengan membaca intensif”, dengan kompetensi dasar “ Menemukan
perbedaan paragraph induktif dan deduktif melalui kegiatan membaca
intensif”. Tetapi sampai akhir
pelajaran, siswa hanya berlatih menuliskan kedua jenis paragraph tersebut. Tetapi siswa tidak dilatih untuk menemukan
perbedaan antara kedua paragraph tersebut.
Jika
dibandingkan dengan Negara-negara maju, siswa SMA (Sekolah Menengah Atas) di
Amerika, Belanda, dan Prancis diwajibkan membaca 30 buku sastra, jepang
diwajibkan membaca 15 buku sastra, di Brunei diwajibkan membaca 7 buku sastra,
dan di Singapura mewajibkan membaca 6 buku sastra. Oleh karena itu, Indonesia mempunyai
keinginan untuk meningkatkan kemampuan membacanya, ya harus diwajibkan membaca
buku sastra juga. Agar ada kemajuan,
khususnya bagi para siswanya.
Menulis
Akademik adalah bagian dari literasi yang mesti dikuasai oleh para (calon)
sarjana. Itulah literasi. Bagaimana jadinya, jika Indonesia tetap
dititik ini (mahasiswanya tidak bisa menulis) dan tidak ada perubahan? Mungkin
akan tetap menjadi Negara yang tertinggal.
Selain itu
literasi tidak hanya sekedar mampu membaca dan menulis saja, tetapi juga harus
fasih, efektif, kritis dalam menggunakan bahasa. Literasi juga mencakup kemampuan reseptif dan
produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan sejak
dahulu, pendidikan bahasa memberikan kebebasan kepada semua siswa agar berekspresi
dengan lisan atau tulisan.
Adapun yang
menyarankan agar 3-R dirubah menjadi 4-R, yaitu:
1.
Reading
2.
Writing
3.
Arithmetic
4.
Reasoning
Seharusnya para guru menawarkan 4-R secara integral. Tingkat literasi siswa Indonesia yang masih
tertinggal oleh siswa Negara-negara lain.
Kalu menurut saya, jangankan siswanya, masyarakatnya pun belum berhasil
menciptakan warga Negara yang literat, mungkin bisa dikatakan gagal.
Contoh kecilnya yaitu sampah.
Mr. Lala mengatakan bahwa seseorang yang membuang sampah pada tempatnya,
itu bisa dikatakan mempunyai literasi yang tinggi. Tetapi faktanya, warga Negara Indonesia,
rata-rata tidak membuang sampah pada tempatnya.
Padahal Negara Indonesia mayoritas muslim.
AL-QUR’AN
mengatakan: “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Tetapi kenapa masih saja membuang sampah
tidak pada tempatnya.
Kenapa
kita literasinya kalah oleh Negara Singapura yang mayoritas non muslim. Tetapi mereka mempunyai literasi yang tinggi
dengan cara membuang sampah pada tempatnya.
Sehingga tak satu pun sampah yang berserakan di lingkungan.
Bukan suatu kebetulan bahwa pertanyaan
tentang identitas adalah salah satu tema yang sering dibahas pada tahun
1980-1990, semua itu berbau krisis jangka panjang, makna yang siap pakai dan
muncul relative stabil. Makna memiliki
diversivikasi, ireversibel, mungkin semuanya berjuang untuk membuat scenario. Mau tak mau, kita menggunakan kata-kata orang
lain. Dalam hal ini sangat penting,
bahkan di dunia makna.
Dalam bukunya Hyland menyebutkan orientasi
ini lahir dari perkawinan linguistic structural dan teori-teori belajar
behavioris pengajaran bahasa kedua yang dominan pada tahun 1960 (Silva,
1990). Pada dasarnya, menulis dipandang
sebagai suatu produk, dibangun dari perintah seorang penulis pengetahuan tata
bahasa dan leksikal dan menulis dianggap hasil dari meniru dan memanipulasi
model yang disediakan oleh guru. Bagi yang
mengadopsi ini, menyatakan bahwa menulis dianggap sebagai perpanjangan dari
tata bahasa sarana memperkuat pola bahasa melalui pembentukan kebiasaan dan
menguji kemampuan peserta didik untuk menghasilkan kalimat well-formed.
Bagi orang lain, menulis adalah struktur
rumit yang hanya bisa dipelajari dengan mengembangkan kemampuan untuk
memanipulasi lexis dan tata bahasa. Untuk
menulis secara efektif adalah sesuatu yang membutuhkan luas dan khusus
intruksi, akibatnya melahirkan komposi mahasiswa yang luas industry di
perguruan tinggi Amerika.
Perintah dalam menulis yang baik semakin
dilihat sangat penting untuk membekali peserta didik untuk sukses di abad
ke-21. Kemampuan untuk mengulirkan ide
dan informasi secara efektif melalui digital global jaringan krusial tergantung
pada keterampilan menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic