We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Rabu, 19 Februari 2014

Chapter review "GURU, MESIN PENGGERAK LITERASI"




            Ketika kita berbicara tentang literasi, sebenarnya kita sedang mengeksplorasi kasus yang terjadi di abad 21-an ini. Dengan kemampuan pengembangan tatanan masyarakatnya ke arah yang lebih tinggi, penciptaan masyarakat ke arah sosial-demokratis, peningkatan daya pikir, dan menejemen pendidikan yang produktif, itu semua adalah bagian dari tindakan literasi. Literasi sendiri tak jauh dengan ketrampilan membaca dan menulis, karena itu semua adalah sumber yang kongkrit untuk pembangunan ke arah masyarakat madani. Masyarakat madani sendiri adalah masyarakat yang sukses dengan komitmen mereka untuk mengubah hidup yang lebih baik dari sebelumnya, komitmen ini bisa dilihat pada tindakan litersinya. Maka dari itu, literasi erat kaitannya dengan pengubahan dunia.

            Literasi selalu bergandengan erat dengan dunia bahasa, karena bahasa adalah salah satu media interaksi dengan tata cara penggunaan struktur bahasa yang relatif luas. Jadi di dunia pendidikan, bahasa mengkaji area yang lebih dalam dengan pemberian berbagai metode dan pendekatan baik dalam bahasa nasional maupun bahasa internasional (bahasa asing). Dalam pengajaran bahasa asing, para linguist mengelompokkan metode dan pendekatan ke dalam lima kelompok besar, yaitu:
·         Pendekatan stuktural dengan grammar translation methods (populer sampai dengan Perang Dunia ke-2). Pendekatan ini hanya fokus ke pembelajarannya pada penggunaan bahasa tulis dan penguasaan tata bahasa. Namun, pendekatan ini tidak sepenuhnya menjamin siswa mampu menganalisis persoalan sosial seperti bahasa pejabat yang munafik, bahasa bias gender, dan bahasa iklan yang terkadang sesat dan menyesatkan. Maka dari itu, metode pendekatan ini belum bisa dikatakan sempurna.
·         Pendekatan audiolingual atau dengar-ucap (1940-1960). Pendekatan ini difokuskan pada banyaknya latihan dialog-dialog pendek untuk dikuasi oleh siswa, jadi siswa menimpali dialog-dialog itu saat berkomunikasi secara spontan. Metode pendekatan ini dikenal dengan sistem orality yang mana berorientasi pada praktek lisan, pendekatan ini yang mengakibatkan penguasaan bahasa tulis (literacy) terabaikan.
·         Pendekatan kognitif dan transformatif sebagai implikasi dari teori-teori Syntactic Structure (Chomsky, 1957). Fokus pengajarannya berorientasi pada nilai sintaksis, yang mengenali tentang pembangkitan potensi berbahasa siswa sesuai dengan potensi kebutuhan lingkungannya. Hal ini yang kurangnya terfokuskan pada nilai orientasi lain, seperti sosiolinguistik tidak fungsional.
·         Pendekatan Communicative competence (1980-1990). Fokus pada target pengajaran penguasaan  komunikasi yang lebih luas dimulai dari komunikasi terbatas maupun spontan atau alami, pengajaran ini menuntut adanya feedback disetiap komunikasi. Pendekatan  ini disempurnakn lagi oleh Halliday (1985) dan Martin (2000) dengan Systemic Functional Grammar (SFG).
·         Pendekatan literasi atau pendekatan genre-based sebagai implikasi studi wacana. Pendekatan ini merupakan pendekatan dari hasil renofasi yang dilakukan oleh pendekatan sebelum-sebelumnya. Ini mengacu pada orientasi nilai baca-tulis, penajaman praktek dan pengetahun. Hal ini sesuai dengan kurikulum yang dirilis tahun 2004.

Melihat semua metode pendekatan bahasa asing yang dijelaskan, rupanya itu semua mengalami perubahan dan perkembangan dari tahun ke tahun. Yang mulanya mereka puas dengan membaca dan menulis, kini kemampuan itu dirasa tak cukup. Kini mereka menambahkan “bumbu penyedap” pada sistem metode pendekatan, dengan mengembangkan ketrampilan baca-tulis (pengembangan literasi). Pemakanaan literasi selama bertahun-tahun dianggap sekedar persoalan psikologis, yang berkaitan dengan kemampuan mental dan ketrampilan baca-tulis, padahal literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial politik. Ini perlu dikoreksi lagi, mengingat literasi bukan hanya terjun di area itu. Kini linguist mengubah paradigma itu dalam upaya memaknai literasi dan pembelajarannya, karena itu kini ada ungkapan litersi komputer, litersi virtual, litersi matematika, litersi IPA, dan sebagainya.

Seperti yang dilansir oleh Freebody & Luke dengan penawaran model literasi sebagai berikut: (1) memahami kode dalam teks (breaking kode of the texts), (2) terlibat dalam memaknai teks (participating in the meaning of texts), (3) menggunakan teks secara fungsional (using texts functionally), dan (4) melakukan analisis dan transformasi teks secara kritis (critically analyzing and transforming texts). Melihat penjelasan itu semua, sepertinya perkembangan literasi kini terus berevolusi dan berinovasi, dan kini maknanya semakin meluas dan kompleks. Dalam banyak hal objek studi literasi bertumpang tindih dengan objek studi budaya, yang berfokus pada hubungan-hubungan antara variabel sosial dan maknanya, atau lebih tepatnya bagaimana devisi-devisi sosial dibermaknakan (O’Sulivan, 1994:71). Literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa, tapi ini berkaitan dengan penggunaan sosial dan budaya yang disebutkan Dr. Chaedar dalam tujuh dimensi yang saling terikat.
·         Dimensi geografis (lokal, nasional, regional, international). Dimensi ini tergantung pada nilai tingkat pendidikan dan jejaring sosial vokasionalnya. Tingkat pendidikan lebih tinggi biasanya ditantang untuk memiliki literasi internasional dibandingkan tingkatan rendah.

  • ·         Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dsb). Dimensi ini tergantung pada kecanggihan bidang yang diterapkan, seperti layanan bidang militer yang bergantung pada kecanggihan teknologi komunikasi dan persenjataan yang digunakan.

  • ·         Dimensi ketrampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara). Dimensi ini tergantung pada kualitas pengolahan ketrampilan yang diperoleh. Misal kualitas tulisan tergantung pada apa yang ia dapat dari asupan bacaan yang ia peroleh.

  • ·         Dimensi fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri). Ini jelas bagian dari orang-orang literat yang mampu memenejemen persoalan.

  • ·         Dimensi media (teks, cetak, visual, digital). Dimensi ini terkait dengan kemampuan seseorang untuk mengembangkan ilmu teknologi sesuai dengan perkembangan zaman, ini disebut literasi visual, literasi digital, dan literasi virtual.

  • ·         Dimensi jumlah (satu, dua, beberapa). Diminsi ini dilihat dari pemahaman berbagai jumlah aspek yang ia peroleh. Misal pada bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media dan sebagainya.

  • ·         Dimensi bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional). Dimensi ini dilihat dari seberapa banyak menguasai bahasa, jika kita seseorang yang mulitilingual maka wajib untuk memahami dan menguasai semuanya. Ini menandakan kita adalah orang yang literat.

Dari semua dimensi yang disebutkan di atas, hal ini menunjukkan adanya perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini. Seperti ketertiban lembaga-lembaga sosial, tingkat kefasihan relatif, pengembangan potensi diri dan pengetahuan, standar dunia, warga masyarakat demokratis, keragaman lokal, hubungan global, kewarganegaraan yang efektif, bahasa Inggris ragam dunia, kemampuan berpikir kritis, dan masyrakat semiotik. Semuanya adalah kunci literasi, yang nantinya diolah kembali menjadi wujud yang nyata untuk perubahan masyarakatnya.
Seteleh paham mengenai sistem yang diajarkan oleh litersi, ada tujuh prinsip yang harus diketahui dan diikuti:

  1. Literasi adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota masyarakat. Ini terkait dengan pengaplikasian pendidikan di dunia nyata atau di lingkungan masyarakatnya.
  2. Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis maupun secara lisan. Ini terkait dengan tingkat pendidikan yang didapat secara bertahap, di pendidikan dasar mengajari tentang pengenalan dan praktek lisan atau tulisan, di perguruan tinggi dibuktikan untuk mampu memproduksi tulisan-tulisan akademik dan mampu menginterpretasikannya.  
  3.  Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah. Ini terkait dengan kemampuan seseorang dapat berpikir kritis (critical thinking), dan memakai nalar untuk berbahasa. Karena itu ada orang yang menyarankan agar 3-R diubah menjadi 4-R, yakni: reading, writing, arithmetic, dan reasoning.
  4. Litersi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. Ini terkait dengan sistem budaya (kepercayaan, sikap, cara, dan tujuan budaya), bahwa pendidikan bahasa mengajarkan tentang budaya. Kasus ini terkait dengan pemahaman komunikasi yang disepakati oleh anggota masyarakat, dengan penggunaan isyarat atau gestures yang sangat kultural.  
  5.   Literasi adaah kegiatan refleksi (diri). Ini terkait dengan penggalian pemahaman dan pengembangan profesi diri. Misalnya, Dalam upaya melakukan refleksi seorang guru bahasa pun berkembang, yakni dari tingkat pedagogi, profesi, dan politik (Anstey & Bull, 2003).  
  6.   Literasi adalah hasil kolaborasi.  Ini terkait dengan komunikasi yang terjalin antar dua pihak. Penulis memberikan semua informasinya lewat tulisan dengan harapan tersampaikan kepada calon pembaca, pembaca pun harus mengerahkan segala pengetahuan dan pemahamannya untuk bisa memaknai tulisan itu.  
  7.    Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi. Ini terkait dengan pemaknaan atau penafsiran yang dilakukan oleh dua pihak. Pendidikan bahasa sejak dini sebaiknya melatih (maha)siswanya melakukan interpretasi (mencari, menebak, dan membangun makna). Karena hal ini yang akan menambah khasanah pengetahuan, dan membangun literasi.


Dengan melihat arti literasi yang sesungguhnya, kita tahu bahwa literasi adalah sesuatu hal yang tidak bisa dipungkiri efeknya membawa peningkatan strata ke arah yang lebih tinggi. Ini dilihat dari berbagai dimensi-dimensi dan prinsip-prinsip yang kita bicarakan di atas, semuanya terkait dengan pengolahan mindset yang cukup matang dibidangnya. Sebenarnya, literasi tak hanya fokus pada kegiatan baca-tulis, tapi juga menghitung, penguasaan science dan teknologi adalah hal utama, karena ini adalah salah satu perkembangan dan rekayasa literasi  .Tak heran jika negara yang mengemban nama “literasi” adalah negara-negara maju, mereka semua mampu menggiring masyarakatnya untuk ikut serta dalam pencerdasan bangsa. Bagaimana dengan literasi bangsa kita?

Sudah menjadi santapan publik, bahwa negara kita digondong-gondong membawa predikat yang cukup rendah dalam hal literasi. Sudah sejak 1999 Indonesia ikut dalam proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PILRS (Progress in International Reading Literacy Study), PISA (Program for International Student Assessment), dan TIMSS (the Third International Mathematics and Science Study) untuk mengukur literasi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Dari penilitian yang dilakukan oleh PILRS terhadap kemampuan literasi membaca anak Indonesia, ternyata masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan negara peserta lainnya. Penelitian ini mengukur beberapa aspek tentang literacy purposes(LP) dan informational purposes (IP), sedangkan proses membaca meliputi interpreting, integrating, dan evaluating. Ada beberapa bukti yang menyatakan tentang keterpurukan literasi bangsa kita, yaitu tentang skor prestasi membaca siswa di Indonesia.

(1)Skor yang dihasilkan oleh negara kita rupanya masih kalah telak jika dibandingkan dengan negara peserta lainnya, yaitu 407 (untuk semua siswa), 417 untuk perempuan dan 398 untuk laki-laki. Jika dilihat, negara tertinggi dicapai oleh Rusia dengan skor 565, disusul oleh Hongkong (564), Kanada/Alberta (560), dan Singapura (559). Indonesia sendiri berada di urutan ke-5 dari bawah. Hal ini yang membuat indonesia masih di wilayah “degradasi” terhadap literasi membaca, tentunya ini perlu usaha lebih keras untuk menyamai negara lain dalam perolehan angka. Jika dilihat, (2)negara yang skor prestasi membacanya diatas 500 adalah negara maju. Pendapatan kapita dan indeks pembangunan manusia mereka (HDI) lebih tinggi, daripada negara yang prestasi membacanya di bawah 500 (baca: Indonesia). Bukti lainnya, (3) lemahnya prestasi dalam LP dibanding IP. Indonesia rupanya belum mampu membalikan keadaannya lewat pemahaman IP, mereka masih fokus pada retrieving and straightforward inferencing process daripada interpreting, integrating, and evaluating, LP sendiri adalah tujuan pemahaman literasi tingkat tinggi. Lalu, (4) Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki minat baca yang rendah, hanya sekitar 2% yang memiliki minat baca tinggi. (5) Faktor ini disebabkan karena oranng tua mereka kurangnya terlibat dalam early home literacy activities, tak lebih dari itu. karena literasi itu diukur juga dengan index of home educational resource (HER), yaitu jumlah buku yang mereka punya dirumah, dan sumber belajar lain. Indonesia tercatat dalam kategori high HER sekitar 13% (6), karena kurangnya akses informasi. (7) Hal ini juga terkait dengan latar belakang pendidikan orang tua yang mumpuni, jika dilihat latar belakang pendidikan orang tua peserta yang tak lulus SD lebih dari 25%. Ini yang menjadi benalu pada kecerdasan siswa bangsa kita, karena pendidikan itu berawal dari lingkugan keluarga sebagai bekal untuk bisa bersaing dengan dunia luar.

Dari semua bukti yang diperoleh, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa literasi siswa negara kita masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain. Ini menjadi suatu cambukan bagi siswa negara kita, supaya bisa berkreasi lagi dalam menciptakan generasi mudanya ke arah literasi. Dunia pendidikan erat kaitannya dengan pembangunan bangsa, jika generasi mudanya tak di bentuk menjadi SDM yang berkualitas maka image bangsa semakin bobrok. Literasi juga mengarah ke perbaikan masa depan bangsa lebih baik, karena dengan SDM yang berpotensi maka tak memungkinkan bisa menggaet hidup yang lebih makmur. Lihat negara “India” yang sebelumnya memiliki predikat yang sama dengan kita, mereka hampir bisa menyamai negara-negara maju lainnya. Hal ini bisa dilihat dari hasil buku yang tiap tahun yang mereka rilis, jumlahya tak jauh beda dengan Amerika dan Inggris, yaitu 70.000 buku. Dalam industri hiburan India juga tak kalah, tiap tahun mereka meluncurkan lebih dari 1.000 film yang sudah lulus sensor. Ini pencapaian yang luar biasa mengingat latar belakang negara yang tak jauh berbeda dengan bangsa kita, rupanya India akan menyaingi pasar Cina di tingkat Asia. Jadi, berapa pendapatan masyarakatnya yang mereka raup? Pasti tak sedikit. Sebab ini terjadi karena tingkat literasi mereka yang sudah matang, mereka mampu “menyulap” perekonomian, politik dan budaya serta pendidikan dengan apik. Dengan kata lain, pendidikan literasi pasti mngubah pendapat dan pendapatan.

Kembali lagi ke topik utama, bahwa literasi adalah kegiatan yang mengembangkan ketrampilan baca tulis. Hal ini tentunya tak lepas dari peran seorang guru sebagai tutor untuk mengawasi perkembangan siswanya, artinya untuk ini guru mampu menguasai tentang literasi dan pedagogi pengajaran. Mereka harus lebih banyak dibekali pelatihan khusus untuk pengelolaan kelas, pemberian metode pengajaran yang efektif dan efesien, dan juga penguasaan materi. Karena ujung tombak pendidikan literasi adalah bersumber dari guru, walaupun keputusan kurikulum sudah ditetapkan dengan demikian hal ini tergantung pada pengelolaan guru sebagai mesin penggerak.

kurikulum bahasa asing di negara kita pada tingkat dasar cenderung bersifat text-centric, bukan reader centric dan writer centric hanya cenderung pada pengenalan bentuk tata bahasa, pemakaian bahasa, dan tulisan yang diperkenalkan pada umumnya bukan dengan praktek merespon apa yang mereka peroleh dari teks. Ada 4 aspek pengajaran, yaitu learning, speaking, reading dan writing. Hal ini perlu dilihat lagi, jika pendidikan bahasa asing pada tingkat dasar memasukkan sedikit “selayang pandang” tentang budaya atau keuntungan berbahasa asing setidaknya terlihat lebih baik jika hanya mengetahui 4 aspek tersebut.

Jadi dari semua pembahasan yang dapat kita lihat, tampaknya para pendidik harus berjuang keras untuk bisa memajukan siswanya terhadap literasi. Mengingat banyak sekali siswa yang belum mampu mengeksplorasikan pengetahuannya ke dalam bentuk tulisan, banyak juga masyarakat yang terisolir oleh ketrampilan baca-tulis, kurangnya jangkauan IPTEK, dan pemahaman belajar yang kurang matang. Ini jauh dari harapan bangsa untuk membangun masyarakat berstrata tinggi, tapi akan ada ruang celah untuk siswa jika pengaplikasian pengajaran guru sedikit dibenahi. Jika dilihat di pembahasan awal tentang metode penerapan bahasa asing sebenarnya sudah cukup bagus dengan pengembangan dari masa ke masa, tapi itu tergantung guru sebagai penggerak kurikulum yang diterapkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic