SELAYANG
PANDANG PENULIS
“Kalau kamu bukan
anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”----- Imam
Al-gazali. Quotes ini benar-benar meracuni pikiranku. Melihat apa yang
dikatakan Imam Al-Gazali mengenai hal ini, rupanya benar. Seseorang yang bahkan
dari kalangan terhormat saja, bisa disetarakan dengan derajat seorang penulis.
Hal ini yang membuat pikiranku kembali lagi pada apa yang terjadi di tanggal 11
Februari 2014, di pembelajaran kelas writing mengenai Knowing who we really are. Penentuan jalan kita menjadi seorang
penulis sudah dimulai kembali, dengan pemilihan yang lebih selektif lagi oleh Mr.
Lala Bumela. Ini adalah ajang pencarian bibit-bibit penulis yang berkualitas,
ajang bergulat dengan pikiran, dan ajang pengasahan mental menjadi seorang
penulis di kelas Academic writing.
Kelas Academic
writing yang dibangun 2 minggu yang lalu meninggalkan catatan-catatan penting
mengenai penciptaan sebuah tulisan. Tak banyak dari kita bisa melewati hal itu
dengan mudah, perlu adanya kegiatan memeras otak dan tenaga. Karena jalan kita
berada di Academic writing, maka ini akan menjadi jalan yang berbeda dari
biasanya. Yea.. jika ini adalah sebuah jalanan, jalanan ini akan terasa begitu
mengerikan, dengan adanya batu-batu besar yang berserakan dimana-mana, dengan
banyaknya lubang-lubang besar yang terhalang oleh gundukan pasir kecil, dan
tanjakan maupun turunan yang sangat curam. Itu semua adalah hambatan-hambatan
kita, yang nantinya akan kita lewati kedepan. Dengan jalan Academic writing
kita dibutuhkan untuk berpikir kritis (critical thinking) untuk mentukan arah
mana yang seharusnya dilalui oleh kita, karena ini adalah salah satu arah yang
menetukan terbentuknya suatu tulisan. Menulis dengan label akademik akan jelas
terlihat lebih rigid (kaku), lebih terlihat formal, lebih kritis, struktur
penulisannya lebih terfokuskan, dan lebih tersistematis.
Menulis sendiri bagi Mr. Lala adalah “ A way of knowing
something (Information)” mengetahui bagaimana cara menulis, “A way of
representing something (Knowledge)” cara merepresentasikannya, ini terkait
dengan voice, dan yang Dr. Chaedar katakan tentang menulis itu adalah “ A way
of reproducing something (Experience)” cara mereproduksi atau melahirkan suatu
pengetahuan. Sesuatu yang kita rekam dari writing ini adalah experience
(pengalaman mengikuti writing), bukan dengan information ataupun knowledge. Ini
terbukti dari hasil pembelajaran yang dilakukan oleh beberapa 2 semester
terakhir, pengetahuan yang kita dapat
dari hasil pengalaman (experience). Maka dari itu pengalaman adalah sesuatu
yang sangat penting dalam menulis, kita harus mengubah molekul-molekul kita
dalam mencari pengalaman menulis. Pengalaman sendiri adalah proses terbentuknya
ke pribadi seseorang, hal ini yang nantinya menentukan keberadaan posisi kita
dalam penentuan jati diri sebagai seorang penulis.
Untuk
mengantarkan kita menjadi seorang penulis, tentunya dibutuhkan pengenalan lebih
jauh tentang konsep dasar menulis. Hal itu sendiri sudah dijelaskan di
pertemuan pertama, bahwa menulis itu melibatkan ketrampilan dan pengetahuan
tentang teks, konteks, dan reader.
Pembaca sendiri akan menemukan koneksi yang lebih kuat, jika penulis mampu
memberikan konteks yang jelas pada isi teks. Ini juga didukung oleh perkataan Hyland “writing is a
practice based on expectations: the reader’s chances of interpreting the
writer’s purpose are increased if the writer takes the trouble to anticipate
what the reader might be expecting based on previous texts he or she has
read of the same kind”. Maka dari itu konteks yang didasarkan pada sebuah
tulisan, harus lebih tertata rapi dalam penciptaan sebuah tulisan. Hal ini yang
nantinya akan memicu perspektif pro dan kontra dalam menginterpretasi sebuah
teks. Jadi konteks dalam teks itu adalah sebuah koneksi yang abstrak, jika
penulis ingin menjalin hubungan yang lebih intens dengan pembaca maka
dibutuhkan kata-kata atau kalimat yang setidaknya dimengerti oleh sasarannya
(pembaca).
Ken Hyland dalam buku
fenomenalnya “Teaching and Researching writing”, pembangunan konteks juga
dilihat dari situasinya. “Halliday
developed an analysis of context based on the idea that any text is the result
of the writer’s language choices in a particular context of situation (Malinowski, 1949). Artinya
pengembangan analisis konteks dalam teks salah satunya itu didasarkan pada
konteks situasi, hal ini yang akan menumbuhkan chemistry antara penulis dan pembaca. Jika kita tak melihat konteks
situasinya, maka akan terjadi discourse
communication yang menyebabkan kesenjangan pemahaman. Dalam buku ini Cutting (2002:3) juga menyatakan bahwa
ada tiga aspek yang terkait dalam penafsiran konteks dalam sebuah teks, yaitu:
• the situational context: what people ‘know about what they can see around
them’;
• the background knowledge context: what people ‘know about the world, what
they know about aspects of life, and what they know about each other’;
• the co-textual context: what people ‘know about what they have been
saying’.
Dari ketiga aspek yang diutarakan
oleh Cutting, menulis sebuah teks bisa dikatakan koheren apabila penulis tahu
cara mengkoneksikan tulisannya dengan target sasarannya. Penulis paham tentang
kajian yang akan dibahas, dan penulis juga tahu bagaimana menuangkan
kata-katanya dalam tulisan. Untuk itu, penulis membutuhkan banyak referensi
bacaan untuk memperbanyak lagi khasanah pengetahuan tentang penciptaan sebuah
tulisan, entah itu referensi dari berbagai macam buku, maupun dari
sumber-sumber seperti media elektronik dan cetak lainnya. Stephen King pun mengatakan demikian, bahwa “membaca adalah pusat yang tidak bisa dihindari oleh seorang penulis”
hal ini yang akan membuka jendela ilmu pengetahuan dalam menulis.
Berbicara tentang menulis dan
membaca, keduanya merupakan deretan utama menuju penciptaan sebagai penulis.
Tindakan keduanya adalah jalan menuju litersi, perkataan ini di-iyakan oleh Scribner and Cole (1981: 236) ‘literacy is not simply knowing how to read
and write a particular script but applying this knowledge for specific purposes
in specific contexts of use.’ Benar, bentuk litersi tidak hanya mengetahui
cara membaca dan menulis teks tertentu, tapi menerapkan pengetahuan ini untuk
tujuan tertentu dalam konteks tertentu yang digunakan. Literasi pastinya akan
membangun masyarakat yang berperadaban, ini adalah salah satu jalan kita menuju
tingkatan yang lebih tinggi lagi, menjunjung negara kita dengan dampak
literasi. Sebagai contoh negara yang terkena dampak litersi, kita bisa melihat
Jepang, Korea, Singapura, Malaysia yang sukses menjadi negara maju. Mereka
semua tahu bagaimana memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman yang mereka dapat,
dan etos kerja yang baik. Alhasil mereka mendapatkan pendapatan perkapita yang
mencukupi, ini semua karena efek dari literasi yang akar permasalahannya
ditemukan di tindakan baca-tulis. Mereka bisa menciptakan banyak intelektual
yang berkualitas, kita bisa flashback sebentar mengingat tragedi pengeboman di
Hioshima dan Nagasaki, Jepang oleh Sekutu. Apa yang mereka bangun setelah itu
semua hancur? mereka menanam bibit-bibit yang berkualitas pada generasi mudanya
dengan cara pengambilan para intelektual yang tersisa akibat tragedi pengeboman
di hampir bagian seluruh wilayah Jepang. Penanaman ini rupanya berhasil menuai
kesuksesan, mereka bisa menjadi negara maju dengan wilayah dan populasi yang
tak terlalu banyak.
Jika kita bandingkan dengan negara
kita, rupanya level kita masih belum bisa sejajar untuk menyamainya. Literasi
kita masih rendah, daya saing negara kita juga rendah. Hal ini bisa dilihat
dari 50% tenaga kerja kita lulusan SD, yang notabene-nya masih rendah dalam
baca-tulis. Kemampuan mengekspresikan pengetahuan mereka belum cukup matang,
ini yang menyebabkan negara kita masih di wilayah “degradasi”. Litersi itu adalah
lompatan teknologi, kesadaran sosial dan lompatan ekonomi. Litersi adalah hasil
ledakan besar yang diakibatkan oleh baca-tulis, ini semua berawal dari hal yang
sederhana.
Semua yang kita bicarakan di atas adalah contoh yang diciptakan oleh
literasi yang berakar dari membaca dan menulis. Kembali ke topik mengenai
menulis, bahwa menulis tak akan lepas dari yang namanya membaca. Semuanya
membutuhkan proses, dari pembaca menjadi penulis. Sebagai penulis kita
membutuhkan seorang pembaca sebagai bahan tolak ukur kemampuan kita, karena
pembaca merupakan salah satu jiwa yang singgah dalam naskah yang ditulis. Kita
bisa tahu naskah yang kita buat itu hidup apa tidak, bisa berkembang apa tidak,
karena naskah itu semua akan menjadi sebuah peti mati jika tak ada seorang
pembaca. Jadi untuk pembahasan kali ini penulis adalalah salah satu sumber
utama yang mengakibatkan perubahan pada sistem suatu negara, kita bisa mengatur
sistem itu dengan cara meng-up grade para intelektualnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic