Critical Review
Critical review ini dibuat dari artikel yang ditulis oleh A.
Chaedar Alwasilah dan article tersebut berjudul “Classroom Discourse to Foster
Religion Harmony” yang di post pada the Jakarta Post pada 22 October 2011.
Dalam article ini menjelaskan tentang kurangnya kerukunan dalam beragama yang
menyebabkan timbulnya konflik dalam pendidikan.
Dalam article ini penulis memiliki tujuan untuk menyadarkan semua orang bahwa
kerukunan umat beragama dapat dikembangkan mulai dari pendidikan dini. Menurut saya artikel ini berisikan
tentang pentingnya interaksi antar teman sebaya untuk mewujudkan kerukunan umat
beragama.
Dalam artikel ini terdapat point penting bagi kita untuk hidup dan
mewujudkan pendidikan yang lebih baik di Indonesia. Dalam artikel ini terdapat
point penting diantaranya: Pertama, berisikan masalah sosial yaitu kurangnya
kepekaan, penghormatan dan kepedulian terhadap orang lain yang berbeda agama.
Kedua, dalam artikel ini mengajarkan bahwa pentingnya interaksi antar teman
sebaya untuk mewujudkan kerukunan umat beragama. Ketiga, menjelaskan bahwa
Indonesia mengalami kegagalan dalam pendidikan. Keempat, sekolah multikultural
sebagai sarana untuk menghormati antara umat beragama, dan Kelima, dalam
artikel ini untuk mewujudkan kerukunan umat beragama diperlukan mempelajari
pendidikan liberal. Dalam artikel juga menerangkat beberapa contoh dari masalah
sosial seperti tawuran antar pelajar, bentrokan pemuda. Contoh kurangnya penghormatan antar agama yaitu bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama
besar yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan Singkawang (2010) dan Kasus bunuh
diri - pemboman gereja di Surakarta. Dalam article
ini penulis memiliki tujuan untuk menyadarkan semua orang bahwa kerukunan umat
beragama dapat dikembangkan mulai dari pendidikan dini atau di sekolah dasar karena anak-anak bisa mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara yang
sopan.
Menurut
pendapat saya Kelas adalah tempat yang berfungsi untuk belajar-mengajar di
sekolah dan tempat terjadinya interaksi antara guru dan murid. Guru sebagai
tenaga pendidik harus mengetahui
pengelolan kelas dalam pembelajaran. Menurut Marinasari
Fithry Hasibuan,S.Ag,M.Pd dalam artikelnya. “Dierktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi dan Kebudayaan membagi pengertian pengelolaan kelas ke dalam lima
defenisi yaitu pengelolaan kelas sebagai proses mengontrol tingkah laku siswa,
proses memaksimalkan kebebasan siswa mengembangkan diri, proses mengubah
tingkah laku siswa, proses penciptaan iklim soiso-emosional yang positif, dan
proses untuk bersosialisasi dalam sebuah kelompok. Kelima defenisi di atas
menunjukkan bahwa pengelolaan kelas sangat efektif di dalam membentuk
nilai-nilai karakter bangsa pada siswa seperti nilai demokrasi, toleransi,
disiplin, kreatif dan komunikatif.”
Saya akan membahas point penting yang terdapat dalam artikel A. Chaedar Alwasilah,
point tersebut yaitu : Pertama, berisikan masalah sosial yaitu kurangnya
kepekaan, penghormatan dan kepedulian terhadap orang lain yang berbeda agama.
Point ini saya ambil dari kesimpulan sebuah paragraf “Masalah sosial berulang seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan
bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit
sosial, yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang
lain dari kelompok yang berbeda” dalam paragraf ini menyebutkan masalah atau
konflik yang sering dilakukan oleh pelajar.
Menurut saya penyakit sosial dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran dari
individu itu sendiri, dan kurangnya pengetahuan tentang tujuan dasar
pendidikan, “Salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan
siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai
individu, anggota masyarakat dan warga negara. Keterampilan dasar ini juga
merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut” menurut saya inti dari tujuan
pendidikan adalah menginginkan siswanya menjadi individu yang mampu berkembang dan menjadi warga negara yang
baik.
Menurut Indah Pasmada dalam blognya, Tujuan pendidikan adalah khas atau khusus, yaitu
meningkatkan pengetahuan seseorang mengenai suatu hal sehingga ia menguasainya.
Tujuan pendidikan akan tercapai jika prosesnya komunikatif. Pada umumnya
pendidikan berlangsung secara berencana di dalam kelas secara tatap muka (face
to face). Karena kelompoknya relatif kecil. Meskipun komunikasi antara pelajar
dan pengajar dalam ruang kelas itu termasuk komunikasi kelompok, sang pelajar
sewaktu-waktu bisa mengubahnya menjadi komunikasi antarpersona. Terjadilah
komunikasi dua arah atau dialog di mana si pelajar menjadi komunikan dan
komunikator, demikian pula sang pengajar.
Menurut artikel yang ditulis oleh Kamanto Sunarto. Salah satu alternatif dalam meminimalkan konflik akibat keragaman adalah
melalui pendidikan multikultural. Bank (2001) menyatakan pendidikan
multikultural adalah rangkaian kepercayaan dan penjelasan yang mengakui dan
menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam bentuk gaya hidup,
pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu,
kelompok maupun negara. Dengan pendidikan multikultural diharapkan adanya
kesadaran bagi setiap individu untuk memahami dan menghargai perbedaan,
mengurangi prasangka serta mementingkan kehidupan bersama yang adil.
Tanpa adanya sikap toleransi dan
pengakuan terhadap keragaman membuat keragaman dalam penyelenggaraan pendidikan
di sekolah acapkali menjadi penyebabnya tidak harmonisnya komunikasi antar
komponen dalam lingkup sekolah. Misalnya konflik antar anak didik, guru dengan
anak didik, ataupun kepala sekolah dengan guru. Jika demikian proses pendidikan
dan pembelajaran di sekolah akan terhambat dan jauh dari tujuan pendidikan yang
diharapkan.
Kedua,
dalam artikel ini mengajarkan bahwa pentingnya interaksi antar teman sebaya
untuk mewujudkan kerukunan umat beragama. Saya setuju dengan perkataan pa Chaedar “Dalam konteks sekolah, itu
adalah hubungan di mana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya
sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah
komponen penting dalam teori pembangunan sosial ( Rubin, 2009)”
karena interaksi dengan teman sebaya lebih mudah dijalin dari pada teman yang
lebih tua dari kita atau teman yang lebih mudah dari kita, dan untuk mewujudkan
kerukunan antar agama kita bisa menjalin melalui cara berinteraksi dengan teman
yang berbeda agama dan menghormati satu sama lain.
Interaksi dengan teman
sebaya dapat meningkatkan kemampuan berhubungan
atau berkomunikasi antar individu dengan orang yang berbeda agama. Dalam hal
ini sekolah harus bisa memfasilitasi atau membantu terbentuknya interaksi teman
atau rekan sebaya karena “siswa berasal dari latar belakang etnis, budaya,
agama, sosial, dan pola pikir mereka yang terbetuk oleh latar belakang mereka”
saya setuju dengan kalimat yang saya kutip dari artikel pa Chaedar
karena menurut saya sekolah adalah tempat bertemunya siswa dari berbagai
budaya, sosial, agama yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menuntut ilmu
pengetahuan. Jadi sekolah harus bisa mendukung dan memfasilitasi atau
mengembangkan kemampuan berkomunikasi siswa antar beragama.
Di
sekolah pun “siswa harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif
dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam dan bergiliran di
berbicara. Mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide
yang relevan dengan topik diskusi. Siswa
juga harus dilatih mendengarkan penuh
perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan,
menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara
yang hormat. Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran
sekolah.” Ini adalah cara untuk mengembangkan komunikasi atar agama di tingkat
sekolah. Keberhasilah komunikasi ini turut serta peranan guru yang mengawasi
sesuai dengan perkataan pa Chaedar “Pada sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa untuk hampir
sepanjang hari. Haruskah mereka tahu bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi
teman sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan wacana sipil positif
sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.” Mempelajari Pendidikan
kewarganegaraan adalah pendidikan yang tepat untuk menumbuhkan rasa kepedulian
manusia antar beragama.
“Pada menyelesaikan
pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga
hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya,
ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat
menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu.”
Maksud dari paragraf ini individu yang mampu menjaga hubungan atau komunikasi dengan
baik dapat menguntungkan individu tersebut, tetapi jika individu tersebut tidak
bisa berhubungan atau berkomunikasi dengan baik antar berbeda agama dapat
menimbulkan konflik sosial antar beragama.
“Bukti kejadian
tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi
di daerah Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan Singkawang (2010)
menyebutkan hanya beberapa. Tanpa langkah yang tepat yang diambil, konflik
seperti itu akan terulang kembali. Bentuk-bentuk radikalismetelah mengganggu
kohesi sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara
kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kasus bunuh diri-pemboman gereja di
Surakarta bulan lalu, misalnya, mungkin menyebabkan dendam dan serangan serupa
terhadap masjid. Dan ini bisa meningkat menjadi ketidakharmonisan agama besar.”
Contoh dari ketidak mampuan berhubungan dengan baik antar beragama dapat
menimbulkan perpecahan yang dapat terjadinya perselisihan antar kelompok
beragama.
“Sebuah laporan
penelitian oleh Apriliaswati ( 2011 ) menyimpulkan bahwa interaksi teman
sebaya dalam dukungan kelas wacana sipil yang positif di kalangan siswa. Interaksi
rekan dalam studi sosial, kelas Indonesia dan Pancasila tidak perilaku
mengganggu jika guru mengelola secara efektif. Menjadi berisik tidak selalu
negatif. Ini bisa menjadi bukti interaksi interaktif dan mencerahkan.” Saya
setuju dengan kelas berisik tidak selalu negatif karena kelas yang ribut
menandakan keaktifan para siswa dalam mengikuti materi pembelajaran yang
diberikan guru. Guru yang mampu mengubah kelas menjadi aktif adalah guru yang
berhasil mewujudkan wacana sipil yang positif.
Jadi tugas guru adalah melatih anak atau murid menjadi siswa yang aktif dan
mampu berinteraksi dengan teman sebayanya.
“Oleh karena itu,
disarankan agar mempromosikan interaksi sebaya harus dilaksanakan sebagai salah
satu kegiatan rutin kelas. Siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi
dengan satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan
penuh perhatian, berdebat hormat dan suara mengorbankan untuk mempersiapkan
mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang
demokratis.” Saya setuju dengan kalimat yang saya kutip karena untuk
menciptakan masyarakat yang demokratis dapat dimulai dari mendidik siswa yang
secara aktif dan mampu mengekspresikan pendapat dengan cara yang sopan dan baik
sehingga tidak menyinggung pendapat dari orang lain. Untuk menjadikan siswa
yang aktif dapat dilatih dengan berinteraksi dengan satu sama lain melalui
tugas kelompok dan berdebat secara hormat.
“Data dari studi Ariliaswati
diperoleh dalam penelitian tindakan tiga siklus kelas yang dilakukan dengan kelas
empat dari 43 siswa di sebuah sekolah dasar di Pontianak, kota di mana
bentrokan antaretnis telah terjadi cukup sering. Studi ini membuktikan bahwa
sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil.”
Saya setuju karena kita tahu bahwa negara indonesia yang keras dan sering
terjadi bentrokan antaretnis. Sehingga sekolah harus bisa berfungsi sebagai
laboratorium untk latihan masyarakat karena sekolah sebagai tempat berlatih
kehidupan sosial yang keras.
Colombijn dan Lindblad (2002) menyebut Indonesia sebagai “negara kekerasan;” yang berdasarkan
pada observasinya, “Indonesia benar-benar telah mengalami tingkat kekerasan
yang parah akhir-akhir ini.” Pemberian hak otonomi pada kotamadya atau
kabupaten semenjak tahun 2000 juga menjadi sumber perpecahan horizontal. Dan
pengembangan daerah pemerintahan baru semakin menebalkan rasa primordialisme
masyarakat akan daerah atau propinsinya yang pada akhirnya akan
melemahkan integrasi bangsa dan negara Indonesia.
“Sebagai siswa SD,
anak-anak yang belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen
mereka tapi bisa mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara
yang sopan. Selain itu, para siswa tampak percaya satu sama lain, sehingga
kompromi dan konsensus dapat dicapai dengan cara sipil.” Saya setuju karena
untuk membentuk siswa yang aktif yang mampu memberikan alasan dari informasi
dan memberikan argumen. Siswa harus dilatih mulai dari sekolah dasar, dengan
cara melatih kemampuan berekspresi siswa dalam menentukan kesepakatan dan tidak
kesepakatan. Supaya ketika siswa tersebut menempuh pendidikan menempuh
pendidikan yang lebih tinggi dia menjadi orang yang aktif yang mampu memberikan
informasi dan argumennya.
“Studi Aprilliaswati
mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya
penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil positif. Penalaran ilmiah sangat
diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana
sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab.” Saya setuju
karena warga intelektual yang berarti warga yang memiliki pengetahuan tinggi
membutuhkan penalaran atau pemikiran ilmiah yang dapat membantu menambah
pengetahuan seseorang. Sedangkan warga negara yang beradab memliki arti warga
negara yang paham dengan aturan beragama dan dapat menciptakan kerukunan umat
berbeda agama.
Ketiga,
menjelaskan bahwa Indonesia mengalami kegagalan dalam pendidikan seperti yang
dikatakan oleh pa Chaedar yaitu “Pendidikan kita saat ini
gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian
besar politisi dan birokrat telah datang ke kekuasaan karena pendidikan yang mereka
telah diperoleh. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi
tersebut” jadi wacana sipil terdiri dari politisi dan birokrat yang berkaitan
degan pendidikan, dan dalam artikel pa Chaedar terdapat contoh kegagalan
pendidikan dalam politisi dan birokrat yaitu “insiden memalukan pada tahun 2010,
ketika anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan
dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh negeri. Alih-alih mendidik
anak-anak sekolah, politisi ini telah menetapkan contoh yang sangat miskin
bagaimana berperilaku. Untuk mengulang, kejadian ini menunjukkan bahwa
pendidikan politik belum berbuat cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam
wacana sipil.” Ini sangat membuktikan kegagalan pendidikan di Indonesia yang
didasari kurangnya rasa penghormatan antar beragama.
“Ketika politisi dan
birokrat gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus dikembalikan dan
diberdayakan untuk berfungsi secara maksimal. Guru SD harus memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu, interaksi
dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok
sosial yang berbeda.” Menurut saya kenapa sekolah dasar dan guru SD menjadi
sarana untuk memperbaiki fungsi pendidikan, karena siswa di sekolah dasar masih
bisa diatur untuk diberikan pembelajaran yang bermakna. Dan guru SD harus bisa
mengarahkan pada siswa, berinteraksi dan
sikap menghargai pendapat dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan
tingkat sosial yang berbeda.
Keempat,
sekolah multikultural sebagai sarana untuk menghormati antara umat beragama, “Idealnya kebijakan harus ditegakkan dimana sekolah yang dikelola oleh guru
dan tenaga yang berbeda agama, etnis dan dari kelompok - kelompok sosial yang
berbeda. Kampus ini juga harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua
agama. Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan
ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah
multikultural.” Sekolah multikultural sendiri berarti sekolah yang menghargai
semua perbedaan beragama, berbeda etnis dan budaya. Pada 2004, diberlakukan
bentuk kurikulum baru, yakni “Kurikulum Berbasis Kompetensi” yang menggunakan
“pendidikan multikultural dan multilingual (beragam bahasa)” sebagai prinsip
dalam pengembangan kurikulum dan yang mengandung rancangan materi yang di
dalamnya mengandung unsur “multikultural” dan “masyarakat multikultural.” Dan
yang menjadi dasar multikultural bagi masyarakat Indonesia yaitu karena jumlah
populasi sekira 226 juta di dalamnya terdapat 300 kelompok etnis dan bahasa
yang berbeda menjadikan Indonesia sebagai masyarakat multikultural dan “negara
kepulauan terbesar di dunia.” Dari jumlah tersebut, terdapat 14 kelompok etnis
utama dan 4 agama dunia. Keragaman itu juga muncul dalam hal masyarakat
pedesaan tradisional, masyarakat pantai dan suku berdampingan dengan masyarakat
metropolis yang juga terdiri dari orang-orang berorientasi pada kebudayaan
modern atau pos-modern. Perpindahan penduduk, perdagangan dan pariwisata
internasional, pertukaran kebudayaan dengan kelompok etnis dan agama lain, dan
lain- lain.
Saifudin (2002) dalam kajiannya memberikan alasan lain yang menjadi halangan
penerapan pendidikan multikultural di Indonesia, diantanya: siswa yang bekerja
paruh waktu, guru yang punya pekerjaan sambilan, metode pengajaran satu arah
yang menekankan pada pengingatan, dan birokrasi sekolah yang berorientasi pada
materi dan bantuan keuangan dari badan proyek pengembangan sekolah.
Sejalan dengan penyampaian Ki Hajar
Dewantara (dalam Yamin, 2009) bahwa pendidikan yang menghargai perbedaan dan
keberbedaan budaya disetiap lokalitas tertentu merupakan pendidikan yang sejati
dan sesungguhnya. Sehingga perlu ditingkatkan
secara progresif di seluruh lembaga penyelenggara pendidikan dan satuan
pendidikan di Indonesia.
Pendidikan
multikultural akan membantu generasi muda, dalam hal ini anak didik untuk
mengerti, menerima, menghargai dan melestarikan kebudayaannya sendiri dalam
menghadapi tantangan persaingan globalisasi. Serta untuk membantu anak didik
agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam
berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dari kelompok beragam. Dengan demikian
akan tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan
bersama.
Pemahaman
selama ini pendidikan multikultural adalah pembelajaran tentang kebudayaan yang
hanya diajarkan oleh guru bidang studi tertentu dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Misal seni dan budaya, pendidikan kewarganegaraan, atau
ilmu sosial. Padahal pendidikan multikultural bukan pendidikan monolitik yang
terkait dengan satu bidang. Sependapat dengan James A. Banks (2002 :
14), bahwa pendidikan multikultural adalah cara memandang realitas dan cara
berpikir, dan bukan hanya konten tentang beragam kelompok etnis, ras, dan
budaya.
Kelima,
dalam artikel ini untuk mewujudkan kerukunan umat beragama diperlukan
mempelajari pendidikan liberal. Dalam konteks Indonesia,
pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa
dan budaya. Terlepas dari karir mereka-politisi, insinyur, petani, atau
pengusaha - siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah.
“Dengan demikian
didefinisikan, pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun
dan provinsi terhadap orang lain. Pada dasarnya, itu penempaan insan kamil,
yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap
pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis.” Menurut saya
pendidikan liberal sangat penting untuk mewujudkan kerukunan beragama karena
pendidikan liberal mempelajari pengetahuan sosial yang mencakup semua pengetahuan
yang ada dan pendidikan liberal menghargai dan tidak membeda-bedakan perbedaan
agama dalam mencari ilmu pengetahuan, dan dalam pendidikan liberal tidak
membedakan etnis, budaya dan latar belakang sosial siswanya.
Filsuf Amerika
pendidikan, Emerson (1837) pernah berkata, “Seorang pria harus menjadi
seorang pria sebelum ia bisa jadi petani yang baik, pedagang, atau insinyur.” Dia
menunjukkan pentingnya pendidikan liberal untuk membuat pria sejati atau
lengkap. Pria sejati memiliki pengetahuan untuk menghindari pemahaman provinsi.
Ini berarti sangat pentingnya pendidikan liberal bagi semua orang tidak
membedakan ia seorang petani atau insinyur atau profesi yang lainnya dan sangat
dibutuhkannya pengetahuan untuk hidup manusia.
Kesimpulan : Untuk menghidupkan atau mewujudkan Wacana kelas untuk mendorong kerukunan
beragama kita harus menguasai cara berkomunikasi antar teman sebaya yang
berbeda agama dengan kita, menghargai kesepakatan dan tidak kesepakatan dalam
memutuskan pendapat di dalam kelas yang siswanya berbeda-beda agama, mengetahui
tujuan pendidikan liberal dan mengetahui bahwa pendidikan multikultural adalah cara memandang realitas dan cara
berpikir, dan bukan hanya konten tentang beragam kelompok etnis, ras, dan
budaya. Sehingga
siswa menjadi tahu realita kehidupan dan mengetahui tata cara berkomunikasi
dengan orang yang berbeda agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic