We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

Critical Review

Target Menuju Negara Maju

    Berkembangnya suatu bangsa adalah dimana kita mengetahui tentang segala kemajuan yang ada, serta literasi yang tinggi akan memumpuni semua itu dapat tercapai dengan sempurna.  Namun, Berbicara tentang suatu pengetahuan akan lebih relevan mari kita menengok kembali tentang kualitas pendidikan bangsa ini.  Kualitas pendidikan yang terkadang menimbulkan suatu perpecahan di antara kalangan siswa atau mahasiswa ini perlu di kembalikan lagi terhadap kualitas pendidikan yang semakin menurun.  Mengapa kualitas pendidikan bangsa ini tidak dapat berjalan sama dengan negara-negara maju di luar sana? Ini adalah suatu pertanyaan besar yang amat mudah untuk di jawab.  Kurangnya kekompakkan antar siswa dalam mengadakan kelompok belajar.
    Ya, benar sekali.  Di atas adalah salah satu faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan kita tidak dapat berjalan sama dengan negara-negara maju di luar sana. Lingkungan pendidikan seharusnya dapat mengembangkan bakat dan kemampuan siswa agar dapat mengetahui letak kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.  Ketika suatu pendidikan mengajarkan tentang arti kekompakkan dalam kelompok, seorang siswa pun akan dapat mengerti arti kekompakan yang dihidupkan.  Menghidupkan kekompakkan dalam suatu pendidikan juga dapat meningkatkan kualitas suatu bangsa karena dalam suatu kelompok kita akan belajar untuk berbagi dengan temanya.  Dimana hal tersebut akan menimbulkan dampak positif yang amat besar manfaatnya untuk bangsa tercinta ini.  Dimulai berbagi dengan kelompok,  seorang siswa yang indivdualismenya tinggi akan di paksakan untuk berbagi ilmu pengetahuan dengan teman-temanya karena dengan sendirinya akan menyatu dan lebur menjadi satu.  Dari situlah suatu kekompakan belajar akan di wujudkan.
    Awalnya, memang amat sulit untuk dapat terwujud dan menghidupkan kekompakan yang di harapkan.  Namun, dengan keprofesionalisan guru akan berpengaruh besar kepada anak didiknya.  Ketika seorang guru memperhatikan perkembangan muridnya berarti guru tersebut dapat menjadi seorang guru yang profesional.  Jadi, seorang guru di tuntut untuk memperhatikan perkembangan siswa-siswanya dalam hal apapun yang ada di dalam suatu pendidikan agar dapat terwujud dan tercapai sebuah tujuan literasi suatu pendidikan.   Di dalam mewujudkan suatu kekompakkan belajar, murid pun akan mencoba untuk berkomunikasi dengan baik dengan teman sebayanya,  artinya adalah siswa akan lebih bisa berbicara dan berbagi serta berdiskusi dengan temanya walaupun dengan keadaan siswa tersebut tidak pernah berkomentar tentang apa-apa ketika pembelajaran sedang berlangsung.  Namun, dengan melihat teman lain mengutarakan suatu pendapatnya, dalam diri siswa tersebut akan muncul suatu keberanian tersendiri atau siswa tersebut mendapatkan motivasi yang besar yang dapat membangkitkan semangatnya.  Memang, hal tersebut memang terasa tidak penting, namun dengan melihat literasi yang ada pada diri siswa-siswa sekarang litersinya itu sangant rendah.  Maka dari itu hal tersebut harus lebih di kembangkan dalam aktifitas siswa di sekolah. 
    Selain hal-hal di atas banyak sekali upaya-upaya yang harus di lakukan dalam mewujudkan kekompakkan antar siswa.  Menjaga keharmonisan antar kelas satu dengan kelas  yang lain pun akan membantu mewujudkan suatu kekompakkan yang berarti.  Sebagai contoh, ketika sekolah mengadakan upacara bendera pada hari senin, seharusnya bukan hanya kelas A saja yang menjadi anggotanya namun guru memilih kelas lain untuk berbagi tugas.  Sehingga siswa kelas A,B,C, dan D mempunyai tugas masing-masing dan jika sebelum pra upacara di lakukan terlebih dahulu akan di adakan latihan dan dalam latihan tersebut siswa dari kelas A,B,C dan D akan saling bekerja sama untuk mengompakkan jalanya upacara dengan smpurna.  Selain mengompakkan antar kelas seorang guru pun harus bisa menyatukan antar satu sekolah dengan sekolah yang lain agar tidak ada lagi yang namanya bentrokan, tawuran, konflik dan lain sebagainya.  Hal-hal tersebut agar tercapainya suatu pendidikan yang tujuanya yaitu untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagi warga negara.
    Masalah sosial yang kerap kali terjadi di kalangan siswa tentunya sangat meresahkan masyarakat, selain masyarakat yang semakin resah dengan hal demikian kualitas suatu bangsa pun dapat menurun, Karena masalah sosial yang berulang seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain radikalisme di seluruh Indonesia ini adalah indikasi dari kelompok sosial yang semata-mata kurangnya kepekaan dan interaksi serta rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda.  Konflik sosial dan ketidakharmonisan antar siswa memang ini merupakan tantangan sebagai pendidik dalam melakukan hal yang lebih baik lagi dan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang sebagai siswa yang baik dan dapat berinteraksi dengan yang lain.  Seperti data dari studi Ariliaswati di peroleh dalam penilitian tindakan tiga siklus yang di lakukan dengan kelas empat dari 43 siswa di sebuah sekolah dasar di pontianak, kota di mana bentrokan antar etnis telah terjadi cukup sering.  Studi ini membuktikan bahwa sekolah berfungsi sebagai laboratorium sebagai latihan menjadi masyarakat yang peka terhadap budaya, ras dan etnis yang lain. 
    Era perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  yang  sangat  pesat  dan persaingan  yang  sangat  ketat  menuntut  manusia  untuk mampu  terus-menerus belajar menguasai berbagai ilmu dan teknologi secara cepat. Jika tidak demikian maka  seseorang  akan  tertinggal  dan  kalah  dalam  kompetisi  di  berbagai  bidang.  Ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  dapat  dipelajari  manusia  dengan  penggunaan penguasaan  literasi  (keaksaraan  dan  kewicaraan)  yang  memadai.  Sebaliknya, kemampuan  literasi  yang  tinggi  dapat  pula  mendorong perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah tingkatan yang lebih tinggi lagi.    Perkembangan  teknologi  informasi,  komunikasi,  dan transformasi menyebabkan interaksi manusia  yang berasal dari berbagai belahan dunia  dengan  latar  belakang  sosio-kultural  yang  beragam semakin  tinggi
    Dalam konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).  Ini menunjukan bahwa betapa pentingnya suatu pendidikan.  Karena pendidikan adalah proses dimana seseorang siswa dapat berinteraksi dengan siswa yang lain bahkan dengan sekolah lain pun siswa harus dapat menjalin interaksi dengan baik.  Sehingga akan muncul suatu keperdulian dan terjalin keharmonisan antar siswa sehingga tidak akan ada lagi yang namanya bentrokan, tawuran dan lain sebagainya. 
    Dalam pendidikan pasalnya guru yang baik adalah guru yang dapat mengelola kelas secara efektif, mendorong siswa dalam segala hal sewaktu berada di dalam kelas.  Serta dapat mengompakkan siswa dalam segala hal sewaktu berada dalam kelas maupun di luar kelas, karena sesungguhnya dalam pengaturan multikultural siswa berasal dari latar belakang etnis, agama, sosial dan budaya yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka.  Dengan hal demikian sekolah harus memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil yang positif.  Yang telah di jelaskan dalam teks classroom bahwa indikator wacana sipil termasuk mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat.   Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran sekolah. 
    Banyak sekali yang berpendapat bahwa kesuksesan kita terjalin dari interaksi yang kita lakukan dengan sesama.  Namun, tingginya pendidikan seseorang pun tidak berbanding lurus dengan tingginya kualitas bahasanya.  Fenomena “cerdas minus bahasa beradab” ini sangat terkait dengan karakter ada sejumlah hipotesis.
    Pertama, pendidikan ditempuh dengan mediasi bahasa, yakni sebagai bahasa yang digunakan oleh guru, dipakai dalam buku ajar, di pakai (maha)siswa untuk berpikir, menulis, dan berinteraksi.  Namun, terbukti banyak ilmuwan, birokrat, atau politisi yang kurang beradab.  Artinya dalam konteks ini bahasa hanyalah sebagai alat untuk membangun nalar saja, tidak serta merta membangun karakter.
    Kedua, ada perbedaan antara pendidikan nalar dan pendidikan karakter.  Pendidikan di negeri ini telah berhasil membangun nalar cerdas, tetapi telah gagal membangun karakter terpuji. sejumlah penyakit sosial yang kita saksikan selama ini antara lain: lemahnya nasionalisme, hilangnya empati terhadap perbedaan, dan merebaknya budaya ingin cepat kaya, dan hilangnya budaya malu.  Ini bukti gagalnya pendidikan karakter.
    Sesuai UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan Dosen, ada empat kompetensi yang mesti dimiliki seorang pendidik profesional, yakni kompetensi pendagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.  Kompetensi ini diharapkan cukup sebagai bekal komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. 
    Ketiga, program studi linguistik dan sastra di PT menyiapkan tenaga-tenaga profesional dalam bidang itu.  Dalam wacana studi kesastraan ada enam sosok lulusan studi sastra yang lazim disebut, yaitu: (1) kritikus sastra, (2) sarjana sastra, (3) sastrawan pegiat sastra, (4)pembaca apresiasi, (5) kewarganegaraan yang humanis, dan (6) penggunaan bahasa piawi
    Pendidikan nasional kita sekarang ini di tandai oleh terputusnya budaya lokal dan tradisional sehinngga tidak berhasil menyiapkan anak bangsa untuk hidup kreatif dalam lingkungan Indonesia yang multikultural.  Ketika pak Chaedar mengajukan konsep etnopedagogi sebagai pendekatan terhadap pendidikan nasional yang menempatkan guru sebagai kelompok praktisi etnapedagogi.  Etnapedagogi adalah pendidikan berbasis kearifan lokal termasuk bahasa daerah yang sebetulnya ada dalam setiap suku bangsa.  Kearifan lokal merupakan potensi lokal yang mesti diberi tafsir baru agar fleksibel untuk menghadapi tantangan zaman.  Pendidikan diniati untuk untuk memanusiakan manusia, dalam arti meningkatkan kualitas hidup dan martabat bangsa.  Kajian tentang perbandingan kebudayaan di ketahui adanya beberapa sikap yang belum sesuai atau malah menjadi antitesis terhadap ciri-ciri bangsa modern.  Artinya pendidikan dengan pendekatan etnopedagogis mesti mencerdaskan bangsa untuk melakukan koreksi diri dan pembenahan potensi lokal demi perbaikan kualitas hidup masyarakat kita sebagai bagian dari masyarakat dunia. 
    Pendidikan nasional juga gagal membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan untuk hidup bermakana dan harmonis dalam ruang lingkup Indonesia multikultural.  Keberagaman perlu dijaga sebagai kearifan lokal, dan pendidikan nasional harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan hidup dalam keragaman.  Kearifan lokal juga dipandang sebagai modal kultural dengan karakteristik sebagai berikut: (1) berdasarkan pengalaman, (2) di uji coba bertahun-tahun, (3) di adaptasikan dengan budaya moden, (4) melekat dalam kehidupan pribadi orang-orang dan institusi (5) dipraktekan oleh individu dan kelompok, (6) dinamis, dan (7) erat kaitanya dengan sistem kepercayaan.  Berdasarkan kearifan lokal, entipedagogi menawarkan solusi untuk menghadapi masalah yang dihadapi oleh bangsa.  Dengan mengenali sebuah ciri budaya lintas bangsa, kita berupaya mengetahui, mensosialisasikan, dan memaknai kembali kearifan lokal demi kepentingan suatu bangsa. 
    “Imagination is more important than knowledge”, kata Einstein.  Jadi, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menjadikan siswa imajinatif dan kreatif, bukan sekadar menjajalkan pengetahuan.  Kreatifitas memerlukan suatu pendidikan yang berkualitas tinggi, pendidikan yang kritis dan kreatif, kurikulum pembelajaran yang tepat, dan baan ajar yang merangsang siswa untuk berpikir bebas.  Karya sastra adalah buah kreativitasnya, menurut budi darma” akan mampu menjadikan ‘a drop of ink makes million think’ ini di tentukan oleh kerja sama antara masyarakat, tuntutan zaman, serta sastrawan sendiri.”  (2005: 49). Hanya pendidikan bahasa yang baiklah yang bakal mengasilkan anak bangsa yang mampu menulis secara kritis dan kreatif. 
    Tuntutan zaman sekarang ini adalah bertahan hidup melawan globalisasi, yang dicirikan antara lain oleh dominasi media massa, komunikasi dan rekreasi, dan dominasi bahasa dunia, terutama bahasa inggris yang kini didukung bukan hanya oleh negara asal bahasa inggris (sekitar 400 juta orang), melainkan oleh kualitas dunia (sekitar 150 juta sehingga 1.5 miliar), dan terutama oleh A.S ada tiga pilar utama globalisasi atau tamadun barat, yaitu: (1) demokrasi liberal, (2) pasar bebas, (3) ilmu pengetahuan serta ilmu serta tekhnologi.  Ketiga unsur tersebut dihadapi secara cerdas oleh bangsa Indonesia.  Sesungguhnya banyak orang yang tidak menyadari bahwa sesungguhnya anglocentricity dan ELT profesionalism mendukung imprealisme bahasa dan memperkokoh dominasi wacana (Alwasilah: 2004). 
    Di Amerika serikat pendidikan bahasa bukanlah isu besar seperti dinegara berkembang.  Persoalan pendidikan di Amerika Serikat adalah urusan negara bagian, bukan negara federal, sehingga tidak ada politik pendidikan dan politik bahasa yang komprehensif di tingkat nasional seperti negara berkembang.  Pendidikan bahasa di Amerika sangat terkait dengan adanya kaum imigran yang berbahasa selain bahasa Inggris.  Amerika serikat mempertahankan trasidisi demokratis demi kepentingan nasional.  Isu-isu pendidikan bahasadi Amerika Serikat antara lain: perubahan penduduk (dengan bahasanya)  pendidikan dwibahasa (masa transisi sebelum kaum minoritas menguasai bahasa Inggris),  gerakan English Only, English plus (pentingnya penguasaan bahasa Inggris bagi semua warga negara), bahasa yang terancam punah (khususnya suku asli Amerika), perundang-undangan bahasa, hak-hak bangsa, bahasa Inggris resmi, dll.
    Di dalam suatu pendidikan karakter gerakan pendidikan sering berstandar pada diagnosis penyakit moral masyarakat terutama dikalangan generasi muda.  Dalam konteks Amerika misalnya ditemukan penyakit seperti bunuh diri, pembunuhan, hubungan pranikah , kelahiran bayi di luar ikatan pernikahan, pemakaian, pemakaian obat-obatan terlarang, dan semakin menurunya semangat belajar. Gerakan pendidikan karakter digelar untuk membangun kembali peran guru sebagai pendidik, instruktur, dan suri tauladan normal.  Sekolah adalah kualitas moral bukan sekadar personel pendidikan.  Pendidikan moral menghendaki gerakan kolektif dari sekolah/kampus sebagai “komunitas moral” yang secara sistematik gawe bareng  dengan masyarakat, keluarga dan lembaga-lembaga keagamaan.  Guru apapun bidang studinya adalah pendidik, pengajar, dan suri tauladan yang langsung berhadapan dengan siswa. 
    Tidaklah adil apabila pendidikan karakter hanya menjadi tanggung jawab guru atau dosen agama dan kewarganegaraanya saja.  Pendidikan moral harus dilakukan dengan menempuh pendekatan “lintas kurikulum”.  Artinya semua guru bertugas sebagai pendidik, pengajar dan suri tauladan atau Uswatun hasanah melalui akhlak mulia.  Karakter dipandu oleh ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan (human values) yang oleh Chiber (2006) dikelompokkan menjadi lima, yaitu truth (keberanian), love (kasih sayang), peace (perdamaian) right conduct (perilaku yang benar), dan non-violence (anti kekerasan).  Pemerolehan ilmu pengetahuan lewat nalar seyogyanya diimbangi dengan penanaman nilai-nilai kemanusiaan melalui hati.  Nilai-nilai tersebut dapat di pelajari sebagi objek studi, dicintai sebagai apresiasi,dan dipraktekan sebagai aksi.
    Pada bangsa kita ini bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan bangsa maju, menurut Mahbubani, dalm bukunya, Can Asians Think? Bangsa Asia harus memiliki tiga perangkat lunak kejayaan atau software of success, yaitu: merotokrasi, kedamaian dan kejujuran (mahbubani: 2004: 412-2).  Hanya dengan pendidikan yang berkualitas baik, kita akan mampu menghilangkan delapan sikap negatif dan menanamkan sikap positif.  Pertanyaanya: apakah sistem pendidikan orang sunda, atau pendidikan dijawa barat, sudah cukup berkualitas untuk mendorong orang sunda melaksanakan tiga prinsip yang disebut oleh mahbubani: meritokrasi, kedamaian, dan kejujuran itu, dan terhindar dari lima sikap negatif yang disebut soewardi dan disebut kontjaraningrat diatas? sebagai bagian dari Indonesia, semua provinsi mesti menerapkan sistem pendidikan nasional, tapi setiap provinsi dan kabupaten kini memiliki otonomi untuk mengelola pendidikan.  Kesulitanya adalah mengimplementasikan otonomi daerah secara cerdas.  Dalam banyak kasus, pemerintah belum memiliki SDM yang tangguh untuk mengelola pendidikan, sekalipun dana pendidikan tersedia. 
    Dalam interaksiya dengan etnis-etnis lain yang membentuk masyarakat Indonesia, masyarakat Sunda kini mengalami perubahan fundamental yang tidak mustahil akan mengubah sifat-sifat dasar manusia Sunda.  Ajip Rosidi (2009) menyebut dua hal penting yang menyebabkan perubahan itu:
1)    Pendidikan dan keluarga Sunda di kota-kota besar tidak memberikan banyak kesempatan kepada generasi muda Sunda untuk menyerap nilai-nilai kesundaan,
2)    Porsi jam pelajaran dan kualitas pembelajaran bahasa Sunda dan kesenian Sunda di sekolah-sekolah formal semakin menurun.
    Kedua hal tersebut mengakibatkan minimnya kesempatan generasi muda untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh imajiner dan tokoh-tokoh sejarah.  Dalam manusia Sunda (2009) Ajip Rosidi menyebut tokoh-tokoh imajiner dan tokoh-tokoh sejarah seperti sangkurian, si Kabayan, Mundinglaya Di Kusumah, dan Purbasari Ayu Wangi dari khazanah sastra lama; Raden Yogaswari, Dewi Pramanik, Ratna Suminar, dan Karnadi dari khazanah sastra baru, dan Dipati Ukur, Ki Tapa, Pangeran kornel, Haji Hasan Mustapadan Dewi Sartika dari panggung sejarah.  Ajip menekankan pentingnya pengenalan tokoh-tokoh sunda melalui pelajaran sejarah dan apresiasi budaya Sunda melalui melalui pelajaran sastra dan apresiasi budaya sunda melalui pelajaran sastra dan Sunda.  Diharapkan para siswa akan memperoleh pelajaran hidup, mewarisi sifat-sifat yang terpuji, dan bangga dengan suatu kebudayaan, dan ingin menjadi orang indonesia yang berjasa.  Dalam pandangan Ajib, pendidikan dijawa Barat seyogyangya menanamkan di dalam diri generasu muda kebanggaan dan rasa ingin tahuihwal tokoh-tokoh Sunda Adiluhung.  Ajip pun percaya bahwa kesadaran dan kebanggaan terhadap budaya seperti kesenian dan kearifan lokal akan mengokohkan rasa percaya diri sebagai bangsa.  Kedua pendekatan tersebut pendekatan ketokohan dan pendekatan nilai-nilai kepribumian terabaikan dalam sistem pendidikan lokal maupun nasional.  Kekeliruan ini menyebabkan banyak tokoh Sunda Hampa budaya.  “jangankan jauh-jauh tinggal dijakarta atau diluar negeri, mereka yang tinggal dibandung saja perhatianya terhadap budaya Sunda ini sangat kurang. “ Kurnia (2008: 51). 
    Modernisasi  seyogyanya tidak meminggirkan aspek ketokohan dan kearifan lokal tanpa kedua hal ini, modernisme berarti bunuh diri.  Jauh sebelum merdeka, Alisjahbana mengimbau bangsa Indonesia yang megambil roh barat dan meninggalkan segala sesuatu yang berbau tradisi, dan secara khusus dia menyebut pantun dan syair melayu sebagai seni kaum-kaum ibu untuk pelengah-lengahkan hati bersama, apabila pekerjaan sehari-hari telah selesai, tetapi mata belum mengantuk”.  Sedangkan iramanya disebutnya sebagai “terlayang-layang antara kantuk dan kuap” (Rosidi, 1987 : 38).
    Jadi, Pendidikan merupakan kunci untuk modernisasi masyarakat.  Pendidikan menanamkan sikap, nilai dan pandangan kritis dalam diri (maha)siswa.  Pendidikan juga media sosialisasi nilai-nilai.  Guru dan dosen merupakan pegiat pembentuan belajar, yaitu ujung tombak suatu pendidikan bahasa yang mengontrol kreativitas bahasa anak didik, dan memfungsikan bahasa nasional sebagai bahasa cendekia (bahasa sains dan tekhnologi) dan mencendekiakan anak bangsa.  Semua kegiatan pendidikan (baca: belajar dan mengajar) difasilitasi oleh bahasa yang mesti dipahami oleh anak didik.  Pendidikan bahasa atau acquisition planning merupakan bagian pembentukan bangsa. Sehingga siswa akan menjadi orang yang literasinya tinggi dan Jika seseorang sudah menguasai satu tahapan literasi maka ia memiliki pijakan  untuk  naik  ke  tingkatan  literasi  berikutnya.  Wells  (1987)  menyebutkan bahwa  terdapat  empat  tingkatan  literasi,  yaitu:  performative,  functional, informational,  dan  epistemic.  Orang yang tingkat literasinya berada pada tingkat performatif,  ia  mampu  membaca  dan  menulis,  serta  berbicara  dengan  simbol-simbol yang digunakan (bahasa). Pada tingkat  functional  orang diharapkan dapat menggunakan  bahasa  untuk  memenuhi  kehidupan  sehari-hari  seperti  membaca buku  manual.  Pada  tingkat  informational orang  diharapkan  dapat  mengakses pengetahuan  dengan  bahasa.  Sementara  pada  tingkat  epistemic  orang  dapat mentransformasikan pengetahuan dalam bahasa.  Dengan adanya empat tingkatan Literasi seperti ini seseorang dapat mengetahui sampai mana tingkat literasi pada diri seseorang agar dapat memajukan negara ini menjadi ngara yang maju.  Bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan menjadi negara yang maju adalah dengan kualitas pendidikan yang tinggi serta dalam pendidikan harus mempunyai prinsip yaitu kekompakan, perdamaian serta kejujuran. Dengan ini negara indonesia akan tercapai akan tujuanya menjadi negara yang maju karena dengan ini warga negara Indonesia akan menanamkan sikap positif dan menghilangkan sikap yang negatif.






Referensi
A.Chaedar Alwasilah, 2012. “Pokoknya Rekayasa Literasi”. Sekolah Pascarsarjana Universitas Pendidikan Indonesia.  Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Dra.Aas Saomah, M.Si.” Implikasi Teori Belajar Terhadap Pendidikan Literasi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic