We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

Ketika Keharmonisan Antarumat Beragama Mengalami “Krisis”

  • Critical Review


Kerukunan umat beragama merupakan suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta karena adanya toleransi antarumat beragama.  Toleransi agama adalah suatu sikap saling menghargai dan mengerti tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam masalah agama.  Kerukunan antarumat beragama juga merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup suatu bangsa.  Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki keaneka ragaman suku, bangsa, ras, budaya, bahasa, maupun agama.  Kita sebagai bangsa Indonesia sudah seharusnya menjadi masyarakat yang bersatu dan saling tolong-menolong, seperti halnya semboyan negara kita yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.  Dari perbedaan iniliah seharusnya kita bisa menciptakan toleransi dan kerukunan antarumat beragama.  Namun seiring berkembangnya zaman, kanyataan yang terjadi sekarang ini malah sebaliknya, Indonesia justru malah mengalami krisis keharmonisan antarumat beragama.  Kini, semboyan Negara kita, Bhineka Tunggal Ika pun seakan-akan sudah bukan lagi menjadi slogan pemersatu bangsa kita, melainkan hanya sebuah tulisan yang tidak berarti apa-apa. 
Di Indonesia, kerap kali terjadi konflik atau masalah yang timbul karena adanya perbedaan, salah satu contohnya ialah sejumlah tragedi berdarah yang dilatarbelakangi oleh isu agama, seperti tragedi di Situbondo, Ketapang, Ambon hingga Poso.  Konflik ini bukan hanya meliputi kecurigaan yang mendalam terhadap pemeluk agama saja melainkan juga aksi saling membunuh antara umat yang berbeda agama, misalnya pertikaian antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama Kristen, yang keduanya merupakan pemeluk agama terbesar di Indonesia ataupun yang lainnya.  Dengan kata lain, Isu agama merupakan isu yang paling sensitif, karena hal ini bersangkutan dengan hubungan manusia dengan Tuhan-nya. 
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia yaitu dalam Pancasila pada sila pertama yang berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.  Dari hasil sensus tersebut, Pemerintah Indonesia secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.  Selain itu, dalam UUD 1945 juga dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya masing-masing".  Jadi, dengan adanya keberagaman agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia ini, konflik antar agama sering kali tidak dapat terelakkan.
Untuk menanggapi permasalahan dan konflik tersebut, sudah seyogyanya kita sebagai warga negara yang penuh dengan perbedaan, untuk bersikap rukun dan bertoleransi.  Artinya, kita harus bisa saling menghargai satu sama lain, baik itu dengan individu yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, sosial, maupun agama yang berbeda.  Meskipun sejatinya semua permasalahan itu dapat kita pahami, namun tak dapat dipungkiri bahwa hubungan sosial antarumat beragama memang sejak dahulu kala senantiasa menjadi persoalan, bahkan tidak jarang berakhir pada perseteruan. Benih persoalan ini mengemuka sejak dari dulu bahkan sejak zaman kolonial, baik sengaja diciptakan maupun lahir dengan sendirinya. Oleh karenanya, fakta persoalan agama dan hubungan antarumat beragama ini sangat relevan dan rentan dijadikan sebagai bibit-bibit permusuhan antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Seringkali agama ditarik secara paksa masuk dalam konflik antarindividu dan kelompok, walaupun sejatinya setelah diamati lebih teliti tidak memiliki kaitan sedikitpun.
Pada dasarnya semua bangsa menyadari bahwa kemajuan suatu Negara tergantung pada sistem pendidikannya.  Namun yang menjadi persoalan ialah bagaimana cara dan upaya bangsa tersebut agar generasinya memiliki kesadaran literasi yang tinggi.  Karena semakin berkembangnya suatu bangsa maka semakin banyak pula tantangan dan rintangan yang harus dihadapi oleh bangsa tersebut.   Entah itu berupa permasalahan seputar ekonomi, sosial, budaya, agama, politik, dan pendidikan.  Berdasarkan wacana yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”, Prof. A. Chaedar Alwasilah mengemukakan pendapatnya bahwa untuk mengetahui kualitas suatu bangsa bisa dilihat dari kualitas sistem pendidikannya.  Jika sistem pendidikannya baik maka kualitas bangsa tersebut akan semakin maju dan berkembang.  Akan tetapi, kemajuan dari pendidikan juga perlu adanya keseriusan dari masyarakat tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Oleh karena itu, pendidikan merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh setiap warga negaranya.
Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa salah satu tujuan dari pendidikan dasar yaitu untuk memberikan keterampilan dasar kepada siswanya agar dapat  mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu , anggota masyarakat, dan warga negara . Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan mereka lebih lanjut.  Adanya konflik sosial dan ketidakharmonisan agama merupakan suatu tantangan terbesar bagi para pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya, yaitu agar bisa menjadi warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sesuai dengan UU Sisdiknas yang telah ditetapkan oleh pemerintah.  Disamping itu pula, masalah sosial seringkali terjadi dikalangan masyarakat Indonesia khususnya para siswa dan remaja, contohnya seperti tawuran antar pelajar , bentrokan antar pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia.  Permasalahan tersebut merupakan indikasi dari penyakit sosial , yang semata-mata terjadi karena kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap perbedaan yang ada di sekitarnya.  Hal ini juga merupakan bukti kurangnya keterampilan dasar mereka yang menyangkut moral, sosial, emosi, hingga pola pikir untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat maupun warga Negara.  Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan ini , kerukunan umat beragama baik itu di sekolah maupun dilingkungan masyarakat, harus dikembangkan dan diajarkan sejak usia dini.  Meskipun pada dasarnya dalam satu lingkungan terdiri dari beraneka ragam suku, budaya, bahasa, maupun agama, para siswa harus selalu diajarkan bagaimana cara bertoleransi dengan baik terhadap teman sebayanya yang memiliki perbedaan latar belakang sosial, budaya, maupun agama.
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Rubin (2009) menjelaskan bahwa, mayoritas anak yang masih duduk di tingkat sekolah dasar lebih memilih bermain dengan teman seusianya dibandingan dengan yang lainnya, yaitu dengan cara pendekatan mereka sendiri, baik itu dalam konteks membantu, menghormati, maupun berbagi, serta bagaimana cara mereka berinteraksi dengan sopan terhadap satu sama lain. Hal ini menjadi usaha yang tidak mudah bagi para pendidik agar dapat mengarahkan anak didiknya sesuai dengan apa yang mereka harapkan.  Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pola pikir anak seusia mereka tidak bisa dipaksakan, karena itu semua akan menghambat perkembangan dan pertumbuhan mereka baik itu dalam berbahasa, berfikir, berkembang maupun bertoleransi terhadap kelompoknya.  Menurut beliau, konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial.  Dengan kata lain, guru harus lebih sering mengajak peserta didiknya untuk berdialog langsung, hal ini bertujuan agar siswa tidak canggung ketika di ajak berbicara oleh gurunya.  Selain itu, siswa harus sering dilatih menyimak secara aktif terhadap apa yang sedang dijelaskan oleh gurunya dengan mempertahankan kontak mata langsung, agar mereka dapat mengerti dan memahami apa yang telah dijelaskan oleh gurunya dengan cepat dan mudah. Mereka juga harus diajarkan bagaimana cara untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi yang akan dibahas oleh mereka.
Seiring dengan berkembangnya zaman  yang semakin hari semakin pesat, yang kemudian kita kenal dengan istilah globalisasi, dimana tidak ada lagi sekat-sekat teritorial antar sekolah, dan apa pun yang terjadi di pentas dunia dapat kita sajikan dengan mudah, mulai dari peristiwa politik, ekonomi, bisnis, pendidikan, sosial-budaya, dan sebagainya.  Multikulturalisme di Indonesia bukan lagi hanya sebagai persoalan lokal dan nasional, akan tetapi sudah masuk ke pentas global.  Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari globalisasi, yang ditandai dengan adanya infiltrasi (penyelundupan)  dan akulturasi budaya secara pesat.
Secara bahasa, multikulturalisme dibentuk dari makata multi (banyak), kultur (kebudayan), dan isme (aliran atau paham).  Jadi, multikulturalisme adalah suatu paham tentang keanekaragaman kebudayaan masyarakat.  Kebudayaan masyarakat tersebut dapat meliputi beberapa hal, seperti suku, ras, etnis, budaya, agama, bahasa, dan lain-lain.  Multikulturalisme tidak hanya sekedar mengenai perbedaan dan identitas, ia adalah satu kumpulan tentang keyakinan dan praktek-praktek yang dijalankan oleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri mereka sendiri dan dunianya, serta mengatur kehidupan individu dan kolektif mereka.  Suatu masyarakat dapat disebut multicultural jika di dalamnya ada tiga ciri umum yang menunjukkan hal tersebut, yakni :
1.      Keanekaragaman subkultural
2.      Keanekaragaman perspektif
3.      Keanekaragaman komunal
Multikulturalisme pada dasarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan pluralitas budaya, ras, suku, etnis, maupun agama.  Salah satu konsep yang memberikan pemahaman bagi kita yaitu bahwa suatu bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan keanekaragaman  budaya atau bisa disebut juga sebagai multikultural.  Bangsa yang multi kultural juga merupakan bangsa dimana masyarakatnya hidup berdampingan secara damai dan bertoleransi satu sama lain, meskipun mereka berasal dari kolompok-kelompok etnik atau budaya yang berbeda.
Paradigma multikulturalisme ini memberikan pelajaran bagi kita semua untuk memiliki apresiasi dan hormat kita terhadap budaya dan agama-agama lain.  Atas dasar inilah, pengaplikasian multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing  budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut oleh semangat kerukunan dan perdamaian.  Dengan adanya kesadaran dan kepekaan terhahadap kenyataan keanekaragaman, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, budaya, agama hingga orientasi politik, masyarakat Indonesia diharapkan dapat  meminimalisir berbagai potensi atau faktor yang bisa memicu konflik sosial di negeri ini.
Selanjutnya mari kita telik kembali wacana yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”.  Dalam wacana tersebut Prof. A. Chaedar Alwasilah mengatakan bahwa di sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswanya sepanjang hari.  Oleh karena itu, seyogyanya sebagai seorang guru harus tahu bagaimana cara merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar, karena merekalah yang nantinya akan mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Dalam menyelesaikan pendidikan formal, siswa akan memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan setiap individu dari mereka. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu.  Terdapat banyak bukti kejadian tersebut, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010), Singkawang (2010) dan lain sebagainya.  Jika kita sebagai bangsa Indonesia tidak mengambil langkah yang tepat, maka konflik seperti itu akan terulang kembali.  Bentuk-bentuk radikalisme tersebut telah mengganggu kohesi sosial serta dapat menimbulkan saling ketidak percayaan di antara kelompok-kelompok sosial dalam suatu masyarakat.  Contohnya seperti kasus bom bunuh diri yang terjadi di gereja Surakarta tempo lalu, dan mudah-mudahan kejadian tersebut tidak menyebabkan dendam dan serangan serupa terhadap masjid.  Hal ini bisa menimbulkan atau memicu terjadinya ketidakharmonisan antar agama besar .
Dari hasil laporan penelitian yang telah dilakukan oleh Apriliaswati (2011) menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya memberi dukungan terhadap kelas wacana sipil yang positif di kalangan siswa.  Jika guru mengelola interaksi teman sebaya dalam studi sosial secara efektif, maka tidak akan ada perilaku negatif yang mengganggu bangsa kita.  Hal ini bisa menjadi bukti interaksi yang interaktif dan mencerahkan.  Oleh karena itu, beliau menyarankan agar setiap sekolah dasar mempromosikan interaksi sebaya untuk dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan rutin kelas.  Caranya, siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok, yang bertujuan untuk melatih mereka agar dapat mendengarkan dengan penuh perhatian, berdebat dengan hormat sebagai bentuk persiapan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis.
Studi yang telah dilakukan oleh Aprilliaswati ini memberikan pembelajaran kepada kita semua bahwa pendidikan tidak hanya harus mengembangkan penalaran ilmiah saja, tetapi juga wacana sipil positif, karena penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang berperadaban.  Selain itu, beliau juga berpendapat bahwa pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan kompetensi wacana sipil kepada para siswanya.  Hal ini dibuktikan dengan adanya sebagian besar dari politisi dan birokrat telah datang ke kekuasaannya karena pendidikan yang telah mereka peroleh.  Namun sayangnya, masih banyak dari mereka yang tidak memiliki kompetensi tersebut.  Seperti halnya insiden memalukan yang terjadi di Negara kita pada tahun 2010, dimana anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh negeri.  Alih-alih mendidik anak-anak sekolah, politisi ini malah telah menetapkan contoh perilaku yang sangat amat miskin.  Kejadian ini juga menunjukkan bahwa pendidikan politik belum berbuat cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil.  Ketika politisi dan birokrat gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus diberdayakan kembali agar berfungsi secara maksimal. Oleh karena itu, guru sekolah dasar harus memberikan kesempatan kepada seluruh siswanya untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu berinteraksi dengan siswa lain yang memiliki agama, etnis dan kelompok-kelompok sosial yang berbeda. 
Di Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan tentang etnis, agama, minoritas bahasa dan budaya.  Terlepas dari karir mereka sebagai politisi, insinyur, petani, ataupun pengusaha, siswa juga harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerahnya.  Dengan demikian, pendidikan liberal bertujuan untuk membebaskan siswanya dari sikap rabun terhadap daerah orang lain, karena pada dasarnya seorang insan kamil (sempurna), yaitu orang yang ideal dan memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukkan sebagai warga negara yang demokratis
Kembali ke permasalahan mengenai kerukunan antarumat beragama, Agama disadari memang seringkali dijadikan sebagai suatu sistem acuan nilai (system of referenced values) dalam keseluruhan sistem tindakan (system of action) yang membimbing dan mengarahkan sikap dan tindakan umat beragama. Penggunaan agama sebagai sebuah acuan nilai dalam komunitas yang homogen dapat meneguhkan keutuhan dan integrasi masyarakat.  Akan tetapi, dalam masyarakat yang heterogen, penggunaan agama sebagai suatu acuan nilai merupakan benih konflik dan disintegrasi atau timbulnya perpecahan sosial, apalagi ada upaya pengembangan, penyebaran dan pemaksaan acuan tersebut kepada komunitas yang berbeda. Terkecuali, masing-masing umat beragama dapat mengembangkan penafsiran keagamaan yang mempertemukan kesamaan yang terdapat pada masing-masing sistem acuan. Dalam bahasa Ridwan Lubis, dapat mempertemukan unsur-unsur homofili dan heterofili dari berbagai umat beragama. Unsur homofili adalah hal-hal yang “dimiliki secara bersamaan” oleh penganut agama baik bersifat psikologis maupun fisiologis yang sangat mungkin ditumbuhsuburkan untuk membentuk kesatuan dan kerja sama antarsesama. Sedangkan unsur heterofili adalah unsur-unsur yang “membedakan penganut agama”, yang apabila tidak dipahami sebagai kenyataan, dapat menjadi pemicu konflik antarkelompok umat beragama.
Jadi, untuk meminimalisir dampak faktor pemecah (deviding factor) dari pluralitas masyarakat diperlukan pranata-pranata atau institusi yang bersifat integratif. Dengan kata lain, untuk menciptakan integrasi tersebut sebelumnya harus telah terlahir sejumlah pranata yang mengikat semua anggota kelompok sosial, baik etnis maupun agama, sehingga setiap warga dapat mengidentifikasikan dirinya pada suatu ciri yang juga dimiliki oleh warga kelompok sosial lainnya. Pranata sosial inilah yang diharapkan dapat menjadi faktor perekat (uniting factor) keberagaman masyarakat karena telah menjadi titik pertemuan atau landasan bersama antarumat beragama.  Kemudian untuk dapat menghasilkan pranata sosial yang menjadi landasan bersama (common platform) antarumat beragama, mutlak diperlukan majelis pertemuan agama-agama, baik dalam bentuk dialog, seminar dan lokakarya atau dialoka yang kita laksanakan saat ini. Forum tersebut diharapkan dapat mempertemukan masing-masing agama sambil berdiskusi mengenai beragam persoalan, baik yang berkenaan dengan doktrin keagamaan maupun soal kemasyarakatan.
Pola kerukunan dapat pula berwujud sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengingat upaya ini tidak semata-mata merupakan tanggung jawab pemerintah dan kelompok tertentu, malainkan merupakan tanggung jawab bersama lintas agama dan etnis.  Setiap agama dapat dipastikan mengajarkan kedermawanan kepada penganutnya. Lebih utamanya memang uluran bantuan tersebut diberikan kepada penganut agama yang sama, akan tetapi bukan menjadi hal yang tabu manakala kita ingin memberikan kepada mereka yang membutuhkan dari penganut agama yang berbeda. Dalam konteks ini, pemberian bantuan lintas agama bukan merupakan suatu permasalahan yang patut dicurigai sebagai upaya pembujukan untuk berpindah agama, dengan catatan pemberian ini tidak memiliki kencenderungan apapun terkecuali dengan maksud untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, bentuk kerukunan antarumat beragama dapat ditemukan dalam interaksi sosial kemasyarakatan sehari-hari. Sistem kekerabatan yang masih sangat kental dan sikap hidup gotong royong dalam segala hal dirasakan sangat penting dan mendesak untuk dipupuk dan ditumbuhsuburkan mengingat sikap hidup ini merupakan wadah bersama lintas agama yang dapat mempertahankan dan mempererat keutuhan masyarakat. Di samping itu, permainan-permainan tradisional, hiburan rakyat, kegiatan-kegiatan olah raga dan aneka kegiatan yang ada di tengah masyarakat sejatinya perlu mendapat perhatian yang sama, karena mekanisme sosial yang secara alamiah telah ada dan dikembangkan oleh masyarakat terbukti mampu mencegah disintegrasi antarumat beragama.
Sudah saatnya kita sebagai bangsa Indonesia untuk saling bahu membahu dan mendukung satu sama lain dalam rangka melestarikan kerukunan hidup antarumat beragama, dengan cara saling bertoleransi dan berkerjasama satu sama lain ditengah hiruk pikuknya  kondisi keharmonisan antarumat beragama  di kalangan masyarakat Indonesia.  Oleh karena itu dalam interaksi sosial beragama seyogyanya diperlukan beberapa upaya, antara lain: (1) Saling mengenal; (2) Saling memahami; (3) Saling menghargai; (4) Saling memberi dan menerima (take and give); dan (5) Saling nasehat menasehati atau ingat mengingatkan.
Demikian sekelumit pembahasan mengenai krisis keharmonisan antar umat beragama yang terjadi di era globalisasi ini.  Dari semua uraian di atas semoga bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua akan betapa pentingnya menjaga keharmonisan antarumat beragama.  Karena kalau bukan kita yang menjaganya siapa lagi?


Referensi
·         Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik dan Bahasa Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia diakses pada tanggal 20 Februari 2014 pukul 20.00 WIB.
·         http://abdulazizalmanduriah.blogspot.com/2013/10/multikultural.html diakses pada tanggal 22 Februari 2014 pukul 20.30 WIB.
·         http://www.pascastainpontianak.com/kiat-melestarikan-kerukunan-hidup-umat-beragama-di-kalbar.html diakses pada tanggal 23 Februari 2014 pukul 20.00 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic