- Critical Review
Kerukunan umat beragama merupakan suatu bentuk
sosialisasi yang damai dan tercipta karena adanya toleransi antarumat
beragama. Toleransi agama adalah suatu
sikap saling menghargai dan mengerti tanpa adanya diskriminasi dalam hal
apapun, khususnya dalam masalah agama.
Kerukunan antarumat beragama juga merupakan hal yang sangat penting
untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup suatu bangsa. Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki
keaneka ragaman suku, bangsa, ras, budaya, bahasa, maupun agama. Kita sebagai bangsa Indonesia sudah
seharusnya menjadi masyarakat yang bersatu dan saling tolong-menolong, seperti
halnya semboyan negara kita yaitu “Bhineka Tunggal Ika”
yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Dari perbedaan iniliah seharusnya kita bisa
menciptakan toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Namun seiring berkembangnya zaman, kanyataan
yang terjadi sekarang ini malah sebaliknya, Indonesia justru malah mengalami
krisis keharmonisan antarumat beragama. Kini, semboyan Negara kita, “Bhineka Tunggal Ika” pun seakan-akan sudah bukan lagi menjadi slogan
pemersatu bangsa kita, melainkan hanya sebuah tulisan yang tidak berarti
apa-apa.
Di
Indonesia, kerap kali terjadi konflik atau masalah yang timbul karena adanya
perbedaan, salah satu contohnya ialah sejumlah tragedi berdarah yang dilatarbelakangi
oleh isu agama, seperti tragedi di Situbondo, Ketapang, Ambon hingga Poso. Konflik ini bukan hanya meliputi kecurigaan
yang mendalam terhadap pemeluk agama saja melainkan juga aksi saling membunuh
antara umat yang berbeda agama, misalnya pertikaian antara pemeluk agama Islam
dengan pemeluk agama Kristen, yang keduanya merupakan pemeluk agama terbesar di
Indonesia ataupun yang lainnya. Dengan
kata lain, Isu agama merupakan isu yang paling sensitif, karena hal ini
bersangkutan dengan hubungan manusia dengan Tuhan-nya.
Agama
di Indonesia memegang peranan
penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa
Indonesia yaitu dalam Pancasila pada sila pertama yang berbunyi:
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari
237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan,
2,9% Katolik,
1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu,
0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan. Dari hasil sensus tersebut, Pemerintah
Indonesia secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan,
Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Selain itu, dalam UUD 1945 juga dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk Indonesia diberikan
kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan
"menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau
kepercayaannya masing-masing".
Jadi, dengan adanya keberagaman agama maupun aliran kepercayaan yang ada
di Indonesia ini, konflik antar agama sering kali tidak dapat terelakkan.
Untuk
menanggapi permasalahan dan konflik tersebut, sudah seyogyanya kita sebagai
warga negara yang penuh dengan perbedaan, untuk bersikap rukun dan bertoleransi. Artinya, kita harus bisa saling menghargai
satu sama lain, baik
itu dengan individu yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, sosial,
maupun agama yang berbeda. Meskipun sejatinya semua permasalahan itu dapat kita
pahami, namun tak dapat dipungkiri bahwa hubungan sosial antarumat beragama
memang sejak dahulu kala senantiasa menjadi persoalan, bahkan tidak jarang
berakhir pada perseteruan. Benih persoalan ini mengemuka sejak dari dulu bahkan
sejak zaman kolonial, baik sengaja diciptakan maupun lahir dengan sendirinya.
Oleh karenanya, fakta persoalan agama dan hubungan antarumat beragama ini
sangat relevan dan rentan dijadikan sebagai bibit-bibit permusuhan antara satu
kelompok dengan kelompok yang lainnya. Seringkali agama ditarik secara paksa
masuk dalam konflik antarindividu dan kelompok, walaupun sejatinya setelah
diamati lebih teliti tidak memiliki kaitan sedikitpun.
Pada dasarnya semua bangsa menyadari bahwa kemajuan suatu
Negara tergantung pada sistem pendidikannya.
Namun yang menjadi persoalan ialah bagaimana cara dan upaya bangsa
tersebut agar generasinya memiliki kesadaran literasi yang tinggi. Karena semakin berkembangnya suatu bangsa
maka semakin banyak pula tantangan dan rintangan yang harus dihadapi oleh
bangsa tersebut. Entah itu berupa
permasalahan seputar ekonomi, sosial, budaya, agama, politik, dan pendidikan. Berdasarkan
wacana yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”, Prof. A. Chaedar Alwasilah mengemukakan pendapatnya bahwa untuk
mengetahui kualitas suatu bangsa bisa dilihat dari kualitas sistem
pendidikannya. Jika sistem pendidikannya
baik maka kualitas bangsa tersebut akan semakin maju dan berkembang. Akan tetapi, kemajuan dari pendidikan juga perlu adanya keseriusan dari
masyarakat tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Oleh karena
itu, pendidikan merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh setiap warga
negaranya.
Selain
itu, beliau juga mengatakan bahwa salah
satu tujuan dari pendidikan dasar yaitu untuk memberikan keterampilan dasar
kepada siswanya agar dapat mengembangkan
kehidupan mereka sebagai individu , anggota masyarakat, dan warga negara .
Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan mereka lebih
lanjut. Adanya konflik sosial dan
ketidakharmonisan agama merupakan suatu tantangan terbesar bagi para pendidik
dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya, yaitu
agar bisa menjadi warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sesuai
dengan UU Sisdiknas yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Disamping itu pula, masalah sosial seringkali
terjadi dikalangan masyarakat Indonesia khususnya para siswa dan remaja,
contohnya seperti tawuran antar pelajar , bentrokan antar pemuda dan bentuk
lain dari radikalisme di seluruh Indonesia.
Permasalahan tersebut merupakan indikasi dari penyakit sosial , yang
semata-mata terjadi karena kurangnya kepekaan dan rasa
hormat terhadap perbedaan yang ada di sekitarnya. Hal ini juga merupakan bukti kurangnya
keterampilan dasar mereka yang menyangkut
moral, sosial, emosi, hingga pola pikir untuk mengembangkan kehidupan mereka
sebagai individu, anggota masyarakat maupun warga Negara. Oleh karena
itu, untuk mewujudkan tujuan ini , kerukunan umat beragama baik
itu di sekolah maupun dilingkungan masyarakat, harus dikembangkan dan diajarkan
sejak usia dini. Meskipun pada dasarnya dalam satu lingkungan terdiri dari
beraneka ragam suku, budaya, bahasa, maupun agama, para siswa harus selalu
diajarkan bagaimana cara bertoleransi dengan baik terhadap teman sebayanya yang
memiliki perbedaan latar belakang sosial, budaya, maupun agama.
Dari
berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Rubin (2009) menjelaskan bahwa, mayoritas anak yang masih duduk di tingkat
sekolah dasar lebih memilih bermain dengan teman seusianya dibandingan dengan
yang lainnya, yaitu dengan cara pendekatan mereka sendiri, baik itu dalam
konteks membantu, menghormati, maupun berbagi, serta bagaimana cara mereka
berinteraksi dengan sopan terhadap satu sama lain. Hal ini menjadi usaha yang
tidak mudah bagi para pendidik agar dapat mengarahkan anak didiknya sesuai
dengan apa yang mereka harapkan. Namun,
tidak bisa dipungkiri bahwa pola pikir anak seusia mereka tidak bisa dipaksakan,
karena itu semua akan menghambat perkembangan dan pertumbuhan mereka baik itu
dalam berbahasa, berfikir, berkembang maupun bertoleransi terhadap kelompoknya. Menurut beliau, konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam
teori pembangunan sosial. Dengan kata
lain, guru harus lebih sering mengajak peserta
didiknya untuk berdialog langsung, hal ini bertujuan agar siswa tidak canggung
ketika di ajak berbicara oleh gurunya. Selain itu, siswa harus sering dilatih menyimak secara aktif terhadap apa yang
sedang dijelaskan oleh gurunya dengan mempertahankan kontak mata
langsung, agar mereka dapat mengerti dan memahami
apa yang telah dijelaskan oleh gurunya dengan cepat dan mudah. Mereka
juga harus diajarkan bagaimana cara untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan
dengan topik diskusi yang akan dibahas oleh mereka.
Seiring dengan berkembangnya
zaman yang semakin hari semakin pesat,
yang kemudian kita kenal dengan istilah globalisasi, dimana tidak ada
lagi sekat-sekat teritorial antar sekolah, dan apa pun yang terjadi di pentas
dunia dapat kita sajikan dengan mudah, mulai dari peristiwa politik, ekonomi,
bisnis, pendidikan, sosial-budaya, dan sebagainya. Multikulturalisme di Indonesia bukan lagi
hanya sebagai persoalan lokal dan nasional, akan tetapi sudah masuk ke pentas
global. Hal ini terjadi sebagai
konsekuensi dari globalisasi, yang ditandai dengan adanya infiltrasi
(penyelundupan) dan akulturasi budaya
secara pesat.
Secara bahasa,
multikulturalisme dibentuk dari makata multi (banyak), kultur (kebudayan),
dan isme (aliran atau paham). Jadi,
multikulturalisme adalah suatu paham tentang keanekaragaman kebudayaan
masyarakat. Kebudayaan masyarakat
tersebut dapat meliputi beberapa hal, seperti suku, ras, etnis, budaya, agama,
bahasa, dan lain-lain. Multikulturalisme
tidak hanya sekedar mengenai perbedaan dan identitas, ia adalah satu kumpulan
tentang keyakinan dan praktek-praktek yang dijalankan oleh satu kelompok
masyarakat untuk memahami diri mereka sendiri dan dunianya, serta mengatur
kehidupan individu dan kolektif mereka.
Suatu masyarakat dapat disebut multicultural jika di dalamnya ada tiga
ciri umum yang menunjukkan hal tersebut, yakni :
1.
Keanekaragaman
subkultural
2.
Keanekaragaman
perspektif
3.
Keanekaragaman
komunal
Multikulturalisme
pada dasarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan
dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan pluralitas budaya, ras, suku, etnis,
maupun agama. Salah satu konsep yang
memberikan pemahaman bagi kita yaitu bahwa suatu bangsa yang plural atau
majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan keanekaragaman budaya atau bisa disebut juga sebagai
multikultural. Bangsa yang multi
kultural juga merupakan bangsa dimana masyarakatnya hidup berdampingan secara
damai dan bertoleransi satu sama lain, meskipun mereka berasal dari
kolompok-kelompok etnik atau budaya yang berbeda.
Paradigma multikulturalisme
ini memberikan pelajaran bagi kita semua untuk memiliki apresiasi dan hormat
kita terhadap budaya dan agama-agama lain.
Atas dasar inilah, pengaplikasian multikulturalisme menuntut kesadaran
dari masing-masing budaya lokal untuk
saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut
oleh semangat kerukunan dan perdamaian.
Dengan adanya kesadaran dan kepekaan terhahadap kenyataan
keanekaragaman, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, budaya, agama hingga
orientasi politik, masyarakat Indonesia diharapkan dapat meminimalisir berbagai potensi atau faktor
yang bisa memicu konflik sosial di negeri ini.
Selanjutnya
mari kita telik kembali wacana yang berjudul “Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony”. Dalam wacana tersebut Prof. A. Chaedar Alwasilah
mengatakan bahwa di sekolah
dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswanya sepanjang hari. Oleh karena itu, seyogyanya sebagai seorang
guru harus tahu bagaimana cara merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya
dengan benar, karena merekalah yang nantinya akan mengembangkan wacana sipil
positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Dalam menyelesaikan
pendidikan formal, siswa akan memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga
hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan setiap individu dari mereka.
Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu
dan dapat menyebabkan konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu. Terdapat banyak bukti kejadian tersebut,
seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas (2008),
Ambon (2009), Papua (2010), Singkawang (2010) dan lain sebagainya. Jika kita sebagai bangsa Indonesia tidak
mengambil langkah yang tepat, maka konflik seperti itu akan terulang kembali. Bentuk-bentuk radikalisme tersebut telah
mengganggu kohesi sosial serta dapat menimbulkan saling ketidak percayaan di
antara kelompok-kelompok sosial dalam suatu masyarakat. Contohnya seperti kasus bom bunuh diri yang
terjadi di gereja Surakarta tempo lalu, dan mudah-mudahan kejadian tersebut
tidak menyebabkan dendam dan serangan serupa terhadap masjid. Hal ini bisa menimbulkan atau memicu
terjadinya ketidakharmonisan antar agama besar .
Dari hasil
laporan penelitian yang telah dilakukan oleh Apriliaswati (2011) menyimpulkan
bahwa interaksi teman sebaya memberi dukungan terhadap kelas wacana sipil yang
positif di kalangan siswa. Jika guru
mengelola interaksi teman sebaya dalam studi sosial secara efektif, maka tidak akan
ada perilaku negatif yang mengganggu bangsa kita. Hal ini bisa menjadi bukti interaksi yang interaktif
dan mencerahkan. Oleh karena itu, beliau
menyarankan agar setiap sekolah dasar mempromosikan interaksi sebaya untuk dilaksanakan
sebagai salah satu kegiatan rutin kelas.
Caranya, siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan satu
sama lain melalui tugas-tugas kelompok, yang bertujuan untuk melatih mereka
agar dapat mendengarkan dengan penuh perhatian, berdebat dengan hormat sebagai
bentuk persiapan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu
masyarakat yang demokratis.
Studi yang telah
dilakukan oleh Aprilliaswati ini memberikan pembelajaran kepada kita semua bahwa
pendidikan tidak hanya harus mengembangkan penalaran ilmiah saja, tetapi juga
wacana sipil positif, karena penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan
warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk
menciptakan warga negara yang berperadaban.
Selain itu, beliau juga berpendapat bahwa pendidikan kita saat ini gagal
untuk memberikan kompetensi wacana sipil kepada para siswanya. Hal ini dibuktikan dengan adanya sebagian
besar dari politisi dan birokrat telah datang ke kekuasaannya karena pendidikan
yang telah mereka peroleh. Namun sayangnya,
masih banyak dari mereka yang tidak memiliki kompetensi tersebut. Seperti halnya insiden memalukan yang terjadi
di Negara kita pada tahun 2010, dimana anggota parlemen saling bertukar
kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di
seluruh negeri. Alih-alih mendidik
anak-anak sekolah, politisi ini malah telah menetapkan contoh perilaku yang
sangat amat miskin. Kejadian ini juga menunjukkan
bahwa pendidikan politik belum berbuat cukup untuk mempromosikan kompetensi
dalam wacana sipil. Ketika politisi dan
birokrat gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus diberdayakan kembali
agar berfungsi secara maksimal. Oleh karena itu, guru sekolah dasar harus
memberikan kesempatan kepada seluruh siswanya untuk mendorong pengalaman
bermakna, yaitu berinteraksi dengan siswa lain yang memiliki agama, etnis dan
kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Di Indonesia,
pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan tentang etnis, agama, minoritas
bahasa dan budaya. Terlepas dari karir
mereka sebagai politisi, insinyur, petani, ataupun pengusaha, siswa juga harus
diberikan pengetahuan yang memadai di daerahnya. Dengan demikian, pendidikan liberal bertujuan
untuk membebaskan siswanya dari sikap rabun terhadap daerah orang lain, karena
pada dasarnya seorang insan kamil (sempurna), yaitu orang yang ideal dan
memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukkan sebagai
warga negara yang demokratis
Kembali
ke permasalahan mengenai kerukunan antarumat beragama, Agama disadari memang
seringkali dijadikan sebagai suatu sistem acuan nilai (system of referenced values) dalam keseluruhan sistem
tindakan (system of action) yang membimbing dan mengarahkan sikap
dan tindakan umat beragama. Penggunaan agama sebagai sebuah acuan nilai dalam
komunitas yang homogen dapat meneguhkan keutuhan dan integrasi masyarakat. Akan tetapi, dalam masyarakat yang heterogen,
penggunaan agama sebagai suatu acuan nilai merupakan benih konflik dan
disintegrasi atau timbulnya perpecahan sosial, apalagi ada upaya pengembangan,
penyebaran dan pemaksaan acuan tersebut kepada komunitas yang berbeda.
Terkecuali, masing-masing umat beragama dapat mengembangkan penafsiran
keagamaan yang mempertemukan kesamaan yang terdapat pada masing-masing sistem
acuan. Dalam bahasa Ridwan Lubis, dapat mempertemukan unsur-unsur homofili dan
heterofili dari berbagai umat beragama. Unsur homofili adalah hal-hal yang
“dimiliki secara bersamaan” oleh penganut agama baik bersifat psikologis maupun
fisiologis yang sangat mungkin ditumbuhsuburkan untuk membentuk kesatuan dan
kerja sama antarsesama. Sedangkan unsur heterofili adalah unsur-unsur yang
“membedakan penganut agama”, yang apabila tidak dipahami sebagai kenyataan,
dapat menjadi pemicu konflik antarkelompok umat beragama.
Jadi,
untuk meminimalisir dampak faktor pemecah (deviding factor) dari pluralitas
masyarakat diperlukan pranata-pranata atau institusi yang bersifat integratif. Dengan
kata lain, untuk menciptakan integrasi tersebut sebelumnya harus telah terlahir
sejumlah pranata yang mengikat semua anggota kelompok sosial, baik etnis maupun
agama, sehingga setiap warga dapat mengidentifikasikan dirinya pada suatu ciri
yang juga dimiliki oleh warga kelompok sosial lainnya. Pranata sosial inilah
yang diharapkan dapat menjadi faktor perekat (uniting factor) keberagaman
masyarakat karena telah menjadi titik pertemuan atau landasan bersama antarumat
beragama. Kemudian untuk dapat
menghasilkan pranata sosial yang menjadi landasan bersama (common platform) antarumat
beragama, mutlak diperlukan majelis pertemuan agama-agama, baik dalam bentuk
dialog, seminar dan lokakarya atau dialoka yang kita laksanakan saat ini. Forum
tersebut diharapkan dapat mempertemukan masing-masing agama sambil berdiskusi
mengenai beragam persoalan, baik yang berkenaan dengan doktrin keagamaan maupun
soal kemasyarakatan.
Pola kerukunan dapat pula berwujud sebagai upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat, mengingat upaya ini tidak semata-mata
merupakan tanggung jawab pemerintah dan kelompok tertentu, malainkan merupakan
tanggung jawab bersama lintas agama dan etnis.
Setiap agama dapat dipastikan mengajarkan kedermawanan kepada
penganutnya. Lebih utamanya memang uluran bantuan tersebut diberikan kepada
penganut agama yang sama, akan tetapi bukan menjadi hal yang tabu manakala kita
ingin memberikan kepada mereka yang membutuhkan dari penganut agama yang
berbeda. Dalam konteks ini, pemberian bantuan lintas agama bukan merupakan
suatu permasalahan yang patut dicurigai sebagai upaya pembujukan untuk
berpindah agama, dengan catatan pemberian ini tidak memiliki kencenderungan
apapun terkecuali dengan maksud untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Selain itu, bentuk kerukunan antarumat beragama
dapat ditemukan dalam interaksi sosial kemasyarakatan sehari-hari. Sistem
kekerabatan yang masih sangat kental dan sikap hidup gotong royong dalam segala
hal dirasakan sangat penting dan mendesak untuk dipupuk dan ditumbuhsuburkan
mengingat sikap hidup ini merupakan wadah bersama lintas agama yang dapat
mempertahankan dan mempererat keutuhan masyarakat. Di samping itu, permainan-permainan
tradisional, hiburan rakyat, kegiatan-kegiatan olah raga dan aneka kegiatan
yang ada di tengah masyarakat sejatinya perlu mendapat perhatian yang sama,
karena mekanisme sosial yang secara alamiah telah ada dan dikembangkan oleh
masyarakat terbukti mampu mencegah disintegrasi antarumat beragama.
Sudah saatnya kita sebagai bangsa Indonesia untuk
saling bahu membahu dan mendukung satu sama lain dalam rangka melestarikan kerukunan hidup antarumat beragama,
dengan cara saling bertoleransi dan berkerjasama satu sama lain ditengah hiruk
pikuknya kondisi keharmonisan antarumat
beragama di kalangan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu dalam interaksi sosial
beragama seyogyanya diperlukan beberapa upaya, antara lain: (1) Saling
mengenal; (2) Saling memahami; (3) Saling menghargai; (4) Saling memberi dan
menerima (take and give); dan (5) Saling nasehat menasehati atau ingat mengingatkan.
Demikian
sekelumit pembahasan mengenai krisis keharmonisan antar umat beragama yang
terjadi di era globalisasi ini. Dari semua
uraian di atas semoga bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua akan betapa
pentingnya menjaga keharmonisan antarumat beragama. Karena kalau bukan kita yang menjaganya siapa
lagi?
Referensi
·
Alwasilah, A. Chaedar. 2004. Politik dan
Bahasa Pendidikan. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia diakses pada tanggal 20 Februari 2014 pukul 20.00 WIB.
·
http://abdulazizalmanduriah.blogspot.com/2013/10/multikultural.html
diakses pada tanggal 22 Februari
2014 pukul 20.30 WIB.
·
http://www.pascastainpontianak.com/kiat-melestarikan-kerukunan-hidup-umat-beragama-di-kalbar.html
diakses pada tanggal 23 Februari
2014 pukul 20.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic