Penulis dari artikel ini adalah ProDr. A. Chaedar
Alwasilah seorang dosen di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan
merupakan anggota dari Dewan Tinggi Pendidikan.
Artikel ini sendiri berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”
atau kalau saya terjemahkan secara bebas kurang lebih artinya adalah dialog
kelas untuk menumbuhkan semangat toleransi beragama. Dilihat dari judulnya saja maka, tentu kita dapat
menebak apa isi dari artikel tersebut.
Beberapa point yang ada dalam teks tersebut diantaranya mengenai
permasalahan sosial, pendidikan dan tentang antar-umat beragama. Intinya teks ini berisi tentang masalah yang
terjadi di sekitar kita.
Untuk
mengetahui kualitas sebuah bangsa biasanya dapat dilihat dari kualitas sistem
pendidikan yang ada pada negara tersebut.
Lalu bagaimana kualitas negara Indonesia? Jika kita lihat dari kalimat
sebelumnya, tentu kita akan berpendapat bahwa Indonesia belum termasuk ke dalam
sebuah negara yang memiliki kualitas yang bagus. Dilihat dari judul artikel tersebut saya
berkesimpulan bahwa Pak Chaedar ingin memberikan sebuah kepada kita semua untuk
bersama menciptakan Indonesia yang toleran untuk menciptakan Indonesia yang
damai.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih
memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan
ini di mana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan
terhadap satu sama lain. Konsep
interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial
(Rubin, 2009).
Memang benar demikian, namun pada
kenyataannya banyak diantara anak usia sekolah yang memilih untuk membuat
kelompok tertentu yang beranggotakan orang-orang tertentu pula. Contohnya: anak-anak dari kalangan menengah
ke atas biasanya akan memilih teman dari kalangan yang sepadan dengannya. Begitupun juga sebaliknya. Selain berdasarkan kemampuan ekonomi
keluarga, biasanya juga berlatar belakang kedaerahan atau kesukuan seperti:
anak yang berbahasa Jawa maka akan berkumpul dengan sesama Jawa, begitu juga
dengan Sunda akan memilih teman sesama Sunda.
Masalah sosial berulang seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk
lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit
sosial, yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang
lain dari kelompok yang berbeda.
Konflik sosial dan ketidak harmonisan
agama khususnya merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik
untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis
dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas,
kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada usia sedini mungkin.
Hal tersebut yang mendesak para petinggi
dunia pendidikan untuk mengenmbangkan mempromosikan program-program kreatif dan
inovatif untuk mendukung wacana sipil yang positif di kalangan siswa.
Ketidak harmonisan dalam hal agama
bukanlah sebuah masalah baru, dan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut
bukanlah perkara mudah. Meskipun sering
kita lihat di TV bahwa umat Islam di negara non-muslim khususnya di Amerika
digambarkan mereka hidup dalam damai, namun tidak dalam negara lain. Contohnya bagaimana nasib saudara-saudara
sesama muslim, dinegara Myanmar, mereka ditindas, dan disiksa, bahkan dibunuh.
Dalam pengaturan multikultural,
siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola
pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus
sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif. Tidak hanya memfasilitasi para siswanya,
namun juga memberikan motivasi dan keahlian dalam bidang usaha, seperti:
bagaimana membuat kue, menjahit, kursus memasak dan lain-lain. Selain itu juga, memberikan mereka pengertian
tentang wacana sipil termasuk mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan
ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan
ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk
setiap mata pelajaran sekolah.
Cara lain untuk menumbuhkan rasa
percaya diri, setiap siswa perlu dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan
mempertahankan kontak mata langsung, memperhatikan dengan seksama dan
bergiliran dalam berbicara. Mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk
menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Menumbuhkan rasa percaya
diri sangat diperlukan oleh siswa apalagi ketika mereka memasuki dunia baru
pendidikan yaitu pendidikan di perguruan tinggi. Dengan rasa percaya diri yang dimiliki oleh
setiap siswa, maka siswa akan mampu menjaga hubungan baik dan mencegahnya dari dari
rasa minder yang dapat menyebabkab dirinya merasa terasing. Namun jika yang terjadi sebaliknya (siswa
merasa kurang percaya diri), maka yang terjadi siswa tersebut tidak akan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya dan akan semakin terpuruk atau hal
yang terburuk yang mungkin akan terjadi siswa tersebut akan susah untuk meraih
sukses karena kekurangannya tersebut.
Pada sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa untuk hampir
sepanjang hari. Haruskah mereka tahu
bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar,
mereka akan mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan
kewarganegaraan.
Sebenarnya tanggung jawab pendidikan
bukan hanya dimiliki oleh guru namun sesungguhnya adalah tanggung jawab
semuanya, baik orang tua maupun masyarakat.
Sesuai dengan undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan Nasional.
Undang-undang menyebutkan tentang tiga jalur pendidikanyang saling
terkait dan saling mempengaruhi antara ketiganya, yaitu: (1) jalur pendidikan
formal, (2) jalur pendidikan non-formal, dan (3) jalur pendidikan
informal. Dari ketiga jalur pendidikan
tersbut lahirlah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Karakteristik dari MBS sendiri adalah adanya
peran serta orang tua dan masyarakat dalam penyelenggaraan proses pendidikan di
sekolah. Memang begitulah seharusnya pendidikan jangan dibebankan hanya kepada
satu orang orang atau lembaga saja, melainkan harus dipikul bersama.
Dalam dunia pendidikan Nasional
terdapat tiga komponen yang paling esensial, yaitu:
1. Peserta didik,
yang biasa disebut anak didik, siswa, atau yang di perguruan tinggi disebut
mahasisiwa;
2. Pendidik, atau
guru pada satuan pendidikan dasar dan menengah, dan dosen di perguruan tinggi;
dan
3. Kurikulum atau
bahan ajar.
Ketiga komponen esensial tersebut
yang akan melahirkan proses pendidikan yang sebenarnya. Proses ini sering di sebut sebagai “black box” atau kotak hitam, karena
semua aktifitas pendidikan akan terekam di dalamnya. Selain ketiga komponen esensial di atas,
terdapat komponen pendukung lainnya.
Berikut komponen pendukung tersebut:
1.
Sarana dan prasana pendidikan atau
fasilitas pendidikan.
2.
Pembiayaan atau anggaran pendidikan.
3.
Lingkungan pendidikan atau miliu
pendidikan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya;
dan
4.
Manajemen pendidikan.
Pada point
ketiga tersebut menegaskan bahwa sepatutnya masyarakat juga dilibatkan dalam
urusan pendidikan.
Dalam buku “MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAH” dikatakan mengenai hasil penelitian yang dilakukan Raihani dan
kawan-kawan. Hasil penelitian menunjukan
di 15 sekolah di Indonesia terdapat tiga diantaranya yang dapat menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). Dengan
kata lain dapat kita perkirakan bahwa sekolah yang telah menerapkan dengan baik
berkisar antara 20%. Hasil tersebut
rasanya akan susah terwujud tanpa peran serta masyarakat.
Bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu kohesi (kepaduan) sosial dan dapat menghasilkan
saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kasus bunuh diri-pemboman gereja di Surakarta
bulan lalu, misalnya, mungkin (mudah-mudahan tidak) menyebabkan dendam dan
serangan serupa terhadap masjid. Dan ini
bisa meningkat menjadi ketidakharmonisan agama besar.
Radikal memang selalu dipandang
buruk, namun tindakan radikal juga kadang diperlukan untuk memaksa seseorang
yang tidak bisa diberitahu dengan baik-baik.
Tidak semua orang biasanya dapat menerima adanya sebuah pendapat baru,
dan untuk mengatasi permasalahan pro dan kontra tersebut maka diperlukan
tindakan yang tegas, dan apabila tindakan yang tegas tersebut belum membuahkan
hasil maka diperlukan adanya tindakan yang radikal tersebut. Contoh dari tindakan radikal yang mungkin
masih bisa diterima adalah tindakan radikal yang dilakukan oleh Front Pembela
Islam (FPI).
FPI kerap disalahkan atas tindakan
mereka, namun menurut saya tindakan tersebut diperlukan untuk mencegah atau
minimal sedikit mengurangi kemaksiatan yang semakin hari semakin
merajalela. FPI juga tidak sembarangan
melakukan tindakan radikal mereka.
Biasanya mereka hanya menyerang seseorang yang tidak mematuhi aturan,
contohnya saat bulan puasa datang aturan pemerintah mengatakan untuk menutup
semua tempat hiburan di siang hari dan hanya boleh beroperasi samapai jam
sekian malam. Namun, pada kenyataannya
masih ada saja yang melanggar peraturan tersebut.
Kita sering melihat di TV atau media
cetak mengnai kebrutalan FPI, namun jika kita lihat dari nama organisasi massa
tersebut yaitu FRONT PEMBELA ISLAM, maka dari namanya saja jelas bahwa mereka
adalah barisan paling depan dalam membela umat Islam. Hanya saja, dalam kasus dimana FPI menyerang
klub-klub, diskotik dan tempat hiburannya, biasanya para pemilik tempat-tempat
hiburan tersebut adalah non-muslim, sehingga ada kesan bahwa FPI bertindak
radikal.
Pendidikan kita saat ini gagal untuk menciptakan siswa dengan kompetensi
wacana sipil. Sebagian besar politisi
dan birokrat seharusnya menggunakan dengan bijak pendidikan yang telah
mereka dapatkan. Sayangnya, banyak dari
mereka tidak memiliki kompetensi tersebut.
Masalah pendidikan yang dihadapi
Indonesia memang sangat memprihatinkan. Masalah yang dihapdapi dunia pendidikan
kita tidak hanya meliputi manajemen yang masih jauh dari sempurna, namun juga Masalah sosial yang sering terulang
seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di
seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial, yaitu kurangnya
semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang
berbeda.
Tidak semua politisi dan birokrat
menyalahgunakan kekuasaan dan gelar yang mereka peroleh. Jika kita lihat dari jumlah kursi yang ada di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lalu bandingkan dengan jumlah pejabat yang
korupsi tentu akan diperoleh kenyataan bahwa sebenarnya masih banyak para
pejabat negara ini yang jujur dan mereka benar-benar melaksanakan kewajiban
mereka sebagai abdi negara.
Adapun maraknya pemberitaan mengenai
para pejabat yang korupsi itu semua dikarenakan selama ini banyak media pers
yang hanya mengangkat berita tentang korupsi tersebut. Jarang sekali media pertelevisian yang
mengangkat cerita mengenai pejabat yang berprestasi. Kebanyakan dari mereka (stasiun TV)
menginginkan berita yang dapat mengangkat rating program atau acara yang ada di
stasiun TV tersebut.
Cara tradisional pengajaran agama telah dikritik karena menekankan aspek
teologis dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek sosial, interaksi yaitu
horizontal dan toleransi antar pengikut agama yang berbeda.
Jika seseorang memahami betul apa
yang terkandung Al-Qur’an, maka orang tersebut tentunya tidak akan berprilaku
demikian. Karena sesungguhnya di dalam
surat Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menerangkan tentang tata cara
pergaulan yang baik, tidak hanya dengan sesama muslim namun juga terhadap orang
non-muslim. Contohnya dalam surat
Al-Israa ayat 33-37. Yang artinya:
33. dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang
benar. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan.
34. dan janganlah kamu mendekati
harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia
dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan
jawabnya.
35. dan sempurnakanlah takaran
apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
36. dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
37. dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat
menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
Selain itu ayat lain dalam Surat
Al-Kafirun ayat enam menyatakan “untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku." Ayat tersebut menegaskan tentang
toleransi beragama, yang jika setiap umat Islam memahamai betul-betul ayat-ayat
tersebut, maka dia akan bisa menghargai perbedaan agama tersebut. Apalagi jika kita mengetahui asbabun nuzul
atau sebab turunnya ayat tersebut. Allah
tidak melarang hamba-Nya untuk saling toleransi, justru Allah memerintahkan
kita untuk saling toleransi antar-umat beragama. Namun, perlu ditegaskan lagi tentang
toleransi seperti apakah yang dibolehkan dalam ajaran agama Islam.
Toleransi yang Allah anjurkan adalah toleransi yang tidak mausk dalam
wilayah akidah dan keamanan.
Sebenarnya tidak ada dalam ajaran
Agama Islam yang menyuruh umatnya untuk memusuhi orang-orang non-muslim. Justru kenyataan mengatakan yang
sebaliknya. Mereka (orang-orang non-muslim)
memberikan sebuah pemahaman-pemahaman baru yang dapat menjauhkan umat Islam
dari agamanya.
Lahirnya faham-faham baru seperti
komunis (yang pernah tumbuh dan berkembang di Indonesia), liberal / liberalisme
(sebuah faham yang menjunjung tinggi kebebasan), dan feminisme (faham yang
mengajak wanita untuk menyamakan keduduknnya dengan laki-laki). Kesemua faham tersebut pada hakikatnya adalah
metode atau cara yang diterapkan oleh orang non-muslim untuk menjauhkan orang
Islam dari ajaran agamanya.
Satu hal lagi yang ingin saya tuliskan mengenai aliran liberal. Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal
harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya.
Terlepas dari karir mereka-politisi, insinyur, petani, atau pengusaha –siswa harus
diberikan pengetahuan yang memadai tentang hal tersebut. Dengan demikian didefinisikan,
pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi
terhadap orang lain. Pada dasarnya, itu penempaan kamil insan, yaitu orang yang
ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau
penunjukan sebagai warga negara yang demokratis.
Dalam paragaraf tersebut, penulis seakan setuju jika negara ini menjadi
negara yang liberal. Padahal yang saya
tahu mengenai faham liberal adalah sebuah faham senang sekali membuat
kekacauan. Contohnya adalah Jaringan
Islam Liberal (JIL). Para pendiri dan
pengikut JIL sering sekali mengemukakan pendapat yang pada kenyataanya
bertentangan dengan Islam, seperti salah satunya apa yang ditulis oleh Ulil
Abshar Abdalla, pada koran KOMPAS 18, November 2002. Dia (Ulil Abshar Abdalla) memberikan judul
dalam tulisannya tersebut ”Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Isi dari artikel Saya mengemukakan sejumlah
pokok pikiran di bawah ini
sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya
pandang cenderung membeku, menjadi "paket" yang sulit didebat dan
dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana,
take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya
bagi kemajuan Islam itu sendiri.
Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara
kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa
hal.
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.
Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Itulah beberapa kutipan yang saya
ambil dari koran Kompas yang pada intinya berisi tentang menafi’kkan Tuhan
(Allah SWT)
Apa yang perlu disegarkan? Padahal Allah sudah menegaskan dalam Al-Qur’an
surat Al-Maidah ayat tiga, yang artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,
yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnyadan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari
iniorang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang
siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Contoh lain dari dampak buruk liberalisme adalah, apa yang pernah saya baca
di Facebook, yaitu mengenai kisah seorang wanita keturunan arab yang tinggal di
Perancis. Wanita tersebut menanggalkan
seluruh atribut pakaian yang biasa digunakan wanita Arab kebanyakan seperti
baju abaya atau gamis, dan penutup wajah atau hijab. Wanita tersebut berkata kasar kepada seorang
wanita yang berjilbab dan juga menggunakan hijab seperti layaknya wanita
Arab. Bahwa jika memang ingin
menggunakan pakaian tersebut maka seharusnya bukan di Perancis melainkan di
negara asalnya, Arab. Namun apa yang
terjadi setelah wanita keturunan Arab tersebut melepaskan hijab yang dipakai
oleh wanita yang satunya, maka terlihatlah wajah wanita yang satunya tersebut
dan ternyata dia adalah warga negara Perancis asli.
Jadi sesungguhnya toleransi umat beragama sangatlah penting untuk
menciptakan suasana yang aman, damai, dan sejahtera. Meskipun dalam penerapannya akan selalu saja
ada orang yang tidak bertanggung jawab yang menginginkan umat Islam khususnya
dan seluruh warga negara Indonesia hancur. Yang pernah saya dengar bahwa Indonesia
adalah negara berpenduduk Islam terbanyak di dunia dan itu menjadikan Indonesia
sebagai target utama
Reference
Al-Qur’anul Kariim
Suparlan M.Pd., 2013 “MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH” Jakarta : Bumi Aksara.
Muiz, Hartono Ahmad, 2009 “Kyai
Bergelimang Kemusyrikan” Internasional Publishing House.
http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-December/000730.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic