We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

Critical Review 1: This House Would Abolish Islam and Christian Education Institution

Dunia mengenal Indonesia dari berbagai macam hal.  Korupsi bukan lagi satu-satunya cover Indonesia di mata dunia.  Bali dimana salah satu pemain terbaik dunia Cristiano Ronaldo berkunjung untuk menanam pepohonan mangrove beberapa tahun yang lalu pun bukan lagi satu-satunya mahkota Indonesia di mata dunia.  Bahkan negeri mutiara hitam yang dikenal sebagai papua dengan kekayaan alam yang dimilikinya pun bukan lagi satu-satunya magnet Indonesia.  Indonesia merupakan negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia dan mengalahkan negara-negara timur-tengah yang notabene keislamannya lebih kental.  Berdasarkan artikel dalam forum.kompas.com yang di terbitkan pada tanggal 5 Agustus 2013, jumlah penduduk muslim di Indonesia mencapai 182.570.000 orang.  Sedangkan posisi kedua dan ketiga diduduki oleh Pakistan dan India dengan 134.480.000 dan 121.000.000 orang.  Itulah cover Indonesia yang terbaru sebagai negara muslim terbanyak.
Islam mengajak manusia untuk selalu berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan.  Namun jumlah muslim Indonesia yang fantastis ini tidak selaras dengan prinsip islam tersebut.  Banyak kekacauan terjadi dimana-mana dan tentunya itu bukan termasuk ajaran islam dalam kitab sucinya, Al-quran.  Pada surat Al-Hasyr ayat 18 pun telah sangat jelas dipaparkan tentang kewajiban menjauhi larangan-larangan dan melaksanakan perintah-perintah sebagai tanda ketaqwaan.  “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”, itulah seruan perintah dalam Ayat tersebut.  Apabila Indonesia dengan muslim terbanyak ini sangat berpedoman kepada ayat tersebut maka tidak akan ada lagi kekacauan dan keributan dalam masyarakat.
Masih sangat teringat jelas dalam benak seluruh masyarakat Indonesia perihal tragedi-tragedi terorisme yang memakan korban begitu banyaknya.  Bom Bali 2002 yang lebih dikenal sebagai bom Bali I menimbulkan korban yang cukup banyak.  Sekitar 200 korban jiwa dan 200 korban luka-luka muncul kepermukaan akibat tragedi ini.  Pada tahun 2003 aksi terorisme terjadi di hotel JW Marriot melalui bom bunuh diri selayaknya pada bom Bali.  Satu tahun kemudian Indonesia kembali ramai oleh aksi terorisme dengan meledaknya bom di depan Kedutaan Besar Australia.  Tragedi ini hanya memakan 20 orang dimana 11 orang merupakan warga Australia.  Bom Bali kembali terjadi pada tahun 2005 dan menewaskan sedikitnya 22 orang.  Bom Cirebon pada tahun 2011 menjadi sebuah penegasan bahwa Indonesia dengan muslim terbanyak ini memiliki level kekacauan yang begitu tinggi.
Aksi ini berkedok jihad yang dibuktikan dengan tempat ledakan yang kebanyakan merupakan tempat-tempat hiburan dan tempat bagi penduduk agama lain selian islam berkumpul.  Sekali lagi apabila masyarakat Indonesia berpegangan pada kitab sucinya, maka tidak akan ada hal-hal demikian. Seperti yang tertera dalam surat Al-baqarah ayat 256.  Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”  Jadi tidak diragukan lagi bahwa kerukunan beragama adalah perintah islam.  Lalu mengapa itu semua bisa terjadi dimana jumlah umat islam begitu banyak? Apa hampir semua umat islam di negeri ini tidak lagi menghiraukan perintah dan kewajibannya?  Pertanyaan yang pantas diajukan kepada negeri yang dulu dikenal sebagai macan Asia.
Masalah-masalah keharmonisan inilah yang menjadi fokus utama dalam artikel yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”.  Professor A. Chaedar Alwasilah menyampaikan pendapat-pendapatnya melalui artikel ini dalam usaha pencarian solusi masalah keharmonisan masyarakat.  Penjelasan-penjelasan pada paragraf selanjutnya akan menjelaskan lebih rinci mengenai pandangan-pandangan Professor A. Chaedar Alwasilah tersebut.
Suatu negara akan sangat berharap kepada generasi penerusnya guna memimpin negara tersebut pada masa yang akan datang.  Generasi penerus ini adalah mereka yang saat ini sedang menempuh bangku sekolah dan kuliah.  Hal serupa terjadi pada Indonesia yang sangat berharap generasi penerus bangsa memiliki kualitas yang lebih dari pendahulunya.  Professor A. Chaedar Alwasilah sangat menyayangkan insiden-insiden keributan juga tawuran antar pelajar dan masalah-masalah keharmonisan sosial lainnya.  Apabila kondisi tetap seperti saat ini, maka tidak akan pernah didapatkan generasi-generasi penerusu yang berkualitas tinggi.  Fakta ini merupakan sebuah penyakit sosial seperti pendapat Professor A. Chaedar Alwasilah dalam artikelnya.
Realita mengenai generasi penerus bangsa yang sepertinya sedikit menjurus menuju keterpurukan hanyalah salah satu rempah-rempah dari artikel Professor A. Chaedar Alwasilah.  Terdapat satu hal tersisa yang menjadi fokus dalam masalah sosial pada artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”.  Keharmonisan beragama diantara masyarakat merupakan fokus itu.
Professor A. Chaedar Alwasilah berargumen bahwa tokoh utama yang berperan sebagai malaikat penolong adalah para pendidik.  Jadi dapat dikatakan seorang pendidiklah penolong suatu negara agar dapat menjadi lebih baik pada masa yang akan datang.  Tugas berat harus ditopang oleh pundak para pendidik, karena tanggungjawab besar untuk menjadikan negara lebih baik pada masa depan melalui generasi penerus bangsa ada pada tangan mereka.  Pengajar harus sebisa mungkin membuat para pelajar berkualitas juga tidak memikirkan lagi tawuran dan keributan antar pelajar.
Dalam artikel karya Professor A. Chaedar Alwasilah  ini tidak hanya menyampaikan pendapat mengenai masalah-masalah sosial di Indonesiaa.  Namun juga berusaha mencari solusinya.  Professor A. Chaedar Alwasilah berpendapat bahwa ada beberapa cara guna mengatasi masalah ini.  Solusi pertama ialah tentang peran penting pengajar yang telah dibahas pada paragraf sebelumnya.  Solusi kedua merupakan pengajaran keharmonisan beragama sedini mungkin.  Ini berarti keharmonisan beragama harus ditanamkan sejak pelajar duduk di bangku sekolah dasar.
Alasannya umum seperti kebanyakaan orang katakan.  Peserta didik dalam usia sekolah dasar lebih mendukung untuk diajarkannya keharmonisan beragama ini.  Usia sekolahan ini aadalah fase dimana masyarakat dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dalam pergaulan sehari-hari.  Seperti contoh saling menghormati, menolong, dan berbagi cerita.  Bahkan Professor A. Chaedar Alwasilah menyebutkan usia sekolah adalah usia dimana masyarakat sopan dan santun kepada sesama anggota masyarakat .
Indonesia dengan budaya yang begitu banyaknya harus menyediakan fasilitas sekolah dalam mendukung pergaulan antar peserta didik yang sudah dapat dipastikan mereka berasal dari budaya yang berbeda-beda juga.  Budaya mereka akan menentukan pemikirannya.  Hal inilah yang menjadi alasan mengapa sekolah harusnya menjadi sarana untuk peer interactions.  Professor A. Chaedar Alwasilah menganggap keharmonisan sosial dimulai dari peer interactions yang terjadi disekolah.  Indikator dapat melalui diskusi dengan cara yang sopan, berpendapat, berargumen dalam persetujuan atau pertidaksetujuan, dan lain-lain.
Kembali lagi Professor A. Chaedar Alwasilah menuntut para pendidik untuk pemecahan masalah ini.  Guna menciptakan keharmonisan sosial, maka pendidik harus mimimpin dan mengawasi seluruh pergaulan peserta didik di sekolah.  Hal ini bertujuan agar peserta didik dapat bergaul dengan cara yang benar dan dapat menunjang terbentuknya keharmonisan tersebut.  Peserta didik akan menyadari betapa pentingnya bersosial dan mereka pun dapat menyadari pergaulan adalah kunci sukses berkarir.  Dengan kata lain hubungan baik dengan sesama adalah kunci dari semuanya, ketika hubungan tidak lagi berjalan baik maka konflik akan bermunculan. 
Kasus-kasus terorisme seperti yang dijelaskan di atas merupakan contoh nyata tidak harmonisnya masyarakat.  Banyaknya aksi bom bunuh diri juga merupakan bukti bahwa umat beragama di negeri ini tidak harmonis.  Sesuatu yang lebih mengkhawatirkan adalah tempat dimana aksi-aksi tersebut terjadi.  Terorisme terjadi di tempat peribadahan uamt beragama lainnya.  Seperti contoh bom bunuh diri di gereja di Surakarta.  Umat islam di negeri ini tidak pernah berpikir bagaimana jika mesjid mereka dibom.  Hal-hal seperti inilah yang memunculkan ketidakpercayaan antar masyarakat.
Professor A. Chaedar Alwasilah memperkuat argumennya dengan menyertakan hasil penelitian Apriliaswati pada tahun 2011.  Penelitian ini menyebutkan hal yang sama seperti apa yang telah Professor A. Chaedar Alwasilah katakan bahwa interaksi di kelas akan membantu interaksi atau hubungan sosial yang harmonis.  Pada akhirnya baik Professor A. Chaedar Alwasilah maupun Apriliaswati berpendapat bahwa pendidiklah kuncinya.  Para pendidik harus sebisa mungkin mengatur pembelajaran di kelas secara efektif.  Hal ini dikeranakan target dari usaha pembentukan keharmonisan sosial adalah peserta didik sekolah dasar yang belum begitu bisa memberikan alasan alasan dalam pendapatnya.  Namun untuk sekedar menyatakan persetujuan atau pertidaksetujuan dapat mereka lakukan dengan cara yang santun.  Oleh Karena itu pendidik berperan penting untuk merealisasikannya.
Professor A. Chaedar Alwasilah ingin menyampaikan kepada masyarakat terutama institut-institut pendidikan juga termasuk didalamnya pendidik akan pentingnya pendidikan.  Pendidikan bukan hanya melatih siswa untuk cakap dalam bidang keilmuannya saja akan tetapi juga harus dapat mengembangkan kemampuan peserta didik dalam bergaul guna menciptakan lingkungan yang harmonis.
Namun  sangat disayangkan pendidikan Indonesia gagal untuk merealisasikan hal tersebut.  Professor A. Chaedar Alwasilah berpendapat bahwa para birokrat-birokrat pendidikan telah gagal dan lebih parahnya mereka memiliki perilaku yang tidak baik.  Hal ini tentunya tidak selaras dengan usaha mempromosikan keharmonisan sosial dalam masyarakat.  Professor A. Chaedar Alwasilah juga menegaskan bahwa sekolah-sekolah harus memberikan kesempatan pada siswa nya untuk dapat berinteraksi dan bergaul dengan siswa dari agama dan budaya berbeda.  Bahkan harusnya setiap institut pendidikan menyediakan tempat peribadahan bagai semua peserta didik yang notabene terdiri dari berbagai macam agama.
Terdapat beberapa klarifikasi mengenai pendapat Professor A. Chaedar Alwasilah.  Interaksi antar peserta didik di dalam kelas dirasa sudah sangat erat.  Bukti kuatnya adalah ketika peserta didik hendak menceritakan kegiatan-kegiatannya sehari-hari.  Orang pertama yang mereka ceritakan pastinya adalah teman sebaya mereka di kelas, bahkan kedua orang tuanya pun bukan yang pertama.  Mungkin Professor A. Chaedar Alwasilah lupa atau bahkan kurang memahami apa itu tawuran atau bentrokan antar pelajar yang terjadi di masyarakat.  Pelaku dari tawuran adalah mereka yang bersekolah dari sekolah yang berbeda.  Misalkan SMAN 1 Kuningan bentrok dengan SMAN 2 Kuningan, tidak masuk akal ketika siswa dalam satu sekolah bentrok dengan teman sesekolahnya.  Jadi keadaan saat ini memang benar interaksi peserta didik di dalam kelas sudah sangat erat dan tidak perlu lagi dipusingkan.  Dengan demikian istilah yang disebut “Classroom Discourse” tidak akan berdampak apapun, bahkan tidak akan merubah tradisi tawuran ini.  Bahkan Classroom Discourse ini akan semakin erat apabila mereka menyerang sekolah lain.
Professor A. Chaedar Alwasilah juga mengatakan bahwa keharmonisan sosial dan beragama harus ditanamkan sedini mungkin, yaitu dimulai sejak sekolah dasar.  Namun Professor A. Chaedar Alwasilah lupa akan adanya faktor lain, yaitu lingkungan.  Sebagaimana yang terjadi di masyarakat pelaku tawuran dan bentuk-bentuk ketidakharmonisan lainnya adalah mereka yang sudah meranjak dewasa atau paling tidak remaja, entah itu pelajar sekolah menengah pertama atau atas.  Seberapa keraspun pendidik menanamkan pentingnya keharmonisan antar masyarakat, maka akan percuma.  Akan lebih sempurna apabila peserta didik pun diajarkan bagaimana merespon lingkungan.
Tawuran bukan hanya sekedar insiden belaka.  Terdapat sejarah yang menyelimutinya dan itu yang menyebabkan sulitnya menghilangkan tradisi pelajar ini.  Hanya sekedar bersenjatakan Classroom discourse, maka tiada hasil yang akan didapat.  Professor A. Chaedar Alwasilah mungkin tidak mengetahui film jepang yang berjudul “Crows Zero”.  Apabila ditonton secara seksama, film yang disutradarai oleh Toyoda Toshiaki pada tahun 2007 ini memberikan pesan bahwa tawuran dimulai sejak masa lalu dimana dendam masih melekat.  Oleh sebab itu para alumni sebuah sekolah akan mendoktrin adik-adik kelasnya untuk selalu bermusuhan dengan sekolah yang dimaksud.  Ini dikarenakan menyangkut harga diri dan martabat dari sekolah mereka.
Ilustrasi yang akan dipaparkan dalam paragraf ini mungkin dapat membantu Professor A. Chaedar Alwasilah sebagai solusi permasalahan keharmonisan ini.  Target dari Professor A. Chaedar Alwasilah adalah menanamkan Classrom Discourse sedini mungkin.  Ini memang baik, namun tidak cukup.  Setelah lulus dari sekolah dasar peserta didik akan menginjakkan kakinya di sekolah berbeda, yaitu sekolah menengah pertama yang tentunya dengan sejarah dan pergaulan yang berbeda.  Begitu pun ketika mereka lulus dari sekolah menengah pertama pastinya akan berlanjut ke sekolah menengah atas.  Classroom Discourse akan tetap diajarkan namun tidak akan bisa menghentikan tradisi tawuran dan bentrokan.  Faktor lingkunganlah yang sangat berperan dalam hal ini.  Peserta didik dapat dipastikan akan mendapatkan doktrin dari para alumni mengenai permusuhan sekolahnya dengan sekolah lain dan membujuk untuk berperang dalam tawuran.  Alasanya adalah demi harkat martabat sekolah.  Pihak sekolah harus bekerja sama dengan kepolisian guna membuat surat perdamaian yang akan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang saling mendendam, karena unutuk memutuskan relasi alumni dan peserta didik adalah mustahil.  Hal ini selayaknya dalam film “Crows Zero” yang dapat damai dengan adanya surat atau perjanjian perdamain.  Classroom Discourse dapat diakatakan sebagai langkah yang sia-sia karena tidak tepat sasaran tembak.
Ketika langkah-langkah dalam ilustrasi tersebut dapat direalisasikan maka tawuran sedikit demi sedikit akan terlupakan.  Berdasarkan artikel Tempo.co yang diterbitkan pada rabu 20 November 2013, tahun lalu jumlah insiden tawuran di ibu kota Jakarta saja sudah mencapai 229 kasus dan menyebabkan 19 pelajar tewas.  Sudah cukup korban yang berjatuhan akibat tawuran, kali ini adalah waktu bagi seluruh masyarakat untuk memerangi tradisi itu dengan langkah-langkah yang tertera pada paragraf sebelumnya. 
Professor A. Chaedar Alwasilah berpendapat bahwa Classroom Discourse terdiri juga dari interaksi antar siswa berbeda agama.  Salah satunya dengan disediakannya tempat ibadah masing-masing agama guna menciptakan keharmonisan beragama itu sendiri.  Ada satu fakta yang terlupakan disini.  Rasanya mustahil membangun tempat peribadahan masing-masing agama apabila hanya ada satu agama dalam satu lembaga pendidikan.  Adanya pesantren-pesantren dan juga sekolah-sekolah Kristen adalah penyebabnya.  Di dalam sekolah umum pun hanya segelintir orang yang beragama non-islam.  Tidak akan ada cara untuk melihat umat agama lain beribadah dan menimbulkan rasa hormat antar sesama jika keadaan demikian.
Teorisme di Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah perang agama.  Tidak hanya itu, aksi terorisme mencoreng nama islam sebagai sebuah mayoritas di Indonesia padahal tidak semua umat islam sebusuk para terorisme yang berkedokan aksi jihad ini.  Memang sangat benar apabila setiap lembaga pendidikan menyediakan tempat peribadahan dari masing-masing agama.  Namun masalahnya di Indonesia setiap agama memiliki lembaga pendidikan sendiri.  Hal ini membuka peluang konflik-konflik antar agama untuk bermunculan di Indonesia.  Fakta inilah yang harus dipahami betul oleh Professor A. Chaedar Alwasilah dalam usahanya guna memperbaiki keharmonisan umat beragama di Indonesia. 
Berdasarkan Globe Asia Magazine 2008 tercatat beberapa universitas Kristen ternama berada dan beroperasi di Indonesia.  Sebut saja Universitas Tarumanagara, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Kristen Maranatha, Satya Wacana, dan Petra Christian University.  Jumlah ini belum termasuk universitas-universitas Kristen negeri lainnya.  Selain itu berdasarkan sumber yang sama, jumlah sekolah Kristen pun cukup menjamur.  SMU Kristen 1 Penabur Jakarta, SMU Kristen 3 Penabur, SMU Santa Ursula, SMU Aloysius 1 Bandung, dan SMU ST Angela Bandung merupakan beberapa dari sekian banyaknya sekolah-sekolah Kristen di Indonesia.  Fakta yang lebih mencengangkan lagi adalah ketika jumlah pondok pesantren begitu menjamur di Indonesia.  Berdasarkan Republika.co.id jumlah pondok pesantren menyentuh angka 25.000 pondok pesantren.  “Bagaimana keharmonisan umat beragama dapat tercipta ketika jumlah sekolah Kristen dan pesantren-pesantrn Islam saling berlomba-lomba dalam hal jumlah?”  Pertanyaan yang patut dipikirkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia terutama Professor A. Chaedar Alwasilah.  Indonesia sungguh sangat luas, terbentang berpuluh-puluh gunung dan lautan yang begitu luas pula.  Jika hanya berpegangan kepada Classroom Discourse, tiada hasil yang diperoleh secara maksimal. 
Satu tahun lalu sebuah ajang perlombaaan bagi seluruh perguruan tinggi Islam di Indonesia terlaksana sukses.  Di dalamnya tedapat pula sekolah tinggi Islam, Institut Islam, dan juga universitas Islam.  Acara ini dikenal dengan ajang pionir dan Banten mendapatkan kepercayaan untuk menjadi tuan rumahnya.  Tercatat sekitar 53 perguruan tinggi Islam ikut serta dalam acara tersebut.  Jumlah itu belum dapat dikatakan sebagai jumlah total perguruan tinggi Islam di Indonesia, karena terdapat beberapa perguruan tinggi Islam lainnya yang berhalangan untuk berkompetisi.  Ini kembali menjadi sebuah bukti bahwa jumlah perguruan tinggi Islam dan Kristen saling bersaing untuk mendapatkan gelar perguruan tinggi yang paling menjamur.
Memang sangat brilian pandangan dari Professor A. Chaedar Alwasilah.  Keharmonisan sosial terutama umat beragama sangat ditentukan oleh pengertian dari masing-masing anggota agama tersebut.  Ketika mereka saling hormat dan mendukung, maka tidak akan ada lagi perang agama dalam bentuk terosisme atau bom bunuh diri di gereja dan bahkan di masjid seperti yang telah terjadi di Cirebon beberapa tahun yang lalu.  Sikap saling hormat dan menghargai akan muncul ketika perasaan saling mengerti muncul dan tumbuh subur dalam benak masyarakat.  Sebagaimana Professor A. Chaedar Alwasilah samapaikan bahwa perasaan saling mengerti ini mustahil terealisasikan jika antar umat beragama tidak mengetahui satu sama lainnya.  Mereka tidak mengetahui cara peribadahan umat beragama lain, mereka pula tidak mengetahui kesamaan-kesamaan mereka Karena pada dasarnya mereka adalah sama dan hanya satu hal yang membedakannya.  Agama itu sendiri.  Lembaga-lembaga pendidikan hendaknya mendirikan tempat peribadahan bagi seluruh umat beragama.  Entah itu gereja, masjid atau tempat peribadahan lainnya.  Professor A. Chaedar Alwasilah menyampaikan itu semua, namun lupa akan satu hal yang sangat logis.  Siapa yang akan beribadah di geraja ketika peserta didik hanya terdiri dari muslim?  Itu yang harus dipikirkan seksama.
Pesan yang hendak disampaikan oleh Professor A. Chaedar Alwasilah dalam menciptakan keharmonisan beragama adalah mustahil selama perguruan tinggi Islam dan Kristen tetap beroperasi, juga selama sekolah Kristen dan pondok pesantren masih ada.  Ini memang urusan pemerintah.  Akan tetapi ketika umat Kristen dapat saling bergaul dalam satu naungan lembaga pendidikan dengan umat Islam, itulah waktu bagi keharmonisan beragama akan tumbuh dengan sendirinya.  Dengan kata lain pemerintah harus menghapuskan perguruan tinggi Islam dan Kristen, pemerintah juga harus menghapuskan sekolah Kristen dan pondok-pondok pesantren.  Memang akan banyak pro dan contra bermunculan, tapi semua itu resiko yang harus diambil guna menumbuhkan keharmonisan beragama dan untuk menutup kemungkinan orang-orang yang berkedok jihad melakukan aksi terorismenya.

References
QS.Al-Hasyr. (59) : 18
QS.Al-Baqarah. (02) : 256
Forum.kompas.com
Republika.co.id
Ciricara.com
Tempo.co

1 komentar:

a space for comment and critic