Class
review 11
Berbagai
warna dan tema senantiasa tercipta dari rajutan kata-kata untuk menggambarkan
betapa luasnya lautan academic writing. Goresan dari berbagai warna telah aku
lukiskan untuk mewarnai dunia academic writing dan sejuta rangkaian kata yang
akan selalu menemaniku dalam berjalan bersama ribuan bahkan jutaan tinta yang
akan menghiasi lembaran hidupku. Aku berharap semua yang aku gambarkan akan
sampai nanti, bukan untuk saat ini saja. Waktu akan terus berjalan, dunia ini
akan terus berputar dan aku akan terus mengarungi lautan academic writing
kembali. Tak terasa beberapa tahap lagi akan singgah ke samudera, namun dalam
tahap akhir lebih banyak tantangan dan rintangannya. Aku akan terus besamamu
hingga sampai nanti, “writing”.
6
Mei 2014 merupakan pertemuan ke-12 dengan mata kuliah yang paling menyenangkan.
Dengan ini hidup saya menjadi berwarna.
Dalam pertemuan ini masih bersama “argumentative essay”.
Menurut
Mr Lala dalam membuat argumentative essay harus memperhatikan tiga hal dibawah
ini yaitu
Pada
pembahasan tentang reasoning, dalam membuat argumentative essay ketika kita
memberikan opini harus disertakan alasan-alasan, karena dengan alasan itu bisa
membantu opini kita. Bukan hanya sebuah alasan saja, melainkan sumber-sumber
yang dihadirkan harus banyak dan kuat, supaya opini kita bisa dikuatkan dengan
sumber atau bukti yang dihadirkan dalam membuat argumentative essay. Jangan
lupa pula, thesis statement itu harus dibangun sebaik mungkin karena thesis
satatement yang akan mengembangkan ke paragraph-paragraf selanjutnya.
•Thesis
Statement (in one single sentence) = Opini + Reason
Mari
kita berlanjut ke pembahasn inti tentunya mengenai argumentative essay yang
akan membahas tentang “apakah kita akan mendukung Papua dilepas atau dipertahankan
oleh NKRI? Sebenarnya menurut Mr Lala kita kita boleh mendukung Papua lepas
ataukah bertahan menjadi bagian dari NKRI, namun kalau kita berpendapat salah
satunya kita harus mampu mengemukakan alasan-alasan yang kuat. Yang paling
penting bila kita berargumen untuk mempertahankan Papua menjadi bagian
terpenting dari NKRI jangan hanya mempertahankan melalui aspek materealitasnya
saja.
Dalam
outline yang saya tulis ada beberapa alasan untuk mepertahankan Papua dalam
pelukan NKRI diantaranya education, culture, natural resources, history,
economy, and tourist attraction. Tapi, menurut Mr Lala yang paling menarik
adalah sejarah saja karena sejarah as an asset. Sebuah asset itu yang harus
dipertahankan dalam sebuah negara dan sejarah pula termasuk didalamnya. Yang
harus ada di paper argumentative essay jika kita mempertahankan Papua di NKRI
adalah melihat dari sisi sejarah (pertama yang harus dibahas), identity,
dignity, nasiolaisme, dan local wisdom. Intinya jangan membahas tentang segi
material saja. Selain tertarik dengan sejarah saya juga sangat tertarik dengan
local wisdom karena bila kita membahas tentang local wisdom, maka value,
culture, adat istiadat, norma sudah termasuk di dalamnya. Melalui local wisdom
juga akan mampu mengaitkan antara history, ideology dan literacy.
Dalam
sejarah juga terdapat text dan conteks. Begitu juga menurut Ken Hyland (2002:
45) bahwa “kita menyadari bahwa makna bukanlah sesuatu yang terdapat dalam
kata-kata yang lalu disampaikan oleh orang lain, melainkan diciptakan oleh interaksi
antara pembaca dan penulis”. Berbeda dengan pendapat Van Dijk (2008: viii)
bahwa “It is the situation that
influences (or is influenced by) discourse, but the way the participant define
such a situation. Context thus are not some kind of “objective or direct cause,
but rather (inter) subjective construct designed and ongoingly updated in
interaction by participant as members of groups and communities. Context are
participant constructs.” Konteks itu bukan hanya dalam tulisan saja,
melainkan dalam dunia social juga ada. Seperti yang telah di sebutkan di atas
bahwa conteks itu menciptakan interaksi.
Dalam
pembahasan tentang sejarah Indonesia ada tiga tahapan yaitu sebelum tahun 1945,
tahun 1945 s.d 1960 dan dari tahun 1960 s.d sekarang. Pasti banyak perubahan
dan tentunya kejadian. Di bawah ini akan menjelaskan sejarah Konfensi Meja
Bnudar, Perjanjia renville, Perundingan Linggarjati, dan lain-lain.
1.
Konferensi Meja Bundar
Suasana sidang Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja
Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang
dilaksanakan di Den
Haag, Belanda dari 23
Agustus hingga 2
November 1949.
Latar belakang
Usaha untuk
meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan
kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat
kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian
mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi,
lewat perundingan
Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian
Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar.
Hasil konferensi
Hasil dari Konferensi Meja Bundar
(KMB), yaitu:
- Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
- Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala negara.
- Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.
1.
Keradjaan Nederland menjerahkan
kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan
tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik
Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
2.
Republik Indonesia Serikat menerima
kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan
konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
3.
Kedaulatan akan diserahkan
selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
Pembentukan RIS
Tanggal 27
Desember 1949, pemerintahan
sementara negara dilantik. Soekarno menjadi
Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana
Menteri membentuk Kabinet Republik
Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk
seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki
persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
2. Perundingan
Linggarjati
Perundingan
Linggarjati adalah
suatu perundingan antara Indonesia
dan Belanda di
Linggarjati, Jawa
Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai
status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana
Merdeka Jakarta
pada 15
November 1946
dan ditandatangani secara sah kedua negara pada 25 Maret 1947.
Latar
Belakang
Masuknya AFNEI yang
diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia
menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti
contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung
jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu,
Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda
untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena
Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau
Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.
Misi
pendahuluan
Pada akhir Agustus 1946,
pemerintah Inggris mengirimkan Lord
Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan
antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di
Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda
dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan
gencatan senjata (14
Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di
Linggarjati yang dimulai tanggal 11
November 1946.
Jalannya
perundingan
Dalam perundingan ini
Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut
Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook dan
Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Hasil
perundingan
Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang
antara lain berisi:
- Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
- Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
- Pihak Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS.
- Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Pro
dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia
Salah satu poster yang
dipajang di Bangunan Cagar Budaya Gedung Perundingan Linggarjati berisikan
himbauan pencegahan konflik akibat pro kontra masyarakat Indonesia terhadap
hasil perundingan.
Perjanjian Linggarjati
menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa
partai
seperti Partai
Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia,
dan Partai Rakyat
Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa
perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk
mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan
ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan
menambah anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk
mendukung perundingan linggarjati.
Pelanggaran
Perjanjian
Pelaksanaan hasil
perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20
Juli 1947, Gubernur
Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa
Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21
Juli 1947,
meletuslah Agresi Militer Belanda I.
Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.
3.
Perjanjian
Renville
Agresi Militer Belanda I terhadap Indonesia mendapatkan
kecaman dan reaksi keras dari dunia internasional. Aksi militer yang dilakukan
Belanda terhadap Republik Indonesia tersebut merupakan suatu ancaman terhadap
perdamaian dunia. Dewan Keamanan PBB yang mulai memerhatikan masalah Indonesia
- Belanda itu akhirnya menyetujui usul Amerika Serikat, yang untuk mengawasi
penghentian permusuhan itu harus dibentuk suatu badan komisi jasa-jasa baik
yang kemudian disebut dengan Komisi Tiga Negara (KTN).
Anggota KTN terdiri atas Richard Kirby (wakil dari Australia
yang dipilih oleh Indonesia), Paul van Zeeland (wakil dari Belgia yang dipilih
oleh Belanda), dan Dr. Frank B. Graham (wakil dari Amerika Serikat yang dipilih
oleh Belgia dan Australia). Melalui KTN, berhasil diadakan Perundingan Renville
yang dilaksanakan di Kapal Renville.
Perundingan
Renville secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Berikut ini adalah
pihak-pihak yang menghandiri Perundingan Renville:
1.
PBB sebagai mediator, diwakili oleh Grank Graham (ketua) dan Richard Kirby
(anggota).
2.
Delegasi Belanda, diwakili oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmodjo (ketua).
3.
Delegasi Indonesia, diwakili oleh Mr. Amir Syarifuddin (ketua).
4.Perundingan
ini berjalan alot, karena kedua pihak berpegang teguh pada pendiriannya
masing-masing. Meski perundingan berlangsung alot, akhirnya pada tanggal 17
Januari 1948 naskah Persetujuan Renville berhasil ditandatangani.
Berikut ini adalah hasil (isi) dari
Perundingan Renville:
a.
Penghentian
tembak-menembak.
b.
Daerah-daerah
di belakang Garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI.
c.
Belanda
bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan
melalui plebisit terlebih dahulu.
d.
Dalam
Uni Indonesia Belanda, Negara Indonesia Serikat akan sederajat dengan Kerajaan
Belanda.
Perundingan Renville yang ditandatangani kedua belah pihak
tersebut mengakibatkan posisi Indonesia semakin sulit dan wilayah Indonesia
semakin sempit. Kesulitan itu ditambah lagi dengan blokade ekonomi yang
dilaksanakan Belanda. Diterimanya kesepakatan Renville ini juga mengakibatkan
kabinet Amir Syarifuddin jatuh. Amir Syarifuddin akhirnya menyerahkan mandatnya
kepada Presiden Soekarno pada tanggal 23 Januari 1948.
Kabinet Amir Syarifuddin kemudian digantikan oleh Kabinet
Hatta. Pada masa Kabinet Hatta, Mohammad Hatta merangkap jabatan yaitu sebagai
wakil presiden Republik Indonesia dan perdana menteri. Kabinet Hatta berusaha
menaati hasil perundingan Renville. Tujuannya adalah agar strategi diplomasi
masih dapat dijalankan. Keputusan-keputusan Perundingan Renville mengalami hal
yang sama dengan Persetujuan Linggarjati. Belanda melakukan aksi militernya
yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948.
4. Youth
Pladge (Sumpah Pemuda)
Sumpah
Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap
sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia. Yang
dimaksud dengan "Sumpah Pemuda" adalah keputusan Kongres Pemuda Kedua
yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia
(Jakarta), Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada "tanah air
Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia".
Keputusan ini juga diharapkan menjadi asas bagi setiap "perkumpulan
kebangsaan Indonesia" dan agar "disiarkan dalam segala surat kabar
dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan".
Gagasan
penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar
Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh
Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang
berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke
Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam
sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat
memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan
dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan
pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia
yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop,
membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi
Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan,
harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak
juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di
Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan
demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan
kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan
sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan
dalam perjuangan.
Isi
Berikut ini adalah bunyi
"Sumpah Pemuda" sebagaimana tercantum pada prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda.
Penulisan menggunakan ejaan van Ophuysen.
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia,
mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Rumusan
Kongres
Rumusan Kongres Sumpah
Pemuda ditulis Moehammad
Yamin pada secarik kertas yang disodorkan kepada
Soegondo ketika Mr.
Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres
(sebagai utusan kepanduan) sambil berbisik kepada Soegondo: Ik heb een
eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi
yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo
membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan
kepada yang lain untuk paraf setuju juga. Sumpah tersebut awalnya
dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.
Dalam peristiwa
sumpah pemuda yang bersejarah tersebut diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia
untuk yang pertama kali yang diciptakan oleh W.R. Soepratman. Lagu Indonesia
Raya dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak surat kabar
Sin Po dengan mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu
kebangsaan. Lagu itu sempat dilarang oleh pemerintah kolonial hindia belanda, namun
para pemuda tetap terus menyanyikannya.
Apabila
kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai banyak hal tentang Sumpah Pemuda
kita bisa menunjungi Museum Sumpah Pemuda yang berada di Gedung Sekretariat PPI
Jl. Kramat Raya 106 Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi utama seperti
biola asli milik Wage Rudolf Supratman yang menciptakan lagu kebangsaan
Indonesia Raya serta foto-foto bersejarah peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah pergerakan pemuda-pemudi Indonesia.
5.
New
York Agreement
Melalui upaya diplomasi yang alot yang difasilitasi PBB (Perserikatan
Bangsa-bangsa), Belanda akhirnya mau menandatangani New
York Agreement (NYA) bersama Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1962.
Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman
van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi kesepakatan itu
intinya memuat road map penyelesaian sengketa
atas wilayah Papua/Irian Barat. Lima hari kemudian (20 September
1962) dilakukan pertukaran instrumen ratifikasi NYA antara Indonesia
dengan Belanda tetapi pertukaran tersebut tidak menjadikannya otomatis
berlaku,karena PBB terlibat. Maka PBB pun membawa Persetujuan
bilateral (NYA) ini ke dalam forum PBB, yang
kemudian diterima dan dikukuhkan
dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku 21
September 1962.
Agar Belanda tidak kehilangan muka, perundingan
New York (NYA) mengatur penyerahan kekuasaan dari Belanda atas tanah
Papua dilakukan secara tidak langsung. Belanda menyerahkannya kepada PBB, baru
setelah itu PBB menyerahkanya ke pemerintah Indonesia melalaui
referendum (PEPERA).
Maka terjadilah pada 1 Oktober 1962, wakil gubernur jenderal Belanda H.
Veldkamp menyerahkan kekuasaannya atas Papua Barat kepada sebuah badan PBB yang
khusus dibentuk untuk mengurusi masalah Papua tersebut. Badan PBB itu
bernama UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Pada
acara penyerahan itu, H. Veldkamp mengatakan : “Mulai saat ini,
akibat persetujuan Indonesia akibat persetujaun Internasional yang berhubungan
dengan itu, maka tanah dan bangsa Nieuw Guenea Barat telah ditempatkan di bawah
kepemerintahan yang baru : Penguasa sementara perserikatan bangsa-bangsa.
Kedaulatan Netherlands atas tanah ini telah berakhir. Tibalah suatu jangka
waktu yang baru, jangka mana berlangsung sampai pada saat pertanggunganjawab
atas pemerintahan diserahkan kepada Indonesia sepenuhnya.” (Mangasi
Sihombing, 2006:32).
6.
PEPERA
(Act of Free Choice)
UNTEA lalu mempersiapkan referendum. Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA
menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Hollandia yang tadinya menjadi
pusat kekuasaan kerajaan Belanda di Papua, diubah namanya menjadi Kota Baru. Momentum 1 Mei ini hingga
kini diperingati sebagai Hari
kembalinya Papua ke dalam NKRI. Tiga hari kemudian, tepatnya 4 Mei
1963 Bung Karno menjejakkan kakinya di Tanah Papua. Di hadapan ribuan orang
Papua di Kota Baru, Bung Karno dengan semangat membara menyampaikan pidato :
“Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk
dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata,
memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat
sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah Republik
Indonesia…” (cuplikan pidato Bung Karno di Kota Baru,
Jayapura, tanggal 4 Mei 1963) Pada 5
September 1963, Papua bagian barat dinyatakan sebagai “daerah karantina”.
Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan
lagu kebangsaan Papua yang di bentuk oleh belanda. Keputusan ini ditentang
oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Proses persiapan referendum memakan waktu tujuh tahun. Baru pada tahun 1969, referendum (PEPERA)
digelar dengan disaksikan oleh dua utusan PBB. Hasilnya,
Papua akhirnya kembali ke pangkuan NKRI. Maka jadilah Papua menjadi
provinsi ke-26 Indonesia dengan nama Irian Jaya. Namun keputusan
ini lagi-lagi ditentang OPM dan sejumlah pengamat independen yang
diprovokasi Belanda. Negara-negara Barat yang dimotori Amerika
Serikat mendukung hasil PEPERA itu punya alasan karena tidak ingin
Indonesia bergabung dengan pihak Uni Soviet (lawan mereka).
Inipun belum berakhir, Hasil PEPERA harus diuji dalam Sidang Majelis
Umum PBB. Dan, lagi-lagi sejarah mencatat, PBB akhirnya mengesahkan hasil PEPERA dengan sebuah Resolusi
Majelis Umum PBB No. 2504 tanggal 19 Oktober 1969. Bahwa kemudian PEPERA
diragukan keabsahannya, itu adalah bahasa kecewa sekelompok aktivis Papua yang
sengaja di bentuk dan dibiayai oleh Belanda yang lahir jauh setelah
PEPERA disahkan. Mereka terus berupaya agar di Tanah Papua
dilakukan referendum ulang. Padahal mereka tahu bahwa hal itu tidak
mungkin dilakukan.
Kronologi Kejadian
1945 : Indonesia merdeka
1949 :Kedaulatan pindah ke tangan
Indonesia
1960-an : Belanda mempersiapkan Papua untuk
merdeka
Februari
1961 : dilakukan pemilihan untuk West New
Guinea Council, sebuah langkah penting menuju suatu pemerintahan sendiri
1961 : TRIKORA
Februari 1961 : Pemilihan West New Guinea Council (langkah
membentuk pemerintahan sendiri)
1
desem 1961 :Simbol-simbol kedaualatan
Papua Barat diresmikan di hadapan belanda.
Diperingati sebagai hari kemerdekaan Papua.
1962 :Perjuangan
bersenjata pecah antar Indonesia dan Belanda di pantaiBarat Irian.
15
Agus 1962 :Perjanjian damai antara
Indonesia (Subandrio) dan Belanda (JH van Roijen) dengan mediator damainya
Elsworth Bunker
1
okt 1962 :Dibawah perjanjian,
Belanda menyerahkan pemerintaha Irian ke
UNTEA, Eksekutif
PBB.
28 Juli 1965 : berdirinya OPM
1967 : Freeport
1969 : PEPERA
: Act for Free Choice
(Tindakan Pilihan Bebas)
Mei 1998 :reformasi
Mei/Juni
2000 : KRP ke-2 dilaksanakan menghasilkan
penolakan atas isi dari Pepera
2001 :Papua menerima otonomi khusus
dari pemerintah indonesia, namun ditolak oleh warga Papua
13
Juni 2001 : Peristiwa Wasior (aksi
masyarakat menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang rampok oleh perusahaan
pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
Juli
2011 : Konferensi perdamaian
diselenggarakan oleh Jaaringan Papua Damai menghasilkan serangkaian “Inddikator
Papua Tanah Damai” dibidang politik, HAM, ekonomi &lingkungan serta
keamanan.
2011 : KPR ke 3
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ketika membuat argumentative essay harus memperhatikan
tiga hal yaitu reasoning, definite evidence, dan a working thesis. Perhatikan pula
thesis statement juga, karena thesis statement yang akan mengembangkan ide untuk
diparagraf-paragraf selanjutnya. Sumber-sumber yang ita cantumkan dalam argumentative
essay juga harus kuat dan mendukung opini kita. Dalam argumentative essay sekarang
membahas tentang apakah West Papua dilepas ataukah diperthankan di NKRI? Ketika
kita mendukung West Papua menjadi bagian terpenting dari NKRI kita harus mampu mengungkap
alasan utamana adalah history, karena history merupakan asset dari suatu negara
yang harus dipertahankan dan jika mengungkap history itu mampu membangkitkan rasa
nasionalisme dan kesatuan terhadap bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic