We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Sabtu, 26 April 2014

The White Dracula

Class Review 9



Ibarat “Dracula” yang haus darah, British Petroleum (BP) merancang skema kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di Papua dalam rangka mempertahankan kejayaannya. Konflik Papua yakni konflik antara pihak OPM dengan pihak POLRI bahkan ditemukan juga konflik antara pihak militer Indonesia dengan pihak POLRI merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Mengapa militer Indonesia (TNI) menyerang polisi, begitupun sebaliknya? Mengapa OPM berkolaborasi dengan militer Indonesia? Bagaimana keterkaitan BP dengan masalah ini? Sebelum menjawab pertanyaan ini, marilah kita mengetahui terlebih dahulu kronologis cerita menurut Eben dalam artikelnya “Don’t Use Your Data as a Pillow”.
Eben S. Kirkkeys adalah seorang warga negara AS lulusan Sarjana di New College of Florida, lulusan Pasca Sarjana di University of Oxford, dan lulusan Doktor di University of California, Santa Cruz. Pada tahun 1998, ia pertama kali datang ke Papua untuk menyelesaikan skripsinya meneliti kekeringan El-nino, namun pada saat ia datang hujan telah turun disana. Ia secara tidak sengaja menyaksikan pembantaian yang dilakukan oleh pihak militer Indonesia atas warga Papua. Pada saat itu ia memahami bahwa warga Papua menginginkan kemerdekaan.
Kemudian pada tahun 2003, ia kembali lagi ke Papua. Ia menemukan suatu hal aneh yang terjadi di Papua yakni teman yang aneh (Waropen, Denny, Rumbiak, dkk), militer Indonesia yang membantu logistik dan persenjataan OPM, konflik antar militer Indonesia dan POLRI, dan peran kekerasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan multinasional di Papua. Dengan mempelajari dimensi budaya kekerasan, ia yakin bisa membantu orang Papua mencapai kebebasan dari teror itu.
Dalam membantu mendapatkan data-data, ia dibantu oleh Waropen, seorang aktifis HAM Papua yang berasal dari Wasior, tempat dimana polisi Indonesia melakukan serangan Operasi penyisiran Dan Penumpasan akibat banyak terbunuhnya anggota POLRI atas serangan separatis yang diduga OPM. Di tempat ini juga ia menyelidiki rumor bahwa agen-agen militer Indonesia diam-diam mendukung milisi Papua (OPM).
Penelitiannya di Wasior berlangsung di bawah kondisi pengawasan intens dimana ia hanya mewawancarai orang-orang yang ingin mengambil risiko sehingga ia mengatur pertemuan di rumah-rumah pada malam hari. Ia juga menginterview dan membuat anonim (tanpa nama) sekitar 350 orang narasumber berbahasa Indonesia termasuk di dalamnya politisi Papua, korban kekerasan, tahanan politik, pejuang gerilya, aktivis hak asasi manusia, dan pemimpin adat Papua.
Waropen mengatakan kepada Eben bahwa ia ingin melihat anggota pasukan keamanan dituntut di pengadilan Indonesia. Waropen mengecam Eben bahwa ia menolak untuk anonim dan menyatakan bahwa identitas narasumber sangatlah penting dalam memperkuat data dengan sumber-sumber yang kredibel. Namun Eben menjawab bahwa saran informal dari rekan-rekan dan mentornya telah membawa untuk menyimpan semua sumber-sumber secara anonim untuk menjaga keselamatan para narasumber walaupun sumber anonim dipandang dengan rasa curiga dan misteri oleh pembaca atau bahkan sang penulis sengaja berbohong. Strategi kutipan anonim tersebut juga dapat memiliki fungsi penting juridis hukum yakni bagaimana jurnalis dan penerbit melindungi diri dalam gugatan pencemaran nama baik.
Di Wasior, Eben bersama Denny Yomaki menggali informasi mengenai keterkaitan BP dalam kekerasan yang terjadi. Eben menyindir tajam terhadap BP bahwa BP adalah perusahaan alam baka yang merancang skema kejahatan pembunuhan di Papua dengan membayar £ 100 juta kepada pihak militer Indonesia dan OPM untuk tetap dapat memperlancar kekuasaannya di Papua. Menurut Vidal (2008), BP akan memperoleh keuntungan lebih dari $ 198.000.000.000 di Papua. Eben menemukan bahwa agen militer Indonesia yang dibiayai BP telah memprovokasi kekerasan di Papua. Anggota milisi (OPM) mengaku telah menghabisi 20-40 orang polisi Indonesia di Wasior. Rumornya, milisi OPM ini dibantu oleh agen militer Indonesia. Nampaknya sangat sulit menentukan mana provokator militer, OPM, korban polisi, dan militer Indonesia pro-pemerintah, bahkan militer double-agen Papua. Eben mempertanyakan mengapa militer Indonesia (TNI) menyerang polisi? begitupun sebaliknya polisi menyerang TNI? Eben juga mempertanyakan mengapa OPM berkolaborasi dengan militer Indonesia? Eben mempertanyakan bagaimana keterkaitan BP dengan masalah ini?
Di Wasior, Eben berhasil melakukan wawancara dengan anggota milisi OPM dan militer double-agen. Ketika diwawancarai, seorang pria (OPM) mengaku bahwa ia membunuh para perwira polisi. Dia juga mengaku mendapatkan dukungan logistik dan intelijen dari militer Indonesia. Orang yang diwawancarai ini mengatakan bahwa hidupnya dalam bahaya. Dia mengatakan bahwa seorang perwira militer aktif telah mencoba untuk membunuhnya karena ia tahu terlalu banyak. Orang yang diwawancarai ini meminta bantuan kepada Eben agar melindunginya dari ancaman pembunuhan, namun Eben tidak mampu berbuat banyak. Melalui wawancara ini, Eben akhirnya mampu membuktikan keterkaitan BP atas tindakan kekerasan di Wasior. 
 Pada akhir Mei 2003, John Rumbiak, seorang aktivis HAM Papua yang tinggal di Inggris, meminta Eben bertemu dengan Dr Byron Grote, Chief Financial Officer (CFO) BP di markas BP London untuk membahas tentang keterkaitan BP pada kekerasan yang terjadi di Wasior, Papua. BP telah melatih pasukan "keamanan berbasis komunitas" yang beranggotakan orang-orang Papua dengan kolaborasi militer Indonesia. Rumbiak telah mengatur sedemikian rupa tentang pertemuan dan mempertanyakan kebijakan BP yang mempengaruhi situasi HAM dan konflik di Papua. Tujuan Rumbiak mengundang Eben adalah agar Eben menyampaikan temuan-temuannya mengenai kekerasan milisi BP yang terjadi di Wasior, Papua. Rumbiak dengan sifat lembutnya dibandingan Waropen dengan sifatnya yang kasar mencoba menjadikan Eben sebagai saksi yang dapat diandalkan bagi Papua. 
Sebelum menuju markas BP, Eben melakukan pertemuan terlebih dahulu dengan Rumbiak di salah satu warung kopi di pusat kota London. Mereka sempat tersesat saat menaiki taksi sebelum sampai di markas BP. Selama perjalanan, Eben dan Rumbiak bertukar cerita dengan menggunakan bahasa Indonesia-Inggris mengenai cerita tentang perjalanan baru-baru mereka. Untuk dapat mengetahui letak markas BP, Eben dan Rumbiak sempat bertanya kepada penjaga di Saint James Palace, kediaman resmi Ratu Inggris.
            Eben dan Rumbiak memasuki bangunan BP yang begitu mewah. Mereka disambut seorang wanita muda berpakaian rapi. Perempuan muda itu memeriksa nama mereka berdua pada terminal komputer, memberikan mereka lencana pengunjung, kemudian mempersilahkan mereka menunggu di sofa yang begitu mewah. Setelah menunggu beberapa saat, pengawalan datang menjemput mereka. Mereka menggunakan lencana mereka untuk masuk pintu putar di gedung tersebut menuju lift. Setelah melalui lift, kemudian mereka menyusuri lorong, dan sampai pada sebuah ruangan sempit dimana CFO Byron Grote dan John O'Reilly sudah berada di dalam ruangan. Setelah diketahui bahwa O'Reilly adalah Senior Vice President BP untuk Indonesia. Menurut informasi (Gillard 2002), Grote dan O'Reilly sebelumnya pernah bekerja untuk BP di Kolombia dimana para militer disana membunuh aktivis lingkungan. Eben mengalami ketegangan yang sangat karena berhadapan dengan orang yang paling berkuasa di Eropa.
            Saat itu, Dr. Grote meminta agar percakapan ini adalah rahasia (off the record), namun Rumbiak menolak. Ia beralasan bahwa rakyat Papua juga ingin mengetahui apa yang mereka bicarakan. Rumbiak tidak membuang-buang waktu. Rumbiak langsung menyampaikan pesan mengenai kebijakan BP “keamanan berbasis masyarakat” yang memprovokasi kekerasan di Wasior, Papua. Oknum militer Indonesia menuntut 80 persen dari pendapatannya untuk bertugas melindungi BP namun kebijakan BP dalam mengurangi militer ini di luar dari kesepakatan sebelumnya. Agen rahasia militer indonesia bertekad untuk memprovokasi kekerasan sampai BP mengalah dan memberi mereka kontrak keamanan tersebut.
            Dr Grote menegaskan bahwa bekerja di Papua memiliki tantangan dan resiko yang besar. Mereka harus melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannya. Dr Grote menegaskan bahwa kebijakan keamanan berbasis masyarakat akan tetap berlanjut, walaupun memprovokasi kekerasan. Dr Grote mengemukakan alasan mengapa proyek tersebut harus tetap berlanjut, agar perusahaan lain tidak masuk dan mengembangkan ladang gas ini. Eben bertanya dalam dirinya apakah BP juga mampu meredam militer Indonesia di Papua dengan uang dan kekuasaanya?
            Kini giliran Eben, Rumbiak meminta penulis menyampaikan temuan-temuanya di Wasior. Dengan berdebar, Eben menyampaikan serangkaian skema yang amat rumit yang terjadi di Wasior. Eben menceritakan bahwa di Wasior, seorang anggota milisi OPM terancam hidupnya karena ia telah menghabisi sekelompok polisi dibantu dengan agen militer Indonesia. Polisi melancarkan serangan “Operation Isolate and Annihilate” atas tindakan pembunuhan polisi oleh OPM. Polisi dan militer sama-sama menginginkan kontrak perlindungan dari BP.
Demikianlah kronologi cerita yang disampaikan oleh Eben dalam artikelnya mulai dari paragraf pertama sampai paragraf ke-26. Ia mendapatkan “data” dengan menggunakan teknologi yakni recorder dan alat perekam lain untuk merekam wawancara kesaksian para narasumbernya. Menurut Lehtonen (2000 : 50) “The technologies of language are nowadays more complex than ever before. Every single medium of language that has been developed in the history of humankind is at our disposal simultaneously, from speech to digital technology. In these conditions, it can even be difficult to fathom speech as a specific technology of language. However, if we perceive a ‘technology’ as an organized activity and an entity of special skills, it becomes clear that speech is one of the technologies of language.” Lehtonen menegaskan bahwa speech atau kesaksian narasumber dalam bentuk suara rekaman merupakan “data” dalam bentuk teknologi. Untuk itu, apabila kita melakukan suatu penelitain, maka “data” dapat digali dengan suatu wawancara, foto, video dengan menggunakan alat perekam misalnya recorder, camera digital, dan lain-lain.
Referensi :
Alisse Waterston and Maria D. Vesperi. Anthropology off the Shelf: Anthropologists on Writing. 2009. USA: Blackwell Publishing. (ebooksclub.org)
Lehtonen, M. (2000).  The cultural analysis of text.  London: Sage publication. (BookFi.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic