The White Dracula

Ibarat “Dracula” yang haus darah, British Petroleum
(BP) merancang skema kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di Papua dalam
rangka mempertahankan kejayaannya. Konflik
Papua yakni konflik antara pihak OPM dengan pihak POLRI bahkan ditemukan juga
konflik antara pihak militer Indonesia dengan pihak POLRI merupakan
permasalahan yang sangat kompleks. Mengapa militer Indonesia (TNI) menyerang
polisi, begitupun sebaliknya? Mengapa OPM berkolaborasi dengan militer Indonesia? Bagaimana keterkaitan BP dengan masalah ini? Sebelum
menjawab pertanyaan ini, marilah kita mengetahui terlebih dahulu kronologis cerita
menurut Eben dalam artikelnya “Don’t Use Your Data as a Pillow”.
Eben S. Kirkkeys adalah seorang warga negara AS
lulusan Sarjana di New College of Florida, lulusan Pasca Sarjana di University of Oxford, dan lulusan Doktor di University of California, Santa
Cruz. Pada tahun 1998, ia pertama kali datang ke Papua
untuk menyelesaikan skripsinya meneliti kekeringan El-nino, namun pada saat ia datang
hujan telah turun disana. Ia secara tidak sengaja menyaksikan pembantaian yang
dilakukan oleh pihak militer Indonesia atas warga Papua. Pada saat itu ia
memahami bahwa warga Papua menginginkan kemerdekaan.
Kemudian pada tahun 2003, ia kembali lagi ke Papua.
Ia menemukan suatu hal aneh yang terjadi di Papua yakni teman yang aneh
(Waropen, Denny, Rumbiak, dkk), militer Indonesia yang membantu logistik dan
persenjataan OPM, konflik antar militer Indonesia dan POLRI, dan peran
kekerasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan multinasional di Papua. Dengan mempelajari dimensi budaya kekerasan, ia yakin bisa membantu orang Papua
mencapai kebebasan dari teror itu.
Dalam membantu mendapatkan data-data, ia dibantu oleh
Waropen, seorang aktifis HAM Papua yang berasal dari Wasior, tempat dimana
polisi Indonesia melakukan serangan Operasi penyisiran Dan Penumpasan akibat
banyak terbunuhnya anggota POLRI atas serangan separatis yang diduga OPM. Di
tempat ini juga ia menyelidiki rumor bahwa agen-agen militer Indonesia
diam-diam mendukung milisi Papua (OPM).
Penelitiannya di Wasior berlangsung
di bawah kondisi pengawasan
intens dimana ia hanya mewawancarai orang-orang yang ingin mengambil risiko sehingga ia mengatur
pertemuan di rumah-rumah pada malam hari. Ia juga
menginterview dan membuat anonim (tanpa nama) sekitar 350 orang narasumber berbahasa Indonesia termasuk di dalamnya
politisi Papua, korban
kekerasan, tahanan politik, pejuang
gerilya, aktivis hak asasi manusia, dan pemimpin adat Papua.
Waropen mengatakan kepada Eben bahwa ia ingin melihat anggota
pasukan keamanan dituntut di pengadilan Indonesia. Waropen mengecam Eben bahwa ia menolak untuk anonim dan
menyatakan bahwa identitas narasumber sangatlah penting dalam memperkuat data
dengan sumber-sumber yang kredibel. Namun Eben menjawab bahwa saran informal
dari rekan-rekan dan mentornya telah membawa untuk menyimpan semua
sumber-sumber secara anonim untuk menjaga keselamatan para narasumber walaupun
sumber anonim dipandang dengan rasa curiga dan misteri oleh pembaca atau bahkan
sang penulis sengaja berbohong. Strategi kutipan anonim tersebut juga dapat
memiliki fungsi penting juridis hukum yakni bagaimana jurnalis dan penerbit
melindungi diri dalam gugatan pencemaran nama baik.
Di Wasior, Eben bersama Denny Yomaki menggali informasi
mengenai keterkaitan BP dalam kekerasan yang terjadi. Eben menyindir tajam
terhadap BP bahwa BP adalah perusahaan alam baka yang merancang skema kejahatan
pembunuhan di Papua dengan membayar £ 100 juta
kepada pihak militer Indonesia dan OPM untuk tetap dapat memperlancar
kekuasaannya di Papua. Menurut Vidal
(2008), BP akan memperoleh keuntungan lebih dari $ 198.000.000.000 di Papua. Eben
menemukan bahwa agen militer Indonesia yang dibiayai BP telah memprovokasi
kekerasan di Papua. Anggota milisi (OPM) mengaku telah menghabisi 20-40 orang
polisi Indonesia di Wasior. Rumornya, milisi OPM ini dibantu oleh agen militer
Indonesia. Nampaknya sangat sulit menentukan mana provokator militer,
OPM, korban polisi, dan militer Indonesia pro-pemerintah, bahkan militer double-agen Papua. Eben
mempertanyakan mengapa militer Indonesia (TNI) menyerang polisi? begitupun
sebaliknya polisi menyerang TNI? Eben juga mempertanyakan mengapa OPM berkolaborasi dengan militer Indonesia? Eben
mempertanyakan bagaimana keterkaitan BP dengan masalah ini?
Di Wasior, Eben berhasil melakukan wawancara dengan
anggota milisi OPM dan militer double-agen. Ketika diwawancarai, seorang pria
(OPM) mengaku bahwa ia membunuh para perwira polisi. Dia juga mengaku
mendapatkan dukungan logistik dan intelijen dari militer
Indonesia. Orang yang diwawancarai ini mengatakan bahwa hidupnya dalam bahaya. Dia mengatakan bahwa seorang perwira militer aktif telah mencoba untuk
membunuhnya karena ia tahu terlalu banyak. Orang
yang diwawancarai ini meminta bantuan kepada Eben agar melindunginya dari
ancaman pembunuhan, namun Eben tidak mampu berbuat banyak. Melalui wawancara
ini, Eben akhirnya mampu membuktikan keterkaitan BP atas tindakan kekerasan di
Wasior.
Pada akhir Mei
2003, John Rumbiak, seorang aktivis HAM Papua yang tinggal di Inggris, meminta
Eben bertemu dengan Dr Byron Grote, Chief Financial Officer (CFO) BP di markas
BP London untuk membahas tentang keterkaitan BP pada kekerasan yang terjadi di Wasior,
Papua. BP telah
melatih pasukan "keamanan berbasis komunitas" yang beranggotakan
orang-orang Papua dengan kolaborasi militer Indonesia. Rumbiak telah mengatur sedemikian rupa
tentang pertemuan dan mempertanyakan kebijakan BP yang mempengaruhi situasi HAM
dan konflik di Papua. Tujuan Rumbiak mengundang
Eben adalah agar Eben menyampaikan temuan-temuannya mengenai kekerasan milisi
BP yang terjadi di Wasior, Papua. Rumbiak dengan sifat
lembutnya dibandingan Waropen dengan sifatnya yang kasar mencoba menjadikan Eben
sebagai saksi yang dapat diandalkan bagi Papua.
Sebelum menuju markas BP, Eben melakukan pertemuan
terlebih dahulu dengan Rumbiak di salah satu warung kopi di pusat kota London.
Mereka sempat tersesat saat menaiki taksi sebelum sampai di markas BP. Selama perjalanan, Eben dan Rumbiak
bertukar cerita dengan menggunakan bahasa Indonesia-Inggris mengenai cerita tentang
perjalanan baru-baru mereka. Untuk dapat mengetahui
letak markas BP, Eben dan Rumbiak sempat bertanya kepada penjaga di Saint James Palace, kediaman resmi Ratu Inggris.
Eben dan
Rumbiak memasuki bangunan BP yang begitu mewah. Mereka disambut seorang wanita
muda berpakaian rapi. Perempuan muda itu memeriksa nama mereka berdua pada terminal komputer,
memberikan mereka lencana pengunjung, kemudian mempersilahkan mereka menunggu
di sofa yang begitu mewah. Setelah menunggu beberapa saat, pengawalan datang menjemput mereka. Mereka
menggunakan lencana mereka untuk masuk pintu putar di gedung tersebut menuju
lift. Setelah melalui lift, kemudian mereka menyusuri lorong, dan sampai pada
sebuah ruangan sempit dimana CFO Byron Grote dan John O'Reilly sudah berada di dalam ruangan. Setelah diketahui bahwa O'Reilly adalah Senior Vice President BP untuk Indonesia. Menurut informasi (Gillard 2002),
Grote dan O'Reilly sebelumnya pernah bekerja untuk BP di Kolombia dimana para militer
disana membunuh aktivis lingkungan. Eben mengalami ketegangan yang sangat karena berhadapan
dengan orang yang paling berkuasa di Eropa.
Saat itu, Dr. Grote meminta agar percakapan ini adalah rahasia (off the record), namun Rumbiak menolak. Ia beralasan
bahwa rakyat Papua juga ingin mengetahui apa yang mereka bicarakan. Rumbiak tidak membuang-buang waktu. Rumbiak
langsung menyampaikan pesan mengenai kebijakan BP “keamanan berbasis masyarakat” yang memprovokasi
kekerasan di Wasior, Papua. Oknum militer Indonesia
menuntut 80 persen dari pendapatannya untuk bertugas melindungi BP namun
kebijakan BP dalam mengurangi militer ini di luar dari kesepakatan sebelumnya. Agen rahasia militer indonesia bertekad untuk memprovokasi kekerasan sampai
BP mengalah dan memberi mereka kontrak keamanan tersebut.
Dr Grote menegaskan bahwa bekerja di Papua
memiliki tantangan dan resiko yang besar. Mereka harus melakukan sesuatu untuk
mencapai tujuannya. Dr Grote menegaskan bahwa kebijakan keamanan
berbasis masyarakat akan tetap berlanjut, walaupun memprovokasi kekerasan. Dr
Grote mengemukakan alasan
mengapa proyek tersebut harus tetap berlanjut, agar perusahaan lain tidak masuk dan mengembangkan
ladang gas ini. Eben
bertanya dalam dirinya apakah BP juga mampu meredam militer Indonesia di Papua
dengan uang dan kekuasaanya?
Kini giliran Eben, Rumbiak meminta penulis menyampaikan
temuan-temuanya di Wasior. Dengan berdebar, Eben menyampaikan serangkaian skema
yang amat rumit yang terjadi di Wasior. Eben menceritakan bahwa di Wasior, seorang anggota milisi
OPM terancam hidupnya karena ia telah menghabisi sekelompok polisi dibantu
dengan agen militer Indonesia. Polisi melancarkan serangan “Operation
Isolate and Annihilate” atas tindakan pembunuhan polisi oleh OPM. Polisi dan
militer sama-sama menginginkan kontrak perlindungan dari BP.
Demikianlah kronologi cerita yang disampaikan oleh Eben
dalam artikelnya mulai dari paragraf pertama sampai paragraf ke-26. Ia
mendapatkan “data” dengan menggunakan teknologi yakni recorder dan alat perekam
lain untuk merekam wawancara kesaksian para narasumbernya. Menurut Lehtonen
(2000 : 50) “The technologies of language are nowadays more complex than ever before.
Every single medium of language that has been developed in the history of
humankind is at our disposal simultaneously, from speech to digital technology.
In these conditions, it can even be difficult to fathom speech as a specific
technology of language. However, if we perceive a ‘technology’ as an organized
activity and an entity of special skills, it becomes clear that speech is one
of the technologies of language.” Lehtonen menegaskan bahwa speech atau
kesaksian narasumber dalam bentuk suara rekaman merupakan “data” dalam bentuk
teknologi. Untuk itu, apabila kita melakukan suatu penelitain, maka “data”
dapat digali dengan suatu wawancara, foto, video dengan menggunakan alat
perekam misalnya recorder, camera digital, dan lain-lain.
Referensi
:
Alisse Waterston and Maria
D. Vesperi. Anthropology off the Shelf: Anthropologists on
Writing. 2009. USA: Blackwell
Publishing. (ebooksclub.org)
Lehtonen, M.
(2000). The cultural analysis of text.
London: Sage publication. (BookFi.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic