Class review
Pada pertemuan ke-sembilan ini kami diberikan materi baru
mengenai Irian Jaya atau Papua. Apa yang
terjadi di Papua? Kami diberikan teks yang ditulis oleh S. Eben Kirksey yang
berjudul “Don’t
Use Your Data as a Pillow”. Apa yang
dapat dipahami dari judul tersebut? Itulah yang pertama kali Pak Lala
pertanyakan kepada kami. Kami
diperintahkan untuk membuat kelompok diskusi yang terdiri dari lima orang.
Saya
akan memulainya dari apa yang saya ketahui tentang Papua Barat. Yang saya tahu Papua adalah Pulau Papua yang
terletak di bagian paling timur dari negara Indonesia. Wilayah Papua tersebut terbagi menjadi dua
yaitu Papua Barat (wilayah Indonesia) dan Papua Nugini (negara tetangga). Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini
dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch
New Guinea). Setelah bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian
Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang
tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua mengamanatkan nama provinsi ini
untuk diganti menjadi Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai
protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua
provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua
sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun
kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi
wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
Jika
saya ditanya oleh seseorang tentang perbedaan antara Papua and Irian Jaya? Maka saya akan menjawab berdasarkan
pengertian di atas, bahwa sebelum menjadi Papua yang kita kenal sekarang
dahulunya bernama Irian Jaya. Namun, ada
hal yang harus kita ketahui tentang asal-usul nama papua itu sendiri. Perkembangan asal usul nama pulau
Papua memiliki perjalanan yang panjang seiring dengan sejarah interaksi antara
bangsa-bangsa asing dengan masyarakat Papua, termasuk pula dengan bahasa-bahasa
lokal dalam memaknai nama Papua itu sendiri.
Selanjutnya saya akan mencoba menjelaskan tentang
sejarah bergabungnya Papua atau Irian Jaya ke dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Berdasarkan dari
sejarah yang saya baca, Papua bergabung ke Indonesia pada tanggal 1 Mei
1963. Namun, sesungguhnya semuanya itu
berdasarkan perjalanan panjang. Ketika
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia
mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua.
Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu
provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk
menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun
pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang
diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam
beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi
Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan
mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan
kembali dalam jangka waktu 1 tahun.
Indonesia melakukan diplomasi dengan beberapa negara lain,
seperti India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Thailand, Britania Raya,
Jerman, dan Perancis agar mereka tidak memberi dukungan kepada Belanda jika
pecah perang antara Indonesia dan Belanda.
Setelah beberapa kali melakukan pembicaraan dan selalu menemui jalan
buntu, akhirnya karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil
keuntungan dalam konfik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding
dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada
tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang awalnya mendukung
kemerdekaan Papua, juga mengubah pendiriannya, dan mendukung penggabungan
dengan Indonesia atas desakan AS.
Sejarah pembebasan IrianBarat dari tangan Belanda tidak
akan lepas dari operasi trikora (tiga komando rakyat) atau bisa juga disebut
sebagai operasi pembebasan Irian Barat.
Trikora adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk
menggabungkan wilayah Papua bagian barat ke dalam NKRI. Pada tanggal 19
Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di
Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala, Mayor
Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah
merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan
Papua bagian barat dengan Indonesia.
Isi dari
trikora adalah
1. Gagalkan
pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial.
2. Kibarkan
sang merah-putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
3. Bersiaplah
untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
dan bangsa.
Dari penjelasan pada paragraf sebelumnya, jelas sekali
bahwa Presiden Soekarno mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mengembalikan Irian Barat ke dalam Negara Indonesia. Bayangakan jika Presiden Soekarno tidak
mengumumkan tentang pelaksanaan trikora, bisa jadi sampai sekarang Papua
bukanlah bagian dari Indonesia. Bahkan,
bisa jadi kemungkinan terburuk Papua masih dijajah oleh Belanda, dan semua
kekayaan alam yang ada di sana akan dikuasai oleh Belanda.
Bisakah kita memahami alasan Belanda, mengapa begitu ngotot untuk menguasai
Papua? Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan
penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960,
Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan
Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut
kandungan emas ataupun tembaga.
Setelah
Jendral Soeharto menjadi Presiden Indonesia, Freeport Sulphur adalah perusahaan
asing pertama yang diberi izin tambang dengan jangka waktu 30 tahun mulai dari
tahun 1981 (walaupun tambang ini telah beroperasi sejak tahun 1972), dan
kontrak ini diperpanjang pada tahun 1991 sampai tahun 2041. Setelah pembukaan
tambang Grasberg pada tahun 1988, tambang ini menjadi tambang emas terbesar di
dunia. Penduduk setempat dengan bantuan Organisasi Papua Merdeka memprotes
berbagai tindakan pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang dilakukan Freeport dan pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk
peledakan pipa gas dan penculikan beberapa pegawai Freeport dari Eropa dan
Indonesia pada tahun 1996. Dalam kejadian ini, 2 tawanan dibunuh dan sisanya
dibebaskan.
Selain
peranan dari Presiden Soekarno dalam kembalinya Irian Jaya juga terdapat
peranan badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Amerika Serikat. Seperti yang telah dituliskan pada beberapa
paragraf sebelumnya, bahwa Amerika merasa khawatir jika mereka tidak mendesak
Belanda untuk menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia, maka Indonesia akan
meminta bantuan kepada negara komunis Uni-Soviet (Rusia). Oleh karena itu akhirnya Amerika dan PBB
berinisiatif untuk membujuk Belanda agar mau menyerahkan kembali Irian Barat ke
dalam NKRI. Begitu juga dengan Negara
Australia yang semula mendukung Papua untuk merdeka akhirnya bersedia mendukung
Papua kembali ke Indonesia atas desakan Amerika Seriakat.
Setelah Papua
menjadi bagian dari Negara Indonesia, masalah tidak hanya selesai sampai si
situ saja. Ketika pada tanggal 1 Mei
1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia.
Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru, dan pada 5 September 1963, Papua bagian
barat dinyatakan sebagai “daerah karantina”. Pemerintah Indonesia membubarkan
Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini
ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka
(OPM) pada 1965. Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah
Indonesia melakukan berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan
pemboman udara. Menurut Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua
telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah
melakukan berbagai tindakan kekerasan.
Jika OPM ini
telah melakukan berbagai tindak kekerasan, tentu kita akan bertanya-tanya dari
mana mereka bisa mendapatkan senjata atau modal untuk berperang melawan
Indonesia? Setelah saya mencari tahu lewat internet saya menemukan bahwa Organisasi
ini mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan Muammar
Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilya New People's Army
beraliran Maois
yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan
Nasional Amerika Serikat.
Untuk
mengatasi masalah di atas, maka pemerintah Indonesia pada tahun 1969,
menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diatur oleh Jenderal
Sarwo Edhi Wibowo. Menurut anggota OPM Moses Werror, beberapa minggu sebelum
Pepera, angkatan bersenjata Indonesia menangkap para pemimpin rakyat Papua dan
mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk memilih
penggabungan dengan Indonesia.
Pepera ini
disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah 200
suara (dari 1054) untuk integrasi.[9] Hasil PEPERA adalah Papua bergabung
dengan Indonesia, namun keputusan ini dicurigai oleh Organisasi Papua Merdeka
dan berbagai pengamat independen lainnya. Walaupun demikian, Amerika Serikat,
yang tidak ingin Indonesia bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet, mendukung
hasil ini, dan Papua bagian barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama
Irian Jaya.
Setelah penggabungan Patung di Jakarta untuk merayakan “pembebasan” Papua barat.
Setelah penggabungan Patung di Jakarta untuk merayakan “pembebasan” Papua barat.
Sementara
mengenai pendapat saya pribadi apakah saya mendukung atau menolak Irian Jaya
atau Papua untuk bergabung ke Indonesia? Saya sangat mendukung Irian untuk
menjadi bagian dari wilayah NKRI.
Mengapa demikian? Karena, sejak dulu, sejak kerajaan majapahit Papua
adalah menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
Begitu juga ketika negara ini dijajah oleh Belanda, mereka yang tinggal
di Papua juga merasakan hal sama.
"Kepolisian
Daerah Papua mengatakan menyelidiki kebenaran berita tewasnya dua orang warga
sipil di Sorong, Papua Barat akibat berondongan peluru Selasa (30/4) malam
hanya beberapa jam menjelang peringatan 50 tahun penyatuan Papua ke dalam
Republik Indonesia.
Sejumlah
laporan media menyebut dua korban adalah simpatisan kelompok pro-kemerdekan
namun polisi menyataka secara resmi belum ada laporan korban tewas akibat
penembakan.
“Masih kita
selidiki apakah benar informasi itu, karena sampai saat ini informasinya simpang
siur dan belum ada laporan mengenai hal tersebut,” kata Juru bicara Kepolisian
Daerah Papua Komisaris Besar (Pol) I Gede Sumerta Jaya, kepada Arti Ekawati
dari BBC Indonesia.
Media lokal
dan nasional menyebut dua orang warga Sorong, Abner Malagawak, 22, dan Thomas
Blesia, 28, tewas setelah diberondong peluru oleh seseorang dari sebuah mobil berkaca
gelap pada Selasa malam. Tetapi polisi
mengakui terjadi bentrok setelah penyerangan terhadap petugas gabungan polisi
dan TNI yang berpatroli daerah distrik Aimas, Sorong pada malam yang sama.
“Kejadiannya
sekitar pukul 00:30 sampai pukul 01:00. Ada sekelompok massa mencegat dan
melakukan pelemparan dengan berbagai senjata tajam,” tambah Sumerta. Polisi melepas tembakan dalam insiden
tersebut, namun hanya berbentuk "tembakan peringatan" ke udara agar
massa tidak lagi mengejar aparat.
Cermin
Ketidakpuasan
Dalam setahun
terakhir, intensitas bentrok dan kasus kekerasan antara warga dan aparat di
Papua makin sering menjadi berita utama media. Peneliti papua pada Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia LIPI, Adriana Elisabeth, menyatakan keadaan ini mencerminkan
meningkatnya sentimen ketidakpuasan warga Papua terhadap berintegrasi dengan
Republik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Adriana
mengatakan warga Papua antara lain menderita karena stigma daerah mereka
merupakan basis konflik.
“Stigma bahwa
Papua itu adalah daerah konflik dan separatis sangat menyakitkan bagi
orang-orang Papua. Seolah-olah menjadi orang Papua itu salah,” kata
Adriana. Ketidakpuasan juga muncul dari
berbagai kasus pelanggaran HAM yang dianggap tidak pernah diselesaikan dengan
tuntas.
“Ini selalu
jadi problem paling besar untuk case di Papua. Selama
berintegrasi dengan Indonesia mereka tidak pernah merasakan penyelesaian yang
adil, ya jelas ketidakpuasan itu akan terus muncul.”
Meski
demikian Adriana juga mengakui sebagian masyarakat lokal kini menikmati dana
otonomi khusus dalam bentuk beragam fasilitas infrastruktur yang sebelumnya
nyaris tak ada sama sekali.
Jakarta
menggelontorkan triliunan dana otonomi khusus, diluar anggaran belanja daerah,
untuk Papua dan Papua Barat sejak 2001. Tahun lalu jumlahnya mencapai Rp5,5
triliun untuk dua provinsi di ujung timur Indonesia tersebut. Namun
pemanfaatannya dipandang sangat kurang menyentuh hajat hidup rakyat
sesungguhnya, karena lebih banyak anggaran diserap sekelompok elit pejabat
daerah.
Dalam audit
Badan Pemeriksa Keungan terhadap dana Otsus Papua antara 2002-2010, ditemukan
penyimpangan mencapai Rp4,28 triliun. DPR
kini juga tengah meminta audit yang sama untuk pemanfaatan dana Otsus tahun
2011-2012."
Kesimpulan
dari pertemuan ini adalah ternyata masih banyak sekali sejarah yang
dimanipulasi oleh orang-orang yang berkuasa.
Masih banyak juga sejarah yang masih ditutup-tutupi kebenarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic