Senja pun telah bergulir, berganti pekatnya
malam berhiaskan gemintang perak menggantung di hamparan langit hitam. Sirius
mulai menampakkan diri ditemani bola kuning bercahaya, rembulan. Inilah saatnya aku mulai membuka lembaran demi
lembaran dari buku catatanku, dan ku rangkaikan kata demi kata untuk mengulas
kembali apa yang telah dibahas oleh Mr. Lala Bumela, M.Pd minggu lalu dalam
mata kuliah “Writing 4”.
Pada pertemuan kemarin, kami
masih membahas tentang sebuah tulisan yang berjudul “Don’t use
your data as a pillow” karangan S.Eben Kirksey. Dalam tulisan tersebut penulis menjelaskan
makna yang terkandung dalam artikel “Don’t Use Your Data as a Pillow” di setiap
paragrafnya. Di paragraf pertama, Eben menuliskan
keterkesanannya terhadap sebuah pesta yang sengaja dibuat oleh warga Papua untuknya
sebelum ia kembali ke Negara asalnya.
Pesta itu diselenggarakan oleh Denny Yomaki, seorang pekerja hak asasi
manusia untuk menandai akhir dari penelitian Eben yang jatuh pada bulan Mei
2003. Dari pesta itulah, Eben berharap
pesta tersebut bisa menjadi bagian dari sebuah ritual sebagai pertanda
lancarnya transisi dalam jaringan baru atas kewajiban dan tugasnya.
Paragraf kedua, membahas
tentang tujuan kedatangan Eben ke Papua
Barat yakni untuk melakukan penelitian tugas tesisnya di New College of
Florida. Ia datang ke Papua Barat untuk
yang pertama kalinya yaitu sekitar lima tahun sebelum 2003, tepatnya pada tahun
1998. Setelah kejadian itu barulah
"Papua Barat" secara resmi dikenal sebagai "Irian
Jaya." Pada mulanya Eben berniat
untuk mempelajari kekeringan (El Nino) yang melanda wilayah tersebut. Namun, ketika ia tiba, rintik hujan mulai
turun dan membasahi daerah tersebut.
Karena turunnya hujan, akhirnya Eben tidak merasa antusias lagi untuk
mempelajari dan meneliti kekeringan yang melanda wilayah tersebut. Pada saat itu, bertepatan dengan masa
reformasi dimana Soeharto, sebagai seorang presiden yang paling lama menjabat
di Indonesia, baru saja digulingkan oleh gerakan reformasi. Di hari itu mereka merasa bebas dan
merdeka. Setelah kejadian itu, muncullah
seruan dari nasionalis Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaannya dari
kolonialisme Belanda, yaitu gerakan merdeka. Gerakan merdeka adalah gerakan
inspirasi yang ingin membebaskan diri atau memerdekakan diri dari Negara
Indonesia seperti yang ada di Aceh, Papua Barat, dan Timor Timur. Awalnya Eben merasa kebingungan, mengapa
mereka harus repot-repot memisahkan diri dari pemerintah untuk membentuk
wilayah baru? Padahal menurut Eben, dengan adanya sebuah gerakan reformasi yang
popular ini justru dapat melenturkan otot-otot di seluruh Indonesia setelah
tersingkirnya Soeharto.
Paragraf ketiga,
menceritakan tentang alasan mengapa Papua Barat ingin memisahkan diri
dari Indonesia. Hal ini karena dilatarbelakangi oleh banyaknya peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh militer
Indonesia terhadap golongan oposisi (anti pemerintah), dimana ada seorang
mahasiswa yang ditembak kepalanya hingga tewas serta puluhan demonstran tak
bersenjata lainnya yang dibuang dan ditenggelamkan ke dalam laut. Dari serangkaian peristiwa inilah, Eben mulai mengerti mengapa banyak orang Papua Barat yang ingin
mengambil jalan kemerdekaan bukan reformasi.
Pada paragraf keempat,
Eben kembali melakukan perjalanan ke Papua Barat untuk mencatat
cerita tentang adat atau budaya khas dari daerah tersebut. Dari beberapa cerita yang ia dengar, akan
menjadi sebuah cerita yang familiar bagi siapapun yang setiap harinya mengikuti
berita tersebut, dari mulai daerah yang memiliki banyak konflik tentang
penyiksaan yang dilakukan oleh anggota militer Indonesia, maupun peran
pemerintah AS dalam mendukung pasukan militer Indonesia, serta keinginan mereka
untuk merdeka. Bahkan masih banyak lagi cerita-cerita lain yang membuatnya
lebih terkejut.
Paragraf kelima,
menjelaskan tentang masyarakat
Papua yang ingin menjadikan Eben sebagai sekutu atau partner kerjasama mereka,
karena mereka menganggap Eben memiliki potensi dan keahlian. Di samping itu, seorang aktivis hak asasi
manusia juga mendorongnya untuk meneliti kampanye teror yang dilakukan oleh
pasukan militer Indonesia terhadap masyarakat Papua. Dengan mempelajari dimensi
budaya kekerasan, Eben berharap penelitiannya dapat membantu rakyat Papua untuk
meraih kebebasan dari teror rezim yang sedang beredar dikalangan penduduk
Indonesia.
Paragraf keenam, menceritakan
bagaimana Eben menikmati pesta perpisahan itu yakni dengan berbincang-bincang
bersama Denny Yomaki. Di situlah ia bertemu
dengan Waropen untuk yang pertama kalinya.
Waropen adalah seorang penghasut muda di akhir tahun 20-an, yang pasca
pemerintahnya baru-baru ini telah diciptakan untuk menanggapi tuntutan gerakan
reformasi di Indonesia.
Paragraf ketujuh, menceritakan tentang kunjungan Eben
dan Denny ke Wasior yang dilakukan beberapa minggu terakhir. Wasior merupakan daerah asal Waropen, tempat
di mana polisi Indonesia baru-baru ini melakukan serangan berkelanjutan
tepatnya pada dugaan separatis Papua yang bernama “Operasi Pengasingan dan
Pembasmian” (Operasi penyisiran dan penumpasan). Tujuan mereka pergi kesana yakni untuk
menyelidiki rumor bahwa agen-agen militer Indonesia diam-diam mendukung anggota
milisi Papua.
Paragraf kedelapan, menceritakan tentang proses penelitian
mereka di Wasior yang berlangsung di bawah kondisi pengawasan intens. Mereka kesulitan untuk mencari informasi dari
orang-orang yang ada di daerah tersebut karena anggota militer Indonesia selalu
mengawasi mereka, sehingga tidak ada yang mau diwawancarai. Kalaupun ada yang mau diwawancarai, maka
wawancara tersebut harus dilakukan di malam hari.
Paragraf kesembilan, menjelaskan bahwa agenda
penelitian ambisius juga telah mereka awali termasuk rencana untuk mewawancarai
dukun terkenal di pegunungan yang dekat dari daerah tersebut. Beberapa dukun ini telah mengklaim bahwa
merekalah yang bertanggung jawab atas penyebab terjadinya gempa bumi baru-baru
ini di Indonesia tepatnya di bagian tengah pulau Jawa. Selain itu mereka pulalah yang menjatuhkan
sebuah pesawat yang membawa petinggi militer Indonesia. Karena Denny dan Eben sedang berada di bawah
pengawasan anggota militer Indonesia, jadi mereka tidak ingin mengambil risiko
jika mereka menghubungi dukun tersebut.
Paragraf kesepuluh, menceritakan bahwa beberapa
minggu kemudian Eben pergi menemui Telys Waropen untuk mempelajari tentang
perdukunan yang terjadi di Papua, tepatnya di daerah Wasior, agar ia bisa
menyelesaikan tugas tesisnya. Sehingga Eben mengambil kesempatan ini untuk
mengisi kesenjangan dalam penelitian Eben.
Paragraf kesebelas, membahas tentang pandangan Eben
terhadap Waropen bahwa Waropen adalah narasumber yang sangat penting bagi Eben
dalam rangka menyelesaikan tugas penelitiannya.
Selain itu, Eben juga meminta Waropen untuk mewawancarainya. Dalam wawancara tersebut, Waropen mengajukan
beberapa pertanyaan kepadanya seperti "apa jenis penelitian yang anda lakukan?", "mana
identitas narasumber anda?”, apakah itu tidak penting?”, “bukankah data Anda
akan menjadi lebih kuat jika anda mengutip sumber-sumber yang
terpercaya?”. Pada dasarnya, ketika Eben
akan pergi ke pesta yang diselenggarakan di rumah Denny, ia telah melakukan
lebih dari 350 wawancara berbahasa Indonesia dengan politisi Papua, korban
kekerasan, tahanan politik, pejuang gerilya, aktivis hak asasi manusia, dan
pemimpin adat. Akan tetapi, semua
wawancara yang telah ia lakukan sebelumnya, tidak disebutkan nama
narasumbernya. Hal inilah yang membuat
Waropen sedikit cemas karena Eben tidak menyebutkan nama narasumbernya.
Di paragraf kedua belas, rekan-rekan serta
mentor-mentor informalnya menyarankan Eben untuk menyimpan semua sumber yang
tidak diketahui namanya agar bisa mendapatkan pengecualian dari dewan review
kelembagaan universitasnya. Melalui
penelitian lapangan di Papua Barat, telah membawa Eben pada sebuah kesimpulan
bahwa menjaga sumber anonim bukan hanya sekedar sarana untuk menghindari omong
kosong birokrasi semata. Akan tetapi,
dengan menjaga sumber-sumber anonim yang Eben lakukan, jelas menimbulkan
konfrontasi dari beberapa orang Papua, seperti halnya Waropen yang ingin
kutipan mereka dapat diakui sebagai intelektual publik. Dengan adanya konfrontasi ini, Eben dipaksa
untuk mempertimbangkan kembali kepribadian, keprofesionalan, hukum, serta
kewajiban etis yang masih berantakan.
Paragraf ketiga belas, menjelaskan bahwa sumber
Anonymous (yang tidak diketahui namanya) dianggap sebagai sebuah pengertian
yang masih mencurigakan dan penuh misteri oleh para pembaca surat kabar atau
majalah. Bahkan menurut Boeyink (1990),
jurnalis dan editor biasanya menggunakan satu set pedomannya dengan sangat
teliti, untuk menentukan kapan mereka harus menggunakan sumber anonym. Kriteria ini dilakukan agar pembuatan cerita
yang ditulis oleh penulis yang tidak etis dan penyebaran informasi yang salah
dari sumber yang telah Eben dapatkan dari telinga wartawan dapat tetap
terjaga. Selain itu, strategi kutipan
tersebut juga dapat memiliki fungsi hukum juridico yang legal: hal ini
merupakan cara bagaimana jurnalis dan penerbit melindungi dirinya dalam gugatan
pencemaran nama baik. Setelah melakukan
praktik etnografi yang standar selama wawancara berlangsung, Eben telah
melakukan pendekatan dengan gagasan bahwa ia bisa belajar tentang sesuatu,
sekalipun jika sumbernya anonym atau
bahkan sengaja berbohong. Dari wawancara
tersebut, ia mendapatkan informasi yang sangat terkenal yaitu tentang
pengalaman hidup seorang yang merasa dirinya diteror atau bahkan hilang begitu
saja, yang tidak dapat dibicarakan di depan umum atau ditulis dalam catatannya.
Pargraf keempat belas, menceritakan bahwa ketika
Waropen ada dihadapan Eben, ia menanyakan Eben tentang kerealibitasan dari
data-datanya. Kemudian setelah itu, Eben
mencoba untuk menunjukkan kepada Waropen tentang bagaimana pandangannya
terhadap kritik budaya dan teori pasca-struktural yang dapat menawarkan
perspektif segar pada konflik yang terjadi di Papua Barat. Eben memberikan saran yang mungkin dapat
membantu mereka untuk memahami bagaimana sebuah isu dapat menghasilkan sebuah
teror atau rasa takut sebagai salah satu rute untuk menuju sebuah kemerdekaan
(kebebasan). Ia sangat sadar bahwa
sebuah rumor atau isu dapat membantu menghasilkan sebuah teror. Namun, wawasan ini tidak membantunya untuk
mendapatkan daya tarik di ranah hukum yang memiliki standar berbeda dari
bukti-bukti yang sudah berlaku. Waropen
mengatakan kepada Eben bahwa ia ingin melihat anggota pasukan keamanan dituntut
di pengadilan Indonesia. Oleh karena
itu, perlu adanya rekonstruksi (pembangunan kembali) untuk pemerataan
desa-desa. Ia bahkan melihat Eben
sebagai sekutu yang memiliki potensi, akan tetapi ada beberapa hal serius yang
harus ia pelajari kembali.
Paragraf kelima belas, membahas tentang perdebatan
antara Waropen dan Eben mengenai kasus Eben yang membenarkan
penelitiannya. Berawal dari perdebatan
itulah baru kemudian Waropen berkata kepada Eben, "Jangan gunakan data
Anda sebagai bantal untuk tidur ketika Anda akan kembali ke Amerika,"
Waropen bahkan bersikeras menegaskan kepadanya bahwa "Jangan hanya
menggunakan ini sebagai jembatan untuk peluang keprofesionalan diri anda
sendiri."
Paragraf keenam belas, menjelaskan bahwa pada bagian
ini, Waropen memprovokasi Eben untuk menjadi seorang ahli yang dapat diandalkan
yakni orang yang dapat mengetahui hal-hal dengan pasti dan dapat mengambil
pertanyaan akuntabilitas secara serius (dapat dipertanggungjawabkan). Sedangkan di paragraf ketujuhbelas,
menceritakan bahwa Waropen meminta Eben untuk memikirkan kembali informasi yang
telah ia dapatkan untuk dijadikan sebagai "data" dari antropologi
budaya. Ia bahkan mendorong Eben untuk
menjadi seorang penerjemah yang lebih baik, dan lebih otoriter. Selain itu, ia juga menantang Eben untuk
mengetahui tentang hal-hal penting serta dapat mengenal hal tersebut dengan
baik. Konfrontasi inilah yang mendorong
Eben untuk menerjemahkan suatu pengetahuan yang belum mereka ketahui ke dalam
bentuk narasi atau tulisan agar bisa dibaca oleh semua orang dan berharap bisa
dipublikasikan ke dunia luar.
Paragraf kedelapan belas, membahas tentang pendapat
Eben yang menyebutkan bahwa hanya dengan menerbitkan temuannya dalam jurnal
peer-review, atau menggunakan datanya untuk memajukan peluang
keprofesionalannya sendiri, itu semua sudah cukup. Namun hal ini jelas tidak dapat diterima oleh
Waropen. Meskipun pada saat Eben bertemu
dengan Waropen, ia telah menerbitkan sejumlah artikel koran tentang Papua
Barat, akan tetapi bagi Waropen semua itu belum cukup. Waropen bahkan menantang Eben untuk mengambil
tindakan nyata. Konfrontasi inilah yang
membuat Eben berpikir tentang bagaimana ia bisa mulai melakukan penelitiannya
lebih dari sekedar menulis kata-kata, serta bagaimana caranya ia bisa mulai
untuk membawa pengetahuannya tentang Papua Barat agar dapat dipublikasikan ke
dunia luar.
Paragraf kesembilan belas, menceritakan bahwa pada
saat Eben dan Denny Yomaki melakukan perjalanan ke Wasior, mereka meneliti
rumor (isu) tentang keterkaitan British Petroleum (BP) terhadap kekerasan yang
terjadi di Papua baru-baru ini.
Perusahaan ini sebelumnya bernama "British Petroleum," namun
untuk mengubah citra dirinya BP mengubah namanya menjadi "Beyond
Petroleum” hingga menghabiskan dana lebih dari £ 100 juta. BP baru saja mulai
mengeksploitasi ladang gas alam di Papua Barat yang diperkirakan akan
menghasilkan keuntungan lebih dari $ 198.000.000.000 (Vidal 2008).
Ternyata setelah saya teliti, dalang dibalik
semua kekerasan yang terjadi di Papua baru-baru ini khususnya di daerah Wasior
adalah “British Petroleum (BP)”.
Merekalah yang mengadu domba antar penduduk Indonesia bahkan antar
sesama anggota militer Indonesia, dan mereka pulalah yang membiayai agen
militer Indonesia untuk memprovokasi kekerasan dalam upaya konvensional yang
dapat menguntungkan BP. Oleh karena itu,
penyebab dari semua ini bukan semata-mata karena masalah nasionalisme seperti
adanya OPM, kesenjangan ekonomi, maupun poilitik, melainkan yang menjadi
permasalahan dari semua ini adalah “UANG”.
Sekilas
Info tentang BP
BP Indonesia merupakan perusahaan minyak dan gas bumi yang berkantor
pusat di London, Kerajaan Inggris.
BP telah beroperasi di Indonesia lebih dari 35 tahun, kini menjadi salah satu investor terbesar di
Indonesia, dengan investasi kumulatif lebih dari USD 5 Milyar. Akui sisi asset ARCO pada tahun 2000-an dan
persetujuan dari Pemerintah Republik Indonesia pada Maret 2005 untuk memulai konstruksi LNG Tangguh, memperbesar secara signifikan posisi BP pada sektor energi di Indonesia. Saat ini BP Indonesia memiliki karyawan lebih dari 1.000 orang, yang
sebagian besar berada di Jakarta dan Papua Barat. Itulah sekilas
info tentang perusahan BP di Indonesia.
Paragraf kedua puluh, membahas tentang wawancara Eben
di Wasior dengan beberapa agen ganda Papua "pejuang kemerdekaan",
yang ia anggap bahwa mereka masih bagian dari anggota militer Indonesia. Dalam wawancara tersebut, salah seorang dari
mereka mengaku bahwa mereka akan membunuh para perwira polisi Indonesia. Bahkan pria tersebut juga mengaku bahwa
mereka mendapatkan dukungan logistik dan intelijen dari militer Indonesia. Semua ucapan yang ia lontarkan kepada Eben,
berhasil ia rekam di dalam tape recordernya.
Melalui sumber ini dan wawancara lainnya, Eben berhasil membuktikan
rumor tentang keterkaitan proyek BP terhadap kekerasan yang terjadi di
Wasior. Disamping itu, orang tersebut
juga mengatakan kepada Eben bahwa hidupnya terancam dalam bahaya. Dia mengatakan bahwa seorang perwira militer
yang aktif bertugas telah mencoba untuk membunuhnya dikarenakan ia tahu banyak
tentang misi-misinya. Jadi, pria
tersebut merasa bahwa Eben bisa menolongnya untuk melarikan diri dari situasi
yang sekarang sedang ia alami.
Sayangnya, Eben tidak mampu untuk melakukan hal itu.
Paragraf kedua puluh satu, menjelaskan bahwa pada
akhir bulan Mei 2003 John Rumbiak, seorang pembela hak asasi manusia di Papua,
meminta Eben untuk menghadiri pertemuan di markas besar BP yakni di London
dengan Dr. Byron Grote, Ketua bagian keuangan (Chief Financial Officer/CFO)
dari perusahaan BP. Dalam pertemuan
tersebut menyinggung bahwasanya BP sedang melatih sebuah "keamanan
berbasis komunitas (community-based security)" yakni memaksa sekelompok
penjaga keamanan Papua yang akan meminimalkan kebutuhan untuk bekerja sama
dengan pasukan keamanan Indonesia.
Rumbiak telah mengamankan pertemuan tersebut untuk membicarakan tentang
bagaimana kebijakan keamanan BP terhadap pengaruh iklim HAM yang terjadi di
Papua Barat. Rumbiak bahkan meminta Eben
untuk bergabung dengan pertemuan tersebut agar Eben bisa mempresentasikan hasil
penemuannya tentang kekerasan milisi yang terjadi di Wasior. Dengan kata lain, Rumbiak sedang menciptakan
Eben untuk menjadi saksi yang dapat diandalkan, yakni sebagai seorang ahli
Papua Barat yang akan siap untuk membuat klaim kuat terhadap sebuah
pengetahuan.
Paragraf kedua puluh dua, menceritikan tentang awal
mula Eben bertemu dengan John Rumbiak.
Sebelum pengangkatan di kantor pusat BP, Eben bertemu dengan Rumbiak,
seorang pria kurus yang murah senyum, di sebuah warung kopi yang ada di pusat kota
London. Awalnya, mereka berdua tersesat,
akan tetapi setelah mereka berdua meminta petunjuk dari para penjaga di Saint
James Palace, kediaman resmi Ratu, akhirnya mereka bisa menemukan kantor BP,
dan pada waktu itu mereka sudah terlambat 20 menit di pertemuan itu.
Di paragraf kedua puluh tiga, mereka mulai masuk ke
kantor pusat BP dan bertemu dengan CFO Byron Grote dan John O'Reilly. John O'Reilly adalah wakil presiden senior BP
untuk Indonesia. Pada saat Eben berhadapan
dengan kedua penguasa Eropa itu, ia merasa adrenalinnya semakin tertantang. Sedikit membahas tentang Byron Grote dan John O'Reilly, keduanya
pernah bekerja untuk BP di Kolombia, di mana perusahaan ini terlibat dalam
kontroversi ketika regu kematian paramiliter mulai membunuh aktivis lingkungan
(Gillard 2002).
Paragraf kedua puluh empat, menceritakan tentang
diskusi antara Rumbiak, Eben dan Dr. Grote yang bersifat sangat rahasia karena
Dr. Grote meminta mereka untuk tidak merekam diskusi tersebut. Akan tetapi Rumbiak tidak bisa mengabulkan
permintaanya dikarenakan rakyat Papua Barat ingin tahu apa yang mereka
bicarakan ketika Rumbiak bertemu dengan Dr. Grote. Dalam diskusi tersebut, Rumbiak langsung menyampaikan
sebuah pesan dari masyarakat Papua yang menyebutkan bahwa mereka menuntut kebijakan
seperti kontrak keamanan dan pendapatan yang akan diberikan oleh BP kepada
mereka.
Paragraf kedua puluh lima, berisi tentang tanggapan
Dr. Grote yang menyatakan bahwa "kekerasan itu tidak baik untuk sebuah
bisnis." Bagi mereka, bekerja di
Papua Barat merupakan salah satu tantangan terbesar yang harus mereka
ambil. Mereka yakin bahwa kebijakan
keamanan berbasis masyarakat akan tetap berjalan. Jika mereka membatalkan proyek ini, maka
perusahaan lain yang tidak berbagi kode etik akan masuk dan mengembangkan
ladang gas ini. Bahasa yang digunakan
oleh Grote begitu menggoda dan mengundang.
Bahkan dalam diri Eben pun masih bertanya-tanya, apakah mungkin
perusahaan ini bisa menjadi kekuatan untuk membantu mengesampingkan militer
Indonesia di Papua Barat.
Paragraf kedua puluh enam, menjelaskan bahwa Rumbiak meminta
Eben Kirksey untuk mempresentasikan hasil penemuannya sewaktu di Wasior. Dengan
jantung yang berdebar-debar, ia mencoba merangkum serangkaian peristiwa yang begitu rumit. Dalam
presentasinya, ia menceritakan hasil wawancaranya dengan salah satu anggota
milisi Papua yang merasa hidupnya terancam.
Orang tersebut mengatakan bahwa, "dia mengaku telah membunuh
sekelompok polisi Indonesia dengan bantuan agen militer Indonesia.” Pembunuhan
itu terjadi pada hari yang sama dimana John O'Reilly, Wakil Presiden senior BP
untuk Indonesia, sedang mengunjungi lokasi proyek gas dengan seorang Duta Besar
dari Inggris yang bernama Richard Gozney.
Kemudian dengan adanya peristiwa itu, insiden tersebut dijadikan sebagai
alasan untuk meluncurkan Operasi pengasingan dan pemusnahan oleh polisi
Indonesia, karena baik anggota polisi maupun militer, keduanya ingin
mendapatkan kontrak perlindungan dari BP.
Dalam sebuah
video wawancara Profesor Noam Chomsky yang saya dapatkan dari berita
terkini pada tanggal 14 desember 2013, yang berbicara tentang Papua Barat. Dalam video tersebut, ia menganggap
kasus Papua Barat sebagai skandal besar yang dilakukan negara-negara
Barat. “Saya pikir perlawanan Papua Barat akan berdiri dengan kasus
lainnya, yakni dalam perlawanan terhadap teror dan penindasan besar-besaran
sebagai inspirasi dari apa yang dapat dicapai oleh manusia dan itu belum tentu
berhasil. Akan tetapi jika Negara-negara Barat bersedia untuk menghadapi
tanggung jawab dan tindakan itu, maka hal ini pasti akan berhasil.” kata Noam
Chomsky tentang perlawanan rakyat Papua Barat.
Noam Chomsky menyebutkan Amerika Serikat dan Australia sebagai
aktor utama dibalik skandal Papua Barat, karena hal ini dilatarbelakangi
oleh kepentingan mereka atas sumberdaya alam yang ada di Papua Barat.
Baginya, Indonesia hanyalah sebuah negara yang disupport oleh Amerika Serikat
untuk menjalankan skandal tersebut.
Seperti halnya kasus Timor Leste yang “dimainkan” oleh Australia.
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa ternyata dalang dibalik semua konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua Barat
baru-baru ini khususnya di daerah Wasior adalah “British Petroleum (BP)”. Merekalah yang mengadu domba antar penduduk Indonesia
bahkan antar sesama anggota militer Indonesia, dan mereka pulalah yang
membiayai agen militer Indonesia untuk memprovokasi kekerasan dalam upaya
konvensional yang dapat menguntungkan perusahaan mereka. Oleh karena itu, penyebab dari semua ini bukan
semata-mata karena masalah nasionalisme seperti adanya OPM, kesenjangan
ekonomi, maupun poilitik, melainkan “UANG” lah yang menjadi penyebab dari
semua permasalahan ini.
Referensi
· http://papuapost.com/2013/12/noam-chomsky-kasus-papua-barat-itu-major-scandal/ diakses pada
tanggal 14 April 2014 pukul 19.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic