Selamat
malam semesta? Apa kabar dunia? Adakah yang sedang mengalami hal yang sama
sepertiku? Diharuskan menulis menepati deadline dengan tema yang paling dibenci, bukan bukan benci lebih tepatnya, maksudku tidak terlalu menyukai
temanya. Ya, kali ini keadaan yang sedang menimpaku seperti ikan yang sedang
berada di darat. Aku tak bisa bernafas. Aku sama sekali tak bisa hidup di
tempat ini. Aku tidak menyukai sejarah. Hal yang sungguh membuat aku mesti
berpikir dengan kefokusan 10 kali lipat lebih dari sebelumnya, yaitu saat aku mencoba
untuk berusaha memahami tentang sejarah. Sama sekali aku tidak tertarik,
membaca-baca sejarah membuatku terus mengantuk dan bosan.
Cukup
mengeluhnya. Mengeluh bukan solusi terbaik dan tidak membawa penyelesaian
apapun. Hei semesta, lihatlah perjuanganku. Mencoba, mencoba, mencoba!
Kubiarkan aku mengalir ditengah antusias keingintahuanku. Mendengarkan
satu-persatu teman-temanku mengajariku tentang sejarah mengenai pemicu dari
berbagai konflik yang terjadi di Papua Barat. Diantara teman-temanku
masing-masing mengajariku dengan pemahaman yang berbeda-beda mengenai pemicu
konfliknya. Aku bingung harus memihak yang mana, yang benar yang mana ya? Hmmm,
kuputuskan merangkum semua pemahaman teman-temanku dan juga tentunya browsing di
mbah Google. Semoga rangkumanku... ya paling tidak sedikit mengarah pada benang
merah dari artikel “Don’t use your data as pillow.” Bismillah, semangat.
Papua,
pastinya hampir seluruh penduduk Indonesia yang berliterasi tentunya mengetahui
bahwa ada berbagai macam tindakan kekerasan yang terjadi di Papua yang dipicu
oleh berbagai konflik dari dulu kala hingga saat ini. Di indonesia, Papua
merupakan provinsi terbesar dan memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah. Tentunya berbagai oknum menginginkan menguasai provinsi Papua, namun Indonesia
tetap gigih mempertahankan Papua sebagai bagian dari NKRI. Berbagai Konflik
kekerasan menyebabkan terasingnya penduduk pribumi Papua dari kedamaian. Belum
ada titik terang yang mampu meredam pemicu dari berbagai konflik tersebut.
Pemain-pemain yang berperan menciptakan berbagai konflik tersebut adalah
British Petroleum (perusahaaan gas field yang bermukim di Papua Barat),
Organisasi Papua Merdeka (OPM, gerakan yang menginginkan Papua merdeka, memisahkan diri dari Indonesia), Polisi, Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Bagaimana peran mereka dalam menciptakan konflik-konflik yang sampai
sekarang terus menjauhkan kedamaian di provinsi Papua? Berikut di dalam artikel
“Dont Use Your Data As Pillow,” akan sedikit membawa pemahaman mengenai benang
merah dari kekerasan yang terus melingkupi Papua. Terdiri dari 26 paragraf.

2.
Di tahun 1998 adalah untuk pertama
kalinya Eben datang ke Pupua untuk meneliti tugas akhir S1-nya di New
College of Florida. Pada saat itu Eben tertarik untuk meneliti kekeringan El
Nino, namun Eben mengurunkan niatnya untuk meneliti masalah kekeringan itu,
karena pada saat Eben datang ke Papua di sana sedang terjadi musim hujan. Ternyata permasalahan
yang terjadi di Papua bukan hanya masalah kekeringan, tetapi masalah
selanjutnya adalah masyarakat Papua menginginkan provinsinya benar-benar
merdeka. Pergerakan reformasi diluncurkan penguasa lama Soeharto, namun
masyarakat Papua tidak menginginkannya. Seperti yang disebut sebelumnya bahwa
masyarakat Papua hanya menginginkan benar-benar dapat meraih kemerdekaan.
Kemerdekaan berupa dapat memisahkan diri dari negara Indonesia, dengan kata lain dapat
membentuk negara sendiri. Masalah kemerdekaan yang diinginkan oleh masyarakat
Papua, bukannya reformasi. Hal itulah yang membuat Eben tertarik untuk meneliti
Papua lebih lanjut.
3.
Setelah Eben menyaksikan serangkaian
pembantaian yang dilakukan oleh militer Indonesia, misalnya ada mahasiswa yang
ditembak kepalanya dan juga ada puluhan demonstran tanpa senjata lainnya
dibuang ke laut. Karena itu Eben mulai menyadari masyarakat Papua bukan
menginginkan reformasi melainkan masyarakat Papua ingin Papua benar-benar dapat
meraih kemerdekaan. Latarbelakang terjadinya pembantaian-pembantaian itu
karena banyak terjadinya pembunuhan oposisi. Oposisi adalah anti pemerintahan
Indonesia. Selain itu pembantaian yang dilakukan militer Indonesia juga
dilatarbelakangi karena apabila terlihat jiwa-jiwa pemberontak (mendukung Papua
merdeka), maka ia akan langsung dibunuh. Berbagai latarbelakang pembantaian itu
mengindikasi bahwa kampanye genosida (Pembunuhan besar-besaran) telah
benar-benar terjadi di Papua. Dalam rangka membumihanguskan seluruh jiwa-jiwa
pemberontak, militer Indonesia mengirimkan 5000
pasukannya. Setiap satu prajurit mengawasi 24 warga Papua.
4.
Setelah Eben lulus dari University of
Oxford dan University of California Santa Cruz, Eben datang kembali kedua
kalinya ke Papua Barat, dimana pada saat itu Eben mencatat cerita-cerita dari
penduduk asli Papua Barat. Beberapa cerita-cerita yang dengar terdengar
familiar bagi siapa saja yang mengikuti laporan berita keseharian dari
konflik-konflik yang terjadi di Papua tentang konflik, penyiksaan, peran
amerika yang mendukung dan berkaitan dengan OPM. Ada cerita lain yang
mengejutkan Eben, bahwa ada teror yang dilakukan oleh “Drakula.” Drakula adalah
sebutan dari rakyat Papua untuk TNI (militer Indonesia). Penemuan yang tidak
diharapkan seperti musim hujan datang di saat musim kekeringan, kejadian itu memaksa Eben
untuk memikirkan kembali objek penelitiannya. Oleh sebab itu Eben mengganti
penelitiannya mengenai keinginan rakyat Papua untuk merdeka
5.
Banyak rakyat Papua mencari Eben, karena
mereka menganggap Eben adalah sebagai seorang sekutu, seorang kalaborasi
potensial. Rakyat Papua ingin Eben bekerja sama dengan mereka. Eben menemukan
dirinya sedang ditarik oleh rakyat Papua ke dalam suatu gerakan yang
menjadi tujuan Eben datang ke Papua untuk belajar. Aktivis Hak Asasi Manusia
meminta Eben untuk melakukan penelitian kampanye teror yang dilakukan oleh TNI.
Dengan cara mempelajari dimensi tentang dimensi budaya kekerasan yang dilakukan
oleh TNI terhadap rakyat Papua. Dan berharap bahwa penelitian akan berguna untuk
memberikan kemerdekaan pada Papua.
6.
Deny memimpin doa. Doa tersebut berisi
untuk meminta kesehatan dan keselamatan agar Eben dapat kembali ke Amerika
dengan selamat setelah penelitiannya berakhir. Di pesta perpisahan ini,
Deny memperkenalkan Eben pada Telys Waropen. Waropen adalah anggota dari Komnas
HAM dan juga penghasut muda. Sesudah itu Eben dan Waropen berbincang-bincang
dan membicarakan banyak hal.
7. Menceritakan
tentang latar belakang Telys Waropen. Waropen berasal dari Washior, dimana
Washior adalah tempat Polisi Indonesia telah baru-baru ini mengadakan serangan
berkelanjutan terhadap gerakan separatis Papua (OPM), tepatnya gerakan itu
bernama “Operation Isolate and Annil ilate” (Operasi Penyisiran dan Penumpasan
yang dilakukan oleh TNI Polisi Indonesia). TNI ingin memberantas segala hal
yang mendukung kemerdekan bagi Papua. Tujuan Eben dan Denny datang ke Washior adalah untuk
menyelidiki keterkaitan rumor bahwa ada beberapa TNI yang mendukung milisi Papua (OPM) diam-diam.
Namun sayangnya di Washior Denny dan Eben tidak bertemu dengan Waropen.
8.
Penelitian Eben dan Denny di Washior
mendapat pengawasan intens dari TNI. Mereka hanya dapat mewawancarai rakyat Papua yang berani mengambil resiko bersedia diwawancarai di depan
TNI. Mereka mewancarai rakyat Papua dari rumah ke rumah diliputi kegelapan malam
agar tidak tidak terlalu mendapat pengawasan ketat dari TNI.
9. Agenda Eben tidak hanya mewawancarai rakyat Papua di Washior, tetapi Eben juga mempunyai agenda untuk
mewawancari Shamans (Dukun/kepala suku di daerah-daerah Papua). Para shamans
memberi tahu kepada seluruh rakyat Papua bahwa musibah-musibah yang terjadi di
tanah Jawa, misalnya gempa bumi, pesawat
jatuh, letusan gunung berapi, dibuat oleh mereka (Indikasi para Shamans membenci
Indonesia). Kemudian Eben ingin menyelidiki kebenaran dari isu tersebut dengan
mewawancarai Shamans secara langsung. Sayangnya Eben tidak jadi mewawancarainya,
karena Eben tidak ingin mengambil resiko karena pengawasan TNI terlalu ketat.
10. Beberapa
minggu kemudian di pesta perpisahan Eben, Eben menyadari bahwa Telys Waropen
pernah mepelajari tentang Shaman (Kepala suku Washior). Pada saat tesis
S1 Waropen di Local University, Waropen meneliti Shamans. Berangkat dari sana Eben
mulai menyadari bahwa Waropen merupakan sumber penting tesisnya. Ini merupaka
kesempatan Eben untuk belajar mengenai Shamans pada Waropen.
11. Eben
meminta Waropen agar mau diwawancarai olehnya. Eben akan memastikan bahwa Eben
akan menjaga Waropen agar tetap anonim (Tanpa identitas). Namun disini
Waropen menolak dan justru menginginkan agar identitasnya tetap dimunculkan. Waropen
bertanya pada Eben “Penelitian seperti apa yang sedang kamu teliti sampai-sampai semua
identitas nara sumbermu kamu anonimkan?” Eben menjawab “Dimana identitas nara
sumber itu tidak penting” Waropen menyangkal “Jika kamu menggunakan data identitas
nara sumbermu, maka akan membuat datamu lebih kuat/kredibel.” Eben telah
mengadakan 350 wawancara dengan orang-orang Papua yang sebagai tokoh politikus,
korban kekerasan, tahanan politik, pejuang gerilya, dan para aktivis Hak Asasi
Manusia. Semua wawancara itu Eben lakukan dengan anonim. Berangkat dari sana
Eben heran, mengapa Waropen ingin sekali menunjukkan identitasnnya, sementara rakyat Papua lainnya tidak menginginkan identitasnya ditunjukkan. Hal
itulah yang membuat Eben heran dan bertanya-tanya.
12. Di
sini Eben menyatakan alasannya bahwa nara sumber yang dianonimkan itu merupakan
prosedur yang benar. Dosen pembimbing dan juga teman-teman Eben juga menyuruh
Eben agar data nara sumber harus dijaga agar tetep anonim, supaya tidak
membahayakan nara sumber, juga untuk menghindari birokrasi
pemerintahan. Eben terus mencurigai Waropen, mengapa Waropen ingin sekali
identitasnya ditunjukkan. Tak lama kemudian Eben menemukan jawaban dari pertanyaannya
itu. Waropen sangat ingin identitasnnya ditunjukkan karena ia merupakan seorang
intelektual publik, seperti beberapa rakyat Papua lainnya. Konfrontasi
(perdebatan) itu berisi Paksaan Eben pada Worapen, agar Waropen mau mempertimbangkan kembali
keputusannya. Prosedur anonim itu profesional, ada hukumnya, dan kewajiban
beretika, tegas Eben.
13. Eben menceritakan pada Waropen bahwa fungsi-fungsi
dari anonim itu penting, di samping agar menjaga kerahasiaan nara sumber juga
dipakai oleh beberapa jurnalis di seluruh dunia dan juga menjaga keetisan
penulis.
14. Masih berisi perdebatan Eben dengan Waropen mengenai data yang
yang dapat diandalkan/relibel. Eben mencoba menunjukkan Waropen bagaimana
wawasan dari cultural critism dan post-structural theory akan menawarkan
prespektif cerah untuk konflik di Papua. Eben berpendapat bahwa jika data
itu dibiarkan tidak anonim, maka data itu akan menghasilkan rumor. Setelah perdebatan panjang berlangsung diantara mereka,
Waropen pun menyadari jika dibiarkan anonim maka akan dapat memicu rumor serta teror
pada dirinya oleh TNI. Namun hal itu tidak cukup menyadarkannya, Waropen masih bertahan pada pendiriannya, yakni kontra terhadap anonim. Melalui tidak anonim/memunculkan identitas, Waropen
berharap agar dapat dikenal oleh dunia, kemudian dapat menuntut TNI di
pengadilan. Dari perdebatan panjang itu, Waropen melihat bahwa Eben adalah
seorang penulis yang potensial, tapi Eben masih perlu diajarkan kembali agar dapat berani memunculkan indentitas nara sumbe.
15. Perbincangan mereka
semakin memanas. Pada awalnya Eben berdalih pada Waropen: dalam kasus dari Hak
Asasi Manusia tentunya indentitas dari korban dan saksi mesti dilindung/dirahasiakan. Eben menjelaskan bahwa Identitas adakalanya dapat
dibagi pada publik dan ada juga yang mesti dirahasiakan. Eben berkata pada
waropen bahwa meskipun Waropen tidak memunculkan identasnya, tetap saja para
pembaca akan tertarik membaca penelitian Waropen tentang Shaman. buarkan identitas menjadi misteri bagi pembacanya. Kemudian
Waropen berkata pada Eben “Don’t use your data as pillow (Jangan hanya
menggunakan datamu sebagai sandaran/bantal, lalu kemudian kamu tidur diatasnya, lalu
menggunakannya kembali saat kamu kembali ke Amerika).” Waropen bersikeras
mendesak Eben agar jangan hanya menggunakan datanya sebagai jembatan untuk
meraih profesionalitasnya.
16. Dengan
kata-kata itu Waropen mencoba untuk memprovokasi Eben agar Eben dapat menjadi seorang regional
yang handal. Melalui kata-kata dari Waropen itu Eben mulai sadar dan
terinspirasi untuk tidak hanya menggunakan data-datanya sebagai sandaran. Pada
intinya paragraf enam belas ini berisi saat Eben mengambil kutipan-kutipan dari
beberapa ahli, misalnya Edward, Gayatri Spivak, New York illustrates, mengenai cara-cara agar menjadi seorang
penulis yang ahli, dengan cara melalui tidak lagi hanya menggunakan data-datanya sebagai
sandaran/bantal.
17. Waropen terus mendesak Eben agar dapat berpikir kembali mengenai “Data” menurut Eben. Waropen melakukan itu
karena ia sangat mendukung Eben agar dapat menjadi seorang penulis yang lebih baik lagi. Waropen
bertanya kepada Eben mengenai arti data, "Apakah pengumpulan data hanya
digunakan Eben sebagai profesionalitasnya saja? Apakah Eben tidak berniat
menggunakan datanya untuk membantu Papua?"
18. Jurnal
yang dibuat oleh Eben tidak disetujui oleh Waropen, karena Waropen menilai
tulisan Eben masih kurang profesional. Saat Eben telah memberikan jurnalnya
pada Waropen, Eben juga telah menerbitkan sejumlah arikel tentang Papua Barat
ke beberapa surat kabar. Tak hanya itu, Eben juga telah menulis karya eskperimental yang
mengeksplor bagaimana resistensi skema logging dan pasukan militer telah
terinspirasi oleh sebua sisntetis perpaduan lingkungan hidup dan praktik ritual
pribumi untuk surat kabar di London “The Guardian of London.” Namun tulisan
Eben yang di London menurut Waropen tidak banyak menunjukkan fakta-fakta, pada
saat itu juga Waropen meminta Eben agar Eben dapat lebih menekankan fakta-fakta
yang lebih tajam dan lebih terkontruksi. Melalu perdebatan ini membawa Eben
untuk berpikir dan terinspirasi bahwa Eben harus menulis
tentang datanya di Papua bukan hanya sekedar tulisan, melainkan Eben akan
membawa pengetahuannya tentang Papua tidak hanya di London, tetapi juga di
seluruh dunia.
19. Pada
saat Eben dan Denny sedang melakukan perjalanan ke Washior, Eben meneliti
tentang rumor hubungan antara BP dengan kekerasan-kekerasan yang baru-baru ini
terjadi. Pada awalnya perusahaan ini bernama “British
Petroleum (BP).” Bp menghabiskan dana yang cukup fantastik untuk mengubah citra/nama menjadi “Beyond Petroleum.” Bp mulai
mengeksploitasi lahan gas. Kabarnya agen militer Indonesia telah terprovokasi
kekerasan-kekerasan unkonvensional. Ada banyak kekerasan terjadi disebabkan
oleh BP, karena itu dibuat perjanjian antara BP dan militer Indonesia. Ternyata
ada militer yang bekerja untuk BP. Militer yang bekerja untuk BP dinamakan
Papua double agent. Ada agen militer Indonesia yang memprovokasi
kekerasan-kekerasan yang terjadi di bawah kontrak perlindungan BP, sehingga yang demkian itu menguntungkan BP.
20. Di
Washior Eben mengurus untuk mengamankan wawancara dengan Papua double agent.
Satu dari nara sumber mengaku bahwa benar konflik yang tercipta di Washior itu
memang benar terjadi karena Papua double agent. Namun di sisi lain nara sumber
itu juga mengaku akan dibunuh oleh TNI pro Indonesia. Selain itu ada beberapa
faktor yang lebih mengejutkan, yakni OPM ternyata mendapat persenjataan dari
Indonesia. Militer Papua juga mengaku mendapat perbekalan pendukung dari
tentara Indonesia. Mungkin TNI pro Papua mengambil
perbekalan senjata TNI pro Indonesia untuk OPM. Dan dari nara sumber itu juga
mengaku bahwa mereka diancam dibunuh oleh TNI Pro Indonesia, namun Eben tidak
bisa berbuat apa-apa.
21. Dua
minggu setelahnya Telys Waropen memerintah pada Eben agar Eben tidak hanya
menggunakan datanya sebagai pillow. Eben mendapatkan kesempatan kembali ke
London, dimana dulunya Eben adalah mahasiswa di Marshall Scholar at Oxford. Mei
2003, John Rumbiak (Pembela hak asasi manusia di Papua) meminta Eben untuk
menemaninya menghadiri rapat di BP London dan akan dihadiri oleh Dr.
Byron Grote (Kepala pimpinan keuangam CFO). Latarbelakang Rumbiak datang ke kantor pusat BP yang terletak di London adalah Rumbiak ingin mengadukan
mengenai kekerasan yang dilakukan BP di Papua.
22. Hanya menceritakan kronologi kejadian pada saat Rumbiak dan Eben
pergi ke London. Dimana mereka sempat tersesat saat mereka mencari gedung pusat BP
di London sehingga mereka terlambat 20 menit pada saat rapat.
23. Di
gedung pertemuan Eben dan Rumbiak bertemu dengan Dr. Grote dan John
O’Reilly. John O’Reilly adalah Wakil Presiden Bp di Indonesia. Grote dan O’Reilly
pernah bekerja untuk Bp di Colombia. Pada saat mereka bekerja disana juga pernah terjadi banyak kasus dan ditentang oleh para
aktivis lingkungan. Selama berlangsungnya rapat Eben merasa sangat terkesan, karena Eben
dapat berhadapan dengan dua orang yang paling berpengaruh di Eropa.
24. Grote
membuka pertemuan dengan meminta percakapan selama berlangsungnya rapat
tidak boleh direkam, karena rapat ini bersifat rahasia. Kemudian setelah itu
rapat dimulai. Rumbiak mengutarakan bahwa 80% keuntungan yang dijanjikan BP di
Papua untuk rakyat Papua tidak dipenuhi, selanjutnya militer yang bekerja
sama dengan BP telah banyak melakukan kekerasan. Jika Bp terus melakukan hal demikian, maka perusahaan lain di Papua akan meniru perilaku BP. Oleh sebab itu Rumbiak
menginginkan adanya kontrak perjanjian keamanan agar BP di Papua tidak akan mengulangi
kesalahannya lagi.
25. Dr. Grote menanggapi keinginan Rumbiak, “Kami menyadari bahwa timbulnya
kekerasan pada suatu bisnis memang tidak baik. Keterbukaan masyarakat akan
menciptakan lingkungan dimana bisnis dapat tumbuh subur. Bekerja di Papua Barat
merupakan tantangan besar yang harus kami ambil, namun itu merupakan
tantangan yang harus kami ambil. Kami yakin bahwa kebijakan keamanan
masyarakat berbasis masyarakat akan terus bekerja di sini. Jika kami membatalkan proyek ini
maka belum tentu perusahaan lain akan memiliki kode etik dan
mengembangkan lahan gas seperti kami. Eben bertanya-tanya setelah mendengarkan pernyataan
Dr. Grote yang sangat menggiurkan, reaksi Eben adalah mencurigai BP. Eben
mencium gelagat licik BP bahwa mungkin saja BP tidak hanya terlibat dalam
kemanan kerja sama dengan militer, mungkin saja BP memiliki hubungan dengan
OPM, mungkin saja BP yang mendanai persenjataan militer Pupua. Dengan demikian
bisa saja BP mempunyai hubungan dan rencana yang lebih besar dengan OPM di
bidang militer, karena selama pemberontakan OPM tidak melawan.
26. Eben
menceritakan temuannya di Washior kepada Dr Grote dan O’Reilly. Eben menjelaskan
mengenai bahwa ada Militer Papua yang ketakutan saat sedang diwawancarai, “Dia mengaku diancam akan dibunuh oleh sekelompok polisi Indonesia dengan
bantuan agen militer Indonesia,” Alasan polisi Indonesia melakukan insiden itu
karena mereka sedang melakukan operasi penyisiran dan penumpasan. Polisi dan
militer menginginkan kontrak perlindungan dari BP, agar BP tidak berbuat
sewenang-wenang lagi. Pembunuhan terjadi di hari yang sama ketika O’Reilly
sedang mengunjungi proyek gas dengan duta besar Inggris (Richard Gozney). Pada
intinya rakyat Papua ingin agen militer BP tidak melakukan kekerasan lagi di
Papua.
My
conclusion:

Badan keamanan Indonesia dan Papua sudah seperti boneka milik BP. BP memicu konflik dengan piawai, dan kemudian BP berperan seolah-olah dia yang akan menjadi Pahlawan dalam konflik yang ia buat. BP terus memprovokasi rakyat pribumi Papua agar mereka segera merdeka, sehingga BP dapat memegang perenan ekonomi sepenuhnya. Namun militer Indonesia tetap gigih mempertahankan Papua sebagai bagian dari NKRI. Akhirnya terjadilah konflik yang memakan banyak korban, militer Indonesia dengan OPM saling baku hantam. Dibalik layar BP ternyata secara diam-diam mendanai persenjataan untuk konflik TNI dan OPM. Demi memegang peranan ekonomi di Papua BP bertindak sangat licik mempertahankaan proyeknya. BP terus bertahan di Papua, karena Papua memiliki sumber kekayaan yang melimpah. Karena itu sampai saat ini berbagai konflik terus bertebaran meliputi negeri cendrawasih itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic