Menghela nafas panjang
setelah ku pulang dari kampus. Lelah rasanya namun harus ku kerjakan tugas
class review yang sudah menjadi tugas wajib mingguan anak pbi dalam Mata kuliah
writing. Tugas ini telah menjadi teman yang selalu ada dalam pikiran. Tugas
class review ini sudah menjadi teman kami selama 3 semester ini. Dan kami pun
tengah akrab dengannya. Sebenarnya apabila kami hanya membuat class review
layaknya class review biasana bukanlah hal yang terlalu sulit, meskipun
terkadang kesulitan untuk menumpahkan ide kedalamnya. Namun yang kami tulis ini
bukanlah sekedar class review biasanya, namun terkesan seperti wow class
review, bagamana tidak, materi yang selalu diberikan dalam class review sangat
beagam dan setiap pertemuannya dituntut untuk menggali dan menemukan hal baru.
Kami dapat mengambil hikmahmya bahwa dengan berteman dengan tugas kita akan
dikenalkan dengan yang namanya ilmu dan pengetahuan.
Kembaliku coba untuk
menuliskan beberapa kalimat lagi, namun masih terlalu sulit untukku merangkai
kata dan menyusun kalimat ditengah siang bolong yang masih terdengar suara -
suara kendaraan lalu lalang dijalan membuatku tidak fokus. Malam harinya,
mencoba untuk kembali menulis setelah usaha pertama pada siang hari gagal.
Selasa, 8 februari 2014,
harusnya ku telah selesaikan tugas membacaku, 26 paragraf. Namun pada hari itu
aku gagal menyelesaikannya. Sehingga bertumpuklah tugasku. Ku ambil paper
bacaan itu dan mulai kupahami perkalimat sesuai dengan permintaan Mr. Lala
Bumela.
Dalam paper yang kubaca
yang berjudul "Don't Use Your Data as a Pillow" menceritakan betapa
kompleksnya masalah yang dialami oleh bangsa kita sendiri, khususnya Papua
Barat. Masalah kompleksnya Papua sampai saat ini masih berkelanjutan.
Kompleksnya masalah yang terjadi di Papua antara lain seperti kemiskinan,
ketidakadilan perlakuan terhadap pemerintah Indonesia terhadap Papua dan
pembungkaman ruang berekspresi. Kabarnya sekarang para peneliti yang meneliti
ke Papua waktu yang diberilannya semakin sempit saja.
Beraneka ragam pendapat
menyeruak mengenai kompleksnya masalah di Papua. Semerawutnya permasalahan di
Papua makin sulit untuk terselesaikan karena banyak pihak juga yang saling
menyalahkan satu sama lain, membuat wacana yang terjalin dalam lingkungan
saling menurunkan derajat masing – masing dan menimbulkan propaganda yang
disebabkan meluasnya ketidakpercayaan Papua terhadapa para pemimpinnya yang
sebenarnya telah memiliki kuasa untuk mengelola Papua dengan sebaik – baiknya.
Dalam kondisi yang semerawut tersebut sehingga di Papua banyak pula yang
memanfaatkan keadaan tersebut untuk mempolitisasi, seperti yang dilakukan BP
kepada Papua. Tindakan politik yang dilakukan oleh BP dengan membiayai OPM dan
menawarkan bantuan terhadap Papua yang tergolong wilayah yang masih banyak
sekali memerlukan perbaikan disana – sini dan segala bidangnya. Dengan
penawaran bantuan yang ditawarkan oleh BP maka BP akan dengan sangat mudah
untuk diberikan akses untuk mengeruk kekayaan yang terdapat di Papua. Dapat
dimengerti harapan BP untuk mendapatkan imbalan dari semua yang telah BP
berikan, ternyata hanya ingin memperoleh sumber kekayaan Papua semata. Kekayaan
alam Papua ternyata tak setimpal dengan keadaan sosial dikehidupan
masyarakatnya. Hal tersebutlah yang menjadi dasar kompleksnya masalah di Papua.
Pemicu permasalahan yang
terjadi di Papua lainnya tidak hanya hal diatas, kekerasan yang terjadi di
Papua terhadap penduduknya terjadi akibat ketidakseimbangan yang dialami
masyarakat Papua dari sisi hubungan daerah dengan pusatnya, dan masalah
pelanggaran HAM. Mungkin saja, permasalahan yang bergejolak di Tanah Papua
selama ini dikarenakan kehilangan rasa saling percaya antara kedua belah pihak
(pemimpin dan masyarakat) sehingga satu sama lainnya ketika terjadi
permasalahan saling menyalahkan dan ataupun saling melempar tanggung jawab. Kurangnya
wacana (discourse) mungkin saja menjadi salah satu awal permasalahannya dan
yang mungkin saja dapat diselesaikan dengan discourse pula. Seperti yang telah
dibahas diatas mengenai penguasaan BP yang merajalela dengan asyiknya mengeruk
kekayaan Papua. Permasalahan ketidakadilan di Papua sebenarnya sudah terlihat
jelas dari kekerasan yang terjadi, dan penguasaan pengelolaan bangsa asing
dengan mengelola kekayaan Papua.
Pada dasarnya apabila
daerah Papua semakin mengalami konflik maka akan semakin besar peluang pihak
asing untuk mengadu domba atau memanfaatkan keadaan tersebut. Dengan begitu
maka pihak – pihak asing akan semakin lebih mudah untuk menanamkan saham dan
ideology – ideology mereka terhadap masyarakat Papua. Seperti misalnya kasus
Freeport, salah satu contoh saham dari pihak asing yang semakin menguatkan
sahamnya. Awalnya Freeport nyaris bangkrut berkeping – keeping pada saat
terjadinya pergantian kekuasaan di Kuba, saat itu Fidel Castro berhasil
menghancurkan rezim dari dictator Batista. Kemudian Castro mengambil seluruh
perusahaan asing di negeri itu dan dinasionalisasikan. Akhirnya Freeport pun
terkena imbasnya. Ditengah situasi yang penuh ketidakpastian, kemudian Forbes
Wilson Direktur Freeport mengadakan pertemuan dengan Jan Van Gruisen, dan
Gruisen menceritakan tentang kekayaan alam Papua. Dan kemudian dari situlah
Freeport berpindah ke Papua. Contoh lainnya yaitu British Petroleum. Keberadaan
BP di Papua seperti menjadi salah satu pihak asing yang memperkeruh masalah
yang dialami oleh Papua, BP memang terkesan seolah – olah baik namun tidak pada
kenyataannya. Faktanya selain kekayaan bumi Papua yang dikeruknya, BP diduga
sebagai dalang dari pembunuhan polisi dan kekerasan yang terjadi di Papua. Sebenarnya
kekerasan yang terjadi di Papua sudah terjadi sejak dulu, namun betapa
mengherankan pelaku kekerasan tersebut justru saling tunjuk satu sama
lainya.
Didalam
kelas kami pun melakukan diskusi yang pembahasannya dari artikel “Don’t Use
Your Data as a Pillow” kami membahasnya per kalimat. Dari diskusi tersebut
menghasilkan pendapat yang berbeda – beda, berikut hasil dari diskusi dalam
kelas yang kami lakukan:
Selanjutnya,
diluar kelaspun kami melakukan diskusi bersama anggota kelompok kami dan dalam
pertemuan tersebut kami membahas kesimpulan dari 26 paragraf, dan berikut
adalah hasil dari diskusi yang kami lakukan:
Paragraf 1 : Sebuah pesta oleh salah satu
salah satu pekerja HAM untuk penulis, untuk menandai akhir penelitiannya di
Papua.
Paragraf 2 : Alasan penulis datang ke
Papua. Namun pada akhirnya penulis
tertarik dengan hal lain yang terjadi di Papua.
Paragraf 3 : Penulis baru dapat memahami mengapa banyak
orang Papua yang ingin merdeka, bukannya sebuah reformasi.
Paragraf
4 :
Paragraf
5 : Oleh penduduk Papua, penulis dianggap sebagai sekutu yang sangat potensial
sehingga banyak diantara orang Papua yang mencarinya untuk dijadikan
sekutu. Pada akhirnya penulis juga
merasa bahwa dirinya sudah terlibat jauh serta cukup memahami apa yang
sebenarnya terjadi di Papua.
Paragraf
6 : Kembali berbicara mengenai pesta perpisahannya, dimana penulis dapat
berkenalan dengan salah satu anggota KOMNAS HAM dari Papua, yang bernama Telys
Waropen. Pada paragraf ini pula penulis
mengungkapkan beberapa hal tentang Telys Waropen.
Paragraf
7 : Penulis menuliskan lebih tentang asal-usul daerah dari Telys Waropen, yaitu
sebuah daerah yang pernah dilanda konflik yaitu Wasior.
Paragraf
8 : Menceritakan tentang pengalaman penulis ketika meneliti di Wasior.
Paragraf
9 : Menceritakan tentang keinginan dari penulis yang ingin mewawancarai dukun
yang berada di dekat gunung.
Paragraf
10 : Kembali lagi pada pesta perpisahannya.
Penulis menganggap bahwa teman barunya tersebut (Telys Waropen),
merupakan sumber yang sangat penting yang dapat memenuhi kekosongan dalam
penelitian penulis.
Paragraf
11 : Penulis berpendapat untuk menyembunyikan narasumber, namun Waropen
berpendapat sebaliknya, Waropen berpendapat bahwa “tidakkah sebuah data akan
lebih kuat jika penulis mencantumkan nama dari sumber tersebut.
Paragraf
12 : Penulis mendapatkan saran dari teman dan pembimbingnya untuk menjaga
kerahasiaan dari sumber-sumbernya, ini dilakukan untuk mendapatkan pengecualian
dari dewan lembaga review yang ada di universitasnya. Penulis berpendapat bahwa melakukan
penelitian di Papua telah membawanya pada kesimpulan bahwa menjaga menjaga
narasumber tetap rahasia tidak hanya untuk melindungi mereka (narasumber) dari
omong kosong birokratis, tetapi juga untuk menghapus identitas mereka sama
sekali.
Paragraf
13 : Pandangan orang terhadap koran atau majalah yang tidak mencantumkan nama
dari narasumber. Mencantumkan nama dari
narasumber untuk menghindari penulis yang nakal (tidak etis), dan mencegah
penyebaran informasi yang salah.
Paragraf
14 : Penulis menunjukkan kepada Waropen bagaimana sebuah wawasan dari budaya
kritis dan paska teori strukteral yang mungkin dapat menyegarkan pandangan pada
konflik di wilayah Papua Barat.
Paragraf
15 : Ketika perbincangan dengan Waropen memanas, penulis memberikan alasan
mengapa dia tidak menuliskan nama dari narasumbernya. Penulis berkata “ sungguh ada kasus dalam HAM
yang telah dilaporkan dimana narasumber harus dilindungi.
Paragraf
16 : Disadari oleh penulis, bahwa saat dia berbincang-bincang dengan Waropen
penulis secara tidak langsung telah diprovokasi oleh Waropen.
Paragraf
17 : Penulis ditanya dan didorong oleh Waropen untuk menjadi penulis yang lebih
baik dan lebih autoritatif dalam memahami cultural
anthropology.
Paragraf 18 : Penulis sudah
mempublikasikan beberapa artikel mengapa papua barat. Waropen mendorong penulis
untuk bertindak bukan hanya menulis dan mempublikasikan masalah, tetapi harus
melakukan perubahan untuk mengatasi fakta-fakta yang ada.
Paragraf 19 : Saat penulis dan
Denny di Wasior mereka meneliti rumor yang menghubungkan BP dengan kekerasan
yang terjadi baru-baru ini. Penulis di paragraph ini menebak siapa saja yang
terlibat dalam kekerasan yang terjadi.
Paragraf 20 : Penulis
berhasil mewawancarai Papua double-agent “perjuang kemerdekaan” dari wawancara
tersebut penulis mengetahui dan berhasil mengaitkan rumor kekerasan yang
terjadi di Wasior dengan peroyek BP. Agen ganda merasa khawatir akan keselamatan
dirinya karena mengetahui terlalu banyak rahasia kerja sama antara militer dan
BP.
Paragraf 21 : Dua minggu
setelah Waropen menuntut penulis, tepatnya akhir mei 2003 Rumbiak meminta
penulis untuk bergabung dengan pertemuan di London sehingga penulis bisa
menyajikan temuan-temuannya tentang kekerasan milisi di Wasior
Paragraf 22 : Saat di London
penulis bertemu dengan Rumbiak, mereka tersesat saat menuju pertemuan dengan BP
mereka terlambat 20 menit. Saat diperjalanan mereka menceritakan perjalanan
yang telah dilakukan.
Paragraf 23 : Paragraf ini
menceritakan keadaan penulis saat dipertemuan BP dengan CFO Byron Grote dan John
O’Reilly yang menjadi senior wakil president BP untuk Indonesia
Paragraf 24 : Paragraf ini
menceritakan keadaan saat diskusi, penulis menyajikan pesan yang jelas kepada
Dr. Grote dan John O’reilly.
Paragraf 25 : Dr. Grote mengatakan
kekerasan tidak baik untuk bisnis dan yang baik adalah membangun kerjasama.
Paragraf 26 : Rumbiak
meminta penulis untuk mempresentasikan temuannya di Wasior. Penulis pun mengemukakan
temuannya dengan jantung berdebar-debar.
Kemudian setelah kami mengemukakan pendapat masing – masing
pada pertemuan tersebut, lalu kami pun menyimpulkan keseluruhan dari pendapat
kami semua. Sebelum kami merangkum isi dari paragraf 1 - 26, disini kami
terlebih dahulu hendak menyebutkan siapa saja atau pihak mana saja yang
terkait.
1.
S. Eben Kirksey sang penulis artikel.
2. Denny Yomaki, a human rights
worker .
3. Telys Waropen a member of Komnas
HAM, the National Human RightsCommission.
4. Dr. Byron Grote, the Chief Financial Officer
(CFO).
5. John O’Reillywas BP’s Senior Vice President
for Indonesia.
6. Richard Gozney British Ambassador.
7. John Rumbiak, a Papuan human rights defender.
8. Polisi Indonesia.
9. Militer Indonesia.
10. Pejuang kemerdekaan ( OPM ).
11. Agen ganda.
12. BP ( British Petroleum ).
13. Pemerintah Indonesia.
14. Pemerintah Inggris.
15. Pemerintah Amerika Serikat.
Penulis adalah seorang mahasiswa S2
yang datang ke Papua untuk melakukan penelitian tentang musim kering yang
pernah melanda di Papua. Namun, sangat
disayangkan ketika penulis datang ke Papua kemarau di sana sudah berakhir. Penulis tidak mungkin langsung pulang ke
negri asalnya dengan tangan kosong. Bisa
jadi penulis memutuskan untuk tetap tinggal di sana, hingga akhirnya penulis
menemukan sebuah fakta yang menarik yang saat itu sedang terjadi di Papua.
Di
Papua, penulis melakukan penelitian mengenai kekerasan yang kala itu sedang
terjadi disana. Tentu tidak mudah untuk
menyelidiki hal tersebut, tanpa bantuan dari penduduk lokal. Selama tinggal di sana selama kurang lebih
lima tahun penulis telah mewawancarai lebih dari 350 orang.
Selama penelitian tersebut penulis
menemukan beberapa hal yang membingungkan, seperti:
·
Adanya pihak yang
disatu sisi saling bertentangan, namun disisi lain ada rumor yang mengatakan
bahwa mereka saling kerjasama.
·
Keterkaitan antara
perusahaan multi-nasional yang ada di sana dengan pihak yang bertikai.
·
Tempat terjadinya
keributan yaitu Wasior.
Meskipun pada awalnya penulis merasa
bingung, namun pada akhirnya penulis dapat mengerti keterkaitan dari semua
kejadian tersebut. Penulis berpendapat
bahwa melakukan penelitian di Papua telah membawanya pada kesimpulan bahwa
menjaga narasumber tetap rahasia tidak hanya untuk melindungi mereka
(narasumber) dari omong kosong birokratis, tetapi juga untuk menghapus
identitas mereka sama sekali dan untuk mengamankan mereka dari ancaman atau
kejadian buruk yang akan menimpa mereka (narasumber).
Setelah selesai melakukan penelitian
di Papua, tiba saatnya bagi penulis untuk mengungkapkan hasil temuannya
tersebut. Ketika penulis mengungkapkan
hasil penelitiannya tersebut, penulis berkesempatan mengenal beberapa orang
penting dari British Petroleum ( BP ). Dalam
kesempatan ini penulis berniat untuk membantu Papua untuk terbebas dari
Indonesia, dalam kesempatan kali ini penulis pun membantu salah satu aktivis
HAM yang mengajaknya dalam rapat tersebut, John Rumbiak, namun ternyata salah
seorang dari petinggi BP mengatakan bahwa keributan yang terjadi di sana adalah
bukan lah skenario dari BP. Namun hal tersebut bertentangan dengan pernyataan
yang diungkapkan oleh salah satu narasumber (salah seorang militer) yang
diinterview penulis yang sepertinya telah diskenario oleh BP.
KESIMPULAN :
Memandang permasalahan Papua bermula
pada ketiadaan kepercayaan antara pemerintah Indonesia terhadap Papua, dan
begitu juga sebaliknya. Jadi dalam permasalahan ini harus terus menjalin
komunikasi atau discourse yang konstruktif untuk pembangunan Papua agar lebih
baik.
Freeport McMoran dan British
Petroleum tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Konflik
permasalahan muncul karena ketidakpedulian kedua perusahaan tambang tersebut
terhadap penduduk Papua atas konflik yang berkecamuk di Tanah Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic