We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Kamis, 17 April 2014

KEKAYAAN ALAM PAPUA YANG TAK MENCERMINKAN KETENTRAMAN SOSIAL

CLASS REVIEW

Menghela nafas panjang setelah ku pulang dari kampus. Lelah rasanya namun harus ku kerjakan tugas class review yang sudah menjadi tugas wajib mingguan anak pbi dalam Mata kuliah writing. Tugas ini telah menjadi teman yang selalu ada dalam pikiran. Tugas class review ini sudah menjadi teman kami selama 3 semester ini. Dan kami pun tengah akrab dengannya. Sebenarnya apabila kami hanya membuat class review layaknya class review biasana bukanlah hal yang terlalu sulit, meskipun terkadang kesulitan untuk menumpahkan ide kedalamnya. Namun yang kami tulis ini bukanlah sekedar class review biasanya, namun terkesan seperti wow class review, bagamana tidak, materi yang selalu diberikan dalam class review sangat beagam dan setiap pertemuannya dituntut untuk menggali dan menemukan hal baru. Kami dapat mengambil hikmahmya bahwa dengan berteman dengan tugas kita akan dikenalkan dengan yang namanya ilmu dan pengetahuan.
Kembaliku coba untuk menuliskan beberapa kalimat lagi, namun masih terlalu sulit untukku merangkai kata dan menyusun kalimat ditengah siang bolong yang masih terdengar suara - suara kendaraan lalu lalang dijalan membuatku tidak fokus. Malam harinya, mencoba untuk kembali menulis setelah usaha pertama pada siang hari gagal.
Selasa, 8 februari 2014, harusnya ku telah selesaikan tugas membacaku, 26 paragraf. Namun pada hari itu aku gagal menyelesaikannya. Sehingga bertumpuklah tugasku. Ku ambil paper bacaan itu dan mulai kupahami perkalimat sesuai dengan permintaan Mr. Lala Bumela.
Dalam paper yang kubaca yang berjudul "Don't Use Your Data as a Pillow" menceritakan betapa kompleksnya masalah yang dialami oleh bangsa kita sendiri, khususnya Papua Barat. Masalah kompleksnya Papua sampai saat ini masih berkelanjutan. Kompleksnya masalah yang terjadi di Papua antara lain seperti kemiskinan, ketidakadilan perlakuan terhadap pemerintah Indonesia terhadap Papua dan pembungkaman ruang berekspresi. Kabarnya sekarang para peneliti yang meneliti ke Papua waktu yang diberilannya semakin sempit saja.
Beraneka ragam pendapat menyeruak mengenai kompleksnya masalah di Papua. Semerawutnya permasalahan di Papua makin sulit untuk terselesaikan karena banyak pihak juga yang saling menyalahkan satu sama lain, membuat wacana yang terjalin dalam lingkungan saling menurunkan derajat masing – masing dan menimbulkan propaganda yang disebabkan meluasnya ketidakpercayaan Papua terhadapa para pemimpinnya yang sebenarnya telah memiliki kuasa untuk mengelola Papua dengan sebaik – baiknya. Dalam kondisi yang semerawut tersebut sehingga di Papua banyak pula yang memanfaatkan keadaan tersebut untuk mempolitisasi, seperti yang dilakukan BP kepada Papua. Tindakan politik yang dilakukan oleh BP dengan membiayai OPM dan menawarkan bantuan terhadap Papua yang tergolong wilayah yang masih banyak sekali memerlukan perbaikan disana – sini dan segala bidangnya. Dengan penawaran bantuan yang ditawarkan oleh BP maka BP akan dengan sangat mudah untuk diberikan akses untuk mengeruk kekayaan yang terdapat di Papua. Dapat dimengerti harapan BP untuk mendapatkan imbalan dari semua yang telah BP berikan, ternyata hanya ingin memperoleh sumber kekayaan Papua semata. Kekayaan alam Papua ternyata tak setimpal dengan keadaan sosial dikehidupan masyarakatnya. Hal tersebutlah yang menjadi dasar kompleksnya masalah di Papua.
Pemicu permasalahan yang terjadi di Papua lainnya tidak hanya hal diatas, kekerasan yang terjadi di Papua terhadap penduduknya terjadi akibat ketidakseimbangan yang dialami masyarakat Papua dari sisi hubungan daerah dengan pusatnya, dan masalah pelanggaran HAM. Mungkin saja, permasalahan yang bergejolak di Tanah Papua selama ini dikarenakan kehilangan rasa saling percaya antara kedua belah pihak (pemimpin dan masyarakat) sehingga satu sama lainnya ketika terjadi permasalahan saling menyalahkan dan ataupun saling melempar tanggung jawab. Kurangnya wacana (discourse) mungkin saja menjadi salah satu awal permasalahannya dan yang mungkin saja dapat diselesaikan dengan discourse pula. Seperti yang telah dibahas diatas mengenai penguasaan BP yang merajalela dengan asyiknya mengeruk kekayaan Papua. Permasalahan ketidakadilan di Papua sebenarnya sudah terlihat jelas dari kekerasan yang terjadi, dan penguasaan pengelolaan bangsa asing dengan mengelola kekayaan Papua.
Pada dasarnya apabila daerah Papua semakin mengalami konflik maka akan semakin besar peluang pihak asing untuk mengadu domba atau memanfaatkan keadaan tersebut. Dengan begitu maka pihak – pihak asing akan semakin lebih mudah untuk menanamkan saham dan ideology – ideology mereka terhadap masyarakat Papua. Seperti misalnya kasus Freeport, salah satu contoh saham dari pihak asing yang semakin menguatkan sahamnya. Awalnya Freeport nyaris bangkrut berkeping – keeping pada saat terjadinya pergantian kekuasaan di Kuba, saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim dari dictator Batista. Kemudian Castro mengambil seluruh perusahaan asing di negeri itu dan dinasionalisasikan. Akhirnya Freeport pun terkena imbasnya. Ditengah situasi yang penuh ketidakpastian, kemudian Forbes Wilson Direktur Freeport mengadakan pertemuan dengan Jan Van Gruisen, dan Gruisen menceritakan tentang kekayaan alam Papua. Dan kemudian dari situlah Freeport berpindah ke Papua. Contoh lainnya yaitu British Petroleum. Keberadaan BP di Papua seperti menjadi salah satu pihak asing yang memperkeruh masalah yang dialami oleh Papua, BP memang terkesan seolah – olah baik namun tidak pada kenyataannya. Faktanya selain kekayaan bumi Papua yang dikeruknya, BP diduga sebagai dalang dari pembunuhan polisi dan kekerasan yang terjadi di Papua. Sebenarnya kekerasan yang terjadi di Papua sudah terjadi sejak dulu, namun betapa mengherankan pelaku kekerasan tersebut justru saling tunjuk satu sama lainya. 
            Didalam kelas kami pun melakukan diskusi yang pembahasannya dari artikel “Don’t Use Your Data as a Pillow” kami membahasnya per kalimat. Dari diskusi tersebut menghasilkan pendapat yang berbeda – beda, berikut hasil dari diskusi dalam kelas yang kami lakukan:






            Selanjutnya, diluar kelaspun kami melakukan diskusi bersama anggota kelompok kami dan dalam pertemuan tersebut kami membahas kesimpulan dari 26 paragraf, dan berikut adalah hasil dari diskusi yang kami lakukan:





Paragraf 1 : Sebuah pesta oleh salah satu salah satu pekerja HAM untuk penulis, untuk menandai akhir penelitiannya di Papua.
Paragraf 2 : Alasan penulis datang ke Papua.  Namun pada akhirnya penulis tertarik dengan hal lain yang terjadi di Papua.
Paragraf  3 : Penulis baru dapat memahami mengapa banyak orang Papua yang ingin merdeka, bukannya sebuah reformasi.
Paragraf  4 :  
Paragraf 5 : Oleh penduduk Papua, penulis dianggap sebagai sekutu yang sangat potensial sehingga banyak diantara orang Papua yang mencarinya untuk dijadikan sekutu.  Pada akhirnya penulis juga merasa bahwa dirinya sudah terlibat jauh serta cukup memahami apa yang sebenarnya terjadi di Papua.
Paragraf 6 : Kembali berbicara mengenai pesta perpisahannya, dimana penulis dapat berkenalan dengan salah satu anggota KOMNAS HAM dari Papua, yang bernama Telys Waropen.  Pada paragraf ini pula penulis mengungkapkan beberapa hal tentang Telys Waropen.
Paragraf 7 : Penulis menuliskan lebih tentang asal-usul daerah dari Telys Waropen, yaitu sebuah daerah yang pernah dilanda konflik yaitu Wasior.
Paragraf 8 : Menceritakan tentang pengalaman penulis ketika meneliti di Wasior.
Paragraf 9 : Menceritakan tentang keinginan dari penulis yang ingin mewawancarai dukun yang berada di dekat gunung.
Paragraf 10 : Kembali lagi pada pesta perpisahannya.  Penulis menganggap bahwa teman barunya tersebut (Telys Waropen), merupakan sumber yang sangat penting yang dapat memenuhi kekosongan dalam penelitian penulis.
Paragraf 11 : Penulis berpendapat untuk menyembunyikan narasumber, namun Waropen berpendapat sebaliknya, Waropen berpendapat bahwa “tidakkah sebuah data akan lebih kuat jika penulis mencantumkan nama dari sumber tersebut.
Paragraf 12 : Penulis mendapatkan saran dari teman dan pembimbingnya untuk menjaga kerahasiaan dari sumber-sumbernya, ini dilakukan untuk mendapatkan pengecualian dari dewan lembaga review yang ada di universitasnya.  Penulis berpendapat bahwa melakukan penelitian di Papua telah membawanya pada kesimpulan bahwa menjaga menjaga narasumber tetap rahasia tidak hanya untuk melindungi mereka (narasumber) dari omong kosong birokratis, tetapi juga untuk menghapus identitas mereka sama sekali.
Paragraf 13 : Pandangan orang terhadap koran atau majalah yang tidak mencantumkan nama dari narasumber.  Mencantumkan nama dari narasumber untuk menghindari penulis yang nakal (tidak etis), dan mencegah penyebaran informasi yang salah.
Paragraf 14 : Penulis menunjukkan kepada Waropen bagaimana sebuah wawasan dari budaya kritis dan paska teori strukteral yang mungkin dapat menyegarkan pandangan pada konflik di wilayah Papua Barat.
Paragraf 15 : Ketika perbincangan dengan Waropen memanas, penulis memberikan alasan mengapa dia tidak menuliskan nama dari narasumbernya.  Penulis berkata “ sungguh ada kasus dalam HAM yang telah dilaporkan dimana narasumber harus dilindungi.
Paragraf 16 : Disadari oleh penulis, bahwa saat dia berbincang-bincang dengan Waropen penulis secara tidak langsung telah diprovokasi oleh Waropen.
Paragraf 17 : Penulis ditanya dan didorong oleh Waropen untuk menjadi penulis yang lebih baik dan lebih autoritatif dalam memahami cultural anthropology.
Paragraf 18 : Penulis sudah mempublikasikan beberapa artikel mengapa papua barat. Waropen mendorong penulis untuk bertindak bukan hanya menulis dan mempublikasikan masalah, tetapi harus melakukan perubahan untuk mengatasi fakta-fakta yang ada.
Paragraf 19 : Saat penulis dan Denny di Wasior mereka meneliti rumor yang menghubungkan BP dengan kekerasan yang terjadi baru-baru ini. Penulis di paragraph ini menebak siapa saja yang terlibat dalam kekerasan yang terjadi.
Paragraf 20 : Penulis berhasil mewawancarai Papua double-agent “perjuang kemerdekaan” dari wawancara tersebut penulis mengetahui dan berhasil mengaitkan rumor kekerasan yang terjadi di Wasior dengan peroyek BP.  Agen ganda merasa khawatir akan keselamatan dirinya karena mengetahui terlalu banyak rahasia kerja sama antara militer dan BP.
Paragraf 21 : Dua minggu setelah Waropen menuntut penulis, tepatnya akhir mei 2003 Rumbiak meminta penulis untuk bergabung dengan pertemuan di London sehingga penulis bisa menyajikan temuan-temuannya tentang kekerasan milisi di Wasior
Paragraf 22 : Saat di London penulis bertemu dengan Rumbiak, mereka tersesat saat menuju pertemuan dengan BP mereka terlambat 20 menit. Saat diperjalanan mereka menceritakan perjalanan yang telah dilakukan.
Paragraf 23 : Paragraf ini menceritakan keadaan penulis saat dipertemuan BP dengan CFO Byron Grote dan John O’Reilly yang menjadi senior wakil president BP untuk Indonesia
Paragraf 24 : Paragraf ini menceritakan keadaan saat diskusi, penulis menyajikan pesan yang jelas kepada Dr. Grote dan John O’reilly.
Paragraf 25 : Dr. Grote mengatakan kekerasan tidak baik untuk bisnis dan yang baik adalah membangun kerjasama.
Paragraf 26 : Rumbiak meminta penulis untuk mempresentasikan temuannya di Wasior. Penulis pun mengemukakan temuannya dengan jantung berdebar-debar.



Kemudian setelah kami mengemukakan pendapat masing – masing pada pertemuan tersebut, lalu kami pun menyimpulkan keseluruhan dari pendapat kami semua. Sebelum kami merangkum isi dari paragraf 1 - 26, disini kami terlebih dahulu hendak menyebutkan siapa saja atau pihak mana saja yang terkait.
1.      S. Eben Kirksey sang penulis artikel.
2.      Denny Yomaki, a human rights worker .
3.      Telys Waropen a member of Komnas HAM, the National Human RightsCommission.
4.      Dr. Byron Grote, the Chief Financial Officer (CFO).
5.      John O’Reillywas BP’s Senior Vice President for Indonesia.
6.      Richard Gozney British Ambassador.
7.      John Rumbiak, a Papuan human rights defender.
8.      Polisi Indonesia.
9.      Militer Indonesia.
10.  Pejuang kemerdekaan ( OPM ).
11.  Agen ganda.
12.  BP ( British Petroleum ).
13.  Pemerintah Indonesia.
14.  Pemerintah Inggris.
15.  Pemerintah Amerika Serikat.
Penulis adalah seorang mahasiswa S2 yang datang ke Papua untuk melakukan penelitian tentang musim kering yang pernah melanda di Papua.  Namun, sangat disayangkan ketika penulis datang ke Papua kemarau di sana sudah berakhir.  Penulis tidak mungkin langsung pulang ke negri asalnya dengan tangan kosong.  Bisa jadi penulis memutuskan untuk tetap tinggal di sana, hingga akhirnya penulis menemukan sebuah fakta yang menarik yang saat itu sedang terjadi di Papua.
            Di Papua, penulis melakukan penelitian mengenai kekerasan yang kala itu sedang terjadi disana.  Tentu tidak mudah untuk menyelidiki hal tersebut, tanpa bantuan dari penduduk lokal.  Selama tinggal di sana selama kurang lebih lima tahun penulis telah mewawancarai lebih dari 350 orang.
Selama penelitian tersebut penulis menemukan beberapa hal yang membingungkan, seperti:
·         Adanya pihak yang disatu sisi saling bertentangan, namun disisi lain ada rumor yang mengatakan bahwa mereka saling kerjasama.
·         Keterkaitan antara perusahaan multi-nasional yang ada di sana dengan pihak yang bertikai.
·         Tempat terjadinya keributan yaitu Wasior.
Meskipun pada awalnya penulis merasa bingung, namun pada akhirnya penulis dapat mengerti keterkaitan dari semua kejadian tersebut.  Penulis berpendapat bahwa melakukan penelitian di Papua telah membawanya pada kesimpulan bahwa menjaga narasumber tetap rahasia tidak hanya untuk melindungi mereka (narasumber) dari omong kosong birokratis, tetapi juga untuk menghapus identitas mereka sama sekali dan untuk mengamankan mereka dari ancaman atau kejadian buruk yang akan menimpa mereka (narasumber).
Setelah selesai melakukan penelitian di Papua, tiba saatnya bagi penulis untuk mengungkapkan hasil temuannya tersebut.  Ketika penulis mengungkapkan hasil penelitiannya tersebut, penulis berkesempatan mengenal beberapa orang penting dari British Petroleum ( BP ).  Dalam kesempatan ini penulis berniat untuk membantu Papua untuk terbebas dari Indonesia, dalam kesempatan kali ini penulis pun membantu salah satu aktivis HAM yang mengajaknya dalam rapat tersebut, John Rumbiak, namun ternyata salah seorang dari petinggi BP mengatakan bahwa keributan yang terjadi di sana adalah bukan lah skenario dari BP. Namun hal tersebut bertentangan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh salah satu narasumber (salah seorang militer) yang diinterview penulis yang sepertinya telah diskenario oleh BP.

KESIMPULAN          :
Memandang permasalahan Papua bermula pada ketiadaan kepercayaan antara pemerintah Indonesia terhadap Papua, dan begitu juga sebaliknya. Jadi dalam permasalahan ini harus terus menjalin komunikasi atau discourse yang konstruktif untuk pembangunan Papua agar lebih baik.
Freeport McMoran dan British Petroleum tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Konflik permasalahan muncul karena ketidakpedulian kedua perusahaan tambang tersebut terhadap penduduk Papua atas konflik yang berkecamuk di Tanah Papua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic