Class Review 9
Ada
satu saat di mana waktu terasa sangat lambat, yaitu saat kita menunggu. Rasanya
menyebalkan jika
kita menunggu sesuatu yang sangat kita nantikan. Namun cobalah rasakan
perbedaannya ketika kita disibukan dengan
sesuatu. Untuk hal yang satu
ini, saya punya pandangan lain. Sesuatu hal yang membuat kita sibuk, jika kita tanggapi
dengan santai dan bahagia, maka perputaran waktu menuju hal itu akan terasa
wajar dan normal. Namun jika kita menanggapinya dengan rasa tidak suka dan
galau, maka ia akan terasa cepat datangnya. Begitupun dengan tugas-tugas mata
kuliah writing ini. Tak terasa malam ini sudah dekat dengan hari kamis sehingga
malam ini merupakan malam pertempuran bagi saya dan tugas. Laptop, buku,
pulpen, kopi, cemilan, dan tidak lupa mengisi kuota modem merupakan alat tempur
saya siapkan dimalam ini.
Pada
minggu lalu, pembahasan masih mengenai seputar konflik di Papua. Salah satu
pemicu konflik tersebut dikarenakan adanya nasionalisme
Papua yang telah tertanam di dalam diri rakyat Papua selama puluhan tahun. Rasa
nasionalisme tersebutlah yang mendorong rakyat Papua membenci adanya penjajahan
terhadap mereka, baik yang dilakukan Belanda maupun Indonesia. Nasionalisme
Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong praja
di Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika
Belanda dan Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat
keduanya sebagai bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran ini yang
menyebabkan gerakan anti-Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua.
Kebijakan represif pada masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme ini,
namun justru memperkuatnya.
OPM dan sejenisnya adalah
sebagai salah satu penyebab konflik tersebut.
Tujuan mereka adalah menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan daerah serta
pihak internasional bahwa Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini
jelas-jelas bertujuan menggagalkan ide dan keinginan luhur orang asli Papua
untuk berdialog atau berdiskusi dengan pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.
Selain
itu, banyaknya peristiwa kekerasan dan konflik yang ada di Papua menandakan
bahwa institusi kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta jajaran Polres-nya
di seluruh tanah papua seringkali tidak mampu mengungkapkan kasus-kasus
kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua tersebut. Di tambah lagi polisi di
daerah ini susah sekali mendapatkan barang bukti yang bisa menjadi petunjuk
penting dalam mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari setiap kasus tersebut.
Selain
karena nasionalisme, konflik di Papua dipicu karena masalah ekonomi. Persoalan ekonomi
di Papua terkait erat dengan masalah kemiskinan, disparitas ekonomi dan
pembangunan antara daerah Papua dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Dibidang pengelolaan SDA Papua, kebijakan pemerintah dinilai lebih berpihak
pada pebisnis/pemodal besar ketimbang pada masyarakat Papua. Akibatnya dalam
kepentingan bisnis asing, masyarakat Papua sering kali terabaikan, misalnya
dalam pengambilan keputusan menyangkut atas kepemilikan tanah adat, mereka tidak
dilibatkan dalam proses dan kontrak bisnis yang dilakukan, padahal mereka
adalah pemilik tanah adat di Papua. Sebaliknya, pemerintah (pusat) dan
pengusaha memberi label pada orang Papua sebagai primitif dan tradisional
(tidak modern). Akibatnya orang Papua justru dianggap sebagai beban pemerintah.
Pada teks “Don’t Use Your Data as a Pillow”, pembahasan
utamanya adalah mengenai permasalahan BP (British Petroleum). BP memiliki
perwakilan di lebih dari 100 negara, BP berawal dari seorang William Knox D’Arcy,
yang telah lama menginvestasikan waktu, uang dan tenaga kerja dengan keyakinan
bahwa deposit minyak berharga dapat di temukan di Iran. Selama enam dasawarsa
pertama, fokus utama perusahaan terletak pada cadangan minyak di Timur Tengah.
Tapi setelah itu hingga akhir 1960-an, fokus perhatian bergeser ke arah Inggris
dan selanjutnya ke daerah lain di dunia.
BP mencetak keberhasilan
pertama di perairan Inggris, ketika pada tahun 1965 ditemukan ladang gas West
Sole, yang dikelola dua tahun kemudian. Pencarian untuk minyak menyebar lebih
jauh ke utara, dan pada tahun 1970 BP menemukan Forties field-ladang minyak
komersial pertama yang ditemukan di wilayah Inggris. Sementara itu di Alaska,
BP memperoleh imbalan atas usaha eksplorasi sepuluh tahun, ketika pada tahun
1969 mengumumkan penemuan minyak utama di Prudheoe Bay di Slope Utara. Saat ini
BP Oil dan Gas memproduksi minyak dan gas dibeberapa negara diantaranya Abu
Dhabi, Australia, Kolombia, Norwegia dan Papua New Guinea.
BP sekarang adalah sebuah
perusahaan internasional yang memiliki kekuatan utama eksplorasi dan produksi
minyak dan gas, refining, pemasaran dan pasokan bahan bakar minyak, dan
pembuatan dan pemasaran bahan kimia. BP juga membangun dan mengembangkan
pembangkit tenaga gas dan pembangkit listrik tenaga surya.
BP merupakan salah satu
perusahaan energi terbesar di dunia dengan omzet $175 milyar dan beroperasi di
lebih dari 100 negara dengan bisnis yang stabil di Eropa, Amerika, Asia dan
Afrika, serta mempekerjakan 110.000 tenaga kerja di seluruh dunia.
Selain BP, terdapat
perusahan minyak bumi yang memiliki
kualitas bagus, yaitu Shell (Royal Dutch Shell). Shell merupakann perusahaan
paling besar kedua di dunia. Shell merupakann perusahaan yang terintegrasi
secara vertikal sertaa aktif di tiap-tiap bidang industri minyak sertaa gas,
termasuk eksplorasi sertaa produksi , penyulingan , distribusi sertaa pemasaran
, petrokimia , pembangkit listrik sertaa perdagangan sertaa juga mempunyai
kegiatan besar seperti energi terbarukan termasuk di biofuel , hidrogen ,
tenaga surya sertaa tenaga angin . Perusahaan ini beroperasi di lebih dari 90
negara yang menghasilkan produksi minyak sekitar 3,1 juta barel perhari sertaa
mempunyai 44 ribu stasiun layanan diseluruh dunia. Tahun 2011 pendapatan Royal
Dutch Shell dengan besar 378,152 juta dollar dengan laba 20,127 juta dollar dan
mempunyai 101.000 karyawan.
Presiden Direktur Shell
Indonesia, Darwin Silalahi, menceritakan sebuah sejarah penting perusahaan
Shell yang kini bermarkas di Eropa itu. Menurut Darwin, keberadaan Shell tak
bisa dilepaskan dari Indonesia. Darwin
mengatakan tak semua orang tahu bahwa perusahaan multinasional Shell pada
awalnya melakukan bisnisnya di Indonesia tepatnya di area perkebunan Telaga
Said, Deli, Sumatera Utara, di masa Indonesia masih jajahan Belanda. Adalah
seorang mandor perkebunan Hindia Belanda, Aeliko Jans Zijklert, pada tahun 1880
menemukan cairan hitam di perkebunan tersebut. Sampel cairan tersebut
lalu dikirim Zijklert ke Batavia untuk diteliti. Setelah mengetahui cairan
hitam itu adalah minyak bumi, ia pun memutuskan berhenti menjadi mandor dan
kembali ke negeri asalnya, Belanda. "Ia menawarkan idenya kepada orang
Belanda yang ahli dalam bidang pengeboran untuk diajak memulai bisnis
migas," tutur Darwin.
Satu
tahun setelah pulang ke Belanda, Zijklert datang ke Deli untuk melakukan
pengeboran minyak bumi. Namun pengeboran pertama ternyata tidak berhasil karena
sumber minyak bumi dalam sumur yang dibor ternyata kering. Dia pun tidak putus
asa, lalu melakukan pengeboran di Telaga Said 2 dan akhirnya berhasil. “Itu penemuan minyak
pertama di Indonesia. Itu juga yang memulai berdirinya industri migas yang kini
dinamakan Shell,” kata Darwin. Meski
perusahaan ini beroperasi pertama kali di Indonesia, seiring perjalan waktu
perusahaan ini sudah berevolusi menjadi perusahaan migas terbesar di dunia.
Tidak hanya bidang minyak bumi namun juga perusahaan ini merambah pada LNG
bahkan menjadi pelopor kemajuan inovasi pengolahan gas bumi menjadi energi.
BP dan
Shell merupakan perusahaan multinasional. Perusahaan multinasional
atau PMN adalah perusahaan yang
berusaha di banyak negara; perusahaan ini biasanya sangat besar. Perusahaan
seperti ini memiliki kantor-kantor, pabrik atau kantor cabang di banyak negara.
Mereka biasanya memiliki sebuah kantor pusat di mana mereka mengkoordinasi
manajemen global. Berikut merupakan
perusahaan multinasional:
- Acer Inc.
- Adidas
- Allianz
- AOL
- Apple Computer
- ASUS
- AT&T
- BMW
- Bombardier
- British Petroleum
- Chevron Corporation
- Coca-Cola
- Dell
- Enron
- Exxon
- Fiat
- Fonterra
- Freeport
- General Electric
- General Motors
- Grup Volkswagen
- Halliburton
- Hearst Corporation
- Heckler & Koch
- Honda
- HSBC
- Hutchison Whampoa Limited
- Hyundai
- IBM
- Intel Corporation
- Jardine Matheson
- KFC
- Kyocera
- LG Electronics
- McDonald's
- Mercedes Benz
- Microsoft
- Monsanto
- Nestlé
- Newmont Mining Corporation
- Nike, Inc.
- Nintendo
- Nissan
- Nokia
- NTT
- Nortel Networks
- Opel
- Parmalat
- Pepsi
- Petrobras
- Philips
- Prentice Hall
- Prudential plc
- Puma
- Shell
- 3M
- Schlumberger
- Sony
- Steyr Mannlicher
- Swire Group
- The Walt Disney Company
- Toshiba
- Total S.A.
- Toyota
- Wal-Mart Stores, Inc.
- Yahoo!
Inilah hasil diskusi kelompok mengenai teks “Don’t Use Your Data as a Pillow” paragraf 1-26
Paragraf 1:
Sebuah pesta yang ditujukan untuk Eben yang dipersembahkan atas selesainya
research yang dia lakukan.
Paragraf 2:
Ketika Eben hendak melakukan penelitian el nino di Papua, ternyata pada saat
itu Papua sedang turun hujan. Sehingga hal itu mengurangi antusiasme Eben untuk
meneliti el nino. Eben justru merasa bingung karena pada saat itu disana sedang
maraknya gerakan reformasi setelah lengsernya presiden Soeharto.
Paragraf 3: Setelah
Eben menyaksikan serangkaian pembantaian yang dilakukan oleh militer Indonesia
terhadap Papua, Eben mengerti kenapa Papua menolak untuk bereformasi.
Paragraf 4: Eben
melakukan perjalanan ulang ke Papua untuk melakukan research tentang adat khas
Papua. Fakta yang mencengangkan adalah ketika Eben menemukan bukti bahwa nenek
moyangnya pernah membodohi/menjajah Papua. Hal tersebut membuat Eben berfikir
ulang untuk melanjutkan researchnya.
Paragraf 5: Orang-orang
Papua mengira Eben merupakan sekutunya. Tapi disisi lain, Eben justru tertarik
untuk membantu orang-orang orang-orang Papua mendapatkan kebebasannya.
Paragraf 6: Waropen
(anggota komnas HAM) diundang oleh Denny ke pestanya. Kemudian dia berbincang
dengan Eben. Perbincangan tersebut mengingatkan Eben pada kejadian dimana dia
pertama kali datang ke Papua yang mana pada saat itu sedang maraknya gerakan
reformasi di Indonesia.
Paragraf 7: Eben
dan Denny mengunjungi Wasior untuk menginvestigasi rumor bahwa agen-agen
militer Indonesia diam-diam mendukung misi Papua untuk merdeka.
Paragraf 8:
Eben dan Denny melakukan penelitian di Wasior secara rahasia yang
menyembunyikan identitas narasumber.
Paragraf 9: Eben
dan Denny tidak ingin mengambil resiko untuk mewawancarai seorang dukun yang
telah diagendakan sebelumnya, karena sejak dari awal kedatangannya dia diawasi
oleh orang-orang Papua yang menganggap dia adalah sekutu.
Paragraf 10: Eben
berfikir bahwa Waropen bisa menjadi narasumber penting untuk
melengkapi/membantu penelitiannya mengenai dukun yang belum berhasil ia
wawancarai.
Paragraf 11: Eben
mewawancarai Waropen dengan menyembunyikan identitas Waropen sebagai
narasumber. Waropen balik bertanya kepada Eben, kenapa menyembunyikan identitas
narasumber? Padahal hal tersebut bisa menguatkan hasil penelitiannya.
Paragraf 12: Eben
mendapatkan keringanan dari pihak kampus untuk menyembunyikan atau tidak
mencantumkan identitas narasumber yang ia wawancarai. Tetapi Waropen ingin
namanya dicantumkan sebagai narasumber karena ia ingin diakui sebagai
intelektual publik.
Paragraf 13: Sumber
yang disembunyikan bisa menimbulkan kecurigaan para pembaca. Tetapi para
jurnalis dan editor juga memiliki hukum untuk menyembunyikan identitas
narasumber guna melindungi diri dari gugatan pencemaran nama baik (narasumber),
terdapat beberapa hal tertentu yang tidak bisa dipublikasikan.
Paragraf 14: Waropen
merupakan salah satu sumber data penting dalam penelitian yang dilakukan Eben.
Eben menyarankan beberapa saran untuk mencapai kebebasan di Papua. Saran
tersebut sudah terfikirkan oleh Waropen, namun Waropen tidak mempunyai bukti,
sedangkan sistem hukum zaman sekarang segala sesuatunya harus disertai bukti.
Paragraf 15: Percakapan
mereka memanas. Mereka saling beradu argumen mengenai perlu atau tidaknya
disembunyikannya identitas narasumber. Bahkan Eben mulai menyinggung Waropen
mengenai kasus HAM bahwa identitas korban dan saksi dalam kasus HAMpun pastinya
ada yang dilindungi. Waropen bersikeras dan berkata “jangan menggunakan data
anda sebagai bantal dan pergi tidur ketika anda kembali ke Amerika.” “jangan
hanya menggunakan penelitian ini sebagai jembatan untuk peluang profesional
anda sendiri.”
Paragraf 16: Waropen
menginginkan Eben untuk menjadi seorang ahli regional yang handal dengan alasan
banyak antropolog budaya terlalu berhati-hati dalam melakukan researchnya jika
researchnya itu berhubungan dengan kekuasaan. Selain itu ahli regional sering
mengabaikan tuntutan akuntabilitas dari orang-orang yang menjadi narasumber
mereka. Sehingga kritikan-kritikannya tidak mendapatkan respon serius dari para
penguasa.
Paragraf 17: Waropen
meminta Eben untuk memikirkan kembali apa yang disebut sebagai “data” dalam
antropologi budaya. Karena baru-baru ini Charles Hale mendesak antropolog untuk
mengambil metodologi positif serius dalam setiap research.
Paragraf 18: Waropen
menantang Eben untuk melakukan tindakan nyata. Itu membuat Eben berfikir
bagaimana bisa ia melakukan itu, tidak hanya sekedar menuliskan pengetahuannya
kedalam tulisan tetapi juga membawa pengetahuannya tentang Papua Barat ke kursi
kekuasaan global.
Paragraf 19: Ketika
Eben dan Denny pergi ke Wasior, Eben hendak meneliti tentang kekerasan yang
terjadi diperusahaan BP (British Petroleum), yang baru saja mulai
mengeksploitasi ladang gas Papua Barat yang diperkirakan akan menghasilkan
keuntungan dan hasil yang sangat besar. Kabarnya, agen militer Indonesia
memprovokasi kekerasan dalam upaya konvensional untuk menguntungkan
perlindungan kontrak.
Paragraf 20: Eben
berhasil mewawancarai dua orang agen Papua, salah satunya mengatakan bahwa dia
mendapat dukungan logistik dan inteljen untuk membunuh para perwira polisi.
Wawancara tersebut membuktikan rumor yang menghubungkan kekerasan yang terjadi
di Wasior untuk proyek BP. Agen yang sama mengatakan bahwa seorang perwira
militer aktif telah mencoba untuk membunuhnya karena ia mengetahui terlalu
banyak mengenai kasus tersebut. Dia meminta bantuan Eben untuk melarikan diri,
namun Eben tidak bisa melakukan apapun untuk membantunya.
Paragraf 21: Pada
akhir Mei 2003, John Rumbiak, pembela hak asasi manusia
Papua, meminta Eben untuk menghadiri pertemuan di markas London BP (British
Petroleum) dengan Dr Byron Grote, Chief Financial Officer ( CFO ) dari raksasa
minyak ini. BP pelatihan yang disebut pertemuan "community-based
security" force - sekelompok penjaga keamanan Papua yang akan meminimalkan
kebutuhan untuk bekerja sama dengan pasukan keamanan Indonesia . Rumbiak telah
mengamankan pertemuan untuk berbicara tentang bagaimana kebijakan keamanan BP
yang mempengaruhi iklim HAM di Papua Barat. Rumbiak meminta Eben untuk
bergabung dengan pertemuan sehingga Eben bisa menyajikan temuan-temuan Eben
tentang kekerasan milisi di Wasior. Secara tidak langsung Eben telah dijadikan
sebagai saksi dipertemuan itu.
Paragraf 22: Eben bertemu dengan Rumbiak sebelum menghadiri pertemuan
di kantor pusat. Mereka bercerita tentang pengalaman atau perjalanan terakhir
dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris saat mengobrol.
Paragraf 23: Eben merasa tersanjung dan terhormat karena bisa bertemu
dengan orang-orang yang paling berkuasa di Eropa.
Paragraf 24: Rumbiak keberatan jika diskusi tidak direkam. Rumbiak
ingin apa yang terjadi saat meeting direkam untuk ditunjukan kepada rakyat
Papua Barat. Tetapi perwakilan BP menolak karena khawatir akan keamanan
perusahaan mereka. BP menolak untuk melakukan kekerasan.
Paragraf 25: Dr. Grote menolak melakukan kekerasan untuk dapat
mengeksplor wilayah di papua, membuka masyarakat adalah cara yang baik. dia
menjamin semua masyarakat akan tetap bekerja. Dr. Grote tidak ingin perusahaan
lain yang tidak punya kode etik mengembangan ladang tersebut. Eben terpukau
dengan perkataan tersebut.
Paragraf 26: Eben mempresentasikan penemuannya di Wasior. Sorang
anggota milisi Papua mengaku membunuh sekelompok polisi Indonesia atas bantuan
dari militer Indonesia. Polisi Indonesia vs TNI?
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa pemicu adanya konflik di Papua dikarenakan faktor
nasionalisme seperti gerakan operasi Papua Merdeka (OPM), ekonomi dan politik. Begitupun
dengan perusahaan BP yang memicu adanya pertikaian di Papua dengan cara mengadu
domba antara OPM, Polisi, dan Militer Indonesia. Selama
kesenjangan itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap
membakar masyarakat di Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak akan
benar-benar memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut kami
masyarakat akan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah
sebagai akal-akalan mereka saja. Untuk itu, diharap
sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun
pihak-pihak yang terkait lainnya untuk mengupayakan solusi yang komprehensif
dengan melakukan pembangunan secara intensif dan berkesinambungan di tanah
Papua tersebut, kondisi ini bisa dijaga oleh pemerintah setempat dan
pemangku kepentingan dengan cara bersinergi atau berkomunikasi dengan cukup
baik.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic