We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Kamis, 17 April 2014

Class Review 9



MUTIARA HITAM DALAM CENGKRAMAN SERIGALA

            Perjalanan belum selesai. Tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai tujuan. Babak baru pun sudah dimulai. Sungguh amat sangat terasa melelahkan, tapi ini baru saja dimulai. Kumpulkan tenaga, siapkan amunisi-amunisi yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh ini. Oke kita mulai!.
            Pada edisi Review ke 9 ini, Saya akan mencoba memetakan permasalahan atau konflik yang terjadi di Papua Barat (West Papua) dari beberapa referensi yang telah Saya dapatkan. Jika dilihat dari alur mundur, negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 tanpa Papua Barat, Saya ulangi TANPA PAPUA BARAT. Disinilah awal terjadinya konflik antara Indonesia dan Papua Barat. Dimana pada saat Indonesia merdeka, wilayah Papua Barat masih dikuasai oleh Belanda. Masyarakat Papua Barat pun merasa jika Indonesia tidak memperdulikan nasib mereka. Ditegaskan pula oleh Mohammad Hatta sang Wakil Presiden pertama yang menentang dimasukkannya Papua Barat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (lihat Karkara lampiran I, pokok Hindia Belanda oleh Ottis Simopiaref). Tetapi, sang Presiden pertama Soekarno menganggap Papua Barat adalah bagian dari NKRI. Namun, faktanya Papua Barat masih berada dalam genggaman Belanda. Diadakanlah beberapa agresi untuk merebut Papua Barat dari tangan Belanda.
            Diawali dengan mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) sampai pada akhirnya diadakan New York Agreement, pada tahun 1964 Papua Barat masuk dalam wilayah NKRI. Patut kita ketahui Amerika membantu Indonesia dalam perebutan Papua Barat dari tangan Belanda tidaklah tanpa pamrih. Amerika membujuk Belanda untuk melepaskan Papua Barat itu karena ada maksud tertentu. Tanpa kita sadari pula, setelah Papua Barat lepas dari tangan Belanda, kemudian Amerikalah yang menguasai Papua Barat. Faktanya, beberapa tahun kemudian tepatnya tahun 1967 Amerika mendirikan perusahan sebut saja PT Freeport yang menginduk di Freeport Mc. Moran di Amerika Serikat. PT Freeport merupakan perusahaan pertambangan umum dengan produk akhir berupa konsentrat yang mengandung logam emas, tembaga dan perak.
            PT Freeport adalah Perusahaan Tambang terbesar di dunia. Di Indonesia tepatnya di Papua Barat PT Freeport mempunyai saham sebanyak 90,64% dan PT Indocooper hanya mempunyai saham sebanyak 9,36%. Angka yang cukup mencengangkan memang. Tidak salah jika PT Freeport di sebut sebagai Perusahaan Tambang terbesar di dunia. Namun, telah ditemukan beberapa fakta buruk tentang PT Freeport tersebut. Secara diam-diam dan terselubung, Freeport telah mengambil kekayaan alam di Papua ini selain emas. Dari laporan anggota Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Papua ini yang digali dari para karyawan dan beberapa masyarakat. Diketahui bahwa, selain berupa konsentrat, Freeport juga mengeruk uranium. Uranium adalah bahan bakar reaktor nuklir dan senjata nuklir yang nilainya jauh lebih tinggi dibanding emas. Penambangan uranium memiliki dampak yang sangat besar terhadap lingkungan. Komisaris PT. Freeport Indonesia menampik kabar tersebut. Dikatakannya, Freepot hanya menghasilkan konsentrat tembaga, perak dan emas. Tidak lebih dari itu. Dia bekerja sesuai dengan kontrak karyanya dengan pemerintah.
            Dalam kontek kekayaan alam, Papua menjadi rebutan tiga Negara besar yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Kondisi ini diawali oleh keberadaan Freeport di wilayah ini dan keberhasilannya mengeksplorasi seluruh kekayaan bawah bumi Papua. Amerika saat ini berada di garda paling depan dalam menguasai kekayaan alam Papua melalui Freeport. Saking prospeknya Papua bagi ketiga Negara tersebut, maka segala upaya dilakukan agar papua dapat lepas dari NKRI. Maka gejolak yang muncul atau dimunculkan jauh melenceng dari persoalan sesungguhnya. Seperti, masalah pelanggaran HAM, pencemaran lingkungan, korupsi, konflik antar penduduk dan lainnya.
            Selain Freeport, terdapat pula perusahaan-perusahaan asing yang meraup keuntungan besar dari tanah Papua, diantaranya yaitu BP (British Petroleum), Newmont, Coca cola, Chevron, Exxon Mobil, Shell, Conoco-Phillips, dll. Disinilah Saya dapat menyimpulkan bahwa konflik yang terjadi di Papua Barat itu sengaja dibuat oleh perusahaan-perusahaan asing di Papua, hal ini bertujuan agar tidak ada perusahaan asing lain yang masuk ke tanah Papua. Jika ada perusahaan baru yang datang ke Papua, jelas saja perusahaan-perusahaan asing yang sudah lama ada di Papua akan kehilangan sebagian keuntungannya.
            Berlanjut pada bahasan artikel S. Eben Kirksey yang berjudul “Don’t Use Your Data as a Pillow”. Setelah melewati beberapa tahap diskusi yang mengaharukan, pada akhirnya Kami kelompok 3 (Aldha Willian, Anggi Miladi Shulhiyyah, Siti Fadlun, dan Nurjannah) dan tidak lupa pula dibantu oleh kawan-kawan tercinta kelas PBI C, khususnya Saya dapat memehami jalan cerita artikel tersebut. Dimana pada paragraf 1-26, disana membicarakan tentang konflik yang terjadi di tanah Papua Barat. Terdapat sebuah kesimpulan besar yaitu dimana peran perusahaan BP (British Petroleum) milik Inggris sebagai dalang utama terjadinya konflik di Papua. BP membayar OPM, sebagai perhatian BP terhadap OPM yang menginginkan merdeka dan memisahkan diri dari NKRI. Kemudian BP juga membayar POLRI (militer Indonesia yang pro-pemerintah) untuk keamanan perusahaannya. Belum berhenti disitu, BP juga membayar Militer Indonesia yang pro-terhadap OPM, dan uang tersebut digunakan untuk menyuplai bahan logistik, intelejen, dan senjata ke OPM. Dengan demikian, kuatlah OPM dengan adanya senjata tersebut.
            Seperti yang dituliskan Eben dalam artikelnya, BP memprofokasi OPM, seperti dikemukakan oleh Dr. Grote “Masyarakat terbuka baik dan mereka menciptakan lingkungan dimana bisnis tumbuh subur. Bekerja di Papua Barat merupakan tantangan besar salah satu yang harus kami ambil. Kami yakin bahwa kebijakan keamanan masyarakat akan tetap bekerja. Jika kami membatalkan proyek ini maka perusahaan lain yang tidak berbagi kode etik akan masuk dan mengembangkan ladang gas.” Jelas terlihat jika BP menciptakan konflik di Papua Barat hanya semata-mata mereka tidak ingin perusahaan-perusahaan lain masuk ke Papua Barat.
            Selain memprofokasi OPM, menurut pendapat Saya, BP pun melakukan politik adu domba terhadap pihak-pihak yang sudah mereka bayar. Sebuah artikel menyebutkan bahwa dalam politik adu domba, konflik sengaja diciptakan. Secara prinsip, praktik politik adu domba adalah memecah belah dengan saling membenturkan (mengadu domba) kelompok besar yang dianggap memiliki pengaruh dan kekuatan. Tujuannya adalah agar kekuatan tersebut terpecah-belah menjadi kelompok-kelompok kecil yang tak berdaya. Dengan demikian kelompok-kelompok kecil tersebut dengan mudah dilumpuhkan dan dikuasai. Ketidak percayaan terhadap pimpinan atau suatu kelompok sengaja diciptakan agar pemimpin atau kelompok tersebut tidak tumbuh besar dan solid. Adakalanya tidak hanya ketidak percayaan, bahkan permusuhan pun sengaja disemai. Teknik yang digunakan adalah agitasi, propaganda, desas-desus, bahkan fitnah. Praktik seperti itu tumbuh subur saat ini. Selain itu penjajahan Indonesia di papua saat ini, Pemerintah maupun TNI/POLRI menggandeng beberapa pribumi untuk menjadi karyawan mereka, diberi kehidupan yang layak, tapi sadar atau tidak, mereka dikondisikan untuk mengkhianati bangsanya sendiri. Raja di satu kerajaan diadu domba dengan raja lain yang pada akhirnya menimbulkan peperangan dan perpecahan. Alhasil saat itu tidak muncul sebuah kerajaan yang besar dan kuat. Dengan kata lain, BP lah yang mempunyai kekuatan terbesar (uang yang berperan penting) mengalahkan kaum lemah yang haus akan uang. Miris sekali memang.
            Dalam artikelnya, Eben hanya mengaitkan BP terhadap konflik yang terjadi di Papua Barat, muncul pertanyaan, kenapa harus BP? Kenapa tidak Freeport yang sudah lama mendiami Papua Barat? Hal ini dikarenakan Eben mengadakan penelitiannya di kota Wasior, dan Wasior merupakan tempat BP beroperasi. Muncul pertanyaan lagi, kenapa Eben tidak menjelaskan tentang BP secara detail? Menurut pendapat Saya, Eben melindungi BP berhubung BP adalah perusahaan yang berasal dari Inggris dan Eben berasal dari Amerika Serikat,  jika kita melihat dari sejarah Inggris merupakan nenek moyang Amerika, otomatis Eben menghormati sekali BP. Selain itu, Eben juga pro terhadap OPM yang menginginkan merdeka.
            Jadi dapat disimpulkan, perusahaan-perusahaan asinglah yang menjadi propokator dari adanya konflik yang terjadi di Papua Barat. Dimana mereka sengaja menciptakan konflik tersebut dengan tujuan agar tidak ada perusahaan lain yang masuk ke Tanah Papua. Setiap permasalahan tentunya akan ada solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Beberapa solusi muncul pada saat kami mengadakan diskusi, solusi-solusi ini mungkin dapat menjadi amunisi agar terselesainya konflik yang terjadi, diantaranya yaitu:
*      Walaupun Papua bebas dari Indonesia, yang akan memimpin Papua bukanlah para pribumi, melainkan negara-negara asing yang mempunyai perusahaan-perusahaan besar di tanah Papua.
*      Agar tidak ada lagi pelanggaran-pelanggaran HAM oleh perusahaan-perusahaan asing, sebaiknya pemerintah memperbaiki sistem perpajakan terhadap perusahaan-perusahaan asing.
*      Memperbaiki regulasi persahaman.
*      Sebaiknya pemerintah juga tidak menciptakan sandiwara untuk keuntungan perusahaan asing.

            Mungkin hal itu tidak mudah dilakukan, tapi setidaknya sebagai warga negara Indonesia, kita patut untuk menjaga apapun yang berada di wilayah Indonesia, karena itu semua merupakan identitas bangsa Indonesia.


Referensi
*      Al Rahab, Amiruddin (2000), Heboh Papua, Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme(Jakarta: Komunitas Bambu).
*      Haluk, Markus (2013), Mati atau Hidup: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Azasi Manusia di Papua (Jayapura, Papua: Honai Centre dan Penerbit Deiyai).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic