Class
review 6
Bias Ideologi
Hari
ini langit mendung, tak hujan tak panas hanya berkabut saja. Angin semakin
kencang berhembus tanpa arah, dunia jauh mengabur. Ah... ini membuat kalut
saja. Sepertinya dunia sedang tak berpihak, berjam-jam leptop ku dandangi tapi
tetap saja tampilan ketikan kata-kata ini tak mau melangkah ke kanan arah.
Berpikir lagi! Terus begitu dan terus berpikir.
Selasa,
11 Maret 2014 adalah hari dimana mata kuliah writing berlangsung. Pada awal
pembelajran Mr. Lala Bumela memberikan sebuah quote “tugas kaum literat
adalah meneroka ceruk ceruk baru tempat pengetahuan dan keterampilan yang
mereka pungut, kumpulkan dan kuasai dalam perjalanan hidupnya sebagai bagian
sederhana dari cinta mereka pada pengetahuan dan pemberi pengetahuan. Mereka
yang hanya baru tahu teori ini dan itu dari suara-suara penuh kuasa di bidang
yang mereka geluti, belumlah dapat dikatakan yang tercerahkan literat; mereka
baru pada fase awal; peniru.
Meniru
adalah bagian penting dari menemukan lalu menciptakan, dari memahami affordance dan meaning potential tanda tanda yang terserak,
yang dibaca dengan teori ini dan itu. Yang berbahaya adalah ketika kita merasa
sudah mendesiminasi, pun meneroka padang-padang baru tempat segala teori yang
dipahami digunakan, padahal kita baru sampai pada tahap meniru. Lalu kita
dengan pongahnya mengatakan ini salah itu tak benar, tanpa dasar yang 'tak
bergetar' pada mereka yang berada di titik awal menjadi peniru. Kita merasa
bahwa hapal saja teori ini dan itu, telah membuat kita menjadi bagian dari “Rejim
kebenaran tak terbantahkan.” Begitu banyak yang harus dipelajari, dipahami lalu
dimaknai; lebih banyak dari alasan menjadi sombong sebab apa yang baru kita
sedikit ketahui.”
Dari
sini kita dapat melihat bahwa begitu tingginya standar literat. Orang yang
dikatakan literat adalah orang yang mencintai pengetahuan yakni seseorang yang meneroka
ceruk ceruk baru tempat pengetahuan dan keterampilan yang mereka pungut,
mengumpulkan dan menguasai pengetahuan dalam perjalanan hidupnya. Literat tidak
cukup hanya mengetahui berbagai teori-teori dari bidang yang digeluti. Pada
fase ini hanya dikatakan meniru. Meniru merupakan bagian penting dari menemukan
lalu menciptakan. Ketika kita sudah pada tahap menciptakan barulah kita dapat
dikatakan literat.
Memasuki
materi inti, kita akan kembali menyusuri masa lalu. Dengan bermodalkan literasi
kita akan mampu mengendalikan mesin waktu yang disebut sejarah tanpa harus
terjun langsung kembali ke masa silam. Sejarah berarti kejadian masa lalu yang
berhubungan dengan orang banyak. Eratnya hubungan antara sejarah dan literasi
ditandai dengan pencatatan sejarah dimulai sejak aksara dan sistem tulisan
diciptakan, tetapi asal mula peradaban bertolak belakang dari periode sebelum
penciptaan tulisan atau zaman prasejarah. Setelah sistem tulisan diciptakan,
manusia mampu mencatat sejarahnnya.
Pencatatan sejarah memerluan teks dan
alat proses yang disebut dengan ideologi (Fowler,1996:12). Ideologi
dapat dianggap sebagai visi yang
komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu. Secara umum ideologi diartikan
sebagai sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh
anggota masyarakat. Tujuan utama di balik ideologi adalah untuk menawarkan
perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran
abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah
publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Menurut Dr. Hafidh
Shaleh ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi
rasional (aqidah aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem
kehidupan manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode
untuk mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya,
serta metode menyebarkannya ke seluruh dunia. Ideologi ada
pada setiap teks tunggal baik dalam lisan, tertulis, audio, visual atau
kombinasi dari keempatnya (Fowler 1996).
Membaca dan menulis selalu termotivasi secara
ideologis oleh karena itu produksi teks tidak pernah netral (Fairclough 1989; 1992; 1995; 2000; Lehtonen 2000; Alwasilah 2001; 2012).
Di dalam teks selalu ada kepentingan dan ideologi di dalamnya. Pesan dalam teks
mengandung unsur-unsur ideologi dan nilai (teks messages contain
ideological and value messages); baik secara eksplisit maupun implisit,
teks selalu menghadirkan pesan-pesan ideologis.
Nilai atau dalam bahasa Inggris disebut value berarti harga, penghargaan,
atau tafsiran. Artinya, harga atau penghargaan yang melekat pada sebuah objek.
Objek yang dimaksud adalah berbentuk benda, barang, keadaan, perbuatan, atau
perilaku. Nilai (value) adalah sesuatu yang abstrak, bukan konkret. Menilai
berati menimbang, yaitu kegiatan manusia yang menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain untuk mengambil suatu keputusan. Nilai adalah sesuatu yang
abstrak, bukan kongkret dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik, apa
yang dianggap buruk, indah atau tidak indah dan benar atau salah. Untuk menentukan
sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui
proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut
oleh masyarakat. Tak heran apa bila diantara masyarakat yang satu dengan
masyarakta yang lain terdapat perbedaan tata nilai.
Menurut Kimball Young nilai adalah asumsi abstark dan sering tidak disadari
tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat. Sedangkan menurut Wood nilai merupakan
petunjuk umum yang telah berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku dan
kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti halnya linguis kritis, sejarahwan bertugas untuk memahami
nilai-nilai yang mendukung formasi sosial, ekonomi, politik, dan perubahan
nilai-nilai (Fowler,1996:10). Sama halnya dengan sejarahwan, menulis pada level
perguruan tinggi sering kali mengambil bentuk persuasi meskipun dalam hal ini
kita belum bisa dikatakan selevel dengan sejarahwan. Persuasi di sini berarti
himbauan atau ajakan untuk mengajak pembaca agar mengikuti apa yang kita
sampaikan pada teks dengan cara meyakinkana pembaca bahwa penulis memiliki
sesuatu yang menarik dan memiliki sudut pandang logika pada subjek yang penulis
pelajari. Persuasi merupakan keterampilan terlatih dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tingkat perguruan tinggi mahasiswa sering kali diberi tugas untuk
membuat kasus persuasi secara terulis. Setelah pengenalan singkat tentang topik
yang disajikan oleh penulis dan menyatakan sudut pandang penulis terhadap topik
secara langsung. Persuasi ditujuakan kepada penerima informasi agar tertarik
dengan isi atau ide gagasan dalam informasi yang diberikan dan mau mengikuti
atau dipengaruhi oleh informasi yang telah diberikan. Penulis akan menyatakan
informasi ini dalam satu kalimat yang disebut dengan ”Thesis Statement.”
Thesis statement berfungsi sebagai ringkasan dari argumen penulis.
Thesis statement adalah adalah satu atau dua kalimat dalam teks yang
menjadi fokus isi dalam teks sehingga penulis akan memberitahu pembaca tentang
keseluruhan teks yang disajikan. Kurangnya thesis statement merupakan gejala
dari sebuah teks yang kekurangan fokus. Thesis statement bisa terdapat pada
kalimat pertama atau bisa muncul pada akhir paragraf pertama. Thesis statement
merupakan interpretasi dari pernyataan atau subjek, tetapi bukan subjek itu
sendiri. Thesis harus menawarkan cara untuk memahami klaim bahwa orang lain
akan membantah. Thesis adalah hasil dari proses berpikir panjang. Sebelum penulis
mengembangkan argumen tentang topiknya, penulis harus mengumpulkan dan mengatur
bukti dan mencari hubungan antara fakta yang diketahui.
Jika thesis penulis berhasil melewati “SO WHAT” test, maka penulis tidak
perlu lagi mengklarifikasi tentang thesisnya. Jika pada test ini gagal, maka
penulis perlu menjelaskan untuk menghubungkan pada masalah yang lebih besar. Teks
dan thesis harus saling berkaitan. Jika thesis penulis dan teks tidak selaras
maka thesis ataupun teksnya harus dirubah.
Selanjutnya, apakah thesis penulis dapat melewati “HOW AND WHY” test, jika
pembaca merespon dan bertanya “HOW AND WHY” maka hal ini mengidentifikasikan penulis
perlu memberikan penjelasan lebih kepada pembaca. Jika penulis belum bisa
melewati “ SO WHAT” dan “HOW AND WHY” test, ini berarti ada banyak ruang yang
perlu diperbaiki oleh penulis.
Membaca dan menulis selalu termotivasi oleh ideologi. Beberapa orang bisa
menulis dengan sudut pandang yang berbeda padahal toipk yang disajikan masih
dalam rumpun yang sama. Contohnya kita dapat melihat bahwa ada beberapa versi
sejarah tentang benua Amerika terutama tentang Christopher Colombus. Howard Zin telah mematahkan bahwa sejarah
tidak selalu ditulis dari sudut pandan seorang pemenang. Zinn dtang dengan
ideologi yang berbeda dalam menulis sejarah. Alhasil versi sejarah yang
ditulisnya pun berbeda. zinn adalah seseorang yang anti kekerasan dan menolak
alasan apapun yang digunakan untuk mendukung sebuah perang. Wajar bila Zinn
menulis sejarah Amerika dalam bukunya “A People’s History of the United States”
sangat tidak berbihak pada Colombus. Dalam bukunya ia menceritakan perspektif
lain tentang sejarah Amerika yakni perjuangan penduduk asli Amerika terhadap
kedatangan para kolonis termasuk Colombus yakni tentang penaklukan, expansi,
menentang perbudakan dan hak-hak sipil.
Bebeda dengan Zinn, sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison menulis versi
lain tentang sejarah benua Amerika yang tentunya memiliki ideologi yang berdeda
dengan Zinn. Dalam bukunya “Christopher Colombus, Marriner” Morison menulis
tantang hal yang mengagumkan tentang kebesaran Colombus. Keputusan untuk
menceritakan sebuah heroisme dan mengabaikan fakta pembantaian-pembantaian yang
terjadi pada penduduk asli Amerika. Meskipun Morison tak sedikitpun berbohong
tentang kekejaman Colombus. Ia bahkan menyebutkan bahwa Colombus telah
melakukan genosida terhadap suku Indian Arawaks.
Ketika distorsi atau bias kartografer bersifat teknis, maka para sejarahwan
biasnya tiada lain adalah bias idelogi. Sikap penekanan tertentu dari penulisan
sejarah akan mendukung sebuah kepentingan. Bisa kepentinngan politik, ekonomi,
rasial ataupun nasional.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa membaca dan menulis merupakan
praktek literasi yang termotivasi oleh ideologi. Hal ini menyebabkan produksi
teks tidak pernah netral. Ideologi ada pada setiap teks tunggal baik dalam lisan,
tulisan, audio, visual atau kombinasi dari keempatnya dan penghantar ideologi
di sini adalah bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic