Critical review 2
Howard Zinn; Pengubah Mata Dunia
Buku adalah mercusuar
yang berdiri di tepi samudra waktu yang luas.
Edwin P. Whipple
Dua kekuatan yang
berhasil memengaruhi pendidikan manusia: seni dan sains. Keduanya bertemu dalam
buku.
Maxim Gorky
Buku yang kubaca selalu
memberi sayap-sayap baru, membawaku terbang ke taman-taman pengetahuan paling
menawan, melintasi waktu dan peristiwa, berbagi cerita cinta, menyapa semua
tokoh yang ingin kujumpai, sambil bermain di lengkung pelangi.
Abdurrahman Faiz
Buku
adalah investasi yang tiada habis dan tak ternilai harganya. Meskipun buku
hanya merupakan kumpulan kertas atau bahan
lainnya yang dijilid menjadi satu. Buku juga bisa mengubah nasib seseorang yang
siap belajar dan mau berubah. Berterima
kasihlah kepada para penulis buku. Mereka adalah dermawan ilmu pengetahuan,
pembuka jendela wawasan dunia dan informasi bagi manusia, pembaca, dan
pembelajar. Dengan membaca, kita bisa menimba berbagai macam ilmu dan
pengalaman orang lain selama bertahun-tahun, tanpa kita sendiri melewati masa
ujicoba selama itu. Kekayaan pikiran penulis yang kita baca pada setiap buku
bisa dinikmati berulang kali, bermanfaat memperkaya pengetahuan, bahkan mampu
mengubah mind-set
kita.
Begitu berharganya buku dalam kehidupan
hingga para pujangga mendeskripkan buku sebagai sebuah sesuatu yang tak
ternilai harganya. Tak heran bila ada ungkapan “Buku adalah jendela dunia.”
Tidak hanya sampai di situ, satu hal yang saya sadari setelah menjamah tulisan
yang berjudul Speaking Truth to Power with Books yang ditulis oleh Howard Zinn
bahwa buku dapat mengubah dunia. Dalam awal pembahasannya Howard Zinn
memperkenalkan isu yang berkaitan dengan menulis. Tentu saja berbicara tentang
buku berarti juga berbicara tentang menulis karena buku tidak bisa dikatakan
buku tanpa ada tulisan di dalamnya. Howard Zinn memulai dengan pertanyaan
“untuk apa orang menulis?” apakah hanya sekedar profesionalisme atau hanya
sekedar menerbitkan buku saja. Selanjutnya, Howard Zinn mengungkap pengalaman
hidupnya sendiri. Orang-orang bertanya kepadanya “apa yang membuat anda seperti
sekarang ini?” Ya, bukulah yang membuat Howard Zinn menjadi aktivis yang
memiliki kesadaran sosial seperti sekarang ini.
Seperti halnya yang dikatakan Howard
Zinn “This book changed my life”, orang lain juga akan sependapat dengan Howard
Zinn ketika menemukan buku yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Jadi,
disadari atau tidak buku memang benar-benar bisa mengubah hidup pembacanya baik
dalam cara berpikir, tingkah laku ataupun kebiasaanya.
Dalam artkel ini Zinn seolah ingin
berbicara tentang kebenaran, tentang fakta-fakta yang seharusnya tidak
disembunyikan oleh tangan-tangan manusia demi kepentingan tertentu. Terutama
menyangkut topik paling sensitif, yakni sejarah. Ini terlihat dari judul
artikel yang ditulisnya “Speaking Truth to Power with Books.” Artikel ini
benar-benar membuka mata kita tentang kebenaran yang harus diketahui oleh
halayak tanpa adanya sesuatu yang ditutupi-tutupi ataupun dirubah.
Howard Zinn adalah sejarahwan radikal
Amerika yang melengganris lewat bukunya yang berjudul A
People’s History of the United States. Dalam buku ini Zinn
benar-benar konsisten tentang apa yang ia katakan yakni berbicara tentang
kebenaran. Yang menarik dari buku Zinn tentu saja adalah
keberaniannya untuk mengungkap sisi gelap sejarah benua baru dan komitmen pada
kaum subaltern dalam definisi Spivak. Mereka yang terpinggirkan dalam politik
menarasikan sejarah. Sasaran tembaknya tak tanggung tanggung yakni Christoper
Colombus dan para sejarahwan yang menulis versi lugu dari kedatangan para
kolonis. Di dalamnya termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison.
Sejarah menyebutkan bahwa Benua Amerika
pertama kali ditemukan oleh Christopher Columbus. Hal yang telah menjadi pengetahuan
umum semua anak manusia di bumi ini. Namun berbagai literatur dan bukti buktifisik
berupa prasasti, manuscript dan kabar berita lainnya menyebutkan lain. Bukan Colombuslah penemu benua Amerika karena tujuh puluh tahun
sebelum Columbus menjejakkan kaki di Amerika, daratan yang disangkanya India, Laksamana
Muslim dari China bernama CengHo (ZhengHe) telah mendarat di Amerika. Bahkan berabad
sebelum Ceng Ho, pelaut-pelaut Muslim dari Spanyol dan Afrika Barat telah membuat
kampung-kampung di Amerika dan berasimilasi
secara damai dengan penduduk lokal di sana. Dengan kata lain, penemu Amerika bukanlah
Columbus.
Ada yang salah ketika para sejarahwan
menganggap profesi mereka sama dengan para kartografer. Pembuat peta dengan
sengaja menyederhanakan realitas, menunjukkan bagian yang perlu, dan membuang
yang tak penting terlihat. Itu yang membuat di peta Indonesia, kepulauan kita
jadi datar dan tak perlu ada gambar benua Amerika di sana. Namun menulis
sejarah adalah hal yang sungguh-sungguh berbeda.
Ketika distorsi atau bias para
kartografer bersifat teknis, maka para sejarahwan biasnya tiada lain adalah
bias ideologis. Dalam kata-kata Zinn, setiap penekanan tertentu dalam penulisan
sejarah akan mendukung sebuah kepentingan. Bisa kepentingan politik, ekonomi,
rasial ataupun nasional. Namun sayangnya dalam penuturan historis, bias ini
tidak seterang sebagaimana dalam penulisan peta. Sejarahwan menulis seakan
setiap pembaca punya sebuah kepentingan bersama yang tunggal. Para penulis
tertentu seakan lupa bahwa produksi pengetahuan adalah alat tempur dalam
antagonisme antar kelas sosial, ras, ataupun bangsa bangsa.
Inilah kritik pedas Zinn
pada Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal
Christoper Columbus, Mariner. Benar, Morison tak
sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut
telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, fakta yang tertera di satu
halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan
kebesaran sang pelaut.
Seandainya Morison adalah
seorang politisi dan bukan sarjana, pilihan ideologis ini tak akan jadi begitu
serius. Namun justru karena fakta ini diceritakan oleh seorang intelektual,
maka implikasinya jadi begitu mematikan. Kita seakan diajarkan sebuah imperatif
moral bahwa pengorbanan, meski begitu tak manusiawi, itu perlu untuk sebuah
kemajuan. Morison seakan mengatakan dengan kalem bahwa benar telah terjadi
pembantaian pada suku Arawaks, namun fakta kecil itu tak sebanding dengan jasa
dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang kemudian
direproduksi di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para siswa.
Berangkat dari
ketidaksetujuannya tersebut kemudian Zinn menulis versi sejarah yang berbeda,
sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang pecundang. Jadilah ia
bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks,
tentang Civil
War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang
perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan
Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon.
Zinn jelas tidak senaif
mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari
awal memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya sangat confessional,
dan di halaman 11 dari 729 halaman the People’s History ia menulis:
If history is to be creative, to anticipate a possible future without
denying the past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing
those hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed
their ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing,
or perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive
moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare.That, being
as blunt as I can, is my approach to the history of the United States. The
reader may as well know that before going on.
Ini membuat Zinn tidak berlagak pilon dalam bercerita, ia bias dan sadar
bahwa pembaca harus tahu.
“Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis
sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis
antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta
dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut,
dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana
Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!” Ini kata
kata Zinn yang diterjemahkan dari halaman 10 bukunya untuk menjelaskan
sudut pandang penulisan sejarahnya yang berbeda. Agaknya berbicara tentang
kebenaran seperti yang dikemukakan oleh Howard Zinn belum bisa diterapkan di
negeri tercinta kita, Indonesia. Pasalnya fakta-fakta sejarah yang sampai saat
ini masih simpang siur. Bagaimana sebenarnya?. Kita tentu masih ingat dengan
peristiwa pembantaian para Jendral dan Petinggi Angkatan Darat yang terjadi
pada 30 September 1965 atau yang biasa kita kenal dengan peristiwa G 30 S PKI.
Kisah G 30 S PKI yang ditulis dalam aneka versi seolah membuktikan bahwa ada yang
tidak beres dalam peristiwa ini. Hingga akhir kekuasaan rezim Soeharto semua
orang percaya bahwa semua itu adalah perbuatan yang diotaki oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan di pelajaran sejarah pun di catatkan kronologi menurut
kepentingan penguasa saat itu. Namun ketika orde reformasi dan tumbangnya rezim
orde baru sepeninggal Soeharto dimana kebebasan berbicara terbuka lebar
mulailah terkuak satu persatu kejanggalan skenario sejarah yang selama ini
dicatatkan.
Dalam buku Sejarah kelas
3 kurikulum 1994 ditulis bahwa PKI yang menjadi dalang peristiwa Gerakan 30
September 1965. Dimana peristiwa itu mengigatkan kita bahwa PKI selalu berusaha
mencari kesempatan untuk melakukan Kudeta (perebutan kekuasaan). Kebutuhan akan
rekonstruksi sejarah, yang terasa berkenaan dengan tumbuhnya kebingungan
masyarakat awam mengenai sejarah G 30 S PKI seperti yang telah mencuat melalui
media massa. Ironisnya hampir seluruh informasi baru diekspos oleh media
tersebut bertolak belakang dengan buku SMP kelas 3 1994. Pemaparan baru fakta
dan opini dibalik G 30 S PKI itu pada pokoknya ingin mengubah peran dan posisi
Jendral Soeharto terhadap G 30 S PKI I yakni pemberantas yang cekatan dan jitu ataukah
seorang tersangka. Entah mana yang benar?. Terlapas dari peristiwa tersebut,
ini merupakan bukti nyata bahwa negeri ini belum mampu menerapkan tentang berbicara
kebenaran seperti yang dikemukakan oleh Howard Zinn.
Speaking Truth to Power
with Books yang ditulis oleh Howard Zinn tentu saja tak terlepas dari
kekurangan. Speaking Truth to Power with Books santer menyuarakan berbicara
tentang kebenaran melalui buku, ya buku! Apa artinya buku tanpa adanya pembaca?
Tanpa pembaca buku hanya akan menjadi sebuah kuburan. Jika kita menerapkan
Speaking Truth to Power with Books pada negeri ini tentu saja sampai saat ini
belum terlihat hasilnya.
“Buku adalah jendela
dunia membaca adalah kuncinya” lagi-lagi pepatah ini seakan menggugah kita
tentang pentingnya membaca. “Buku adalah kawan terbaik" merupakan ungkapan
yang tepat dan bijak. Sebagai kawan, buku tak hanya mendermakan waktu dan
loyalitas. Ia juga menyisipkan manik-manik cahaya ke dalam tubuh manusia. Buku
menolong anak Adam terhindar dari aroma kegelapan. Itulah mengapa buku tak
layak dianggap sekadar tumpukan kertas dengan luapan tinta di dalamnya. Dengan
segenap kata yang memerankan ruhnya, ternyata buku mampu mengubah dunia serta
mengajak manusia menjadi lebih manusiawi. Akan tetapi, nampaknya bagi
masyarakat Indonesia buku bukan merupakan sesuatu yang belum memiliki power
(kekuatan) hal ini tercermin dari minat baca masyarakat Indonesia tergolong
masih sangat rendah. UNESCO pada 2012 melaporkan bahwa indeks minat baca warga
Indonesia baru mencapai angka 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang
Indonesia, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca. Miris memang,
bagaimana buku bisa mengunah dunia, jika manusianya saja enggan menjamahnya?
Pantas saja jika negeri ini tak pernah mengalami perubahan yang begitu pesat
seperti negara maju lainnya.
Berbagai tokoh dunia sudah sering menekankan pentingnya
membaca untuk kepentingan umat manusia. Berjuta pesan sudah dituliskan melalui
berbagai karya, namun tetap saja tidak semua orang suka membaca, padahal sudah
jelas dan pasti bermanfaat untuk mereka yang suka membaca. Tanpa buku sejarah
diam, sastra bungkam, sains lumpuh dan pemikiran macet. Buku adalah mesin
perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu.
Membaca semakin penting dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks.
Setiap aspek kehidupan melibatkan kegiatan membaca. Tanda-tanda jalan
mengarahkan orang yang bepergian sampai pada tujuannya, menginformasikan
pengemudi mengenai bahaya di jalan, dan mengingatkan aturan-aturan lalu lintas.
Di samping itu, kemampuan membaca merupakan tuntutan realitas kehidupan sehari-hari manusia. Beribu judul buku dan berjuta Koran diterbitkan setiap hari. Walaupun informasi bisa ditemukan dari media lain seperti televise dan radio, namun peran membaca tak dapat digantikan sepenuhnya. Membaca tetap memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari karena tidak semua informasi bisa didapatkan dari media televisi dan radio. Seseorang dapat menentukan sendiri berbagai manfaat yang dapat dirasakan ketika membaca buku. Yang paling umum dari manfaat membaca buku adalah kita dapat belajar dari pengalaman orang lain atau dengan membaca buku, kita dapat menambah pengetahuan.
Di samping itu, kemampuan membaca merupakan tuntutan realitas kehidupan sehari-hari manusia. Beribu judul buku dan berjuta Koran diterbitkan setiap hari. Walaupun informasi bisa ditemukan dari media lain seperti televise dan radio, namun peran membaca tak dapat digantikan sepenuhnya. Membaca tetap memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari karena tidak semua informasi bisa didapatkan dari media televisi dan radio. Seseorang dapat menentukan sendiri berbagai manfaat yang dapat dirasakan ketika membaca buku. Yang paling umum dari manfaat membaca buku adalah kita dapat belajar dari pengalaman orang lain atau dengan membaca buku, kita dapat menambah pengetahuan.
Buku memiliki kekuatan
yang amat dahsyat untuk mengendalikan dunia, ia juga menjadi pintu gerbang yang
membawa kita memasuki dunia baru dan menyadarkan kita siapa diri kita yang
sesungguhnya sejak dunia dijadikan. Semua peristiwa terangkai indah dari zaman
manusia prasejarah sampai manusia modern tertuang di dalamnya. Walaupun wujudnya
sederhana hanya berisi lembaran kertas tergores tinta, namun buku bisa
menyampaikan banyak hal, pesan para penulis kepada pembacanya.
Buku adalah sumber ilmu,
inspirator dan motivator yang kokoh, mengajari banyak hal, sanggup merubah
manusia dan dunia. Ketika kita membuka sebuah buka, kita telah membentangkan
cakrawala luas dan membuka diri kita untuk sebuah dunia baru yang sebelumnya
tidak terpikirkan ataupun terlintas di benak kita.
Beberapa penulis pada
zaman dulu bahkan pernah diasingkan, hanya karena apa yang akan dan telah
ditulisnya. Tanpa senjata, tanpa membawa pasukan hanya bermodalkan kertas dan
tinta seseorang menjadi gentar kepadanya karena karya sang penulis yang
tertuang nantinya akan membuka mata banyak orang bahkan dunia tentang apa yang
terjadi. Ini merupakan senjata yang mampu merasuki hati siapapun, bahkan bisa
menggerakkan massa yang tidak terduga jumlahnya. Buku akan lebih berharga dari
apapun, sanggup membentuk siapapun, mampu menampung sejarah panjang manusia,
bumi beserta isinya dan juga tentang sang pencipta. Mencerdaskan anak bangsa
dan membangun negara. Sebuah bangsa yang maju akan mengakui bahwa bukulah guru
yang terbaik, yang menjadikan kita seperti hari ini.
Dengan kemajuan teknologi
digital sekarang ini, telah membuat sejumlah kalangan memandang buku dengan
sebelah mata. Secanggih apapun dunia ini buku harus tetap mendapatkan tempatnya
di hati kita. Teknologi digital juga mempunyai kekurangan walaupun sekilas
tampak amatlah hebat namun tidak akan bisa menjanjikan sepenuhnya bisa kita
wariskan ke anak cucu. Lembaran kertas yang tergores tinta akan tetap bertahan
dan akan terus menceritakan kisah dunia turun-temurun. Buku akan menjadi saksi
yang hidup bagi dunia dan akan menjadi prasasti lembut nan kokoh tak terhapus
ruang dan waktu. Melihat peran penting buku bagi peradaban manusia, UNESCO
menetapkan bahwa tanggal 23 April adalah hari buku sedunia.
Dari semua pemaparan di
atas, Howard Zinn benar-benar mengubah mata dunia seputar prespektif tentang
buku yang tidak hanya sebagai jenjela dunia saja. Di sini Zinn lebih menegaskan
bahwa buku dapat mengubah dunia dengan cara persuasi kepada pembacanya. Era
dimana tulisan-tulisan muncul maka di situlah kita akan menemukan garis antara
penulisan buku dan perubahan kebijakan. Lintasan panjang antara menulis dan
mengubah kesadaran, menulis dan aktivisme yang kemudian dapat mempengaruhi
kebijakan publik, bisa berliku-liku dan rumit.
Lalu muncul pertanyaan “bagaimana
membuat hubungan antara buku yang mempegaruhi pembaca?”, “apa yang kemudian
pembaca lakukan?”, “bagaimana koneksi yang orang lain lakukan terhadap
pembaca?” dan “apa hubungan yang orang lain lakukan terhadap apa yang terjadi
di dunia?”. Nampaknya ini akan menjadi pertanyaan yang rumit dijawab.
Speaking Truth to Power with Books menggugah
hati kita untuk berbicara tentang kebenaran dengan menggunakan buku sebagai
senjatanya. Jelas ini bukan merupakan perkara mudah. Ketika kita berbicara
tentang kebenaran beberapa anggapan yang sudah tertanam dalam benak seseorang
tentu saja akan berubah. Tentu saja hal ini akan memicu kontra. Ya ! apapun
dampaknya kebenaran harus disuarakan. Beberapa penulis pada zaman dulu bahkan
pernah diasingkan, hanya karena apa yang akan dan telah ditulisnya. Tanpa
senjata, tanpa membawa pasukan hanya bermodalkan kertas dan tinta seseorang
menjadi gentar kepadanya karena karya sang penulis yang tertuang nantinya akan
membuka mata banyak orang bahkan dunia tentang apa yang terjadi.
Pengetahuan dan
keberanian Howard Zinn lewat bukunya yang berjudul A People’s History of the United States yang ngupas sisi buruk dari Christopher Columbus sebagai
seorang pembunuh, penyiksa, penculik, mutilator, munafik, dan orang yang tamak
akan emas merupakan hal yang sangat mengejutkan mengingat hal tersebut sangat
kontradiktif dengan apa yang diketahui orang-orang saat ini yang menganggap
Columbus adalah pahlawan, penemu besar, dan pembaca Alkitab yang shalih. Tentu
saja ini menuai kritik sana sini.
Sebagai negara maju tentu saja Amerika sudah
mampu menerapkan apa yang dipaparkan oleh Howard Zinn tentang berbicara tentang kebenaran karena mayoritas
masyarakatnya merupakan masyarakat yang memiliki kualitas literasi yang tinggi.
Tak heran bila buku merupakan makanan sehari-hari bagi masyarakat Amerika. Akan
tetapi melihat realita yang ada di negeri tercinta ini, Indonesia belum mampu
menerapkan sepenuhnya tentang berbicara tentang kebenaran yang dikemukakan oleh
Howard Zinn dengan mengandalkan senjata mutahirnya, yakni buku, Jangankan untuk
menulis, membaca saja masyarakat Indonesia enggan.
References
http://id.wikipedia.org/wiki/Kristoforus_Kolumbus
(Diakses pada 1 Maret 2014)
http://theparadiso.webs.com/g30spkianekaversi.htm
(Diakses pada 1 Maret 2014)
http://jakartabeat.net/kolom/konten/howard-zinn-dan-sejarah-orang-orang-kalah
(Diakses pada 1 Maret 2014)
http://www.poskotanews.com/2013/09/27/minat-baca-warga-indonesia-sangat-rendah/
(Diakses pada 1 Maret 2014)
http://media.kompasiana.com/buku/2011/05/24/buku-membentangkan-cakrawala-dan-menggenggam-dunia-365363.html
(Diakses pada 1 Maret 2014)
Name : Siti Andini
Reg. : 14121310354
Class : PBI-C/4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic