We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 03 Maret 2014

Critical review 2

Howard Zinn; Pengubah Mata Dunia

Buku adalah mercusuar yang berdiri di tepi samudra waktu yang luas.
Edwin P. Whipple
Dua kekuatan yang berhasil memengaruhi pendidikan manusia: seni dan sains. Keduanya bertemu dalam buku.
Maxim Gorky
Buku yang kubaca selalu memberi sayap-sayap baru, membawaku terbang ke taman-taman pengetahuan paling menawan, melintasi waktu dan peristiwa, berbagi cerita cinta, menyapa semua tokoh yang ingin kujumpai, sambil bermain di lengkung pelangi.
Abdurrahman Faiz

            Buku adalah investasi yang tiada habis dan tak ternilai harganya. Meskipun buku hanya merupakan kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu. Buku juga bisa mengubah nasib seseorang yang siap belajar dan mau berubah.  Berterima kasihlah kepada para penulis buku. Mereka adalah dermawan ilmu pengetahuan, pembuka jendela wawasan dunia dan informasi bagi manusia, pembaca, dan pembelajar. Dengan membaca, kita bisa menimba berbagai macam ilmu dan pengalaman orang lain selama bertahun-tahun, tanpa kita sendiri melewati masa ujicoba selama itu. Kekayaan pikiran penulis yang kita baca pada setiap buku bisa dinikmati berulang kali, bermanfaat memperkaya pengetahuan, bahkan mampu mengubah mind-set kita.
Begitu berharganya buku dalam kehidupan hingga para pujangga mendeskripkan buku sebagai sebuah sesuatu yang tak ternilai harganya. Tak heran bila ada ungkapan “Buku adalah jendela dunia.” Tidak hanya sampai di situ, satu hal yang saya sadari setelah menjamah tulisan yang berjudul Speaking Truth to Power with Books yang ditulis oleh Howard Zinn bahwa buku dapat mengubah dunia. Dalam awal pembahasannya Howard Zinn memperkenalkan isu yang berkaitan dengan menulis. Tentu saja berbicara tentang buku berarti juga berbicara tentang menulis karena buku tidak bisa dikatakan buku tanpa ada tulisan di dalamnya. Howard Zinn memulai dengan pertanyaan “untuk apa orang menulis?” apakah hanya sekedar profesionalisme atau hanya sekedar menerbitkan buku saja. Selanjutnya, Howard Zinn mengungkap pengalaman hidupnya sendiri. Orang-orang bertanya kepadanya “apa yang membuat anda seperti sekarang ini?” Ya, bukulah yang membuat Howard Zinn menjadi aktivis yang memiliki kesadaran sosial seperti sekarang ini.
Seperti halnya yang dikatakan Howard Zinn “This book changed my life”, orang lain juga akan sependapat dengan Howard Zinn ketika menemukan buku yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Jadi, disadari atau tidak buku memang benar-benar bisa mengubah hidup pembacanya baik dalam cara berpikir, tingkah laku ataupun kebiasaanya.
Dalam artkel ini Zinn seolah ingin berbicara tentang kebenaran, tentang fakta-fakta yang seharusnya tidak disembunyikan oleh tangan-tangan manusia demi kepentingan tertentu. Terutama menyangkut topik paling sensitif, yakni sejarah. Ini terlihat dari judul artikel yang ditulisnya “Speaking Truth to Power with Books.” Artikel ini benar-benar membuka mata kita tentang kebenaran yang harus diketahui oleh halayak tanpa adanya sesuatu yang ditutupi-tutupi ataupun dirubah.

Howard Zinn adalah sejarahwan radikal Amerika yang melengganris lewat bukunya yang berjudul A People’s History of the United States. Dalam buku ini Zinn benar-benar konsisten tentang apa yang ia katakan yakni berbicara tentang kebenaran. Yang menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi gelap sejarah benua baru dan komitmen pada kaum subaltern dalam definisi Spivak. Mereka yang terpinggirkan dalam politik menarasikan sejarah. Sasaran tembaknya tak tanggung tanggung yakni Christoper Colombus dan para sejarahwan yang menulis versi lugu dari kedatangan para kolonis. Di dalamnya termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison.


Sejarah menyebutkan bahwa Benua Amerika pertama kali ditemukan oleh Christopher Columbus. Hal yang telah menjadi pengetahuan umum semua anak manusia di bumi ini. Namun berbagai literatur dan bukti buktifisik berupa prasasti, manuscript dan kabar berita lainnya menyebutkan lain. Bukan Colombuslah penemu benua Amerika karena tujuh puluh tahun sebelum Columbus menjejakkan kaki di Amerika, daratan yang disangkanya India, Laksamana Muslim dari China bernama CengHo (ZhengHe) telah mendarat di Amerika. Bahkan berabad sebelum Ceng Ho, pelaut-pelaut Muslim dari Spanyol dan Afrika Barat telah membuat kampung-kampung di Amerika  dan berasimilasi secara damai dengan penduduk lokal di sana. Dengan kata lain, penemu Amerika bukanlah Columbus.
Ada yang salah ketika para sejarahwan menganggap profesi mereka sama dengan para kartografer. Pembuat peta dengan sengaja menyederhanakan realitas, menunjukkan bagian yang perlu, dan membuang yang tak penting terlihat. Itu yang membuat di peta Indonesia, kepulauan kita jadi datar dan tak perlu ada gambar benua  Amerika di sana. Namun menulis sejarah adalah hal yang sungguh-sungguh berbeda.
Ketika distorsi atau bias para kartografer bersifat teknis, maka para sejarahwan biasnya tiada lain adalah bias ideologis. Dalam kata-kata Zinn, setiap penekanan tertentu dalam penulisan sejarah akan mendukung sebuah kepentingan. Bisa kepentingan politik, ekonomi, rasial ataupun nasional. Namun sayangnya dalam penuturan historis, bias ini tidak seterang sebagaimana dalam penulisan peta. Sejarahwan menulis seakan setiap pembaca punya sebuah kepentingan bersama yang tunggal. Para penulis tertentu seakan lupa bahwa produksi pengetahuan adalah alat tempur dalam antagonisme antar kelas sosial, ras, ataupun bangsa bangsa.
Inilah kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus, Mariner. Benar, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut telah melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, fakta yang tertera di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang mengagungkan kebesaran sang pelaut.
Seandainya Morison adalah seorang politisi dan bukan sarjana, pilihan ideologis ini tak akan jadi begitu serius. Namun justru karena fakta ini diceritakan oleh seorang intelektual, maka implikasinya jadi begitu mematikan. Kita seakan diajarkan sebuah imperatif moral bahwa pengorbanan, meski begitu tak manusiawi, itu perlu untuk sebuah kemajuan. Morison seakan mengatakan dengan kalem bahwa benar telah terjadi pembantaian pada suku Arawaks, namun fakta kecil itu tak sebanding dengan jasa dan kepahlawanan Columbus bagi kita. Sense inilah yang kemudian direproduksi  di kelas pengajaran sejarah, dan buku pegangan para siswa.
Berangkat dari ketidaksetujuannya tersebut kemudian Zinn menulis versi sejarah yang berbeda, sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang pecundang. Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon.
Zinn jelas tidak senaif mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal memperingatkan pembaca tentang posisinya. Bab pertama bukunya sangat confessional, dan di halaman 11 dari 729 halaman the People’s History ia menulis:
If history is to be creative, to anticipate a possible future without denying the past, it should, I believe, emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes of the past when, even if in brief flashes, people showed their ability to resist, to join together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping, that our future may be found in the past’s fugitive moments of compassion rather than in its solid centuries of warfare.That, being as blunt as I can, is my approach to the history of the United States. The reader may as well know that before going on.
Ini membuat Zinn tidak berlagak pilon dalam bercerita, ia bias dan sadar bahwa pembaca harus tahu.
             “Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut, dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!” Ini kata kata Zinn yang diterjemahkan dari  halaman 10 bukunya untuk menjelaskan sudut pandang penulisan sejarahnya yang berbeda. Agaknya berbicara tentang kebenaran seperti yang dikemukakan oleh Howard Zinn belum bisa diterapkan di negeri tercinta kita, Indonesia. Pasalnya fakta-fakta sejarah yang sampai saat ini masih simpang siur. Bagaimana sebenarnya?. Kita tentu masih ingat dengan peristiwa pembantaian para Jendral dan Petinggi Angkatan Darat yang terjadi pada 30 September 1965 atau yang biasa kita kenal dengan peristiwa G 30 S PKI. Kisah G 30 S PKI yang ditulis dalam aneka versi seolah membuktikan bahwa ada yang tidak beres dalam peristiwa ini. Hingga akhir kekuasaan rezim Soeharto semua orang percaya bahwa semua itu adalah perbuatan yang diotaki oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan di pelajaran sejarah pun di catatkan kronologi menurut kepentingan penguasa saat itu. Namun ketika orde reformasi dan tumbangnya rezim orde baru sepeninggal Soeharto dimana kebebasan berbicara terbuka lebar mulailah terkuak satu persatu kejanggalan skenario sejarah yang selama ini dicatatkan.
            Dalam buku Sejarah kelas 3 kurikulum 1994 ditulis bahwa PKI yang menjadi dalang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dimana peristiwa itu mengigatkan kita bahwa PKI selalu berusaha mencari kesempatan untuk melakukan Kudeta (perebutan kekuasaan). Kebutuhan akan rekonstruksi sejarah, yang terasa berkenaan dengan tumbuhnya kebingungan masyarakat awam mengenai sejarah G 30 S PKI seperti yang telah mencuat melalui media massa. Ironisnya hampir seluruh informasi baru diekspos oleh media tersebut bertolak belakang dengan buku SMP kelas 3 1994. Pemaparan baru fakta dan opini dibalik G 30 S PKI itu pada pokoknya ingin mengubah peran dan posisi Jendral Soeharto terhadap G 30 S PKI I yakni pemberantas yang cekatan dan jitu ataukah seorang tersangka. Entah mana yang benar?. Terlapas dari peristiwa tersebut, ini merupakan bukti nyata bahwa negeri ini belum mampu menerapkan tentang berbicara kebenaran seperti yang dikemukakan oleh Howard Zinn.
Speaking Truth to Power with Books yang ditulis oleh Howard Zinn tentu saja tak terlepas dari kekurangan. Speaking Truth to Power with Books santer menyuarakan berbicara tentang kebenaran melalui buku, ya buku! Apa artinya buku tanpa adanya pembaca? Tanpa pembaca buku hanya akan menjadi sebuah kuburan. Jika kita menerapkan Speaking Truth to Power with Books pada negeri ini tentu saja sampai saat ini belum terlihat hasilnya.
            “Buku adalah jendela dunia membaca adalah kuncinya” lagi-lagi pepatah ini seakan menggugah kita tentang pentingnya membaca. “Buku adalah kawan terbaik" merupakan ungkapan yang tepat dan bijak. Sebagai kawan, buku tak hanya mendermakan waktu dan loyalitas. Ia juga menyisipkan manik-manik cahaya ke dalam tubuh manusia. Buku menolong anak Adam terhindar dari aroma kegelapan. Itulah mengapa buku tak layak dianggap sekadar tumpukan kertas dengan luapan tinta di dalamnya. Dengan segenap kata yang memerankan ruhnya, ternyata buku mampu mengubah dunia serta mengajak manusia menjadi lebih manusiawi. Akan tetapi, nampaknya bagi masyarakat Indonesia buku bukan merupakan sesuatu yang belum memiliki power (kekuatan) hal ini tercermin dari minat baca masyarakat Indonesia tergolong masih sangat rendah. UNESCO pada 2012 melaporkan bahwa indeks minat baca warga Indonesia baru mencapai angka 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang Indonesia, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca. Miris memang, bagaimana buku bisa mengunah dunia, jika manusianya saja enggan menjamahnya? Pantas saja jika negeri ini tak pernah mengalami perubahan yang begitu pesat seperti negara maju lainnya.
            Berbagai tokoh dunia sudah sering menekankan pentingnya membaca untuk kepentingan umat manusia. Berjuta pesan sudah dituliskan melalui berbagai karya, namun tetap saja tidak semua orang suka membaca, padahal sudah jelas dan pasti bermanfaat untuk mereka yang suka membaca. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh dan pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. Membaca semakin penting dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Setiap aspek kehidupan melibatkan kegiatan membaca. Tanda-tanda jalan mengarahkan orang yang bepergian sampai pada tujuannya, menginformasikan pengemudi mengenai bahaya di jalan, dan mengingatkan aturan-aturan lalu lintas.
Di samping itu, kemampuan membaca merupakan tuntutan realitas kehidupan sehari-hari manusia. Beribu judul buku dan berjuta Koran diterbitkan setiap hari. Walaupun informasi bisa ditemukan dari media lain seperti televise dan radio, namun peran membaca tak dapat digantikan sepenuhnya. Membaca tetap memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari karena tidak semua informasi bisa didapatkan dari media televisi dan radio. Seseorang dapat menentukan sendiri berbagai manfaat yang dapat dirasakan ketika membaca buku. Yang paling umum dari manfaat membaca buku adalah kita dapat belajar dari pengalaman orang lain atau dengan membaca buku, kita dapat menambah pengetahuan.
Buku memiliki kekuatan yang amat dahsyat untuk mengendalikan dunia, ia juga menjadi pintu gerbang yang membawa kita memasuki dunia baru dan menyadarkan kita siapa diri kita yang sesungguhnya sejak dunia dijadikan. Semua peristiwa terangkai indah dari zaman manusia prasejarah sampai manusia modern tertuang di dalamnya. Walaupun wujudnya sederhana hanya berisi lembaran kertas tergores tinta, namun buku bisa menyampaikan banyak hal, pesan para penulis kepada pembacanya.
Buku adalah sumber ilmu, inspirator dan motivator yang kokoh, mengajari banyak hal, sanggup merubah manusia dan dunia. Ketika kita membuka sebuah buka, kita telah membentangkan cakrawala luas dan membuka diri kita untuk sebuah dunia baru yang sebelumnya tidak terpikirkan ataupun terlintas di benak kita.
Beberapa penulis pada zaman dulu bahkan pernah diasingkan, hanya karena apa yang akan dan telah ditulisnya. Tanpa senjata, tanpa membawa pasukan hanya bermodalkan kertas dan tinta seseorang menjadi gentar kepadanya karena karya sang penulis yang tertuang nantinya akan membuka mata banyak orang bahkan dunia tentang apa yang terjadi. Ini merupakan senjata yang mampu merasuki hati siapapun, bahkan bisa menggerakkan massa yang tidak terduga jumlahnya. Buku akan lebih berharga dari apapun, sanggup membentuk siapapun, mampu menampung sejarah panjang manusia, bumi beserta isinya dan juga tentang sang pencipta. Mencerdaskan anak bangsa dan membangun negara. Sebuah bangsa yang maju akan mengakui bahwa bukulah guru yang terbaik, yang menjadikan kita seperti hari ini.
Dengan kemajuan teknologi digital sekarang ini, telah membuat sejumlah kalangan memandang buku dengan sebelah mata. Secanggih apapun dunia ini buku harus tetap mendapatkan tempatnya di hati kita. Teknologi digital juga mempunyai kekurangan walaupun sekilas tampak amatlah hebat namun tidak akan bisa menjanjikan sepenuhnya bisa kita wariskan ke anak cucu. Lembaran kertas yang tergores tinta akan tetap bertahan dan akan terus menceritakan kisah dunia turun-temurun. Buku akan menjadi saksi yang hidup bagi dunia dan akan menjadi prasasti lembut nan kokoh tak terhapus ruang dan waktu. Melihat peran penting buku bagi peradaban manusia, UNESCO menetapkan bahwa tanggal 23 April adalah hari buku sedunia. 
Dari semua pemaparan di atas, Howard Zinn benar-benar mengubah mata dunia seputar prespektif tentang buku yang tidak hanya sebagai jenjela dunia saja. Di sini Zinn lebih menegaskan bahwa buku dapat mengubah dunia dengan cara persuasi kepada pembacanya. Era dimana tulisan-tulisan muncul maka di situlah kita akan menemukan garis antara penulisan buku dan perubahan kebijakan. Lintasan panjang antara menulis dan mengubah kesadaran, menulis dan aktivisme yang kemudian dapat mempengaruhi kebijakan publik, bisa berliku-liku dan rumit.
Lalu muncul pertanyaan “bagaimana membuat hubungan antara buku yang mempegaruhi pembaca?”, “apa yang kemudian pembaca lakukan?”, “bagaimana koneksi yang orang lain lakukan terhadap pembaca?” dan “apa hubungan yang orang lain lakukan terhadap apa yang terjadi di dunia?”. Nampaknya ini akan menjadi pertanyaan yang rumit dijawab.
 Speaking Truth to Power with Books menggugah hati kita untuk berbicara tentang kebenaran dengan menggunakan buku sebagai senjatanya. Jelas ini bukan merupakan perkara mudah. Ketika kita berbicara tentang kebenaran beberapa anggapan yang sudah tertanam dalam benak seseorang tentu saja akan berubah. Tentu saja hal ini akan memicu kontra. Ya ! apapun dampaknya kebenaran harus disuarakan. Beberapa penulis pada zaman dulu bahkan pernah diasingkan, hanya karena apa yang akan dan telah ditulisnya. Tanpa senjata, tanpa membawa pasukan hanya bermodalkan kertas dan tinta seseorang menjadi gentar kepadanya karena karya sang penulis yang tertuang nantinya akan membuka mata banyak orang bahkan dunia tentang apa yang terjadi.
Pengetahuan dan keberanian Howard Zinn lewat bukunya yang berjudul A People’s History of the United States yang ngupas sisi buruk dari Christopher Columbus sebagai seorang pembunuh, penyiksa, penculik, mutilator, munafik, dan orang yang tamak akan emas merupakan hal yang sangat mengejutkan mengingat hal tersebut sangat kontradiktif dengan apa yang diketahui orang-orang saat ini yang menganggap Columbus adalah pahlawan, penemu besar, dan pembaca Alkitab yang shalih. Tentu saja ini menuai kritik sana sini.
 Sebagai negara maju tentu saja Amerika sudah mampu menerapkan apa yang dipaparkan oleh Howard Zinn tentang berbicara tentang kebenaran karena mayoritas masyarakatnya merupakan masyarakat yang memiliki kualitas literasi yang tinggi. Tak heran bila buku merupakan makanan sehari-hari bagi masyarakat Amerika. Akan tetapi melihat realita yang ada di negeri tercinta ini, Indonesia belum mampu menerapkan sepenuhnya tentang berbicara tentang kebenaran yang dikemukakan oleh Howard Zinn dengan mengandalkan senjata mutahirnya, yakni buku, Jangankan untuk menulis, membaca saja masyarakat Indonesia enggan.




References



Name  : Siti Andini
Reg.     : 14121310354
Class   : PBI-C/4



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic