(By: Sri Maryati)
Jingga
pergi dibawa rayuan hujan, mendesis diterpa gelombang pasang. Riuh gemuruh
memecahkan hitam, bagai langit yang dicambuk oleh tangan Tuhan. Kini hanya
lampu kecil yang menyoroti temaram, hanya sepiring laksa yang mampu meredakan
kepedihan malam. Tinta kecil ini mulai
berbicara tentang tragedi sejarah kita, di tanggal 25 Februari 2014. Pikiran
ini mulai menyapu semua ingatan, mengorek semua risalah anak adam.
Aku akan bercerita…
Hari
itu matahari mulai bangkit dan merobek sel-sel kulitku, peluh mulai meleleh di
pipiku. Bayangan hitam mulai berjejer di kelas dengan beragam rasa yang
berkecamuk di dada, puluhan pasang mata menyorot seorang insan sempurna, dia
Mr. Lala Bumela. Kini perkataannya menderu di telinga, dengan risalah yang
berbeda. Di sini kita kembali merajut asa, membangun ideologi serupa dengan
risalahnya. Risalah kali ini mengandung makna, tentang kita. Di mana kita masih
terjebak dalam lubang imajinasi serupa, yaitu kajian mengenai penggambaran ilusi
“Classroom discourse to foster religious harmony”.
“Classroom discourse to foster religious harmony” ini
sebenarnya yang kita tekankan pada Classrom
discourse-nya, bukan pada Religious harmony-nya. Ini yang hilang dari
coretan-coretan naskah kita. Mengungkit permasalahan ini mestinya kita berbenah
diri, dengan tidak lagi terjerat dalam ilusi serupa. Maka dari itu kita
klarifikasi semuanya, dengan pikiran terbuka. Kita mulai dengan kecerobohan
kita, mengenai pemecahan misteri dalam tumpukan tulisan yang dilukiskan oleh Dr
Chaedar.
Masih terngiang ditelinga tentang apa yang disampaikan
oleh Mr. Lala mengenai “Classroom
discourse” yang ditulis oleh Dr Chaedar. Pembahasan ini bukan sekedar racun
yang membius pikiran kita, tapi juga hati kita. Kita lihat pengertian
“classroom (kelas)” itu sendiri, kelas bagi beliau merupakan “situs suci
(sacred site)”. Situs di mana hanya orang-orang tertentu yang dapat duduk di
salah satu singgasana suci, situs dimana orang-orang melakukan banyak sekali
ritual. Artinya hanya orang-orang tertentu saja yang dapat memasuki dan
menduduki singgasana kelas, karena sebelumnya kita disaring melalui
penyeleksian menurut level pendidikannya.
Mengenai
pembahasan sederhana tentang “discourse” yaitu “bahasa yang digunakan (language-in-use)”,
entah itu dalam teks maupun konteks-nya. Di dalam kelas, konteks dapat berkisar
dari pembicaraan dalam pelajaran, untuk sosialisasi siswa seumur hidup, dengan
sejarah lembaga pendidikan [Betsy
Rymes(2008:12)]. Dalam konteks juga bukan hanya bahasa lisan, tapi juga
bahasa berpakaian dengan menunjukkan etika dan estetika berpenampilan. Untuk
melihat kasus ini kita lihat dengan menganalisis permasalahan ini, classroom discourse analysis.
Ringkasnya, classroom discourse mengacu pada bahasa yang
digunakan oleh guru atau murid untuk berkomunikasi dengan setiap orang di dalam
kelas. Berbicara, atau melakukan percakapan adalah media di mana sebagian besar mengajar
berlangsung, sehingga studi classroom discourse adalah studi tentang proses pengajaran di kelas
tatap muka.
Untuk itu dalam studi kasus ini, classroom discourse berimplikasi pada
interkasi. Interkasi yang dibangun dalam kelas akan menyebabkan indikasi saling
memahami satu sama lain antar guru dan murid.
Sebuah interaksi tidaklah mudah dibangun di dalam kelas,
seperti melakukan transaksi dengan orang yang berbeda bahasa, budaya dan strata
semuanya dibutuhkan pemahaman yang mendalam. Interaksi yang krusial dan
“complicated” menjadi sorotan di dalam kelas, karena interaksi antar guru dan
murid berdampak pada tindakan yang akan datang.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan interaksi menjadi
complicated, yaitu karena:
- Background
Kelas merupakan
sekumpulan insan-insan yang mempunyai ideologi serupa, mereka di pertemukan dan
mendapatkan pelatihan khusus di suatu ruangan. Jadi mereka bukan datang dengan
latar belakang yang sama, mereka semua berbeda baik dalam politik, ekonomi,
pendidikan, maupun sosialnya. Jadi untuk membimbing dan berinteraksi pada
mereka begitu sulit adanya, karena background yang berbeda. Bisa jadi akan
menyebabkan discourse communication
yang berkepanjangan. Perlu adanya pendekatan khusus diantara guru dan murid,
untuk mencapai pemahaman bahasa dan rasa.
Berinteraksi diperlukan
penggunaan bahasa yang tepat untuk mengutarakan maksud tindakan pikiran, begitu
pula dalam situasi dan kondisinya. Berkomunikasi dengan sederajat maupun yang
lebih tinggi dibutuhkan pengolahan kata dan tindakan yang tepat. Contohnya
apabila kita menjadi seorang guru, bebicara dengan siswa di dalam ruang kelas
seharusnya tak menyurutkan kesopanan. Dengan meneriaki seorang siswa yang tidak
mengerjakan tugasnya tepat waktu di depan semua siswa, ini merupakan strategi
komunikasi yang salah untuk memberitahukan kepada muridnya bahwa ia harus lebih
giat lagi.
Semua orang datang ke
kelas dengan ideologi dan values, ideologi adalah langkah awal
yang membuat perubahan kedepan dan values adalah hasil buah dari langkah yang
dihasilkan. Jika ini salah satu alasan interaksi yang membuat complicated,
karena kelas kita berbeda dengan kelas bangsa lain dengan kejujuran, kedisiplinan
yang terkait dengan penataan waktu. Sehingga ini sulit untuk dibina, dengan
tujuan berinteraksi bersama.
Ketiganya adalah
kendala interaksi yang terjadi di dalam kelas antara guru dan siswanya,
semuanya bisa dilihat sebagai wacana harian untuk memulai interaksi. Interaksi
yang dilakukan guru dan muridnya sangat berbeda, begitu pula sebaliknya.
Apabila kita sebagai seorang guru dalam pengajaran di kelas, ini akan
menggunakan bahasa yang harus mudah dipahami oleh muridnya. Interaksi terkait
dengan penggunaan bahasa yang digunakan, beberapa ahli bahasa berpendapat
bahwa mendefinisikan fitur bahasa adalah kemampuannya untuk de-contextualized.
Sebagai contoh, kata “tree” itu tidak pelu memvisualisasikan bentuk “tree”
sekitar untuk dipahami. Seorang siswa akan memberitahu anda bahwa ia melihat
“tree” hari ini, dan anda akan tahu apa yang dia maksud. Dia tidak perlu
menunjuk pohon atau menggambar untuk anda. Dalam hal ini, bahasa kontekstual
dan hal ini dapat menjadi fitur yang membuat unik bahasa
manusia.
Dalam
buku fenomenalnya “Classroon Discourse Analysis”, yang ditulis Betsy Rymes ada 3 dimensi discourse yang perlu di
teliti terkait dengan interaksi dalam kelas.
1. The First Dimension: Social Context
Dimensi dasar Classroom discourse adalah
pengaruh luas dari konteks sosial di luar kelas pada apa yang dikatakan di
dalam kelas. Bahasa yang digunakan(Language-in-use) (discourse) dan konteks
sosial masing-masing saling
mempengaruhi satu sama lain dalam sebuah dialektika hubungan,
tidak hanya apa yang kita katakan
fungsi berbeda tergantung pada
konteks sosial
tetapi juga, apa yang kita katakan perubahan apa yang mungkin
relevan tentang konteks sosial
(lihat diagram di
bawah):
Jadi dalam dimensi ini
konteks sosial mempengaruhi situasi kelas, baik dalam cakupan kelas maupun luar
kelas, sejarah interaksi di
dalam dan di luar kelas, konteks
kelas itu sendiri, konteks aktivitas yang berbeda dalam kelas, dan sosial yang berada dalam kategori luas seperti ras dan gender. Karena kelas sendiri merupakan ajang bersosialisasi, walaupun itu beda bahasa tapi untuk pengertian ini bisa dipahami secara mendalam.
kelas itu sendiri, konteks aktivitas yang berbeda dalam kelas, dan sosial yang berada dalam kategori luas seperti ras dan gender. Karena kelas sendiri merupakan ajang bersosialisasi, walaupun itu beda bahasa tapi untuk pengertian ini bisa dipahami secara mendalam.
2. The Second Dimension: Interactional Context
Seperti dibahas di atas, di mana orang-orang mengatakan sesuatu, apa
mereka terlihat seperti di mana mereka tinggal, dan sejarah sosial mereka semua berpotensi mempengaruhi bagaimana “language-in-use” mempengaruhi konteks interaksional fungsi discourse.
mereka terlihat seperti di mana mereka tinggal, dan sejarah sosial mereka semua berpotensi mempengaruhi bagaimana “language-in-use” mempengaruhi konteks interaksional fungsi discourse.
James Gee, seorang analis linguistik
dan discourse, mengacu pada aspek-aspek
ini mempengaruhi fungsi bahasa sebagai efek "big
D
discourse". Dalam interaksi apapun,
bagaimanapun, kategori sosial yang luas hanya relevan pada speaker. Sebab ini terkait dengan komunikasi antar pasangan yang
dibentuk, membuat interaksi semakin terolah dengan baik. Oleh karena itu, dimensi
penting lain dari Classroom discourse adalah konteks interaksional.
3.
The
Third Dimension: Individual Agency
Sebagai dua bagian terakhir telah menekankan, konteks interaksional dan
konteks sosial memainkan peran besar
dalam membentuk interaksi kelas. Siswa datang ke kelas
dengan sejarah sosial dan interaksional yang membentuk cara mereka mendengar kita dan cara mereka berinteraksi.
Dengan dimensi Individual agency ini mampu sebagai pelengkap kedua dimensi
sebelumnya, karena dimensi ini merupakan dimensi yang seharusnya kita pahami
juga.
Dengan individual
agency, maksudku kendali pribadi, kemampuan untuk bertindak dengan cara yang menghasilkan
hasil yang diinginkan atau berkontribusi
pada tujuan-tujuan pribadi kita
sendiri dan proyek-proyek.
Memiliki kendali pribadi tampaknya cukup sederhana. Tapi, seperti yang telah kita bahas, sosial dan konteks
interaksional mengontrol kita jauh lebih banyak daripada kita biasanya
melihat. Bila Anda merasa diri mengernyit kata
"Dude" pada sebuah esai, atau kata
"shit"
teriak dari mimbar, bagaimana banyak respons
Anda adalah Anda sendiri, berapa banyak yang diberikan oleh masyarakat? Dalam interaksi
ini, konteks sosial tampaknya
memegang kendali.
Selain konteks
sosial, konteks
interaksional
juga tampaknya berada dalam kontrol. Namun,
sama seperti konteks sosial dan interaksional mempengaruhi bahasa yang digunakan, bahasa kita digunakan
mempengaruhi konteks sosial dan interaksional dan bagaimana banyak kita memilih untuk memiliki mereka mempengaruhi bicara di kelas. Semakin besar kesadaran kita di
area dimensi kontekstual, kekuatan lebih besar
di individual
agency
dapat mengambil peran dalam membentuk konteks
ini dan bermain di kelas interaksi.
Jadi ketiga dimensi
ini merupakan interaksi yang harus dikembangkan di kelas, karena interaksi
burujung pada TALK. Semua yang terlibat dalam kelas pasti akan melakukan
interkasi dan berbicara satu sam lain. Melihat komunikasi dari social context, interactional context, dan
individual agency adalah upaya yang harus seorang guru miliki dalam
menguasai hubungan dengan siswanya baik di kelas maupun diluar kelas. Jika
ketiganya terjalin, maka akan menimbulkan pemahaman interaksi bahasa dan rasa.
Ini bisa disebuat Mutuality, yaitu
saling mengerti. Terkait dengan pembahasan classroom
discourse to foster religious harmony, sikap mutuality juga dibudidayakan
dalam religious harmony-nya. Ini sebagai
posisi kita dalam manusia yang beragama, mengupayakan dan membinanya dalam
kelas sebagai seorang guru tentunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic