We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 03 Maret 2014

SAJAK ILUSI: Discourse Communication



(By: Sri Maryati)

Jingga pergi dibawa rayuan hujan, mendesis diterpa gelombang pasang. Riuh gemuruh memecahkan hitam, bagai langit yang dicambuk oleh tangan Tuhan. Kini hanya lampu kecil yang menyoroti temaram, hanya sepiring laksa yang mampu meredakan kepedihan malam.  Tinta kecil ini mulai berbicara tentang tragedi sejarah kita, di tanggal 25 Februari 2014. Pikiran ini mulai menyapu semua ingatan, mengorek semua risalah anak adam.

Aku akan bercerita… 

            Hari itu matahari mulai bangkit dan merobek sel-sel kulitku, peluh mulai meleleh di pipiku. Bayangan hitam mulai berjejer di kelas dengan beragam rasa yang berkecamuk di dada, puluhan pasang mata menyorot seorang insan sempurna, dia Mr. Lala Bumela. Kini perkataannya menderu di telinga, dengan risalah yang berbeda. Di sini kita kembali merajut asa, membangun ideologi serupa dengan risalahnya. Risalah kali ini mengandung makna, tentang kita. Di mana kita masih terjebak dalam lubang imajinasi serupa, yaitu kajian mengenai penggambaran ilusi “Classroom discourse to foster religious harmony”.

            “Classroom discourse to foster religious harmony” ini sebenarnya yang kita tekankan pada Classrom discourse-nya, bukan pada Religious harmony-nya. Ini yang hilang dari coretan-coretan naskah kita. Mengungkit permasalahan ini mestinya kita berbenah diri, dengan tidak lagi terjerat dalam ilusi serupa. Maka dari itu kita klarifikasi semuanya, dengan pikiran terbuka. Kita mulai dengan kecerobohan kita, mengenai pemecahan misteri dalam tumpukan tulisan yang dilukiskan oleh Dr Chaedar. 

            Masih terngiang ditelinga tentang apa yang disampaikan oleh Mr. Lala mengenai “Classroom discourse” yang ditulis oleh Dr Chaedar. Pembahasan ini bukan sekedar racun yang membius pikiran kita, tapi juga hati kita. Kita lihat pengertian “classroom (kelas)” itu sendiri, kelas bagi beliau merupakan “situs suci (sacred site)”. Situs di mana hanya orang-orang tertentu yang dapat duduk di salah satu singgasana suci, situs dimana orang-orang melakukan banyak sekali ritual. Artinya hanya orang-orang tertentu saja yang dapat memasuki dan menduduki singgasana kelas, karena sebelumnya kita disaring melalui penyeleksian menurut level pendidikannya.

             Mengenai pembahasan sederhana tentang “discourse” yaitu “bahasa yang digunakan (language-in-use)”, entah itu dalam teks maupun konteks-nya. Di dalam kelas, konteks dapat berkisar dari pembicaraan dalam pelajaran, untuk sosialisasi siswa seumur hidup, dengan sejarah lembaga pendidikan [Betsy Rymes(2008:12)]. Dalam konteks juga bukan hanya bahasa lisan, tapi juga bahasa berpakaian dengan menunjukkan etika dan estetika berpenampilan. Untuk melihat kasus ini kita lihat dengan menganalisis permasalahan ini, classroom discourse analysis.

            Ringkasnya, classroom discourse mengacu pada bahasa yang digunakan oleh guru atau murid untuk berkomunikasi dengan setiap orang di dalam kelas. Berbicara, atau melakukan percakapan adalah media di mana sebagian besar mengajar berlangsung, sehingga studi classroom discourse adalah studi tentang proses pengajaran di kelas tatap muka. Untuk itu dalam studi kasus ini, classroom discourse berimplikasi pada interkasi. Interkasi yang dibangun dalam kelas akan menyebabkan indikasi saling memahami satu sama lain antar guru dan murid.

            Sebuah interaksi tidaklah mudah dibangun di dalam kelas, seperti melakukan transaksi dengan orang yang berbeda bahasa, budaya dan strata semuanya dibutuhkan pemahaman yang mendalam. Interaksi yang krusial dan “complicated” menjadi sorotan di dalam kelas, karena interaksi antar guru dan murid berdampak pada tindakan yang akan datang. 

            Ada beberapa alasan yang menyebabkan interaksi menjadi complicated, yaitu karena:

  1. Background

Kelas merupakan sekumpulan insan-insan yang mempunyai ideologi serupa, mereka di pertemukan dan mendapatkan pelatihan khusus di suatu ruangan. Jadi mereka bukan datang dengan latar belakang yang sama, mereka semua berbeda baik dalam politik, ekonomi, pendidikan, maupun sosialnya. Jadi untuk membimbing dan berinteraksi pada mereka begitu sulit adanya, karena background yang berbeda. Bisa jadi akan menyebabkan discourse communication yang berkepanjangan. Perlu adanya pendekatan khusus diantara guru dan murid, untuk mencapai pemahaman bahasa dan rasa.

      2.      Communicative strategies

Berinteraksi diperlukan penggunaan bahasa yang tepat untuk mengutarakan maksud tindakan pikiran, begitu pula dalam situasi dan kondisinya. Berkomunikasi dengan sederajat maupun yang lebih tinggi dibutuhkan pengolahan kata dan tindakan yang tepat. Contohnya apabila kita menjadi seorang guru, bebicara dengan siswa di dalam ruang kelas seharusnya tak menyurutkan kesopanan. Dengan meneriaki seorang siswa yang tidak mengerjakan tugasnya tepat waktu di depan semua siswa, ini merupakan strategi komunikasi yang salah untuk memberitahukan kepada muridnya bahwa ia harus lebih giat lagi.

       3.      Meaning making practices

Semua orang datang ke kelas dengan ideologi dan values, ideologi adalah langkah awal yang membuat perubahan kedepan dan values adalah hasil buah dari langkah yang dihasilkan. Jika ini salah satu alasan interaksi yang membuat complicated, karena kelas kita berbeda dengan kelas bangsa lain dengan kejujuran, kedisiplinan yang terkait dengan penataan waktu. Sehingga ini sulit untuk dibina, dengan tujuan berinteraksi bersama.

Ketiganya adalah kendala interaksi yang terjadi di dalam kelas antara guru dan siswanya, semuanya bisa dilihat sebagai wacana harian untuk memulai interaksi. Interaksi yang dilakukan guru dan muridnya sangat berbeda, begitu pula sebaliknya. Apabila kita sebagai seorang guru dalam pengajaran di kelas, ini akan menggunakan bahasa yang harus mudah dipahami oleh muridnya. Interaksi terkait dengan penggunaan bahasa yang digunakan, beberapa ahli bahasa berpendapat bahwa mendefinisikan fitur bahasa adalah kemampuannya untuk de-contextualized. Sebagai contoh, kata “tree” itu tidak pelu memvisualisasikan bentuk “tree” sekitar untuk dipahami. Seorang siswa akan memberitahu anda bahwa ia melihat “tree” hari ini, dan anda akan tahu apa yang dia maksud. Dia tidak perlu menunjuk pohon atau menggambar untuk anda. Dalam hal ini, bahasa kontekstual dan hal ini dapat menjadi fitur yang membuat unik bahasa manusia.
 
Dalam buku fenomenalnya “Classroon Discourse Analysis”, yang ditulis Betsy Rymes ada 3 dimensi discourse yang perlu di teliti terkait dengan interaksi dalam kelas.
1.      The First Dimension: Social Context
Dimensi dasar Classroom discourse adalah pengaruh luas dari konteks sosial di luar kelas pada apa yang dikatakan di dalam kelas. Bahasa yang digunakan(Language-in-use) (discourse) dan konteks sosial masing-masing saling mempengaruhi satu sama lain dalam sebuah dialektika hubungan, tidak hanya apa yang kita katakan fungsi berbeda tergantung pada konteks sosial tetapi juga, apa yang kita katakan perubahan apa yang mungkin relevan tentang konteks sosial (lihat diagram di bawah):



Jadi dalam dimensi ini konteks sosial mempengaruhi situasi kelas, baik dalam cakupan kelas maupun luar kelas, sejarah interaksi di dalam dan di luar kelas, konteks
kelas itu sendiri, konteks aktivitas yang berbeda dalam kelas, dan sosial yang
berada dalam kategori luas seperti ras dan gender. Karena kelas sendiri merupakan ajang bersosialisasi, walaupun itu beda bahasa tapi untuk pengertian ini bisa dipahami secara mendalam.

2.      The Second Dimension: Interactional Context
Seperti dibahas di atas, di mana orang-orang mengatakan sesuatu, apa
mereka terlihat seperti di mana mereka tinggal, dan sejarah sosial mereka semua berpotensi mempengaruhi
bagaimana language-in-use” mempengaruhi konteks interaksional fungsi discourse.



James Gee, seorang analis linguistik dan discourse, mengacu pada aspek-aspek ini mempengaruhi fungsi bahasa sebagai efek "big D discourse". Dalam interaksi apapun, bagaimanapun, kategori sosial yang luas hanya relevan pada speaker. Sebab ini terkait dengan komunikasi antar pasangan yang dibentuk, membuat interaksi semakin terolah dengan baik. Oleh karena itu, dimensi penting lain dari Classroom discourse adalah konteks interaksional.

3.      The Third Dimension: Individual Agency
         


Sebagai dua bagian terakhir telah menekankan, konteks interaksional dan konteks sosial memainkan peran besar dalam membentuk interaksi kelas. Siswa datang ke kelas dengan sejarah sosial dan interaksional yang membentuk cara mereka mendengar kita dan cara mereka berinteraksi. Dengan dimensi Individual agency ini mampu sebagai pelengkap kedua dimensi sebelumnya, karena dimensi ini merupakan dimensi yang seharusnya kita pahami juga. 

Dengan individual agency, maksudku kendali pribadi, kemampuan untuk bertindak dengan cara yang menghasilkan hasil yang diinginkan atau berkontribusi pada tujuan-tujuan pribadi kita sendiri dan proyek-proyek. Memiliki kendali pribadi tampaknya cukup sederhana. Tapi, seperti yang telah kita bahas, sosial dan konteks interaksional mengontrol kita jauh lebih banyak daripada kita biasanya melihat. Bila Anda merasa diri mengernyit kata "Dude" pada sebuah esai, atau kata "shit" teriak dari mimbar, bagaimana banyak respons Anda adalah Anda sendiri, berapa banyak yang diberikan oleh masyarakat? Dalam interaksi ini, konteks sosial tampaknya memegang kendali.

Selain konteks sosial, konteks interaksional juga tampaknya berada dalam kontrol. Namun, sama seperti konteks sosial dan interaksional mempengaruhi bahasa yang digunakan, bahasa kita digunakan mempengaruhi konteks sosial dan interaksional dan bagaimana banyak kita memilih untuk memiliki mereka mempengaruhi bicara di kelas. Semakin besar kesadaran kita di area dimensi kontekstual, kekuatan lebih besar di individual agency dapat mengambil peran dalam membentuk konteks ini dan bermain di kelas interaksi.

                   Jadi ketiga dimensi ini merupakan interaksi yang harus dikembangkan di kelas, karena interaksi burujung pada TALK. Semua yang terlibat dalam kelas pasti akan melakukan interkasi dan berbicara satu sam lain. Melihat komunikasi dari social context, interactional context, dan individual agency adalah upaya yang harus seorang guru miliki dalam menguasai hubungan dengan siswanya baik di kelas maupun diluar kelas. Jika ketiganya terjalin, maka akan menimbulkan pemahaman interaksi bahasa dan rasa. Ini bisa disebuat Mutuality, yaitu saling mengerti. Terkait dengan pembahasan classroom discourse to foster religious harmony, sikap mutuality juga dibudidayakan dalam religious harmony-nya.  Ini sebagai posisi kita dalam manusia yang beragama, mengupayakan dan membinanya dalam kelas sebagai seorang guru tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic