5th
Class Review
Langkahku
akan terus melangkah bersama asa yang tak akan pernah berakhir. Ketika hembusan
nafas ini terus mengalir sejalan dengan detakan jantung. Ditemani dengan
rangkaian kata dan sejuta huruf yang terus terukir di dalam relung hati. Aku
berharap rangkaian kata dan sejuta huruf terus menemani setiap langkah dalam
kehidupanku, dan mereka tidak akan pernah menghentikan langkahnya. Bahkan semua
benda yang ada dikamarku ikut menyaksikan betapa dekatnya aku dengan rangkaian kata.
Rangkaian kata yang mampu menghidupkan saraf-saraf yang telah rapuh dan terusik
oleh waktu. Hingga sampai saat ini rangkaian kata menjadi suatu melodi yang
indah untuk kehidupanku. Kehidupanku akan berwarna warna warni tat kala aku
dapat memainkan rangkaian kata menjadi melodi yang indah laksana pelangi yang
memancarkan warna-warna yang indah.
Malamnya
begitu sempurna, namun disisi lain aku terus mengarungi lautan academic
writing. Aku bahagia karena rangkaian kata terus berada di sampingku saat aku
mengarungi lautan. Lautan kali ini harus melewti beberapa tahap, diantaranya
harus membahas issue tentang writing (context, literacy, culture, technology,
genre, identity).
Sebelum
membahas ke pokok permaslahan, mari iklan terlebih dahulu. Sebuah universitas
yang bagus adalah harus mempunyai dosen yang hebat agar dapat membangun
kemampuan mahasiswa yang hebat. Tetapi, pada hakikatnya membangun kemampuan
mahsiswa bukan dari dosen saja, melainkan dari dalam dirinya sendiri. Kembali
lagi ke pembahasan writing, bahwa pada pertemuan ke tujuh kami harus
menyerahkan 1000 kata saja tetapi, dalam bahasa Inggris. Tidak lagi 2500 kata
yang biasanya membuat critical review.
writ
Critical
review tentang artikel Howard Zinn, menurut Mr Lala tulisannya belum bersifat akademik.
Bahkan generic structurenya belum ada. Generic structure dalam ccritical review
akan lebih complex atau rumit, karena dalam membuat text harus ada generic
structure dan itu yang membuat penting dan seenaknya sendiri. Jikalau tidak
menunjukan generic structure, maka kita akan membuat bingung si pembaca, karena
pembaca hanya ingin melihat konten atau isi.
Minggu
lalu, dalam membahas discourse analysis di class review aku belum ada
penjelasan tentang siapa penulis, tahun dan halamannya. Jadi kali ini saya akan
membahas kembali tentang classroom discourse. Dalam buku “Classroom Discourse
Analysis : A Tool for Critical Reflection” menurut (Besty Rymes, 2008: 12) bahwa
definisi untuk wacana yang sederhana adalah bahasa-bahasa yang digunakan.
Analysis wacana adalah studi tentang bahasa yang digunakan yang dipengaruhi
oleh konteks-konteks yang bebeda dan bagaimana sebuah kata yang digunakan
tergantung pada konteksnya. Classroom discourse adalah konteks utama dan paling
jelas untuk wacana yang akan kita periksa, namun konteks untuk analisis wacana
kelas juga meluas bukan hanya dalam kelas saja. Tetapi, juga diluar kelas.
Komponen yang berbeda dari bicara kelas, itu dapat mencakup konteks yang
mempengaruhi apa dan bagaimana hal itu ditafsirkan dalam kelas.
Dalam
mempelajari classroom discourse mempunyai manfaat yaitu mengetahui atau
memahami secara umum mengenai perbedaan komunikasi antara kelompok-kelompok
social (Besty Rymes, 2008: 11). Pada dasarnya kita hidup ditengah-tengah
kelompok masyarakat yang berbeda-beda, jadi kita harus dapat memahami dan mampu
berinteraksi dengan orang lain. Itu sebabnya mengapa classroom discourse sangat
penting untuk dipelajari. Seorang guru harus mampu merangkul siswanya menjadi
satu, meskipun terlahir dari latar belakang yang berbeda-beda.
Mari
kita kembali ke pembahasan awal tentang issue of writing, yang akan dijelaskan
lebih terperinci di bawah ini.
Context
Kita menyadari bahwa makna bukanlah
sesuatu yang terdapat dalam kata-kata yang lalu disampaikan oleh orang lain,melainkan
diciptakan oleh interaksi antara pembaca dan penulis,
menurut buku “Teaching and Researching” (Ken Hyland 2002:45). Interaksi dalam
kehidupan itu sangatlah penting, jikalau manusia tidak dapat berinteraksi maka
tidak akan berkembang bangsa ini, begitupula dengan menulis. Pembaca dan
penulis harus mampu menciptakan interaksi yang baik, supaya pesan yang tertuang
dalam tulisan bisa tersampaikan kepada pembaca.
Berbeda dengan pendapat Van Dijk (2008:viii) bahwa It is the situation that influences (or is
influenced by) discourse, but the way the participant define such a situation.
Context thus are not some kind of “objective or direct cause, but rather
(inter) subjective construct designed and ongoingly updated in interaction by
participant as members of groups and communities. Context are participant
constructs. Konteks itu bukan hanya dalam tulisan saja, melainkan dalam
dunia social juga ada. Seperti yang telah di sebutkan di atas bahwa conteks itu
menciptakan interaksi, contohnya dalam dunia social adalah individu dan
kelompok masyarakat. Apakah dalam berinteraksi dengan orang lain mempunyai cara
yang sama terhadap perbedaan usia? Perbedaan usia itu menunjukan perbedaan
interaksi atau berbicara. Bahkan context dalam hal ini ada yang menganggap bahwa
menganggap context of situation yang di
dalamnya terdapat field, tenor dan mode (Malinowski, 1949) yang mengacu
kepada context of situation menurut (Halliday, 1985) tentang Halliday’s
dimensions of context, daintaranya :
a. Field,
mengacu terhadap apa yang terjadi, jenis aksi soaial, dan teks yang mengacu
terhadap masalah social.
b. Tenor,
mengacu kepada peran dan hubungan antar individu, khususnya tenang sikap
(contohnya kesopanan).
c. Mode,
mengacu pada informasi. Bagaimana informasi itu disampaikan kepada pembaca.
Pada
semester tiga, dan pada mata kuliah English
phonology yang membahas tentang context of situation yang pada akhirnya
mencapai ke meaning, begitu pula dengan context dalam writing.
Literacy
Dalam
perbincangan metodologi pengajaran di kalangan guru bahasa saat ini, yang
menjadi buah bibir adalah genre, wacana, literasi, text dan context (A. Chaedar
Alwasilah, 2002:159), dalam bab tentang rekayasa literasi. Literasi ini merupakan kemampuan untuk membaca
dan menulis, mengembangkan potensi diri, mengatasi masalah, bersosialisasi, dan
lain lain. Begitu pula menurut Ken Hyland (2002: 48) bahwa writing, together with reading, is an act of literacy. Dunia ini akan
terus hidup dengan adanya pembaca dan menulis, itu yang membuat mengapa tulisan
sangat berperan penting terhadap kehidupan manusia. Sedangkan menurut Scribner and Cole (1981: 236) bahwa literasi tidak hanya mengetahui membaca dan
menulis saja, melainkan menerapkan pengetahuan untuk tujuan tertentu dan
konteks tertentu.
Literasi itu mampu mencakup semua aspek, khususnya aspek social. Begitu pula yang dikatakan
oleh Mr Lala Bumela bahwa “ History dan Literacy akan menjadi social practice”. Bahkan menurut Barton
(2007 :34) yang membahas tentang “A social view of literacy”. Dalam a social
view of literacy mempunyai delapan aspek, yaitu :
1. Literasi
adalah kegiatan social yang jauh lebih baik dijelaskan oleh seseorang dalam
praktik literasi.
2. Orang-orang
memiliki kemahiran yang berbeda-beda yang berhubungan dengan semua aspek
kehidupan.
3. Praktik
literasi dalam masyarakat terletak dalam hubungan yang lebih luas, sehingga
perlu untuk menggambarkan pengaturan peristiwa dalam literasi.
4. Praktek
literasi berpola oleh lembaga-lembaga social yang berkuasa atau berhubungan.
5. Literasi didasarkan pada sistem
simbol sebagai cara untuk mewakili
dunia kepada orang lain dan diri kita sendiri.
dunia kepada orang lain dan diri kita sendiri.
6. Sikap
dan nilai itu berhubungan dengan cara kita berkomunikasi.
7. Sejarah
dalam kehidupan kita mengandung banyak peristiwa tentang praktik literasi dan
memberikan kontribusi sampai saat ini.
8. Sebuah peristiwa keaksaraan juga
memiliki sejarah sosial yang
membantu menciptakan arus praktek.
Dengan
melihat aspek di atas bahwa literasi yang berbeda-beda menjadi jelas bahwa
tidak ada literasi tunggal yang memiliki kemahiran yang berbeda. Artinya bahwa
semua praktik literasi berhubungan dengan kehidupan kita, bukan hanya menulis
saja, bahkan hokum, ekonomi, tempat kerja juga ikut terlibat di dalamnya.
Culture
Budaya
merupakan aset suatu bangsa yang sangat berharga. Budaya tidak pernah lepas
dari keterlibatannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya secara
umum dipahami sebagai historis yang
ditransmisikan dan jaringan sistematis makna yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan dan mengomunikasi
pengetahuan dan keyakinan kita tentang dunia (Lantolf, 1999). Dalam sebuah
praktik literasi yang berbeda dari sebuah masyarakat akan menunjukan budaya
pada setiap individu. Negara yang memilki literasi yang tinggi, berarti negara
tersebut mampu membangun budaya dengan baik. Begitu pula dengan menulis,
menulis merupakan suatu budaya yang
berguna untuk orang lain (pembaca). Menulis juga bukan hanya menciptakan
sejarah saja, melainkan juga dapat mengembangkan budaya di suatu negara.
Contohnya banyak ritual yang ada di Cirebon, lalu banyaknya ritual dan tradisi
itu ditulis dalam sebuah buku. Setelah menjadi sebuah buku lalu dipublikasikan
ke kota lain, secara tidak langsung semua orang dapat mempelajari budaya yang
ada di Cirebon lewat tulisan. itu menunjkan betapa dekatnya tulisan dengan
budaya.
Dalam sebuah budaya berhubungan
dengan bahasa yang kita gunakan, dan
pasti mengacu kepada pembahasan tentang L1 dan L2. M enurut buku “Second language” (Hyland, 2003 :32), sabagai guru
menulis sulit untuk mengekstrak dari prinsip-prinsip dari mana untuk mengajar
dan mengevaluasi “tulisan yang baik”. Sebenarnya semua penulis memiliki potensi
kreatif yang sama dan dapat belajar untuk mengekspresikan diri melalui menulis.
Jadi, kaitannya dengan L1 dan L2 bila kita sorang mahasiswa bahasa Inggris,
kita mungkin berhasil menulis dalam bahasa Inggris. Tetapi, dalam menulis
bahasa daerahnya kurang, itu perlu diperhatikan ole seorang guru menulis,
karena kita cenderung mengabaikan latar belakng budaya kita dan tujuan komunikasi
di dunia nyata.
Menulis juga seperti berkomunikasi.
Dalam menulis tidak hanya terpaku terhadap satu bahasa saja, melainkan kita
dapat mengapresiasikan lewat bahasa yang lain. Seperti yang dikatakan oleh Mr
lala bahwa “In my very own perspective you are A MULTILINGUAL WRITER, who
writes effectively in L1 and L2 effectively, who serves as a critical reader
both in L1 and L2; who transforms yourself from a student of language into a
student of writing, who can make informed choice in life; who can change the
world. Itu menunjukan bahwa tulisan juga mampu berinteraksi dengan budaya
(badaya disini dalam konteks bahasa).
Technology
Untuk menjadi orang yang literat harus memiliki
pemahaman terhadap media cetak. Dengan adanya teknologi yang modern memiliki
dampak yang besar terhadap cara kita menulis, genre yang kita buat, identias
pengarang yang diasumsikan, bentuk produk yang dihasilkan, dan cara kita
terlibat dengan pembaca. Ada beberapa pengaruh teknologi elektronik terhadap
tulisan, diantaranya:
1. Mengubah dalam proses menciptakan,
mengedit dan memformat
2. Mengkombinasikan teks tertulis
dengan media visual dan audio lebih mudah.
3. Mendorong untuk menulis non-linear dan proses
membaca melalui hypertext link.
4. Tantangan pemikiran tradisional
dalam kepenulisan, wewenang dan intelektual.
5. Mengizinkan penulis untuk mengakses
informasi yang lebih lanjut dan dapat
menghubungkan dengan informasi yang lain dengan cara yang baru.
6. Menghubungkan antara penulis dan
pembaca supaya pembaca bisa “menulis kembali”.
7. Memperluas berbagai genre dan
peluang untuk mencapai audience yang lebih luas cakupannya.
8. Memperkenalkan dan membangun untuk memproyeksikan
identitas social yang baru.
9. Dapat memfasilitasi berkomunikasi
wacana melalaui media online.
10. Meningkatkan teknologi dalam menulis
yang sudah terisolasi.
11. Penawaran dan tantangan untuk
seorang guru dalam memberikan metode pengajaran yang baru.
Genre
Genre menjadi salah satu konsep
penting dalam dunia pendidikan bahasa saat ini. Ini adalah adat, namun untuk
mengidentifikasi tiga pendekatan genre (Hyon, 1996; Johns, 2002) akan
dijelaskan di bawah ini:
(a)
Pekerjaan di
Austarlia dalam tradisi Sistematik Fungsional Ilmu Bahasa.
(b)
Pengajaran
bahasa Inggris untuk keperluan khusus.
(c)
Studi yang
membahas tentang retorika baru dikembangkan dalam komposisi yang kompleks.
Menurut
Swales (1998: 20) bahwa wacana masyarakat
berkembang pada tradisi meraka masing-masing seperti kegiatan lisan beragam ,
menjalankan pertemuan, menghasilkan laporan,
dan mempublikasikan perbuatan mereka. Peristiwa pada kelas-kelas
komunikatif berulang adalah genre yang mengatur kegiatan verbal. Genre itu
dapat menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang, sehingga keseimbangan
tradisi dan inovasi. Mereka menyusun individu dalam kerangka yang lebih luas,
dan membantu orang-orang dalam berkomunikasi dan menggali tujuannya.
Berbeda
menurut versi Knapp and Watkins (1994: 8) yang berpendapat tentang “On
genre-based grammar in teaching”. Grammar adalah sebuah sumber daya yang
digunakan dalam penggunaan sistem bahasa untuk dapat menghasilkan teks. Sebuah
pengetahuan tentang tata bahasa secara tidak sadar untuk memanipulasi teks
supaya sesuai. Berdasarkan genre dalam tata bahasa berfokus pada cara yang
berbeda dalam proses bahasa. Cara pertama yang harus dipertimbangkan adalah,
bagaimana teks dapat terstruktur dan terorganisir diseluruhnya dan tujuan yang
dicapai untuk menyampaikan pesan kepada pembaca.
Identity
Dalam
arti luas identity mengacu terhadap cara orang-orang menampilkan siapa dirinya
dihadapan orang lain (Benwell and Stokoe, 2006: 6) bahwa sebuah kinerja social
dengan cara menggambarkan linguistic secara tepat. Oleh karena itu, identitas
dipandang sebagai kedua teks yang dibangun oleh keterlibatan dan pemilihan
bahasa yang kita buat, sehingga identitas bergerak ke ranah public. Dengan kata lain, pandangan ini adalah bentuk
mutlak dan tidak berubah dibalik wacana dan menunjukan bahwa identitas adalah
kinerja. Contohnya bila seseorang bekerja, itu telah menunjukan identitas
dirinya dari kelompok social tertentu. Sehingga identitas berhubungan dengan
sesuatu yang kita lakukan, bukan sesuatu yang kita miliki. Bukan hanya dalam
bekerja saja, melainkan ketika kita menulis atau berbicara juga menunjukan
identitas kita, menunjukan siapa diri kita dan cara menghadirkan tulisan atau
cara berbicara. Jadi semua yang kita lakukan
dapat dikatakan identitas.
Menulis
dan identitas, banyak pengertian yang muncul tentang identitas yang dilihat
dari konsep plural, yang didefinisikan secara social dan dinegosiasikan melalui pilihan penulis dalam
sebuah wacana. Namun pada dasarnya pilihan itu didapat dari ideology yang
membangun literasi (Hyland, 2002: 70). Dalam
menulis juga akan mengetahui identitas kita, jika tulisan kita uique maka akan
dikenal oleh pembaca dengan identitas yang lain. Layaknya seorang comedian,
penyanyi dan pembawa acara. Pasti memiliki identitas yang berbeda-beda, dan
dianggap oleh masyarakat pula beerbeda-beda, melalui bagaiman mereka
menyampaikan sesuatu. Itulah dentitas dalam konteks kehidupan.
Selanjutnya, setelah membahas tentang issue of writing,
saya akan sedikit mengulas mengenai sejarah Columbus. Chistopher Columbus
lahir pada 30 Oktober 1451 – meninggal
20 Mei 1506 pada
umur 54 tahun adalah seorang penjelajah dan pedagang asal Genoa, Italia, yang
menyeberangi Samudera Atlantik dan sampai ke benua Amerika pada tanggal 12 Oktober
1492. . Perjalanan tersebut
didanai oleh Ratu Isabella dari Kastilia Spanyol
setelah ratu tersebut berhasil menaklukkan Andalusia. Ia
percaya bahwa Bumi berbentuk bola kecil, dan beranggap sebuah kapal dapat
sampai ke jalur timur melalui jalur barat.
Columbus bukanlah orang pertama yang tiba di Amerika, yang
ia dapati sudah diduduki. Ia juga bukan orang Eropa pertama yang sampai ke
benua itu karena sekarang telah diakui secara meluas bahwa orang-orang viking
dari Eropa Utara telah berkunjung ke Amerika Utara pada abad ke 11 dan
mendirikan koloni L'Anse aux Meadows untuk jangka waktu singkat. Terdapat
perkiraan bahwa pelayar yang tidak dikenali pernah melawat ke Amerika sebelum
Kolumbus dan membekalkannya dengan sumber untuk kejayaannya. Terdapat juga
banyak teori mengenai ekspedisi ke Amerika oleh berbagai orang sepanjang masa
itu.
Itulah sejarah singkat
mengenai Columbus. Dalam pembahasn tentang contextualizing yang akhirnya
membahas artefax. Artefax itu dalamnya membahas tentang reproduction of text.
Konsep ‘reproduksi’mengacu pada fakta-fakta bahwa teks-teks memperoleh makna hanya melalui reproduksi
mereka, dan penyebarannya melalui membaca. Dalam sejarah, hubungan antara
produsen teks dan pembaca tidak sedikit rumit. Namun pada perkemabngan modern eknik
cetak mulai ada, reproduksi teks digunakan untuk kehidupan manusia. Pada
kontemporer budaya membaca teks telah lolos dari tangan produsen, sehingga
dapat untuk berbicara. Teks dapat dibaca dengan berbagai cara yang berbeda.
Pada abad pertengahan, mulai ada aftefax
budaya individu yang unik. Pengaruh teknologi juga dapat mempengaruhi sebuah
tulisan (Mikko Lehtonen, 2000: 60)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
issue of writing ada enam, yaitu context, literacy, culture, technology, genre
dan identity. Conteks dalam kehidupan sehari-hari dapat berupa interaksi. Interaksi
dalam kehidupan itu sanngatlah penting, jikalau manusia tidak dapat
berinteraksi maka tidak akan berkembang bangsa ini. Dalam conteks, mengenal
dengan adanya conteks of situation yang di dalamnya terdapat field, mode and
tenor. Menurut Ken Hyland bahwa writing, together with reading is an act of
literacy. Dunia ini kan terus hidup dengan adanya penulis da n pembaca. Ketika kita
menulis juga akan menunujukan identitas kita, bagaimana cara kita menghadirkan
sbuah tulisan itu merupakan identitas kita. Tetapi, harus memerlukan
pertimbangan adalah bagaimana teks dapat terstruktur dan terorganisir
seluruhnya dan tujuan yang dicapai untuk menyampaikan pesan kepada pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic