We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 10 Maret 2014

Praktek Literasi

5th Class Review

Aku tak akan bosan dan ingin terus belajar, karena kebosanan dapat mendatangkan kemalasan dan bencana dalam hidup. Disaat orang lain terlelap dalam tidurnya, aku kini asyik berbaur dengan sang malam, berinteraksi dengan pikiran, dan menuangkannya kedalam catatan yang sedang ku tulis pada saat ini. Karena kita semua tahu bahwa sukses itu membutuhkan “Proses”. Inilah babak yang dapat mengantarkan kita menuju pintu kesuksesan jika kita mencobanya dengan sungguh-sungguh.
Tidak jarang dari kebanyakan orang tahu bahwa sukses dalam segala bidang adalah bermula dari budaya literasi yang sering diabaikan oleh mereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah dalam bukunya Filsafat Bahasa dan Pendidikan: “Disadari atau tidak, keistimewaan pendidikan bahasa dalam pendidikan adalah bahwa sukses dalam penguasaan bidang studi sangat bergantung pada penguasaan bahasa lisan dan tulis atau literasi, karena pembelajaran segala bidang studi mesti menggunakan medium bahasa. Dengan demikian, pendidikan bahasa (ibu, nasional, dan asing) mesti ditangani secara profesional demi suksesnya pendidikan nasional.”[1]
Melihat realita budaya literasi dalam konteks keindonesiaan yang masih tertinggal dengan negara-negara lain di belahan bumi ini, maka konsep berpikir kritis harus terus dikembangkan serta dilatih di dalam kelas maupun di luar kelas. Seperti yang dikatakan oleh Bill Beattie: “ The aim of education should be to teach us rather how to think, than what to think rather to improve our minds, so as to enable us to think for ourselves, than to load the memory with thoughts of other men”.[2]
Kecerdasan literasi dapat dikemas melalui penggabungan teori konstruktivis dan pendidikan karakter. Teori konstruktivis berakar pada sebilangan disiplin ilmu seperti, linguistic, sejarah, sosiologi, sains, psikologi, dan filsafat. Pendidikan dalam paradigma ini lebih berfokus pada proses pemahaman dibandingkan berfokus pada materi ajar. Seperti yang digagas oleh Brooks dalam “The Case for Constructivist Classsroom (1999)”, yaitu ada lima dalil konstruktivis, diantaranya:
1)      Guru mencari dan menghargai pandangan siswa yang berbagai-bagai. Siswa dirangsang untuk berani bahkan ‘nekad’ berbeda pendapat dengan siswa dan bahkan dengan guru sekalipun. Perbedaan justru anugerah kurikular demi pencerdasan dan kepekaan sosial. Berdasar perbedaan inilah pelajaran berikutnya dibangun. Tes objektif dengan demikian membanting pintu kebebasan untuk berbeda pendapat.
2)      Kegiatan kelas dicetak biru untuk menantang segala pra-anggapan siswa. Segala siswa, apapun latar belakangnya, hadir di kelas dengan pengalaman hidup yang membangun pra-anggapan dan mungkin keyakinannya ihwal kebenaran.
3)      Guru sengaja membuat topik atau masalah menjadi relevan. Keterkaitan, kebermaknaan, dan keberminatan tidak ada otomatis ada pada setiap materi, tetapi muncul dari siswa. Siswa adalah pemeran utama, sedang guru hanya membangun suasana kelas agar siswa menemukan sendiri relevansi, makna, dan minat pada setiap sajian materi ajar. Belajar bukanlah menemukan banyak hal melainkan menafsirkan fenomena melalui skema dan struktur yang berbagai-bagai.
4)      Guru membangun pelajaran dengan merujuk pada tema pokok. Seringkali kurikulum menyajikan materi bagian per bagian secara terpisah tanpa merujuk pada tema pokok tadi. Guru pengikut madzhab rekonstruktivis berupaya memberdayakan siswa untuk ‘meronta-ronta’ memahami tema pokok tadi, dan secara bertahap dengan bantuan guru memahami hal-hal atau bagian-bagian kecil.
5)      Penilaian bukanlah hal yang luar biasa, tapi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan kelas sehari-hari. Selama ini penilaian dengan istilah evaluasi, tes, ulangan, atau ujian berkesan seram dan mengerikan bagi siswa. Guru pun merasa diri seolah hakim agung yang menetukan vonis salah atau benar. Dalam paradigma konstruktivis, guru harus mengubah citra tes sebagai peristiwa yang menegangkan menjadi rutinitas keseharian yang biasa-biasa saja.[3]
Pendidikan berbasis karakter juga harus dikedepankan. Sistem pendidikan barat menggunakan metode Teaching Center Learning, yaitu guru hanya sebatas fasilitator. Peran guru disini menjadi titik kelemahan, karena kurang mentransfer nilai-nilai kehidupan yang berkarakter.
Adanya paradigma ideologi Islam yang kemudian dibutuhkan dan memiliki sifat universal seperti “Humanisme Teosentris” yang dijadikan asumsi dasar pemikiran dalam ranah pendidikan. Karena Indonesia terdiri dari Multi-agama. Dengan paradigma ini, Islam hendaknya menjadi garam yang mengasini semua agama agar nilai-nilai Islam dapat diresap oleh mereka.
Paradigma ideologi ini dikembangkan oleh Prof. Dr. H. Achmadi dan berpondasi pada aspek Tauhidi dan Insaniyah, dimana tujuan untuk pendidikan adalah untuk mengenalkan peserta didik agar dapat berhubungan dengan Tuhannya dan di sisi lain dapat menjalin hubungan baik dengan sesama manusia. Paradigma ini diyakini mengandung kebenaran yang mutlak dan universal.
Bapak Ir. Soekarno, menegaskan “Agama adalah unsur mutlak dalam Nation and Character Building” (Sumahamijaya dkk, 2003 : 45).
Karakter harus memiliki landasan yang kokoh dan jelas. Tanpa landasan yang jelas maka tidak akan ada arah, mengambang, dan menjadi keropos sehingga, tidak akan berarti apa-apa. Oleh karenanya, landasan dari pendidikan karakter tidak lain adalah Agama. Yang paling berharga dalam proses belajar adalah pemberdayaan siswa untuk memaknai sendiri fenomena sosial, mulai dari dalam kelas sampai luar kelas. Menurut Betsy Rymes, Konteks yang kita gunakan ketika berada dalam kelas sangatlah berbeda dengan yang kita gunakan ketika berada dirumah. Namun pada saat pelajaran telah selesai konteks itu bisa saja berubah.Seperti proses menulis dan pemberian tugas untuk merevisi kembali pemahaman dengan sejumlah teknik serta informasi baru sehingga akan menantang siswa dalam konsep kebenaran yang diyakini olehnya.
Beberapa saran yang dapat ditempuh untuk menciptakan terbiasanya berpikir di lingkungan pendidikan hal ini terkait juga dengan peran sarana teknologi, diantaranya:
-          Tersedianya sarana baca dan pengajaran berpikir kritis;
-          Adanya kajian dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi;
-          Guru maupun lembaga pendidikan lainnya menyelenggarakan training seputar pengajaran berpikir kritis, (karena yang saya tahu dan baru saya rasakan pertama kalinya yang benar-benar mengajarkan saya berpikir kritis yaitu orang yang berjasa khususnya bagi saya pribadi yakni, Mr. Lala Bumela. Beliau patut diacungi jempol, dan training di lembaga pendidikan perlu diselenggarakan, bila perlu pematerinya juga Mr.Lala Bumela); J
-          Pengembangan materi pengajaran berpikir melalui computer dan audio-visual;
-          Adanya mata kuliah Critical Thinking pada program tertentu seperti pendidikan bahasa dan sastra.
-          Dan rajin menyelenggarakan seminar.
Hal ini seperti yang sedang saya rasakan dan manfaatnya sangat luar biasa untuk mengasah dan memperluas wawasan ilmu pengetahuan.
Pendidikan juga dimulai dari dalam rumah berkenaan dengan peran orang tua sebagai pendidik kodrati anak. Dalam hal ini juga perlu penanaman budaya literasi dengan berupaya menyediakan perpustakaan rumah (home-library) serta membudayakan gemar membaca.   Seperti yang sudah tercantum dalam Bakhtin (1986), seperti dikutip dalam Hyland (2002): mengenai isu Intertekstualitas: bahasa dialogis: percakapan antara penulis dan pembaca dalam suatu kegiatan yang sedang berlangsung. Intertekstualitas menurut Bakhtin menunjukkan bahwa wacana selalu terkait dengan wacana lain.
Ada sejumlah isu kunci yang mendominasi pemahaman saat penulisan, dimana menulis itu melibatkan context, literacy, culture, technology, genre and identity.
-          Konteks : Konteks adalah peserta konstruksi. Dalam model interaktif sosial, makna diciptakan melalui konfigurasi yang unik dan interaksi apa yang baik pembaca dan penulis membawa ke teks (Nystrand et al , 1993:  299)”.
Cutting (2002: 3)  menyebutkan tiga aspek konteks:
a.      Konteks Situasional
b.      Latar Belakang Konteks Pengetahuan
c.      Co-Tekstual
Dimensi Halliday dalam Konteks:
Field    : Mengacu pada apa yang terjadi, jenis aksi sosial, atau apa yang 
teks adalah tentang (topik bersama dengan bentuk-bentuk yang diharapkan s
osial)
Tenor
  : Mengacu pada siapa yang mengambil bagian, peran dan hubungan 
peserta
. 
Mode
  : Mengacu pada apa bagian bahasa diputar, apa yang peserta 
mengharapkan untuk lakukan untuk mereka (apakah lisan atau tertulis, 
bagaimana informasi terstruktur, dan sebagainya).
-          Literasi :   menulis dan membaca merupakan tindakan literasi. Bagaimana kita menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Literasi membantu kita untuk mengetahui bagaimana orang merasakan kehidupannya melalui praktek rutin dari membaca dan menulis. Menulis berarti membentangkan dan membangun dunia.
-          Culture : keterkaitan culture dengan writing, budaya adalah hasil dari sejarah, sejarah yang dituliskan dan sebagai sumber ilmu. Budaya yang membuat pandangan dan perspektif baru, dalam writing budaya sangat penting untuk membangun gaya bahasa dan penjelasan dalam mengkomunikasikan informasi melalui writing. 
-          Teknologi : untuk menjadi orang yang melek hari ini berarti memiliki kontrol atas berbagai media cetak dan media elektronik.  Banyak yang terakhir memiliki dampak yang besar pada cara kita menulis, genre kita buat, identitas pengarang kita asumsikan, bentuk produk jadi kami, dan cara kita terlibat dengan pembaca. (Hyland, 2002;2009: 58) Dewasa ini, tulisan lebih banyak tersaji dalam bentuk media elektronik seperti artikel,
e-book, dan lain-lain. Inovasi tekhnologi hadir untuk menantang penulis. Mereka juga membuka identitas baru, genre dan komunitas kepada penulis. Semakin hebatnya teknolgi, semakin memudahkan seseorang dalam menulis.
-          Genre :  Ken Hyland menyebutkan bahwa Genre adalah termotivasi, hubungan fungsional antara jenis teks dan situasi retoris. Artinya, genre bukanlah jenis teks maupun situasi , melainkan hubungan fungsional antara jenis teks dan jenis situasi.
-           Identity : Identity adalah penampilan seseorang dalam menulis, cara seseorang dalam menyampaikan informasi atau ciri khas yang dimiliki seseorang. “Identity is therefore seen as constructed by both the texts we engage in and the linguistic choices we make, thus moving identity from the private to the public sphere, and from hidden processes of cognition to its social and dynamic construction in discourse” (Hyland:70).
Melalui budaya literasi, peradaban manusia akan tetap terjaga melalui dokumentasi sejarah. Seperti yang pernah dikatakan oleh presiden Indonesia yang pertama, bapak Ir. Soekarno, yang mengatakan JASMERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). 

Sejarah memiliki hubungan dengan literasi. Orang yang menemukan sejarah adalah orang-orang yang pintar membaca dan menulis (literasi). Sejarah dapat dibolak-balikan dengan literasi. Menurut Mr.Lala Bumela, kita pun bisa memanipulasi sejarah dengan karya kita. Itulah yang membuat saya pribadi sadar bahwa peranan literasi sangat besar dalam kehidupan ini sehingga, dapat membuat serta menyimpan sejarah yang ada.
Sejarah juga dapat dilihat dari benda-benda peninggalannya. Benda-benda peninggalan sejarah itu bisa berupa artefak, teks, yupa, prasasti atau benda-benda lainnya yang berkaitan dengan masa lampau. Lehtonen berkata dalam bukunya “The Cultural Analysis of Texts” bahwa teks dibagi menjadi dua macam, yaitu teks fisik dan teks semiotic. Teks fisik yaitu teks yang bermakna real (denotasi), artinya makna dari teks fisik itu terlihat jelas. Contohnya yaitu artefak, prasasti, lembaran-lembaran yang membentuk sebuah karya dan lain sebagainya. Dari contoh-contoh teks fisik tersebut, kita dapat mengetahui sejarah yang sebenarnya dengan membaca tulisan yang ada pada artefak, prasasti dan lembaran-lembaran tersebut. Teks semiotic yaitu kebalikan dari teks fisik yaitu teks yang bermakna konotasi (tersirat), artinya makna dari teks itu tidak jelas  sehingga, harus dicari terlebih dahulu kebenarannya. Contohnya yaitu speech, picture dan music.
Menganalisis artikel Howard Zinn yang berjudul ‘Speaking Truth to Power with Book’ Kelemahan Zinn dalam artikel tersebut ketika menguak tentang kebenaran sejarah Columbus yaitu kurangnya bukti-bukti yang terkait dengan bantahannya terhadap Columbus.  Padahal seharusnya jika beliau menolak mentah-mentah bahwa penemu benua Amerika itu bukanlah Christopher Columbus, Howard Zinn seharusnya memberikan bukti atas bantahannya.
Ada sebuah bukti dari Teori Dinasti Utsmaniyah, Pada tahun 1929, terdapat sebuah penemuan yang cukup fenomenal di Istanbul. Pada tahun itu ditemukan sebuah peta yang dibuat pada tahun 1513 oleh seorang kartografer Dinasti Utsmani, Piri Reis. Reis menyatakan bahwa peta yang dibuatnya itu berdasarkan sumber-sumber di masa lalu, yaitu peta Yunani dan Arab kuno, termasuk peta yang berdasarkan ekspedisi yang dilakukan oleh Columbus yang berlayar 21 tahun sebelumnya. Yang luar biasa dari peta ini adalah tingkat kedetailannya sehingga memaksa para sejarawan melakukan penelitian ulang tentang teori ekspedisi Columbus. Peta Reis dengan sumber-sumber klasik yang ia gunakan menunjukkan penguasaannya yang mapan mengenai benua Amerika. Peta karyanya juga merupakan bukti fisik terkuat mengenai ekspedisi-ekspedisi kaum muslimin jauh sebelum ekspedisi Columbus.
Penemu benua Amerika tak lain adalah dari kaum muslimin, tetapi dalam artikel Zinn juga tidak disebutkan bahwa kaum muslimin yang pertama kali singgah di benua Amerika. Hal ini dikarenakan background Zinn adalah seorang yahudi. Seperti yang kita ketahui bahwa yahudi adalah musuh besar Islam. Dalam hal ini Zinn hanya  terfokus pada sisi gelap Columbus.
Dua abad sebelum perjalanan Christopher Columbus di tahun 1492 M, orang-orang muslim telah melakukan pelayaran dari Spanyol dan sebagian pesisir barat laut Afrika ke Amerika Utara dan Selatan dan sebagian bahkan ikut menjadi awak Columbus. Para penjelajah itu konon telah menembus sebagian besar wilayah Amerika Selatan dan Utara, bergaul dan sebagian menikah dengan orang asli Amerika.
Bukti-bukti yang mendukung pernyataan ini diantara benda-benda peninggalan sejarah (artefak), tulisan-tulisan dan laporan kisah-kisah para saksi mata. Dr Barry Fell, seorang arkeolog dan ahli bahasa dari Universitas Harvard. Dalam karyanya berjudul Saga America, Fell menyebutkan bahwa umat Islam tak hanya tiba sebelum Columbus di Amerika. Namun, umat Islam juga telah membangun sebuah peradaban di benua itu. Arkeolog dan ahli bahasa itu juga menemukan teks, diagram, serta peta yang dipahat di batu yang digunakan untuk kepentingan sekolah.Temuan itu bertarikh antara tahun 700 hingga 800 M. Teks serta diagram itu berisi mata pelajaran matematika, sejarah, geografi, astronomi, dan navigasi laut.  Sejarawan seni berkebangsaan Jerman. Alexander Von Wuthenau, juga menemukan bukti dan fakta keberadaan Islam di Amerika pada tahun 800 M hingga 900 M. Wuthenau menemukan ukiran kepala yang menggambarkan seperti bangsa Moor. Itu berarti, Islam telah bersemi di Amerika sekitar separuh millennium sebelum Columbus lahir. Dia juga menemukan ukiran serupa bertarik 900 M hingga 1500 M. Artefak yang ditemukan itu mirip foto orang tua yang biasa ditemui di Mesir. Era Columbus adalah waktu yang sangat penting dalam sejarah dunia yang mengubah cara hidup di benua Amerika dan Eropa.
Inilah hasil free writing yang saya buat di kelas mengenai artikel Howard Zinn dan kontroversi Colombus.






Kesimpulan
Sukses dalam segala bidang adalah bermula dari budaya literasi. Melalui budaya literasi, peradaban manusia akan tetap terjaga melalui dokumentasi sejarah. Sejarah juga dapat dilihat dari benda-benda peninggalannya. Benda-benda peninggalan sejarah itu bisa berupa artefak, teks, yupa, prasasti atau benda-benda lainnya yang berkaitan dengan masa lampau. Penemu benua Amerika tak lain adalah dari kaum muslimin, tetapi dalam artikel Zinn juga tidak disebutkan bahwa kaum muslimin yang pertama kali singgah di benua Amerika. Peta Reis merupakan salah satu bukti artefak juga merupakan bukti fisik terkuat mengenai ekspedisi-ekspedisi kaum muslimin jauh sebelum ekspedisi Columbus.  Sejarah tidak dapat terpisahkan dengan praktek literasi. Melalui Class Review 5 ini menjadi evaluasi dari Class Review sebelumnya.

Referensi
[1] A Chaedar Alwasilah. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2010). Cet. Kedua. Hlm. 16
[2] Coleen Armstrong. The Truth About Teaching. (Amerika: Jossey Bass.) Cetakan pertama. Hlm. 132


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic