5th
Class Review
Aku
tak akan bosan dan ingin terus belajar, karena kebosanan dapat mendatangkan
kemalasan dan bencana dalam hidup. Disaat orang lain terlelap dalam tidurnya,
aku kini asyik berbaur dengan sang malam, berinteraksi dengan pikiran, dan
menuangkannya kedalam catatan yang sedang ku tulis pada saat ini. Karena kita
semua tahu bahwa sukses itu membutuhkan “Proses”.
Inilah babak yang dapat mengantarkan kita menuju pintu kesuksesan jika kita
mencobanya dengan sungguh-sungguh.
Tidak
jarang dari kebanyakan orang tahu bahwa sukses dalam segala bidang adalah bermula
dari budaya literasi yang sering diabaikan oleh mereka. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Prof. Dr. A. Chaedar
Alwasilah dalam bukunya Filsafat Bahasa dan Pendidikan: “Disadari atau tidak, keistimewaan
pendidikan bahasa dalam pendidikan adalah bahwa sukses dalam penguasaan bidang
studi sangat bergantung pada penguasaan bahasa lisan dan tulis atau literasi,
karena pembelajaran segala bidang studi mesti menggunakan medium bahasa. Dengan
demikian, pendidikan bahasa (ibu, nasional, dan asing) mesti ditangani secara
profesional demi suksesnya pendidikan nasional.”[1]
Melihat
realita budaya literasi dalam konteks keindonesiaan yang masih tertinggal
dengan negara-negara lain di belahan bumi ini, maka konsep berpikir kritis
harus terus dikembangkan serta dilatih di dalam kelas maupun di luar kelas.
Seperti yang dikatakan oleh Bill
Beattie: “ The aim of education should be to teach us rather how to
think, than what to think rather to improve our minds, so as to enable us to
think for ourselves, than to load the memory with thoughts of other men”.[2]
Kecerdasan
literasi dapat dikemas melalui penggabungan teori konstruktivis dan pendidikan
karakter. Teori konstruktivis berakar pada sebilangan disiplin ilmu seperti,
linguistic, sejarah, sosiologi, sains, psikologi, dan filsafat. Pendidikan
dalam paradigma ini lebih berfokus pada proses pemahaman dibandingkan berfokus
pada materi ajar. Seperti yang digagas oleh Brooks dalam “The
Case for Constructivist Classsroom (1999)”, yaitu ada lima
dalil konstruktivis, diantaranya:
1) Guru
mencari dan menghargai pandangan siswa yang berbagai-bagai. Siswa dirangsang
untuk berani bahkan ‘nekad’ berbeda
pendapat dengan siswa dan bahkan dengan guru sekalipun. Perbedaan justru
anugerah kurikular demi pencerdasan dan kepekaan sosial. Berdasar perbedaan
inilah pelajaran berikutnya dibangun. Tes objektif dengan demikian membanting
pintu kebebasan untuk berbeda pendapat.
2) Kegiatan
kelas dicetak biru untuk menantang segala pra-anggapan siswa. Segala siswa,
apapun latar belakangnya, hadir di kelas dengan pengalaman hidup yang membangun
pra-anggapan dan mungkin keyakinannya ihwal kebenaran.
3) Guru
sengaja membuat topik atau masalah menjadi relevan. Keterkaitan, kebermaknaan,
dan keberminatan tidak ada otomatis ada pada setiap materi, tetapi muncul dari
siswa. Siswa adalah pemeran utama, sedang guru hanya membangun suasana kelas
agar siswa menemukan sendiri relevansi, makna, dan minat pada setiap sajian
materi ajar. Belajar bukanlah menemukan banyak hal melainkan menafsirkan
fenomena melalui skema dan struktur yang berbagai-bagai.
4) Guru
membangun pelajaran dengan merujuk pada tema pokok. Seringkali kurikulum
menyajikan materi bagian per bagian secara terpisah tanpa merujuk pada tema
pokok tadi. Guru pengikut madzhab rekonstruktivis berupaya memberdayakan siswa untuk
‘meronta-ronta’ memahami tema pokok
tadi, dan secara bertahap dengan bantuan guru memahami hal-hal atau
bagian-bagian kecil.
5) Penilaian
bukanlah hal yang luar biasa, tapi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
kegiatan kelas sehari-hari. Selama ini penilaian dengan istilah evaluasi, tes,
ulangan, atau ujian berkesan seram dan mengerikan bagi siswa. Guru pun merasa
diri seolah hakim agung yang menetukan vonis salah atau benar. Dalam paradigma
konstruktivis, guru harus mengubah citra tes sebagai peristiwa yang menegangkan
menjadi rutinitas keseharian yang biasa-biasa saja.[3]
Pendidikan
berbasis karakter juga harus dikedepankan. Sistem pendidikan barat menggunakan
metode Teaching Center Learning,
yaitu guru hanya sebatas fasilitator. Peran guru disini menjadi titik
kelemahan, karena kurang mentransfer nilai-nilai kehidupan yang berkarakter.
Adanya
paradigma ideologi Islam yang kemudian dibutuhkan dan memiliki sifat universal
seperti “Humanisme Teosentris” yang
dijadikan asumsi dasar pemikiran dalam ranah pendidikan. Karena Indonesia
terdiri dari Multi-agama. Dengan paradigma ini, Islam hendaknya menjadi garam yang mengasini semua agama agar
nilai-nilai Islam dapat diresap oleh mereka.
Paradigma
ideologi ini dikembangkan oleh Prof. Dr.
H. Achmadi dan berpondasi pada aspek Tauhidi dan Insaniyah, dimana tujuan
untuk pendidikan adalah untuk mengenalkan peserta didik agar dapat berhubungan
dengan Tuhannya dan di sisi lain dapat menjalin hubungan baik dengan sesama
manusia. Paradigma ini diyakini mengandung kebenaran yang mutlak dan universal.
Bapak
Ir. Soekarno, menegaskan “Agama adalah unsur mutlak dalam Nation and
Character Building” (Sumahamijaya dkk, 2003 : 45).
Karakter
harus memiliki landasan yang kokoh dan jelas. Tanpa landasan yang jelas maka
tidak akan ada arah, mengambang, dan menjadi keropos sehingga, tidak akan
berarti apa-apa. Oleh karenanya, landasan dari pendidikan karakter tidak lain
adalah Agama. Yang paling berharga
dalam proses belajar adalah pemberdayaan siswa untuk memaknai sendiri fenomena
sosial, mulai dari dalam kelas sampai luar kelas. Menurut Betsy Rymes, Konteks yang kita
gunakan ketika berada dalam kelas sangatlah berbeda dengan yang kita gunakan
ketika berada dirumah. Namun pada saat pelajaran telah selesai konteks itu bisa
saja berubah.Seperti proses menulis dan pemberian tugas untuk
merevisi kembali pemahaman dengan sejumlah teknik serta informasi baru sehingga
akan menantang siswa dalam konsep kebenaran yang diyakini olehnya.
Beberapa
saran yang dapat ditempuh untuk menciptakan terbiasanya berpikir di lingkungan
pendidikan hal ini terkait juga dengan peran sarana teknologi, diantaranya:
-
Tersedianya sarana baca dan pengajaran
berpikir kritis;
-
Adanya kajian dalam bentuk skripsi,
tesis, dan disertasi;
-
Guru maupun lembaga pendidikan lainnya
menyelenggarakan training seputar pengajaran berpikir kritis, (karena yang saya
tahu dan baru saya rasakan pertama kalinya yang benar-benar mengajarkan saya
berpikir kritis yaitu orang yang berjasa khususnya bagi saya pribadi yakni, Mr.
Lala Bumela. Beliau patut diacungi jempol, dan training di lembaga pendidikan
perlu diselenggarakan, bila perlu pematerinya juga Mr.Lala Bumela); J
-
Pengembangan materi pengajaran berpikir
melalui computer dan audio-visual;
-
Adanya mata kuliah Critical Thinking pada
program tertentu seperti pendidikan bahasa dan sastra.
-
Dan rajin menyelenggarakan seminar.
Hal ini seperti yang sedang saya rasakan
dan manfaatnya sangat luar biasa untuk mengasah dan memperluas wawasan ilmu
pengetahuan.
Pendidikan
juga dimulai dari dalam rumah berkenaan dengan peran orang tua sebagai pendidik
kodrati anak. Dalam hal ini juga perlu penanaman budaya literasi dengan
berupaya menyediakan perpustakaan rumah (home-library) serta membudayakan gemar
membaca. Seperti yang sudah tercantum dalam Bakhtin (1986), seperti dikutip dalam Hyland (2002): mengenai isu Intertekstualitas:
bahasa dialogis: percakapan antara penulis dan pembaca dalam suatu
kegiatan yang sedang berlangsung. Intertekstualitas
menurut Bakhtin menunjukkan bahwa wacana selalu terkait dengan wacana lain.
Ada sejumlah isu kunci yang mendominasi
pemahaman saat penulisan, dimana menulis itu
melibatkan context, literacy, culture,
technology, genre and identity.
-
Konteks :
Konteks adalah peserta
konstruksi. Dalam model interaktif
sosial, makna diciptakan melalui konfigurasi yang unik dan interaksi apa yang
baik pembaca dan penulis membawa ke teks (Nystrand
et al , 1993: 299)”.
Cutting (2002: 3) menyebutkan tiga
aspek konteks:
a. Konteks
Situasional
b. Latar
Belakang Konteks Pengetahuan
c. Co-Tekstual
Dimensi Halliday dalam Konteks:
Dimensi Halliday dalam Konteks:
Field : Mengacu pada apa yang terjadi, jenis aksi sosial, atau
apa yang
teks adalah tentang (topik bersama dengan bentuk-bentuk yang diharapkan sosial)
Tenor : Mengacu pada siapa yang mengambil bagian, peran dan hubungan
peserta.
Mode : Mengacu pada apa bagian bahasa diputar, apa yang peserta
mengharapkan untuk lakukan untuk mereka (apakah lisan atau tertulis,
bagaimana informasi terstruktur, dan sebagainya).
teks adalah tentang (topik bersama dengan bentuk-bentuk yang diharapkan sosial)
Tenor : Mengacu pada siapa yang mengambil bagian, peran dan hubungan
peserta.
Mode : Mengacu pada apa bagian bahasa diputar, apa yang peserta
mengharapkan untuk lakukan untuk mereka (apakah lisan atau tertulis,
bagaimana informasi terstruktur, dan sebagainya).
-
Literasi : menulis
dan membaca merupakan tindakan literasi. Bagaimana kita menggunakan bahasa
dalam kehidupan sehari-hari. Literasi membantu kita untuk mengetahui bagaimana
orang merasakan kehidupannya melalui praktek rutin dari membaca dan menulis.
Menulis berarti membentangkan dan membangun dunia.
-
Culture : keterkaitan culture dengan writing, budaya adalah
hasil dari sejarah, sejarah yang dituliskan dan sebagai sumber ilmu. Budaya
yang membuat pandangan dan perspektif baru, dalam writing budaya sangat penting
untuk membangun gaya bahasa dan penjelasan dalam mengkomunikasikan informasi
melalui writing.
-
Teknologi : untuk menjadi orang yang melek
hari ini berarti memiliki kontrol atas berbagai media cetak dan media
elektronik. Banyak yang terakhir memiliki dampak yang besar pada cara
kita menulis, genre kita buat, identitas pengarang kita asumsikan, bentuk
produk jadi kami, dan cara kita terlibat dengan pembaca. (Hyland, 2002;2009: 58) Dewasa
ini, tulisan lebih banyak tersaji dalam bentuk media elektronik seperti
artikel,
e-book, dan lain-lain. Inovasi tekhnologi hadir untuk
menantang penulis. Mereka juga membuka identitas baru, genre dan komunitas
kepada penulis. Semakin hebatnya
teknolgi, semakin memudahkan seseorang dalam menulis.
-
Genre :
Ken Hyland menyebutkan bahwa Genre adalah termotivasi, hubungan fungsional antara
jenis teks dan situasi retoris. Artinya, genre bukanlah jenis teks maupun situasi , melainkan hubungan
fungsional antara jenis teks dan jenis situasi.
-
Identity : Identity adalah
penampilan seseorang dalam menulis, cara seseorang dalam menyampaikan informasi
atau ciri khas yang dimiliki seseorang. “Identity is therefore seen as
constructed by both the texts we engage in and the linguistic choices we make,
thus moving identity from the private to the public sphere, and from hidden
processes of cognition to its social and dynamic construction in discourse” (Hyland:70).
Melalui
budaya literasi, peradaban manusia akan tetap terjaga melalui dokumentasi
sejarah. Seperti yang pernah dikatakan oleh presiden Indonesia yang pertama,
bapak Ir. Soekarno, yang mengatakan JASMERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan
Sejarah).
Sejarah memiliki hubungan dengan literasi. Orang yang menemukan sejarah adalah orang-orang yang pintar membaca dan menulis (literasi). Sejarah dapat dibolak-balikan dengan literasi. Menurut Mr.Lala Bumela, kita pun bisa memanipulasi sejarah dengan karya kita. Itulah yang membuat saya pribadi sadar bahwa peranan literasi sangat besar dalam kehidupan ini sehingga, dapat membuat serta menyimpan sejarah yang ada.
Sejarah memiliki hubungan dengan literasi. Orang yang menemukan sejarah adalah orang-orang yang pintar membaca dan menulis (literasi). Sejarah dapat dibolak-balikan dengan literasi. Menurut Mr.Lala Bumela, kita pun bisa memanipulasi sejarah dengan karya kita. Itulah yang membuat saya pribadi sadar bahwa peranan literasi sangat besar dalam kehidupan ini sehingga, dapat membuat serta menyimpan sejarah yang ada.
Sejarah juga dapat dilihat dari
benda-benda peninggalannya. Benda-benda peninggalan sejarah itu bisa berupa
artefak, teks, yupa, prasasti atau benda-benda lainnya yang berkaitan dengan
masa lampau. Lehtonen berkata dalam
bukunya “The Cultural Analysis of Texts” bahwa teks dibagi
menjadi dua macam, yaitu teks fisik dan teks semiotic. Teks fisik yaitu
teks yang bermakna real (denotasi), artinya makna dari teks fisik itu terlihat
jelas. Contohnya yaitu artefak, prasasti, lembaran-lembaran yang membentuk
sebuah karya dan lain sebagainya. Dari contoh-contoh teks fisik tersebut, kita
dapat mengetahui sejarah yang sebenarnya dengan membaca tulisan yang ada pada
artefak, prasasti dan lembaran-lembaran tersebut. Teks semiotic yaitu
kebalikan dari teks fisik yaitu teks yang bermakna konotasi (tersirat), artinya
makna dari teks itu tidak jelas
sehingga, harus dicari terlebih dahulu kebenarannya. Contohnya yaitu
speech, picture dan music.
Menganalisis artikel Howard Zinn yang berjudul ‘Speaking Truth to Power with Book’
Kelemahan Zinn dalam artikel tersebut ketika menguak tentang kebenaran sejarah
Columbus yaitu kurangnya bukti-bukti yang terkait dengan bantahannya terhadap
Columbus. Padahal seharusnya jika beliau menolak mentah-mentah bahwa
penemu benua Amerika itu bukanlah Christopher Columbus, Howard Zinn seharusnya
memberikan bukti atas bantahannya.
Ada sebuah bukti dari Teori Dinasti Utsmaniyah, Pada tahun
1929, terdapat sebuah penemuan yang cukup fenomenal di Istanbul. Pada tahun itu
ditemukan sebuah peta yang dibuat
pada tahun 1513 oleh seorang kartografer Dinasti Utsmani, Piri Reis. Reis menyatakan bahwa peta yang
dibuatnya itu berdasarkan sumber-sumber di masa lalu, yaitu peta Yunani dan
Arab kuno, termasuk peta yang berdasarkan ekspedisi yang dilakukan oleh
Columbus yang berlayar 21 tahun sebelumnya. Yang luar biasa dari peta ini
adalah tingkat kedetailannya sehingga memaksa para sejarawan melakukan
penelitian ulang tentang teori ekspedisi Columbus. Peta Reis dengan
sumber-sumber klasik yang ia gunakan menunjukkan penguasaannya yang mapan
mengenai benua Amerika. Peta karyanya juga merupakan bukti fisik terkuat mengenai
ekspedisi-ekspedisi kaum muslimin jauh sebelum ekspedisi Columbus.
Penemu benua Amerika tak lain adalah
dari kaum muslimin, tetapi dalam artikel Zinn juga tidak disebutkan bahwa kaum
muslimin yang pertama kali singgah di benua Amerika. Hal ini dikarenakan
background Zinn adalah seorang yahudi. Seperti yang kita ketahui bahwa yahudi
adalah musuh besar Islam. Dalam hal ini Zinn hanya terfokus pada
sisi gelap Columbus.
Dua abad sebelum
perjalanan Christopher Columbus di tahun 1492 M, orang-orang muslim telah
melakukan pelayaran dari Spanyol dan sebagian pesisir barat laut Afrika ke
Amerika Utara dan Selatan dan sebagian bahkan ikut menjadi awak Columbus. Para
penjelajah itu konon telah menembus sebagian besar wilayah Amerika Selatan dan
Utara, bergaul dan sebagian menikah dengan orang asli Amerika.
Bukti-bukti
yang mendukung pernyataan ini diantara benda-benda peninggalan sejarah
(artefak), tulisan-tulisan dan laporan kisah-kisah para saksi mata. Dr Barry Fell, seorang arkeolog dan ahli bahasa dari Universitas
Harvard. Dalam karyanya berjudul Saga America, Fell menyebutkan bahwa umat
Islam tak hanya tiba sebelum Columbus di Amerika. Namun, umat Islam juga telah
membangun sebuah peradaban di benua itu. Arkeolog dan ahli bahasa itu juga
menemukan teks, diagram, serta peta yang dipahat di batu yang digunakan untuk
kepentingan sekolah.Temuan itu bertarikh antara tahun 700 hingga 800 M. Teks
serta diagram itu berisi mata pelajaran matematika, sejarah, geografi,
astronomi, dan navigasi laut. Sejarawan seni berkebangsaan
Jerman. Alexander Von Wuthenau, juga
menemukan bukti dan fakta keberadaan Islam di Amerika pada tahun 800 M hingga
900 M. Wuthenau menemukan ukiran
kepala yang menggambarkan seperti bangsa Moor. Itu berarti, Islam telah bersemi
di Amerika sekitar separuh millennium sebelum Columbus lahir. Dia juga
menemukan ukiran serupa bertarik 900 M hingga 1500 M. Artefak yang ditemukan
itu mirip foto orang tua yang biasa ditemui di Mesir. Era Columbus adalah waktu yang
sangat penting dalam sejarah dunia yang mengubah cara hidup di benua Amerika
dan Eropa.
Inilah hasil free writing yang saya
buat di kelas mengenai artikel Howard
Zinn dan kontroversi Colombus.
Kesimpulan
Sukses
dalam segala bidang adalah bermula dari budaya literasi. Melalui budaya
literasi, peradaban manusia akan tetap terjaga melalui dokumentasi sejarah. Sejarah juga dapat dilihat dari
benda-benda peninggalannya. Benda-benda peninggalan sejarah itu bisa berupa
artefak, teks, yupa, prasasti atau benda-benda lainnya yang berkaitan dengan
masa lampau. Penemu benua Amerika tak lain adalah dari kaum muslimin, tetapi
dalam artikel Zinn juga tidak disebutkan bahwa kaum muslimin yang pertama kali
singgah di benua Amerika. Peta Reis merupakan salah satu bukti artefak juga
merupakan bukti fisik terkuat mengenai ekspedisi-ekspedisi kaum muslimin jauh
sebelum ekspedisi Columbus. Sejarah tidak dapat terpisahkan dengan praktek literasi. Melalui Class Review 5 ini menjadi evaluasi dari Class Review sebelumnya.
Referensi
[1] A
Chaedar Alwasilah. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 2010). Cet. Kedua. Hlm. 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic