Perhatikan baik-baik tulisan di bawah ini.
Berkariblah
dengan sepi, sebab dalam sepi ada [momen] penemuan dari apa yang dalam riuh
gelisah dicari.
Dalam sepi ada berhenti dari menerima ramainya stimulus yang memborbardir
indera kita.
Stimulus yang
harus dipilah dan dipilih satu satu untuk ditafakuri, lalu dimaknai, dan
dijadikan berguna bagi kita.
Bila tidak mereka hanya dengungan yang bising di kepala saja tak
mengendap menjadi sesuatu yang mengizinkan kita memahami dunia di sekitar kita
[sedikit] lebih baik.
Berkariblah
dengan sepi, sejak dalam sepi kita menemukan diri yang luput dari penglihatan
dan kesadaran ketika beredar dalam ramai; dalam sepi kita dapat melihat
pendaran diri yang diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang
jelas untuk dilihat tanpa harus memuaskan keinginan yang lain.
Berkariblah dengan sepi karena dalam sepi berlalu lalang inspirasi yang
tak kita mengerti, atau tak dapat kita tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam
hingar yang pekak.
Berkariblah
dalam sepi sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih.
(((((Budi
Hermawan)))))
Setujukah kalian akan tulisan di atas? Sebagian orang ada yang sependapat
dan ada juga yang kurang sependapat.
Bagi saya inspirasi kapanpun tidak selalu disaat yang sepi. Bahkan dalam suasana yang ramai sekalipun
jika hati ini merasa tenang maka inspirasi juga bisa datang. Saya pribadi tipikal orang yang tidak terlalu
terpengaruh oleh lingkungan sekitar, bagiku yang terpenting adalah kondisi dan
suasana hati. Meskipun hanya berdua atau
berempat jika hati ini merasa ramai ya maka bisa jadi saja ramai. Begitu juga sebaliknya, saya sekarang
merasakan sesuatu yang kurang (sepi) di saat reunian. Kenapa bisa demikian? Setelah saya pikir-pikir,
tidak selamanya banyak orang itu akan menjamin suasana yang riuh juga di hati
kita. Dan bukan hal yang mustahil sebuah
ide justru muncul di saat tersebut.
Seperti yang pernah saya alami ketika ada re-uni akbar di MTs-ku dulu,
di saat itu tiba-tiba tergerak dalam hati ini untuk menulis ya boleh dibilang
semacam puisi. (lho...lho... kok jadi ngelantur kemana-mana sih, kembali lagi
ke......?).
Menulis tentunya akan sangat sulit
bagi seorang pemula, apalagi jika belum dibiasakan. Bagi mahasiswa jurusan bahasa, menulis adalah
sesuatu hal yang wajib, danmenulis bisa dimulai dari kelas. Karena saya sendiripun merasa malas untuk
menulis di luar kelas kecuali ada tuntutan tugas.
Pernahkah terlintas dipikiran kira apa sih kelas itu? Apakah kita hanya
menganggap kelas sebagai tempat biasa (yang tidak memiliki sedikitpun pengaruh
terhadap hidup kita)? Atau sebaliknya, kita menganggap bahwa kelas diibaratkan
sebagai sebuah tempat yang suci atau kita keramatkan, layaknya seperti tempat
ibadah dimana jika setelah kita melakukan ibadah di dalamnya, maka pada diri
ini harusnya ada perubahan yang lebih baik lagi.
Jika setiap orang mempunyai pemikiran yang sama (setidaknya untuk orang
Islam) tentang penertian kelas sebagai tempat suci yang sama sucinya dengan tempat
ibadah, maka saya yakin tidak ada lagi yang namanya Islam radikal, yang gemar
melakukan teror mengatasnamakan agama.
Saya juga yakin jika, setiap orang Islam memahami betul-betul beberapa
ayat dalam Al-Qur’an yang membahas toleransi beragama, maka setiap orang Islam
akan dapat menghargai perbedaan agama itu sendiri. Saya sering mendengar bahwa
perbedaan adalah sebuah rahmat dan juga merupakan sunnah Allah. Bayangkan jika semua orang di dunia ini hanya
diisi oleh satu ras manusia saja, atau bayangkan jika semua orang di dunia ini
sama dalam hal kekayaan, terus siapa yang akan menjadi penggarap sawah, siapa
juga yang menjadi buruh pabrik.
Di dalam kelas bukan hanya untuk belajar dan mendalami ilmu saja, tetapi
juga diberikan pemahaman bagaimana menanggapi sebuah perbedaan. Apalagi jika di dalam kelas tersebut terdapat
anak yang memiliki agama yang berbeda dengan kita. Karena jika kita bicarakan perbedaan agama,
ada perasaan lain yang sulit saya mengerti, jika dibandingkan dengan adanya
perbedaan pendapat.
Kenapa Classroom Discourse to
Foster Harmony, sangat penting untuk dibicarakan? Karena pada dasarnya hal
tersebut tidak sesederhana seperti saat kita mengucapkannya. Sesungguhnya
masalah tersebut sangat kompleks dan rumit.
Kenapa bisa kompleks dan rumit? Karena sesungguhnya yang ada di dalam
kelas pasti dari latar belakang yang berbeda.
Belum lagi masalah strategi komunikasi yang diterapkan dalam dalam
sebuah kelas. Hal lain yang perlu
diperhatikan dalam sebuah kelas adalah ideologi dan disiplin.
Selain semua hal atas, keefektifan sebuah kelas bisa dilakukan melalui
interaksi yang ada dalam kelas tersebut.
Interaksi tersebut bisa berupa, saling berbagi atau bertukar pendapat, gotong
royong, yang terpenting adalah dalam kelas tersebut ada saling komunikasi
antara sesama murid dan guru yang mengajar di kelas tersebut. Saya rasa jika hal tersebut (saling berbagi
dan gotong royong) diterapkan secara sungguh-sungguh, tentunya akan timbul
saling pengertian dan saling memahami yang kemudian munculah saling menghormati
satu sama lain dalam sebuah kelas.
Jika yang terjadi dalam sebuah kelas adalah yang sebaliknya (tidak adanya
komunikasi yang baik), maka kita bisa menebak apa yang akan terjadi dalam kelas
tersebut. Seperti yang pernah saya
katakan sebelumnya bahwa melakukan tidak semudah mengerjakan atau menerapkan
sebuah aturan (toleransi agama).
Toleransi beragama harus dilakukan selangkah demi selangkah. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah
dengan pendidikan (formal dan non-formal).
Yang dimaksud pendidikan formal adalah di sekolah dan lembaga-lembaga
lain yang masuk kategori tersebut.
Sementara, pendidikan non-formal adalah dari keluarga dan lingkungan
sekitar di mana ia tinggal.
Tanamkanlah toleransi sejak usia dini.
Biasanya anak-anak senang dengan dongeng, maka ceritakanlah kepada
mereka tentang suritauladan yang baik dari para nabi dan rosul, terutama Nabi
Muhammad saw. Ceritakanlah bagaimana
sabarnya beliau dalam mengajak umatnya untuk menyembah kepada Allah SWT.
Ceritakan juga bagaimana sistem pemerintahan yang beliau jalankan, dimana di
dalam di dalamnya terdapat juga kaum Yahudi dan Nashrani (Kristen), namun
beliau tidak menganiaya mereka atau memusuhi mereka.
Membicarakan masalah harmonisasi
dalam beragama, sebenarnya membuat saya bingung. Di satu sisi mereka (orang-orang non-Muslim
khususnya Kristen) tidak menampakkan kebencian mereka terhadap orang Islam,
namun di sisi lain ada sebuah fakta yang menyatakan, bahwa sebenarnya mereka
mengumpulkan dana untuk membiayai gerakan pengkristenan umat Islam. Bahkan dari fakta yang pernah diungkapkan oleh
mantan biarawati Kristen yang sekarang sudah menjadi muallaf (masuk Islam)
mengungkapkan bahwa setiap salah satu dari mereka berhasil mengkristenkan orang
Islam atau siapapun, maka mereka akan mendapatkan hadiah dari gereja tempat
mereka bernaung.
Kesimpulan dari pertemuan kali ini adalah toleransi agama memang harus
ditanamkan sejak dini. Namun yang lebih penting lagi adalah kita harus
membekali generasi penerus kita dengan podasi agama yang kuat sehingga mereka
tidak mudah terbawa arus pergaulan yang semakin bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic