Calon
Jendral Literasi
Ku merasakan nikmatnya berjibaku dengan
malam. Malam yang bertaburan bintang. Dihiasi pula dengan cahaya rembulan. Duet
cahayanya mampu mencairkan segala keluh kesah kehidupan. Malam yang ditelan
sepi. Hanya terdengar suara rintihan hati yang bernyanyi. Melantunkan nada-nada
indah hasrat khayalan. Menyatu diterpa gelombang pasang kehidupan. Malam tuk
merajut mimpi. Mimpi yang terhanyut oleh bayang-bayang harapan. Mimpi yang kan
menorehkan sejarah. Sejarah kehidupan yang teramat dalam. (Sandi Pramuji)
Berkariblah dengan sepi, sebab
dalam sepi ada [momen] penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari. Dalam
sepi ada berhenti dari menerima ramainya stimulus yang memborbardir indera
kita. Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu satu untuk ditafakuri, lalu
dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita. Bila tidak mereka hanya dengungan
yang bising di kepala saja tak mengendap menjadi sesuatu yang mengizinkan kita
memahami dunia di sekitar kita [sedikit] lebih baik. Berkariblah dengan sepi,
sejak dalam sepi kita menemukan diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran
ketika beredar dalam ramai; dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang
diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang jelas untuk dilihat
tanpa harus memuaskan keinginan yang lain. Berkariblah dengan sepi karena dalam
sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti, atau tak dapat kita
tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam hingar yang pekak. Berkariblah dalam
sepi sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih. (Budi
Hermawan)
Pada
hari itu, Selasa, 25 Februari 2014 pukul 11.00, Jenderal Elbi memberikan suatu
kehormatan kepada saya selaku komandan prajurit literasi untuk melantunkan
bait-bait sajak milik Prof. Budi Hermawan yang sangat indah tersebut. Sebelumnya,
rekan kami prajurit Ms. WRQ telah melantunkan sajak tersebut, namun sayangnya
ia kurang menghayatinya. Ia melantunkan “Berkibarlah dengan sepi”. Sontak
dengan seketika para prajurit literasi tertawa terbahak-bahak tanpa dapat
dibendung lagi. Lantunan bait-bait sajak tersebut mengindikasikan bahwa
pentingnya suatu kesunyian, ketenangan dan kejernihan diri untuk mendapatkan
suatu inspirasi ketika menulis. Dapat dikatakan suatu kebohongan apabila
seorang mahasiswa dalam mencari suatu inspirasi untuk menulis skripsi atau
tulisan apapun namun ia malah pergi mendatangi tempat yang notabene “ramai”
seperti mall. Mungkin yang ada hanyalah suatu inspirasi untuk “shoping” atau
menghabiskan uang saja. Dalam mencari suatu inspirasi, alangkah baiknya
dilakukan pada malam hari ketika orang lain sedang tertidur lelap atau dapat
pula dilakukan pada siang hari dengan pergi ke suatu tempat yang sepi asalkan
jangan pergi ke “TPU”.
Fokus
pada pertemuan kali ini adalah mengenai Classroom Discourse dimana Classroom
merupakan Situs Suci “Sacred Site” yang hanya dapat dijamah oleh qualified
person melalui berbagai macam test dan persyaratan tertentu. Misalnya seorang pelajar
SMA yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi baik negeri
maupun swasta, maka ia harus mengikuti sebuah proses seleksi akademik maupun
administrasi. Sedangkan discourse yakni suatu proses dalam memproduksi text
baik itu text yang berbentuk lisan maupun tulisan. Pada dasarnya classroom
dijadikan sebagai tempat dimana seorang guru berinteraksi dengan muridnya
ataupun interaksi murid dengan rekan-rekannya. Classroom discourse mengacu pada
bahasa yang digunakan oleh guru atau murid untuk berkomunikasi dengan setiap orang
di dalam kelas. Berbicara atau melakukan percakapan adalah media
di mana sebagian besar mengajar berlangsung, sehingga
studi classroom discourse adalah studi tentang proses pengajaran di kelas melalui tatap muka langsung.
Dalam
peranannya Classroom merupakan tempat yang sangat “complicated” ketika melakukan
suatu proses interaksi (interaction). Mengapa dikatakan complicated? Karena
dalam sebuah Clasroom terdapat banyak sekali perbedaan mendasar mengenai latar
belakang (background) siswa, Communicative strategies antar guru dengan siswa
bahkan Meaning-making Practice ataupun Meaning-negotiation practice yang
dimiliki oleh masing-masing individu. Dari Perbedaan background saja terlihat banyak sekali perbedaan yang nampak, mulai
dari aspek keilmuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, bahasa dan agama yang
dimiliki masing-masing siswa. Seorang guru dalam membimbing dan berinteraksi dengan
muridnya bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan suatu pendekatan khusus diantara
guru dan murid, untuk mencapai suatu pemahaman interaksi secara personal.
Pendekatan
dapat dilakukan melalui suatu Communicative
strategies
yang dilakukan guru ketika berinteraksi dengan muridnya. Dalam
proses pembelajaran bahasa asing /
bahasa kedua (L2), peserta didik akan
sering mengalami masalah komunikasi
disebabkan oleh kurangnya sumber daya
linguistik yang dimiliki. Communicative strategies adalah strategi yang
digunakan oleh guru atau murid untuk mengatasi masalah yang muncul ketika guru atau murid ingin menyampaikan suatu makna secara tepat mengenai apa yang dimaksudkan. Strategi yang digunakan dapat berupa parafrase, substitusi, coining
kata-kata baru, beralih menggunakan
bahasa pertama (L1), dan atau meminta suatu klarifikasi kepada teman atau gurunya. Parafrase
(Paraphrasing) yakni mengacu pada penggunaan kata-kata atau frase untuk
mengekspresikan makna yang dimaksudkan. Misalnya, jika peserta didik tidak tahu
kata “kakek” mereka mungkin menggunakan parafrase itu dengan mengatakan
"Ayah ayahku". Substitusi (Substitution) yakni peserta didik dapat
menghindari kata bermasalah dengan menggunakan satu kata yang berbeda. Coining
kata-kata baru (Coining new words) yakni mengacu pada penciptaaan kata-kata
baru atau frase untuk kata-kata yang mereka tidak tahu. Ganti bahasa (Language
switch) yakni peserta didik dapat menyisipkan kata dari bahasa pertama mereka
menjadi kalimat, dan berharap bahwa lawan mereka akan mengerti. Meminta
klarifikasi (Asking for clarification) yakni strategi meminta teman untuk berbicara
atau memberitahukan pada sebuah kata yang ia tidak ketahui dalam bahasa kedua
(L2). Strategi non–verbal yakni penggunaan gesture dan mimik tubuh untuk
menambah atau mengganti komunikasi verbal.
Setelah
dilakukan suatu communicative strategies, maka dibutuhkan suatu orientasi dalam
menentukan meaning-making practice atau meaning-negotiation practice. Meaning-making
practice merupakan suatu keputusan yang dibangun dari pemahaman pengalaman yang
berharga dan kemampuan untuk menganalisa maupun mengantisipasi pengetahuan melalui
asumsi yang baik di masa depan. Meaning-negotiation practice
merupakan suatu keputusan mengatasi keragaman semantik atau kegiatan yang
bertujuan untuk menemukan kesepakatan makna dalam komunikasi linguistik.
Dalam proses ini sangat berperan sekali pengaruh suatu ideologi yang dimiliki
oleh seorang guru yang kemudian ia tenerapkan nilai-nilai (value) tersebut
kepada anak didiknya. Inilah hal yang seharusnya dimiliki oleh kita sebagai
calon jenderal literasi untuk mengajarkan kepada pasukan-pasukan kita yang
memiliki background berbeda. Tapi ingat jangan sampai mengajarkan ideologi dan
nilai-nilai yang tidak baik.
Dengan demikian,
guru sebagai the leader of class harus mampu memahami muridnya sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Guru harus mampu memahami
sistem secara umum yang saling berhubungan, berinteraksi, dan terus-menerus
berubah. Guru harus mampu mengambil suatu
keputusan melalui perspektif yang
beragam, dan guru harus terlibat
langsung dalam dialog dengan muridnya. Apakah kita semua sudah siap
wahai para calon jenderal literasi?
References:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic