Class review 5
Pada tanggal 5 Maret 2014 adalah pertemuan kelima pada mata kuliah
writing and composition 4. Pada pertemuan kali ini Mr. Lala tidak terlalu
banyak menyampaikan materi karena Mr. Lala merasa kecewa dengan critical review
yang kedua ini. Kemudian Mr. Lala memberitahukan 3 kategori kesalahan yaitu
weatness, mistake, dan ignorance, Mr. Lala mengatakan pada critical review yang
pertama mahasiswa memasuki kategori weatness atau kategori kesalahan ringan dan
pada critical review yang kedua mahasiswa memasuki kategori mistake, tetapi
kedua kategori ini Mr. Lala masih memberikan toleransi dan masih memaafkan
kesalahan kita.
Kemudian Mr. Lala menampilkan slide yang berisikan kesalahan terbesar
pada kategori weakness pada critical review yang pertama yaitu : [1] banyak
mahasiswa membahas hal yang tidak penting. [2] tidak ada pengertian classroom
discorse. [3] tidak ada fakta – fakta. [4] struktur kalimat belum terbentuk.
[5] banyak referensi, tetapi banyak copy paste. [6] kurang bisa mengembangkan
kalimat. Namun, Mr. Lala memberikan peringatan pada mahasiswa kalau pada class
review tidak terdapat materi dari Betsy Rymes atau mahasiswa melakukan
kesalahan lagi maka mahasiswa akan memasuki kategori ignorence yaitu tingkat
kesalahan yang sangat parah atau sangat buruk dan kalau mahasiswa memasuki
kategori ignorance maka Mr. Lala tidak akan memberikan toleransi lagi.
Disini saya akan membahas materi betsy ryems yang berisikan
classroom discourse, Menurut
Betsy Rymes (2008:12) mengartikan discourse yaitu sebagai ‘language-in-use’ atau bahasa
yang digunakan. Menurut saya
ini pengertian yang sederhana tetapi cukup sulit untuk dapat memahaminya. Menurut rymes classroom discourse, yaitu “as aninvestigation into how discourse (language-in-use) and context affect
each other, our framework comprises three ever-present dimensions of
Language-in-Use.”
Pengertian classroom menurut pendapat saya Kelas
adalah tempat yang berfungsi untuk belajar-mengajar di sekolah dan tempat
terjadinya interaksi antara guru dan murid. Sedangkan dalam arti luas, kelas adalah suatu masyarakat kecil yang
merupakan bagian dari masyarakat sekolah sebagai satu kesatuan yang menjadi
unit kerja yang dinamis dan menyelenggarakan kegiatan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Didalam kelas kita harus bisa menghargai setiap
kemampuan murid dan kita pun harus bisa menjaga hubungan yang baik dengan siswa
atau dengan guru ada dapat menciptakan komunikasi yang baik di dalam kelas.
Kemudian Betsy Rymes (2008:7) mengatakan “By targeting specific
differences in discourse patterns, this research into cross-cultural communication in classroom
contexts has been able to enhance teachers and students’ mutual
understanding—reconceptualizing deficits as differences, and differences as resources for learning.” Yang
artinya Dengan menargetkan perbedaan spesifik dalam pola wacana, penelitian ini
menjadi komunikasi lintas-budaya dalam konteks kelas telah mampu meningkatkan
pemahaman guru dan-Reconceptualizing saling defisit siswa sebagai perbedaan,
dan perbedaan sebagai sumber daya untuk belajar. Menurut saya maksud dari
kalimat ini adalah kelas bisa menjadi tempat untuk bertemuanya orang dari
berbagai budaya yang memiliki perbedaan dalam sumberdaya untuk belajar.
Betsy Rymes (2008:7), “teachers began to see these ways of talking and responding to classroom
prompts as part of the way these children had been socialized to use language
at home and in their non-school communities. As a result, teachers were then
able to use their knowledge of these different language practices as a resource to build mutual, collaborative
understandings of the ways stories can be told, questions can be responded to,
and problems can be solved.” Menurut saya komunikasi akan efektif dan dapat dibagun dalam kelas ketika
guru bisa mengajarkan bahasa yang sama saat didalam kelas dan memerintahkannya
menggunakan bahasa yang sama ketika siswa diluar kelas atau rumah.
Betsy Rymes
(2008:31-32) menjelaskan tentang “Membangun definisi awal dari Analisis Wacana
Kelas sebagai penyelidikan bagaimana wacana (language-in-use) dan konteks
mempengaruhi satu sama lain , kerangka kerja terdiri dari tiga dimensi yang
selalu ada dari Bahasa yang Gunakan : [1] Social context, faktor sosial
di luar interaksi langsung yang mempengaruhi bagaimana kata-kata yang berfungsi
dalam interaksi (misalnya, bagaimana pengaruh konteks sosial ketika siswa
menggunakan “dude”? efek apa yang akan dimilikinya?), [2] Interactional
context, pola berurutan atau pembicaraan lainnya dalam sebuah interaksi
yang mempengaruhi apa yang kita bisa dan mengatakan tidak bisa, dan bagaimana
orang lain menafsirkannya dalam wacana kelas (misalnya , dalam urutan interaksi
apa yang bisa menggunakan kata dude? Sebuah salam? Sebuah pujian? efek Apa yang
akan ada diseluruh interaksi), dan [3] Individual agency, mempengruhi individu agar dapat menggunakan
kata-kata untuk diinterpretasikan dalam interaksi. (misalnya, kapan dan mengapa
seseorang menggunakan kata ‘dude’ dan untuk apa tujuannya ? berapa banyak
individu yang mengendalikan pengaruh itu ?) menurut ryems ketiga konteks ini
termasuk ciri dari setiap interaksi kelas. Ini lah materi yang dapat saya
pahami dari Betsy Rymes.
Kemudian saya akan menceritakan kembali
pembahasan yang terjadi di dalam kelas. Mr. Lala mengatakan bahwa ketika
membaca tentang colombus kita itu harus bisa peka terhadap history dan literasi
sabagai praktik sosial. Kemudian Mr.
Lala mengatakan untuk memahami history kita perlu menjadi orang literat karena
sadar tidak sadar orang yang mampu membuat sejarah adalah orang yang mengerti
tentang literasi. Kemudian Mr. Lala mengatakan kenapa Howard Zinn tidak berani
menyebutkan bahwa orang islam lah yang pertama kali menemukan benua Amerika. Pertama
karena howard zinn adalah orang kristen kemudian dia tidak suka dengan agama
islam, dan kemungkinan pada saat itu lemahnya pemahaman literasi yang dimiliki
oleh orang islam, sehingga colombus bisa memanfaatkan kemampuan yang memahami
literasi. Kemudian contextualising Mr. Lala mengatakan kalau pembuatan tulisan
itu dibutuhkannya conteks agar pembaca mengerti apa yang sedang dibaca. Mr.
Lala juga mengatakan bahwa conteks tulisan howard zinn yaitu howard zinn tidak
suka dengan kebijakan pemerintah Amerika.
Kemudian Mr. Lala meminta mahasiswa membahas Key Issues in Writing Research
and Teaching (Ken Hyland 2002; 2009)
yang berkaitan dengan pemahaman kita pada teks sepeti context, literacy, culture,
technology, genre and identity.
a.
Context
Menurut Hyland “Traditionally, contextual factors were largely seen
as ‘objective’ variables such as class, gender or race, but now tend to be
viewed as what the participants see as relevant. So, a personal letter, for
example, might mean something different to the writer and addressee than a
casual reader” yang artinya faktor-faktor konteks sebagian besar dipandang sebagai ‘obyektif’ variabel seperti kelas,
gender atau ras, tapi sekarang cenderung dipandang sebagai apa yang akan
dilihat peserta sebagai relevan. Jadi, surat pribadi, misalnya, mungkin berarti
sesuatu yang berbeda untuk penulis dan penerima dari pembaca biasa. Kemudian
ada pendapat dari Van Dijk mengenai context “It is not the social situation
that influences (or is influenced by) discourse, but the way the participants
define such a situation. Contexts thus are not some kind of ‘objective’
condition or direct cause, but rather (inter)subjective constructs designed and
ongoingly updated in interaction by participants as members of groups and
communities. If they were, all people in the same social situation would speak
in the same way. Contexts are participant constructs. Van Dijk (2008: viii)”
Kemudian Cutting ( 2002: 3 ) menyatakan bahwa ada tiga aspek
utama konteks penafsiran ini :
·
Situational
context: apa yang orang tahu tentang apa yang dapat mereka lihat di sekitar
mereka.
· Background
knowledge context: apa yang orang tahu tentang dunia, aspek apa yang mereka
tahu tentang hidup, dan apa yang mereka ketahui tentang satu sama lain.
·
co-textual
context: apa yang orang ketahui tentang
apa yang telah mereka katakan.
Halliday developed an analysis of
context based on the idea that any text is the result of the writer’s language
choices in a particular context of situation (Malinowski, 1949). Kemudian
hyland mengemukakan bahwa “The context of situation, or register, is the
immediate situation in which language use occurs and language varies in such
contexts varies with the configuration of field, tenor and mode.” Kemudian
hyland menggunakan dimensi konsep yang dibuat oleh Halliday yaitu seperti
-
Field:
Mengacu pada apa yang terjadi, jenis aksi sosial, atau teks berkaitan tentang (topik
bersama dengan bentuk-bentuk yang diharapkan secara sosial dan pola biasanya
digunakan untuk mengekspresikan itu).
-
Tenor
: Mengacu pada siapa yang mengambil bagian, peran dan hubungan peserta (status
dan kekuasaan mereka, misalnya, yang mempengaruhi keterlibatan, formalitas dan
kesopanan).
-
Mode:
Mengacu pada bagian apa bahasa dimainkan, apa peserta mengharapkan yang lakukan
untuk mereka ( apakah lisan atau tertulis, bagaimana informasi terstruktur, dan
sebagainya) . Halliday ( 1985)
Hyland mengatakan dengan kata lain,
bahasa yang kita gunakan untuk kebutuhan sesuai dengan situasi di mana kita
menggunakannya, dan mendaftarkan merupakan upaya untuk mengkarakterisasi
konfigurasi menulis ( atau pidato ) yang membatasi pilihan penulis akan membuat
dalam suatu situasi. Jadi, beberapa register berisi fitur cukup dapat
diprediksi yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi korespondensi yang
erat antara teks dan konteks. Konteks situasi beroperasi dalam konteks yang
lebih luas dan lebih abstrak Halliday menyebutnya konteks budaya. Halliday
melihat konteks budaya seperti yang diungkapkan dalam atau (melalui) konteks yang
lebih spesifik dari situasi, sehingga kita menggambarkan situasi sosial sebagai
bagian dari budaya yang lebih luas. Kemudian Fairclough ( 1992) melihat
wacana sebagai penghubung antara konteks lokal dari situasi dan konteks
kelembagaan menyeluruh budaya. Hal ini karena dalam wacana di mana perintah
dari wacana, atau disetujui praktek kelembagaan seperti tugas universitas,
seminar, esai, dan sebagainya, beroperasi untuk menjaga hubungan yang ada
kekuasaan dan otoritas.
b. Literacy
Hyland mengatakan bahwa “Writing, together with reading, is an act
of literacy: how we actually use language in our everyday lives. Modern
conceptions of literacy encourage us to see writing as a social practice rather
than as an abstract skill separable from people and the places where they use
texts.” Dengan kata lain hyland mengatakan bahwa literasi berbentuk menulis dan
membaca. Kemudian Scribner and Cole (1981: 236) literasi tidak hanya
mengetahui cara membaca dan menulis naskah tertentu, tetapi menerapkan pengetahuan
memaca dan menulis untuk tujuan tertentu dalam konteks tertentu penggunaan. Ini
mempertimbangkan peran literasi yang dapat membantu kita untuk memahami
bagaimana orang-orang memahami hidup mereka melalui praktik rutin menulis dan
membaca.
Concept
2.2 A social view of literacy Barton (2007: 34–5)
1)
Literacy
is a social activity and is best described in terms of people’s literacy
practices.
Literasi menurut Barton sebagai kegiatan sosial dan jauh lebih baik
dijelaskan kepada masyarakat dalam hal praktik keaksaraan atau literasi. Menurut
saya karena kalau dijelaskan dalam materi saja tanpa dijelaskan dengan praktik
masyarakat akan susah memahami pandangan sosial dari literasi.
2)
People
have different literacies which are associated with different domains of life.
Mempunyai arti Orang-orang memiliki kemahiran berbeda yang
berhubungan dengan domain yang berbeda dari kehidupan, yang artinya setiap
individu antara satu sama lain memiliki kemampuan masing- masing yang
diakibatkan dari latar belakang setiap individu.
3)
People’s
literacy practices are situated in broader social relations, making it
necessary to describe the settings of literacy events.
Praktik keaksaraan masyarakat terletak dalam hubungan sosial yang
lebih luas, sehingga perlu untuk menggambarkan pengaturan peristiwa keaksaraan. Dalam point ini berarti praktik peristiwa
literasi membutuhkan aturan yang mengatur praktik literasi yang mudah dipahami
oleh masyarakat karena masyarakat memiliki hubungan sosial yang luas.
4)
Literacy
practices are patterned by social institutions and power relationships, and
some literacies are more dominant, visible and influential than others.
Praktik literasi memiliki pola dengan lembaga-lembaga sosial, yang berhubungan dengan kekuasaan, beberapa
keahlian yang lebih dominan, terlihat dan berpengaruh dari pada yang lain.
5)
Literacy
is based on a system of symbols as a way of representing the world to others
and to ourselves.
Literasi didasarkan pada sistem simbol sebagai cara untuk mewakili
dunia untuk orang lain dan diri kita sendiri. Simbol disini bisa berbentuk buku
dan buku memiliki manfaat untuk kita sendiri atau orang lain yang dapat
digunakan kapanpun kita membutuhkannya.
6)
Our
attitudes and values with respect to literacy guide our actions to communication.
Sikap dan nilai-nilai yang berkaitan dengan keaksaraan memandu
tindakan kita untuk komunikasi. Ini berarti literasi dapat berguna untuk
membentuk sikap dan nilai keaksaraan yang bisa berguna dalam komunikasi dengan
orang lain.
7)
Our
life histories contain many literacy events from which we learn and which
contribute to the present.
Sejarah kehidupan kita mengandung banyak peristiwa keaksaraan dari
mana kita belajar dan yang memberikan kontribusi hingga saat ini, yang berarti
literasi mencakup tentang ilmu pengetahuan yang kita dapatkan, muali dari saat
kita mencarinya hingga mendapatkan hasil dari ilmu yang kita dapatkan.
8)
A literacy
event also has a social history which help create current practices.
Sebuah peristiwa keaksaraan juga memiliki sejarah sosial yang
membantu menciptakan praktek saat ini. Dalam agama islam sendiri memiliki
sejarah yang mengajarkan kita untuk hidup bersosial, seperti membantu orang
yang tidak mampu dan dalam praktiknya berarti bersedekah dan lain sebagainya.
Ken Hyland
mengatakan bahwa Barton and Hamilton (1998: 6) define literacy practices
as ‘the general cultural ways of utilizing written language which people draw
on in their lives’, yang artinyamendefinisikan praktik keaksaraan sebagai '
cara budaya umum menggunakan bahasa tertulis yang orang menarik dalam hidup
mereka dan
menunjukkan bagaimana kegiatan membaca dan menulis yang terkait dengan struktur
sosial di mana mereka tertanam dan yang mereka membantu membentuk. Tetapi (
Street, 1995 : 2 ) mengemukakan bahwa praktek-praktek ini adalah ‘apa yang dilakukan orang dengan melek ', praktik
literasi berbentuk abstrak karena mereka hanya melihat tidak membaca dan
menulis, tetapi juga menilai-nilai, perasaan dan konsepsi budaya yang memberi
makna menggunakan praktik literasi.
Literacy
events menurut Barton and Hamilton (1998: 7) Literacy events are observable
episodes where literacy has a role. Usually there is a written text, or texts,
central to the activity and there may be talk around the text. Events are
observable episodes which arise from practices or are shaped by them. The
notion of events stresses the situated nature of literacies, that it always
exists in a social context. Artinya Peristiwa
Literacy adalah episode mengamati di mana keaksaraan atau literasi memiliki
peran. Biasanya ada teks tertulis, pusat aktivitas dan mungkin ada berbicara
sekitar teks. Acara episode diamati yang timbul dari praktek atau dibentuk oleh
mereka. Gagasan peristiwa menekankan terletak sifat kemahiran, bahwa selalu ada
dalam konteks sosial.
Lalu Baynham (1995: 1) on researching literacy “Investigating
literacy as practice involves investigating literacy as ‘concrete human
activity’, not just what people do with literacy, but also what they make of
what they do, the values they place on it and the ideologies that surround it.”
Menurut saya artinya Investigasi literasi sebagai praktek melibatkan menyelidiki
literasi sebagai ' aktivitas yang nyata manusia ', bukan hanya apa yang
dilakukan orang dengan paham huruf, tetapi juga apa yang mereka dapatkan dari
apa yang mereka lakukan, nilai-nilai yang mereka tempatkan di atasnya dan
ideologi yang mengelilinginya. ( Barton dan Hamilton, 1998: 183 )Di
rumah-rumah Inggris Gujarati mungkin ibu yang mengambil peran keaksaraan utama
ketika menulis kepada anggota keluarga di India, menerjemahkan pesan verbal ke
Gujarati untuk anak-anak berbahasa non - Gujarati nya. Ini berarti ibu memiliki
peran yang besar dalam literasi karena ibu yang mengajarkan anak-anaknya
membaca dan menulis. ( Bartholomae,
1986 ) Dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan siswa harus disiplin
secara bersamaan menghadapi literasi baru dan dominan dengan norma-norma
sendiri, jargon, set konvensi dan cara berekspresi yang merupakan budaya yang
terpisah.
Bartholomae (1986: 4) on
academic literacy “Every time a student sits down to write for us, he has to
invent the university for the occasion – invent the university, that is, or a
branch of it, like History or Anthropology or Economics or English. He has to
learn to speak our language, to speak as we do, to try on the peculiar ways of
knowing, selecting, evaluating, reporting, concluding, and arguing that defines
the discourse of our community.” Yang artinya Setiap kali seorang siswa duduk
untuk menulis bagi kami, ia harus menciptakan universitas untuk acara -
menciptakan universitas, yaitu, cabang, seperti sejarah atau Antropologi atau
Ekonomi atau Inggris. Dia harus belajar berbicara bahasa kita, untuk berbicara
seperti yang kita lakukan, untuk mencoba cara-cara aneh untuk mengetahui,
memilih, evaluasi, pelaporan, menyimpulkan, dan berdebat yang mendefinisikan
wacana komunitas kami.
c. Culture
Hyland mengatakan bahwa Gagasan bahwa pengalaman penulis ' dari
praktik keaksaraan masyarakat yang berbeda akan mempengaruhi pilihan linguistik
mereka menunjukkan bahwa guru harus mempertimbangkan bagian yang dimainkan
siswa dalam menulis budaya. Budaya menurut (Lantolf, 1999). Culture is
generally understood as an historically transmitted and systematic network of
meanings which allow us to understand, develop and communicate our knowledge
and beliefs about the world. (Kramsch, 1993) As a result, language and learning
are inextricably bound up with culture.
Connor (1996 : 5 )
pada retorika kontrastif “Retorika kontrastif adalah area penelitian dalam
akuisisi bahasa kedua yang mengidentifikasi masalah dalam komposisi yang
dihadapi oleh penulis bahasa kedua dan, dengan mengacu pada strategi retoris
dari bahasa pertama, mencoba untuk menjelaskan mereka . . . retorika kontrastif
menyatakan bahwa bahasa dan menulis adalah fenomena budaya. Sebagai konsekuensi
langsung, setiap bahasa memiliki konvensi retorika unik untuk itu.”
Penelitian L2 vs menulis L1 siswa yang dilakukan Grabe dan Kaplan
(1996 : 239) menghasilkan sebagai kesimpulan sebagai berikut :
·
Preferensi
organisasi yang berbeda dan pendekatan untuk argumentstructuring
·
Pendekatan
yang berbeda untuk menggabungkan bahan ke dalam tulisan mereka ( parafrase, dll
)
·
Perspektif
yang berbeda pada pembaca - orientasi, pada perangkat menarik perhatian dan
estimasi pengetahuan pembaca
·
Perbedaan
penggunaan penanda kohesi, penanda tertentu yang membuat hubungan leksikal
lemah
·
Perbedaan
dalam penggunaan fitur linguistik terbuka ( seperti kurang subordinasi, lebih
bersama, kurang passivisation, pengubah bebas sedikit, kurang noun - modifikasi,
kata-kata yang kurang spesifik, berbagai kurang leksikal, variasi diprediksi
dan gaya sederhana ).
Secara teoritis, para
pengkritik menunjukkan bahwa karena retorika kontrastif dimulai dari asumsi
perbedaan, itu ' cenderung melihat L2 menulis . . . terutama sebagai masalah
transfer negatif L1 pola retoris untuk L2 menulis ' ( Casanave , 2004: 41 ). Faktanya
adalah bahwa penulis pemula dari latar belakang bahasa yang berbeda ( termasuk
L1 English) menulis dalam cara-cara yang bertentangan dengan stereotip.
Penelitian, bagaimanapun, secara konsisten menunjukkan perbedaan dalam
bagaimana L1 dan L2 penulis mengatur teks mereka dan mencapai tujuan retorika
yang berbeda. Karena itu, CR terus menjadi cukup menarik untuk guru menulis,
menunjukkan kepada kita bahwa preferensi penulisan tertentu mungkin merupakan
hasil dari sebelum belajar daripada defisit.
d. Teknologi
Hyland mengatakan untuk menjadi orang yang paham literasi berarti
memiliki kontrol atas berbagai media cetak dan elektronik. Banyak yang memiliki
dampak besar pada cara kita menulis, genre yang kita buat, identitas pengarang
kita asumsikan, bentuk produk jadi kami, dan cara kita terlibat dengan pembaca.
Beberapa yang paling penting dari ini tercantum dalam Concept 2.6 di bawah ini.
Konsep 2.6 Pengaruh teknologi elektronik pada penulisan
-
Ubah
menciptakan , mengedit , proofreading dan format proses
-
Kombinasikan
teks tertulis dengan media visual dan audio lebih mudah
-
Mendorong
menulis non - linear dan proses membaca melalui link hypertext
-
Tantangan
pemikiran tradisional tentang kepenulisan , wewenang dan kekayaan intelektual
-
Izinkan
penulis akses ke informasi lebih lanjut dan untuk menghubungkan informasi bahwa
dalam cara-cara baru
-
Mengubah
hubungan antara penulis dan pembaca sebagai pembaca sering ' menulis kembali '
-
Memperluas
berbagai genre dan kesempatan untuk menjangkau khalayak yang lebih luas
-
Blur
tradisional lisan dan tertulis perbedaan saluran
-
Memperkenalkan
kemungkinan untuk membangun dan memproyeksikan identitas sosial baru
-
Memfasilitasi
masuk ke komunitas wacana baru on-line
-
Meningkatkan
marginalisasi penulis yang terisolasi dari teknologi tulisan baru
-
Penawaran
menulis guru tantangan dan peluang untuk praktek kelas baru
Teknologi elektronik, pada kenyataannya, mempercepat preferensi
yang berkembang untuk gambar di atas teks dalam banyak domain sehingga
kemampuan untuk berdua mengerti dan bahkan menghasilkan teks multimodal semakin
persyaratan praktik keaksaraan di ilmiah, pendidikan, bisnis, media dan
pengaturan lainnya. Menulis sekarang berarti ' perakitan teks dan gambar '
dalam desain visual yang baru, dan penulis sering perlu untuk memahami
cara-cara tertentu mengkonfigurasi dunia yang menawarkan modus yang berbeda. Menurut
Kress (2003), modus yang berbeda memiliki affordances yang berbeda, atau
potensi dan keterbatasan untuk makna.
Douglas ( 1998: 155 ) pada
argumen hypertext “Keindahan hypertext adalah . . . yang mendorong kita dari
diluruskan ' baik / atau' dunia yang cetak telah datang untuk mewakili dan menjadi
alam semesta di mana dan selalu mungkin. Ini adalah lingkungan yang lebih kondusif
untuk filsafat relativistik dan analisis, di mana tidak ada rekening tunggal
istimewa atas setiap orang lain”. Guru sering menemukan berbagai besar variasi
dalam kualitas dan genre siswa menyebutkan dalam makalah akademis mereka (
Stapleton , 2003 ).
e. Genre
Genre adalah jenis tindakan komunikatif, yang berarti bahwa untuk
berpartisipasi dalam acara sosial, individu harus terbiasa dengan genre yang mereka
hadapi di sana. Karena itu, genre sekarang menjadi salah satu konsep yang
paling penting dalam pendidikan bahasa hari ini. Ini adalah adat, namun, untuk
mengidentifikasi tiga pendekatan genre ( Hyon , 1996; Johns , 2002) :(a)
the Australian work in the tradition of Systemic Functional Linguistics. (b)
the teaching of English for Specific Purposes. (c) the New Rhetoric
studies developed in North American composition contexts.
(a)
Systemic Functional views: Dalam
sistemik Fungsional Model bergenre dipandang sebagai 'dipentaskan, berorientasi
pada tujuan proses sosial ' menurut ( Martin, 1992: 505 ), menekankan
karakter tujuan dan berurutan genre yang berbeda dan mencerminkan kepedulian Halliday
dengan bahasa secara sistematis terkait dengan konteks. Genre adalah proses
sosial karena anggota dari budaya berinteraksi untuk mencapai mereka,
berorientasi pada tujuan karena mereka telah berevolusi untuk mencapai hal-hal,
dan dipentaskan karena makna yang dibuat dalam langkah-langkah dan biasanya
membutuhkan penulis lebih dari satu langkah untuk mencapai tujuan mereka.
Grammar
adalah nama untuk sumber daya yang tersedia untuk pengguna sistem bahasa untuk
memproduksi teks. Sebuah pengetahuan tentang tata bahasa oleh pembicara atau
penulis menggunakan bahasa pergeseran dari implisit dan sadar untuk manipulasi
sadar bahasa dan pilihan teks yang sesuai. Kemudian mempertimbangkan bagaimana
semua bagian dari teks , seperti paragraf dan kalimat, terstruktur,
terorganisir dan kode sehingga membuat teks efektif komunikasi tertulis. Knapp
dan Watkins (1994 : 8 )
(b)
English for Specific Purposes (ESP) Orientasi ini mengikuti SFL dalam
memberikan penekanan terhadap sifat formal dan tujuan komunikatif genre, tetapi
berbeda dalam mengadopsi konsep yang jauh lebih sempit genre. Alih-alih melihat
genre sebagai sumber daya yang tersedia dalam budaya yang lebih luas, ia
menganggap mereka sebagai milik masyarakat wacana tertentu.
(c)
The ‘New Rhetoric’: Pendekatan
ini menyimpang dari dua sebelumnya dalam melihat genre sebagai lebih fleksibel dan
kurang mudah untuk mengajar. Penekanan yang lebih besar diberikan kepada
cara-cara yang genre berkembang dan variasi pameran, dan ini menyebabkan
pemahaman sementara jauh lebih konsep ( Freedman dan Medway, 1994). Coe (
2002) Genre adalah termotivasi, hubungan fungsional antara jenis teks dan
situasi retoris. Artinya, genre bukanlah jenis teks atau situasi, melainkan
hubungan fungsional antara jenis teks dan jenis situasi. Jenis teks bertahan
karena mereka bekerja, karena mereka merespons secara efektif terhadap situasi
berulang.
f. Identity
Penelitian
terbaru telah menekankan hubungan dekat antara menulis dan identitas seorang
penulis. Dalam arti luas, identitas mengacu pada ' cara-cara orang menampilkan
siapa mereka satu sama lain ' ( Benwell dan Stokoe , 2006 : 6 ) : kinerja
sosial dicapai dengan menggambar pada sumber daya yang tepat linguistik.
Identitas Oleh karena itu dipandang sebagai dibangun oleh teks kita terlibat
dalam dan pilihan bahasa yang kita buat, sehingga bergerak identitas dari
pribadi ke ranah publik, dan dari proses tersembunyi kognisi konstruksi sosial
dan dinamis dalam wacana.
Menurut
Ivanic , 1998; Ivanic dan Weldon , 1999. Membahas identitas sebagai
berikut :
1.
The
otobiografi diri adalah diri yang penulis membawa ke tindakan menulis ,
dibatasi secara sosial dan dibangun oleh lifehistory penulis .
2.
The
discoursal diri adalah penulis kesan sadar atau tidak sadar menyampaikan dari
diri mereka sendiri dalam sebuah teks .
3.
The
kepenulisan diri menunjukkan dirinya dalam derajat authoritativeness dengan
yang penulis menulis .
Itu lah
materi yang dapat saya tangkap dari Ken Hyland, kemudian saya
akan kembali lagi menceritakan kejadian yang dilakukan didalam kelas. Mr. Lala menampilkan
slide yang berisikan tentang pendapat dari Noam Chomsky yang mengatkan
bahwa Howard Zinn telah merubah kesadaran generasi muda. Kemudian Mr. Lala
menyuruh mahasiswa duduk saling bertolak belakang kemudian menulis dalam bentuk
teks di komputer, apa yang diketahui tentang howard zinn dalam bahasa inggris,
sementara itu Mr. Lala memeriksa classc review, dan Mr. Lala meminta hasil
ketikan yang didalam kelas harus ada pada class review sekarang sebagai process
in class. Ini adalah hasil proses saya saat di dalam kelas “Howard zinn is
the writer of antropology of the self, and he write a book the tittle is A
People’s History of the United States. In the book he tell about colombus, he
say colombus is not person which find island america. After howard zinn write and publication the
book, he get massage from people america. People america shock and disaggre about howard zinn which” itu
lah teks yang bisa saya buat ketika didalam kelas.
Kesimpulan :
Menurut Betsy Ryems classroom
discourse mempunyai beberapa bagian yaitu Social context, Interactional
context, dan Individual agency. Dalam buku
Teaching and Researching Writing yang ditulis oleh Ken Hyland 2002; 2009 yang berkaitan dengan pemahaman
kita pada teks sepeti context, literacy, culture, technology, genre and
identity. Dan semua pemahaman tersebut memiliki tujuan untuk meningkatkan
komunikasi antar sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic