We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 10 Maret 2014

Mengulas Kembali Classroom Discourse



Class review 5

Pada tanggal 5 Maret 2014 adalah pertemuan kelima pada mata kuliah writing and composition 4. Pada pertemuan kali ini Mr. Lala tidak terlalu banyak menyampaikan materi karena Mr. Lala merasa kecewa dengan critical review yang kedua ini. Kemudian Mr. Lala memberitahukan 3 kategori kesalahan yaitu weatness, mistake, dan ignorance, Mr. Lala mengatakan pada critical review yang pertama mahasiswa memasuki kategori weatness atau kategori kesalahan ringan dan pada critical review yang kedua mahasiswa memasuki kategori mistake, tetapi kedua kategori ini Mr. Lala masih memberikan toleransi dan masih memaafkan kesalahan kita.
Kemudian Mr. Lala menampilkan slide yang berisikan kesalahan terbesar pada kategori weakness pada critical review yang pertama yaitu : [1] banyak mahasiswa membahas hal yang tidak penting. [2] tidak ada pengertian classroom discorse. [3] tidak ada fakta – fakta. [4] struktur kalimat belum terbentuk. [5] banyak referensi, tetapi banyak copy paste. [6] kurang bisa mengembangkan kalimat. Namun, Mr. Lala memberikan peringatan pada mahasiswa kalau pada class review tidak terdapat materi dari Betsy Rymes atau mahasiswa melakukan kesalahan lagi maka mahasiswa akan memasuki kategori ignorence yaitu tingkat kesalahan yang sangat parah atau sangat buruk dan kalau mahasiswa memasuki kategori ignorance maka Mr. Lala tidak akan memberikan toleransi lagi.
Disini saya akan membahas materi betsy ryems yang berisikan classroom discourse, Menurut Betsy Rymes (2008:12) mengartikan discourse yaitu sebagai ‘language-in-use’ atau bahasa yang digunakan. Menurut saya ini pengertian yang sederhana tetapi cukup sulit untuk dapat memahaminya. Menurut rymes classroom discourse, yaitu as aninvestigation into how discourse (language-in-use) and context affect each other, our framework comprises three ever-present dimensions of Language-in-Use.”
Pengertian classroom menurut pendapat saya Kelas adalah tempat yang berfungsi untuk belajar-mengajar di sekolah dan tempat terjadinya interaksi antara guru dan murid. Sedangkan dalam arti luas, kelas adalah suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah sebagai satu kesatuan yang menjadi unit kerja yang dinamis dan menyelenggarakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Didalam kelas kita harus bisa menghargai setiap kemampuan murid dan kita pun harus bisa menjaga hubungan yang baik dengan siswa atau dengan guru ada dapat menciptakan komunikasi yang baik di dalam kelas.
Kemudian Betsy Rymes (2008:7) mengatakan “By targeting specific differences in discourse patterns, this research into cross-cultural communication in classroom contexts has been able to enhance teachers and students’ mutual understanding—reconceptualizing deficits as differences, and differences as resources for learning. Yang artinya Dengan menargetkan perbedaan spesifik dalam pola wacana, penelitian ini menjadi komunikasi lintas-budaya dalam konteks kelas telah mampu meningkatkan pemahaman guru dan-Reconceptualizing saling defisit siswa sebagai perbedaan, dan perbedaan sebagai sumber daya untuk belajar. Menurut saya maksud dari kalimat ini adalah kelas bisa menjadi tempat untuk bertemuanya orang dari berbagai budaya yang memiliki perbedaan dalam sumberdaya untuk belajar.
Betsy Rymes (2008:7), teachers began to see these ways of talking and responding to classroom prompts as part of the way these children had been socialized to use language at home and in their non-school communities. As a result, teachers were then able to use their knowledge of these different language practices as a resource to build mutual, collaborative understandings of the ways stories can be told, questions can be responded to, and problems can be solved. Menurut saya komunikasi akan efektif dan dapat dibagun dalam kelas ketika guru bisa mengajarkan bahasa yang sama saat didalam kelas dan memerintahkannya menggunakan bahasa yang sama ketika siswa diluar kelas atau rumah.
Betsy Rymes (2008:31-32) menjelaskan tentang “Membangun definisi awal dari Analisis Wacana Kelas sebagai penyelidikan bagaimana wacana (language-in-use) dan konteks mempengaruhi satu sama lain , kerangka kerja terdiri dari tiga dimensi yang selalu ada dari Bahasa yang Gunakan : [1] Social context, faktor sosial di luar interaksi langsung yang mempengaruhi bagaimana kata-kata yang berfungsi dalam interaksi (misalnya, bagaimana pengaruh konteks sosial ketika ​​siswa menggunakan “dude”? efek apa yang akan dimilikinya?), [2] Interactional context, pola berurutan atau pembicaraan lainnya dalam sebuah interaksi yang mempengaruhi apa yang kita bisa dan mengatakan tidak bisa, dan bagaimana orang lain menafsirkannya dalam wacana kelas (misalnya , dalam urutan interaksi apa yang bisa menggunakan kata dude? Sebuah salam? Sebuah pujian? efek Apa yang akan ada diseluruh interaksi), dan [3] Individual agency, mempengruhi individu agar dapat menggunakan kata-kata untuk diinterpretasikan dalam interaksi. (misalnya, kapan dan mengapa seseorang menggunakan kata ‘dude’ dan untuk apa tujuannya ? berapa banyak individu yang mengendalikan pengaruh itu ?) menurut ryems ketiga konteks ini termasuk ciri dari setiap interaksi kelas. Ini lah materi yang dapat saya pahami dari Betsy Rymes.
 Kemudian saya akan menceritakan kembali pembahasan yang terjadi di dalam kelas. Mr. Lala mengatakan bahwa ketika membaca tentang colombus kita itu harus bisa peka terhadap history dan literasi sabagai praktik sosial.  Kemudian Mr. Lala mengatakan untuk memahami history kita perlu menjadi orang literat karena sadar tidak sadar orang yang mampu membuat sejarah adalah orang yang mengerti tentang literasi. Kemudian Mr. Lala mengatakan kenapa Howard Zinn tidak berani menyebutkan bahwa orang islam lah yang pertama kali menemukan benua Amerika. Pertama karena howard zinn adalah orang kristen kemudian dia tidak suka dengan agama islam, dan kemungkinan pada saat itu lemahnya pemahaman literasi yang dimiliki oleh orang islam, sehingga colombus bisa memanfaatkan kemampuan yang memahami literasi. Kemudian contextualising Mr. Lala mengatakan kalau pembuatan tulisan itu dibutuhkannya conteks agar pembaca mengerti apa yang sedang dibaca. Mr. Lala juga mengatakan bahwa conteks tulisan howard zinn yaitu howard zinn tidak suka dengan kebijakan pemerintah Amerika.
Kemudian Mr. Lala meminta mahasiswa membahas Key Issues in Writing Research and Teaching (Ken Hyland  2002; 2009) yang berkaitan dengan pemahaman kita pada teks sepeti context, literacy, culture, technology, genre and identity.
a.       Context
Menurut Hyland “Traditionally, contextual factors were largely seen as ‘objective’ variables such as class, gender or race, but now tend to be viewed as what the participants see as relevant. So, a personal letter, for example, might mean something different to the writer and addressee than a casual reader” yang artinya faktor-faktor konteks sebagian besar dipandang sebagai ‘obyektif’ variabel seperti kelas, gender atau ras, tapi sekarang cenderung dipandang sebagai apa yang akan dilihat peserta sebagai relevan. Jadi, surat pribadi, misalnya, mungkin berarti sesuatu yang berbeda untuk penulis dan penerima dari pembaca biasa. Kemudian ada pendapat dari Van Dijk mengenai context “It is not the social situation that influences (or is influenced by) discourse, but the way the participants define such a situation. Contexts thus are not some kind of ‘objective’ condition or direct cause, but rather (inter)subjective constructs designed and ongoingly updated in interaction by participants as members of groups and communities. If they were, all people in the same social situation would speak in the same way. Contexts are participant constructs. Van Dijk (2008: viii)”
Kemudian Cutting ( 2002: 3 ) menyatakan bahwa ada tiga aspek utama konteks penafsiran ini :
  
·         Situational context: apa yang orang tahu tentang apa yang dapat mereka lihat di sekitar mereka.
·      Background knowledge context: apa yang orang tahu tentang dunia, aspek apa yang mereka tahu tentang hidup, dan apa yang mereka ketahui tentang satu sama lain.
·         co-textual context:  apa yang orang ketahui tentang apa yang telah mereka katakan.
Halliday developed an analysis of context based on the idea that any text is the result of the writer’s language choices in a particular context of situation (Malinowski, 1949). Kemudian hyland mengemukakan bahwa “The context of situation, or register, is the immediate situation in which language use occurs and language varies in such contexts varies with the configuration of field, tenor and mode.” Kemudian hyland menggunakan dimensi konsep yang dibuat oleh Halliday yaitu seperti
-          Field: Mengacu pada apa yang terjadi, jenis aksi sosial, atau teks berkaitan tentang (topik bersama dengan bentuk-bentuk yang diharapkan secara sosial dan pola biasanya digunakan untuk mengekspresikan itu).
-          Tenor : Mengacu pada siapa yang mengambil bagian, peran dan hubungan peserta (status dan kekuasaan mereka, misalnya, yang mempengaruhi keterlibatan, formalitas dan kesopanan).
-          Mode: Mengacu pada bagian apa bahasa dimainkan, apa peserta mengharapkan yang lakukan untuk mereka ( apakah lisan atau tertulis, bagaimana informasi terstruktur, dan sebagainya) . Halliday ( 1985)
Hyland mengatakan dengan kata lain, bahasa yang kita gunakan untuk kebutuhan sesuai dengan situasi di mana kita menggunakannya, dan mendaftarkan merupakan upaya untuk mengkarakterisasi konfigurasi menulis ( atau pidato ) yang membatasi pilihan penulis akan membuat dalam suatu situasi. Jadi, beberapa register berisi fitur cukup dapat diprediksi yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi korespondensi yang erat antara teks dan konteks. Konteks situasi beroperasi dalam konteks yang lebih luas dan lebih abstrak Halliday menyebutnya konteks budaya. Halliday melihat konteks budaya seperti yang diungkapkan dalam atau (melalui) konteks yang lebih spesifik dari situasi, sehingga kita menggambarkan situasi sosial sebagai bagian dari budaya yang lebih luas. Kemudian Fairclough ( 1992) melihat wacana sebagai penghubung antara konteks lokal dari situasi dan konteks kelembagaan menyeluruh budaya. Hal ini karena dalam wacana di mana perintah dari wacana, atau disetujui praktek kelembagaan seperti tugas universitas, seminar, esai, dan sebagainya, beroperasi untuk menjaga hubungan yang ada kekuasaan dan otoritas.
b.      Literacy
Hyland mengatakan bahwa “Writing, together with reading, is an act of literacy: how we actually use language in our everyday lives. Modern conceptions of literacy encourage us to see writing as a social practice rather than as an abstract skill separable from people and the places where they use texts.” Dengan kata lain hyland mengatakan bahwa literasi berbentuk menulis dan membaca. Kemudian Scribner and Cole (1981: 236) literasi tidak hanya mengetahui cara membaca dan menulis naskah tertentu, tetapi menerapkan pengetahuan memaca dan menulis untuk tujuan tertentu dalam konteks tertentu penggunaan. Ini mempertimbangkan peran literasi yang dapat membantu kita untuk memahami bagaimana orang-orang memahami hidup mereka melalui praktik rutin menulis dan membaca.
Concept 2.2 A social view of literacy Barton (2007: 34–5)
1)      Literacy is a social activity and is best described in terms of people’s literacy practices.
Literasi menurut Barton sebagai kegiatan sosial dan jauh lebih baik dijelaskan kepada masyarakat dalam hal praktik keaksaraan atau literasi. Menurut saya karena kalau dijelaskan dalam materi saja tanpa dijelaskan dengan praktik masyarakat akan susah memahami pandangan sosial dari literasi.  
2)      People have different literacies which are associated with different domains of life.
Mempunyai arti Orang-orang memiliki kemahiran berbeda yang berhubungan dengan domain yang berbeda dari kehidupan, yang artinya setiap individu antara satu sama lain memiliki kemampuan masing- masing yang diakibatkan dari latar belakang setiap individu.
3)      People’s literacy practices are situated in broader social relations, making it necessary to describe the settings of literacy events.
Praktik keaksaraan masyarakat terletak dalam hubungan sosial yang lebih luas, sehingga perlu untuk menggambarkan pengaturan peristiwa keaksaraan.  Dalam point ini berarti praktik peristiwa literasi membutuhkan aturan yang mengatur praktik literasi yang mudah dipahami oleh masyarakat karena masyarakat memiliki hubungan sosial yang luas.
4)      Literacy practices are patterned by social institutions and power relationships, and some literacies are more dominant, visible and influential than others.
Praktik literasi memiliki pola dengan lembaga-lembaga sosial, yang  berhubungan dengan kekuasaan, beberapa keahlian yang lebih dominan, terlihat dan berpengaruh dari pada yang lain.
5)      Literacy is based on a system of symbols as a way of representing the world to others and to ourselves.
Literasi didasarkan pada sistem simbol sebagai cara untuk mewakili dunia untuk orang lain dan diri kita sendiri. Simbol disini bisa berbentuk buku dan buku memiliki manfaat untuk kita sendiri atau orang lain yang dapat digunakan kapanpun kita membutuhkannya.
6)      Our attitudes and values with respect to literacy guide our actions to communication.
Sikap dan nilai-nilai yang berkaitan dengan keaksaraan memandu tindakan kita untuk komunikasi. Ini berarti literasi dapat berguna untuk membentuk sikap dan nilai keaksaraan yang bisa berguna dalam komunikasi dengan orang lain.
7)      Our life histories contain many literacy events from which we learn and which contribute to the present.
Sejarah kehidupan kita mengandung banyak peristiwa keaksaraan dari mana kita belajar dan yang memberikan kontribusi hingga saat ini, yang berarti literasi mencakup tentang ilmu pengetahuan yang kita dapatkan, muali dari saat kita mencarinya hingga mendapatkan hasil dari ilmu yang kita dapatkan.
8)      A literacy event also has a social history which help create current practices.
Sebuah peristiwa keaksaraan juga memiliki sejarah sosial yang membantu menciptakan praktek saat ini. Dalam agama islam sendiri memiliki sejarah yang mengajarkan kita untuk hidup bersosial, seperti membantu orang yang tidak mampu dan dalam praktiknya berarti bersedekah dan lain sebagainya.
Ken Hyland mengatakan bahwa Barton and Hamilton (1998: 6) define literacy practices as ‘the general cultural ways of utilizing written language which people draw on in their lives’, yang artinyamendefinisikan praktik keaksaraan sebagai ' cara budaya umum menggunakan bahasa tertulis yang orang menarik dalam hidup mereka  dan menunjukkan bagaimana kegiatan membaca dan menulis yang terkait dengan struktur sosial di mana mereka tertanam dan yang mereka membantu membentuk. Tetapi ( Street, 1995 : 2 ) mengemukakan bahwa praktek-praktek ini adalah  ‘apa yang dilakukan orang dengan melek ', praktik literasi berbentuk abstrak karena mereka hanya melihat tidak membaca dan menulis, tetapi juga menilai-nilai, perasaan dan konsepsi budaya yang memberi makna menggunakan praktik literasi.
Literacy events menurut Barton and Hamilton (1998: 7) Literacy events are observable episodes where literacy has a role. Usually there is a written text, or texts, central to the activity and there may be talk around the text. Events are observable episodes which arise from practices or are shaped by them. The notion of events stresses the situated nature of literacies, that it always exists in a social context.  Artinya Peristiwa Literacy adalah episode mengamati di mana keaksaraan atau literasi memiliki peran. Biasanya ada teks tertulis, pusat aktivitas dan mungkin ada berbicara sekitar teks. Acara episode diamati yang timbul dari praktek atau dibentuk oleh mereka. Gagasan peristiwa menekankan terletak sifat kemahiran, bahwa selalu ada dalam konteks sosial.
Lalu Baynham (1995: 1) on researching literacy “Investigating literacy as practice involves investigating literacy as ‘concrete human activity’, not just what people do with literacy, but also what they make of what they do, the values they place on it and the ideologies that surround it.” Menurut saya artinya Investigasi literasi sebagai praktek melibatkan menyelidiki literasi sebagai ' aktivitas yang nyata manusia ', bukan hanya apa yang dilakukan orang dengan paham huruf, tetapi juga apa yang mereka dapatkan dari apa yang mereka lakukan, nilai-nilai yang mereka tempatkan di atasnya dan ideologi yang mengelilinginya. ( Barton dan Hamilton, 1998: 183 )Di rumah-rumah Inggris Gujarati mungkin ibu yang mengambil peran keaksaraan utama ketika menulis kepada anggota keluarga di India, menerjemahkan pesan verbal ke Gujarati untuk anak-anak berbahasa non - Gujarati nya. Ini berarti ibu memiliki peran yang besar dalam literasi karena ibu yang mengajarkan anak-anaknya membaca  dan menulis. ( Bartholomae, 1986 ) Dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan siswa harus disiplin secara bersamaan menghadapi literasi baru dan dominan dengan norma-norma sendiri, jargon, set konvensi dan cara berekspresi yang merupakan budaya yang terpisah.
Bartholomae (1986: 4) on academic literacy “Every time a student sits down to write for us, he has to invent the university for the occasion – invent the university, that is, or a branch of it, like History or Anthropology or Economics or English. He has to learn to speak our language, to speak as we do, to try on the peculiar ways of knowing, selecting, evaluating, reporting, concluding, and arguing that defines the discourse of our community.” Yang artinya Setiap kali seorang siswa duduk untuk menulis bagi kami, ia harus menciptakan universitas untuk acara - menciptakan universitas, yaitu, cabang, seperti sejarah atau Antropologi atau Ekonomi atau Inggris. Dia harus belajar berbicara bahasa kita, untuk berbicara seperti yang kita lakukan, untuk mencoba cara-cara aneh untuk mengetahui, memilih, evaluasi, pelaporan, menyimpulkan, dan berdebat yang mendefinisikan wacana komunitas kami.
c.       Culture
Hyland mengatakan bahwa Gagasan bahwa pengalaman penulis ' dari praktik keaksaraan masyarakat yang berbeda akan mempengaruhi pilihan linguistik mereka menunjukkan bahwa guru harus mempertimbangkan bagian yang dimainkan siswa dalam menulis budaya. Budaya menurut (Lantolf, 1999). Culture is generally understood as an historically transmitted and systematic network of meanings which allow us to understand, develop and communicate our knowledge and beliefs about the world. (Kramsch, 1993) As a result, language and learning are inextricably bound up with culture.
Connor (1996 : 5 ) pada retorika kontrastif “Retorika kontrastif adalah area penelitian dalam akuisisi bahasa kedua yang mengidentifikasi masalah dalam komposisi yang dihadapi oleh penulis bahasa kedua dan, dengan mengacu pada strategi retoris dari bahasa pertama, mencoba untuk menjelaskan mereka . . . retorika kontrastif menyatakan bahwa bahasa dan menulis adalah fenomena budaya. Sebagai konsekuensi langsung, setiap bahasa memiliki konvensi retorika unik untuk itu.”
Penelitian L2 vs menulis L1 siswa yang dilakukan Grabe dan Kaplan (1996 : 239) menghasilkan sebagai kesimpulan sebagai berikut :
·         Preferensi organisasi yang berbeda dan pendekatan untuk argumentstructuring
·         Pendekatan yang berbeda untuk menggabungkan bahan ke dalam tulisan mereka ( parafrase, dll )
·         Perspektif yang berbeda pada pembaca - orientasi, pada perangkat menarik perhatian dan estimasi pengetahuan pembaca
·         Perbedaan penggunaan penanda kohesi, penanda tertentu yang membuat hubungan leksikal lemah
·         Perbedaan dalam penggunaan fitur linguistik terbuka ( seperti kurang subordinasi, lebih bersama, kurang passivisation, pengubah bebas sedikit, kurang noun - modifikasi, kata-kata yang kurang spesifik, berbagai kurang leksikal, variasi diprediksi dan gaya sederhana ).
 Secara teoritis, para pengkritik menunjukkan bahwa karena retorika kontrastif dimulai dari asumsi perbedaan, itu ' cenderung melihat L2 menulis . . . terutama sebagai masalah transfer negatif L1 pola retoris untuk L2 menulis ' ( Casanave , 2004: 41 ). Faktanya adalah bahwa penulis pemula dari latar belakang bahasa yang berbeda ( termasuk L1 English) menulis dalam cara-cara yang bertentangan dengan stereotip. Penelitian, bagaimanapun, secara konsisten menunjukkan perbedaan dalam bagaimana L1 dan L2 penulis mengatur teks mereka dan mencapai tujuan retorika yang berbeda. Karena itu, CR terus menjadi cukup menarik untuk guru menulis, menunjukkan kepada kita bahwa preferensi penulisan tertentu mungkin merupakan hasil dari sebelum belajar daripada defisit.
d.      Teknologi
Hyland mengatakan untuk menjadi orang yang paham literasi berarti memiliki kontrol atas berbagai media cetak dan elektronik. Banyak yang memiliki dampak besar pada cara kita menulis, genre yang kita buat, identitas pengarang kita asumsikan, bentuk produk jadi kami, dan cara kita terlibat dengan pembaca. Beberapa yang paling penting dari ini tercantum dalam Concept 2.6 di bawah ini.
Konsep 2.6 Pengaruh teknologi elektronik pada penulisan
-          Ubah menciptakan , mengedit , proofreading dan format proses
-          Kombinasikan teks tertulis dengan media visual dan audio lebih mudah
-          Mendorong menulis non - linear dan proses membaca melalui link hypertext
-          Tantangan pemikiran tradisional tentang kepenulisan , wewenang dan kekayaan intelektual
-          Izinkan penulis akses ke informasi lebih lanjut dan untuk menghubungkan informasi bahwa dalam cara-cara baru
-          Mengubah hubungan antara penulis dan pembaca sebagai pembaca sering ' menulis kembali '
-          Memperluas berbagai genre dan kesempatan untuk menjangkau khalayak yang lebih luas
-          Blur tradisional lisan dan tertulis perbedaan saluran
-          Memperkenalkan kemungkinan untuk membangun dan memproyeksikan identitas sosial baru
-          Memfasilitasi masuk ke komunitas wacana baru on-line
-          Meningkatkan marginalisasi penulis yang terisolasi dari teknologi tulisan baru
-          Penawaran menulis guru tantangan dan peluang untuk praktek kelas baru
Teknologi elektronik, pada kenyataannya, mempercepat preferensi yang berkembang untuk gambar di atas teks dalam banyak domain sehingga kemampuan untuk berdua mengerti dan bahkan menghasilkan teks multimodal semakin persyaratan praktik keaksaraan di ilmiah, pendidikan, bisnis, media dan pengaturan lainnya. Menulis sekarang berarti ' perakitan teks dan gambar ' dalam desain visual yang baru, dan penulis sering perlu untuk memahami cara-cara tertentu mengkonfigurasi dunia yang menawarkan modus yang berbeda. Menurut Kress (2003), modus yang berbeda memiliki affordances yang berbeda, atau potensi dan keterbatasan untuk makna.
Douglas ( 1998: 155 ) pada argumen hypertext “Keindahan hypertext adalah . . . yang mendorong kita dari diluruskan ' baik / atau' dunia yang cetak telah datang untuk mewakili dan menjadi alam semesta di mana dan selalu mungkin. Ini adalah lingkungan yang lebih kondusif untuk filsafat relativistik dan analisis, di mana tidak ada rekening tunggal istimewa atas setiap orang lain”. Guru sering menemukan berbagai besar variasi dalam kualitas dan genre siswa menyebutkan dalam makalah akademis mereka ( Stapleton , 2003 ).
e.       Genre
Genre adalah jenis tindakan komunikatif, yang berarti bahwa untuk berpartisipasi dalam acara sosial, individu harus terbiasa dengan genre yang mereka hadapi di sana. Karena itu, genre sekarang menjadi salah satu konsep yang paling penting dalam pendidikan bahasa hari ini. Ini adalah adat, namun, untuk mengidentifikasi tiga pendekatan genre ( Hyon , 1996; Johns , 2002) :(a) the Australian work in the tradition of Systemic Functional Linguistics. (b) the teaching of English for Specific Purposes. (c) the New Rhetoric studies developed in North American composition contexts.
(a)   Systemic Functional views: Dalam sistemik Fungsional Model bergenre dipandang sebagai 'dipentaskan, berorientasi pada tujuan proses sosial ' menurut ( Martin, 1992: 505 ), menekankan karakter tujuan dan berurutan genre yang berbeda dan mencerminkan kepedulian Halliday dengan bahasa secara sistematis terkait dengan konteks. Genre adalah proses sosial karena anggota dari budaya berinteraksi untuk mencapai mereka, berorientasi pada tujuan karena mereka telah berevolusi untuk mencapai hal-hal, dan dipentaskan karena makna yang dibuat dalam langkah-langkah dan biasanya membutuhkan penulis lebih dari satu langkah untuk mencapai tujuan mereka.
Grammar adalah nama untuk sumber daya yang tersedia untuk pengguna sistem bahasa untuk memproduksi teks. Sebuah pengetahuan tentang tata bahasa oleh pembicara atau penulis menggunakan bahasa pergeseran dari implisit dan sadar untuk manipulasi sadar bahasa dan pilihan teks yang sesuai. Kemudian mempertimbangkan bagaimana semua bagian dari teks , seperti paragraf dan kalimat, terstruktur, terorganisir dan kode sehingga membuat teks efektif komunikasi tertulis. Knapp dan Watkins (1994 : 8 )
(b)   English for Specific Purposes (ESP) Orientasi ini mengikuti SFL dalam memberikan penekanan terhadap sifat formal dan tujuan komunikatif genre, tetapi berbeda dalam mengadopsi konsep yang jauh lebih sempit genre. Alih-alih melihat genre sebagai sumber daya yang tersedia dalam budaya yang lebih luas, ia menganggap mereka sebagai milik masyarakat wacana tertentu.
(c)    The ‘New Rhetoric’: Pendekatan ini menyimpang dari dua sebelumnya dalam melihat genre sebagai lebih fleksibel dan kurang mudah untuk mengajar. Penekanan yang lebih besar diberikan kepada cara-cara yang genre berkembang dan variasi pameran, dan ini menyebabkan pemahaman sementara jauh lebih konsep ( Freedman dan Medway, 1994). Coe ( 2002) Genre adalah termotivasi, hubungan fungsional antara jenis teks dan situasi retoris. Artinya, genre bukanlah jenis teks atau situasi, melainkan hubungan fungsional antara jenis teks dan jenis situasi. Jenis teks bertahan karena mereka bekerja, karena mereka merespons secara efektif terhadap situasi berulang.
f.       Identity
Penelitian terbaru telah menekankan hubungan dekat antara menulis dan identitas seorang penulis. Dalam arti luas, identitas mengacu pada ' cara-cara orang menampilkan siapa mereka satu sama lain ' ( Benwell dan Stokoe , 2006 : 6 ) : kinerja sosial dicapai dengan menggambar pada sumber daya yang tepat linguistik. Identitas Oleh karena itu dipandang sebagai dibangun oleh teks kita terlibat dalam dan pilihan bahasa yang kita buat, sehingga bergerak identitas dari pribadi ke ranah publik, dan dari proses tersembunyi kognisi konstruksi sosial dan dinamis dalam wacana.
Menurut Ivanic , 1998; Ivanic dan Weldon , 1999. Membahas identitas sebagai berikut :
1.       The otobiografi diri adalah diri yang penulis membawa ke tindakan menulis , dibatasi secara sosial dan dibangun oleh lifehistory penulis .
2.       The discoursal diri adalah penulis kesan sadar atau tidak sadar menyampaikan dari diri mereka sendiri dalam sebuah teks .
3.       The kepenulisan diri menunjukkan dirinya dalam derajat authoritativeness dengan yang penulis menulis .
Itu lah materi yang dapat saya tangkap dari Ken Hyland, kemudian saya akan kembali lagi menceritakan kejadian yang dilakukan didalam kelas. Mr. Lala menampilkan slide yang berisikan tentang pendapat dari Noam Chomsky yang mengatkan bahwa Howard Zinn telah merubah kesadaran generasi muda. Kemudian Mr. Lala menyuruh mahasiswa duduk saling bertolak belakang kemudian menulis dalam bentuk teks di komputer, apa yang diketahui tentang howard zinn dalam bahasa inggris, sementara itu Mr. Lala memeriksa classc review, dan Mr. Lala meminta hasil ketikan yang didalam kelas harus ada pada class review sekarang sebagai process in class. Ini adalah hasil proses saya saat di dalam kelas “Howard zinn is the writer of antropology of the self, and he write a book the tittle is A People’s History of the United States. In the book he tell about colombus, he say colombus is not person which find island america.  After howard zinn write and publication the book, he get massage from people america. People america shock  and disaggre about howard zinn which” itu lah teks yang bisa saya buat ketika didalam kelas.
Kesimpulan :
Menurut Betsy Ryems classroom discourse mempunyai beberapa bagian yaitu Social context, Interactional context, dan Individual agency. Dalam buku Teaching and Researching Writing yang ditulis oleh Ken Hyland  2002; 2009 yang berkaitan dengan pemahaman kita pada teks sepeti context, literacy, culture, technology, genre and identity. Dan semua pemahaman tersebut memiliki tujuan untuk meningkatkan komunikasi antar sesama.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic