Ku terdiam dalam gelapnya malam.
Dinginnya angin malam merasuki jiwaku.
Suara riuh terdengar begitu silih berganti. Itu sudah biasa ku dengar. Di kala itu semua tidak ada hampa terasa,
karena malam-malamku selalu ditemani kebisingan. Hingga pada suatu malam di segala penjuru,
tak ada seorang pun yang melawati jalan depan rumahku. Lengang ku rasa. Hampa ku rasa. Namun ketika kesunyian melanda jiwaku, hatiku
merasa tentram dan damai. Suasana seperti
inilah yang bisa membuatku berpikir dengan jernih. Bagiku, suasana malam menjelang pagi adalah saat-saat
terindah untuk aku nikmati. Sungguh suasana
yang sangat menenggelamkan segala kegelisahan dan kekacauan pikiranku. Aku semakin percaya bahwa memang benar bahwa
Allah memuliakan sepertiga malam terakhir bagi orang-orang yang hendak
beribadah kepada-Nya. Saat itulah diri
kita merasa sendirian kecuali Sang Khalik yang selalu terjaga menemani kita. Saat itu pulalah kita merasa bahwa diri kita bukanlah
apa-apa. Kesunyian mengajarkan arti
sesungguhnya bagiku sebab dalam kesunyian akan hadir sebuah ketenangan dan
kedamaian di dalam jiwaku. Tiada waktu yang
paling indah bagiku kecuali di sepertiga malam terakhir itu.
Kala itu ku mulai
membuka lembaran buku catatan harian ku.
Ku torehkan tinta hitam di dalamnya berisikan materi tentang pertemuan
ke-4 kami pada mata kuliah “Writing 4”.
Pada pertemuan minggu ini Mr.
Lala Bumela, M.Pd menjelaskan materi tentang “classroom discourse”.
Materi tersebut merupakan tema dari critical review yang kami kritik minggu
lalu dari sebuah artikel yang berjudul “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony” buah karya Prof. A.
Chaedar Alwasilah.
Masih hangat di benak kita bahwa
Hyland dalam bukunya mengatakan, “literacy is something we do”. Literasi itu adalah sesuatu
yang kita lakukan. Kata “do”
disini dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan “religion harmony”
dan hal itu harus diajarkan dalam classroom discourse. Bagi pak Lala, classroom dianggap
sebagai “secred site” yang artinya situs suci. Di dalam situs ini terdapat berbagai macam
ritual. Hal ini jika diibaratkan seperti
halnya mahasiswa yang ingin mengikuti mata kuliah beliau, mereka harus menyiapkan
passport terlebih dahulu agar bisa mengikuti pertemuan selanjutnya. Tentunya bagi mereka yang telah melengkapi
passport tersebut, merekalah yang bisa langsung mengikuti kelas beliau.
Menurut
Betsy Rymes dalam bukunya yang berjudul “Classroom Discourse Analysis_A Tool
for Critical Reflection”, mengatakan bahwa secara
luas, seluruh wacana buku didefinisikan sebagai “language- in- use” atau
penggunaan bahasa. Sedangkan analisis wacana, adalah studi tentang
bagaimana penggunaan bahasa itu dapat dipengaruhi oleh konteksnya. Di
dalam kelas, konteks itu bisa berupa pembicaraan dalam pelajaran, sosialisasi
antar siswa terhadap sejarah dan lembaga pendidikan. Analisis
classroom discourse menjadi analisis yang kritis ketika peneliti kelas
mengambil efek dari konteks variabel tersebut untuk dijadikan pertimbangan dalam
analisis mereka.
Classroom
discourse berkaitan erat dengan teks dan konteks. Teks itu tidak hanya
berupa tulisan saja akan tetapi juga harus mengandung konteks. Konteks
merupakan pemahaman yang didapatkan oleh seorang dalam memahami sebuah teks. Dari situlah
seorang pembaca dapat menentukan makna dari teks tersebut. Di sisi lain, classroom discourse
merupakan suatu hal yang sangat complicated. Hal ini disebabkan karena adanya interaksi
di dalam kelas itu sendiri. Dalam
bukunya Drs. Soetomo istilah interaksi adalah suatu hubungan timbal balik
antara orang satu dengan orang lainnya. Yang terpenting
dalam interaksi itu adalah adanya kontak dan komunikasi diantara orang-orang
tersebut. Akan tetapi lain halnya jika
pengertian interaksi ini kita hubungkan dengan proses belajar mengajar. Di
dalam interaksi belajar mengajar, hubungan timbal balik antara guru harus bersifat
edukatif (mendidik) yang mana interaksi itu harus diarahkan pada suatu tujuan
tertentu yang bersifat mendidik yaitu adanya perubahan tingkah laku anak didik
kearah kedewasaan.
Dalam interaksi belajar mengajar,
seorang guru sebagai pengajar akan berusaha secara maksimal dengan menggunakan
berbagai ketrampilan dan kemampuannya agar anak dapat mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu, guru harus dapat menciptakan situasi dimana anak dapat
belajar dengan nyaman dan menyenangkan, sebab sebenarnya proses belajar
mengajar itu belum dapat dikatakan berakhir jika anak belum dapat belajar dan
belum mengalami perubahan tingkah laku. Karena perubahan tingkah laku itu
sendiri merupakan hasil belajar. Perubahan tingkah laku dapat diartikan
perubahan-perubahan yang mencakup tiga aspek tingkah laku manusia, yaitu aspek
kognitif, aspek psikomotorik, dan aspek afektif. Pada prinsipnya, interaksi
belajar mengajar membutuhkan adanya perencanaan dan persiapan yang matang, baik
itu perencanaan maupun persiapan diri, karena perencanaan dan persiapan yang
matang akan mengurangi hambatan-hambatan yang muncul dalam proses belajar
mengajar, bahkan akan lebih memotivasi anak untuk melakukan belajar secara
efektif dan efisien.
Dalam interaksi
belajar mengajar, seorang guru memegang peranan yang menentukan, karena walau bagaimanapun
keadaan sistem pendidikan di sekolah, baik itu keadaan sarana dan prasarana maupun
anak didiknya, pada akhirnya bergantung pada cara bagaimana guru tersebut memanfaatkan
semua komponen yang ada. Hal ini dikarenakan metode dan keputusan guru dalam
interaksi belajar mengajar akan sangat menentukan keberhasilan anak untuk
mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pada proses pelaksanaan pendidikan
di sekolah, guru mempunyai tugas atau kewajiban serta adab guru dalam
membimbing anak didiknya agar mencapai tujuan yang diharapkan, di mana semuanya
sangat menentukan keberhasilan anak dalam mencapai tujuan adanya perubahan
tingkah laku siswa sebagai hasil belajar.
Seperti halnya guru yang mengajarkan tentang nilai-nilai toleransi antar
umat beragama. Sebagaimana kita ketahui bahwa
Indonesia itu merupakan negara yang kaya akan suku bangsa, budaya, bahasa dan
agamanya. Jadi seyogyanya seorang guru harus mampu mengajarkan dan menciptakan
rasa toleransi terhadap siswanya agar mereka dapat saling bertoleransi dan menghargai
satu sama lain terutama di dalam kelas, baik itu hubangan antara siswa yang seagama maupun
yang berbeda agamanya.
Ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi interaksi di dalam suatu kelas, antara lain:
1)
Background (Latar belakang)
Latar belakang siswa
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya interaksi di dalam
suatu kelas. Hal ini disebabkan karena
setiap siswa pasti memiliki latar belakang
yang berbeda, entah dari segi keluarga, pengalaman, kemampuan,
bakat, maupun motivasinya.
Selain itu, mereka juga memiliki karakteristik
yang berbeda baik
itu hal usia, jenis kelamin, ataupun status sosial ekonomi.
2)
Communicative strategies
Komunikasi
adalah faktor yang paling penting dalam sebuah interaksi. Strategi komunikasi adalah suatu cara
untuk mengatur pelaksanaan proses komunikasi sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi,
untuk mencapai suatu tujuan.
Di bawah ini tujuan dari strategi
komunikasi, antara lain :
a.
Pesan mudah dipahami secara benar;
b.
Penerima pesan dapat dibina dengan baik;
c.
Kegiatan dapat termotivasi untuk dilakukan.
Hal ini sebagaimana beraitan dengan pendapat yang
diungkapkan oleh Dallas Burnet dalam bukunya yang berjudul “Techniques for
Effective Communication”, menyatakan bahwa tujuan sentral dari kegiatan
komunikasi terdiri atas tiga tujuan utama, yaitu : to secure understanding
(komunikan mengerti akan pesan yang diterimanya), to establish acceptance
(penerimaan pesan oleh komunikan), to motivate action (kegiatan memotivasi).
3)
Meaning making practice
Setiap siswa pasti memiliki
alasan yang berbeda-beda ketika mereka berada di dalam kelas. Ada yang
sungguh-sungguh ingin belajar dan ada pula yang hanya sekedar ingin duduk dan
tidak serius dalam belajar. Selain itu,
mereka juga memiliki pengertian yang berbeda-beda terhadap suatu hal, sehingga hal
inilah yang akan mempengaruhi bagaimana
seorang siswa itu bertindak dan bersikap di dalam kelas. Ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi hal tersebut, diantaranya yaitu faktor ideology (ideologi) dan
value (nilai). Value ini dapat
mempengaruhi bagaimana sikap siswa di dalam kelas, apakah mereka termasuk siswa
yang baik, disiplin, jujur, ataupun sebaliknya.
Yang membedakan antara bangsa kita dan Amerika ialah dari segi tingkat
kedisiplinannya. Mayoritas orang-orang Amerika
memiliki jiwa kedisiplinan yang tinggi, lain halnya dengan masyarakat
Indonesia. Mereka sangat menghargai
waktu, makannya mereka selalu melaksanakan segala aktivitas mereka tepat pada
waktunya atau on time. Sebaliknya, sebagian besar masyarakat
Indonesia justru malah sering terlambat melaksanakan aktivitasnya karena mereka
selalu menunda-nunda waktu.
Menurut Vivian Gussin
Paley dalam bukunya Betsy Rymes, mengatakan bahwa mereka yang menganggap semua
abnalisis pada buku itu akan menuju “talk” (perbincangan). Siswa mempunyai starting point yang
berbeda-beda dalam kelas. Perbincangan (talk) seorang siswa dengan siswa
lainnya di dalam kelas akan menjadi sebuah proses untuk saling mengenal
karakter dari masing-masing siswa satu sama lain. Selain itu, konflik juga kebanyakan timbul
dari adanya “talk” (perbincangan). Mesipun demikian, “talk” merupakan hal penting
dalam literasi, karena literasi itu ujung-unjungnya adalah “talk”.
Setidaknya ada empat
alasan mengapa guru perlu menganalisis pembicaraan (talk) di dalam suatu
kelas, diantaranya :
1.
Mutuality : saling memahami atau
pengertian antara guru dan siswanya.
2.
Locality : guru mampu memahami
perbedaan lokal talk di dalam kelasny.
3.
Academic achievement improves : guru
dapat meningkatkan prestasi akademiknya.
4.
Foster an intrinsic and lifelong
love for the practice of teaching : dengan adanya proses analisis classroom
discourse dapat menumbuhkan rasa cinta intrinsik dalam praktek mengajar
serta dapat meningkatkan potensi guru.
Dari
uraian di atas dapat disimpulan bahwa dengan memahami classroom discourse, secara umum kita dapat memahami perbedaan komunikasi antara suatu individu dengan invidu lainnya, maupun
antara kelompok satu dengan kelompok sosial lainnya. Selain itu, dengan
memahami classroom discourse juga, guru atau dosen dapat menyesuaikan strategi
komunikasi guru dengan siswa yang memiliki background atau latar belakang yang
berbeda-beda, dengan begitu proses pembelajaran guru dan siswa didalam kelas
dapat diterima dan dipahami oleh siswanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic