We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Kamis, 06 Maret 2014

Kesunyian Mengajarkan Arti Sesungguhnya (Class Review 4)


Ku terdiam dalam gelapnya malam.  Dinginnya angin malam merasuki jiwaku.  Suara riuh terdengar begitu silih berganti.  Itu sudah biasa ku dengar.  Di kala itu semua tidak ada hampa terasa, karena malam-malamku selalu ditemani kebisingan.  Hingga pada suatu malam di segala penjuru, tak ada seorang pun yang melawati jalan depan rumahku.  Lengang ku rasa.  Hampa ku rasa.  Namun ketika kesunyian melanda jiwaku, hatiku merasa tentram dan damai.  Suasana seperti inilah yang bisa membuatku berpikir dengan jernih.  Bagiku, suasana malam menjelang pagi adalah saat-saat terindah untuk aku nikmati.  Sungguh suasana yang sangat menenggelamkan segala kegelisahan dan kekacauan pikiranku.  Aku semakin percaya bahwa memang benar bahwa Allah memuliakan sepertiga malam terakhir bagi orang-orang yang hendak beribadah kepada-Nya.  Saat itulah diri kita merasa sendirian kecuali Sang Khalik yang selalu terjaga menemani kita.  Saat itu pulalah kita merasa bahwa diri kita bukanlah apa-apa.  Kesunyian mengajarkan arti sesungguhnya bagiku sebab dalam kesunyian akan hadir sebuah ketenangan dan kedamaian di dalam jiwaku.  Tiada waktu yang paling indah bagiku kecuali di sepertiga malam terakhir itu.

            Kala itu ku mulai membuka lembaran buku catatan harian ku.  Ku torehkan tinta hitam di dalamnya berisikan materi tentang pertemuan ke-4 kami pada mata kuliah “Writing 4”.  Pada pertemuan minggu ini Mr. Lala Bumela, M.Pd menjelaskan materi tentang “classroom discourse”. Materi tersebut merupakan tema dari critical review yang kami kritik minggu lalu dari sebuah artikel yang berjudul Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” buah karya Prof. A. Chaedar Alwasilah.
Masih hangat di benak kita bahwa Hyland dalam bukunya mengatakan, “literacy is something we do. Literasi itu adalah sesuatu yang kita lakukan.  Kata “do” disini dapat diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan “religion harmony” dan hal itu harus diajarkan dalam classroom discourse.  Bagi pak Lala, classroom dianggap sebagai “secred site” yang artinya situs suci.  Di dalam situs ini terdapat berbagai macam ritual.  Hal ini jika diibaratkan seperti halnya mahasiswa yang ingin mengikuti mata kuliah beliau, mereka harus menyiapkan passport terlebih dahulu agar bisa mengikuti pertemuan selanjutnya.  Tentunya bagi mereka yang telah melengkapi passport tersebut, merekalah yang bisa langsung mengikuti kelas beliau.
            Menurut Betsy Rymes dalam bukunya yang berjudul “Classroom Discourse Analysis_A Tool for Critical Reflection”, mengatakan bahwa secara luas, seluruh wacana buku didefinisikan sebagai “language- in- use” atau penggunaan bahasa.  Sedangkan  analisis wacana, adalah studi tentang bagaimana penggunaan bahasa itu dapat dipengaruhi oleh konteksnya.   Di dalam kelas, konteks itu bisa berupa pembicaraan dalam pelajaran, sosialisasi antar siswa terhadap sejarah dan lembaga pendidikan.   Analisis classroom discourse menjadi analisis yang kritis ketika peneliti kelas mengambil efek dari konteks variabel tersebut untuk dijadikan pertimbangan dalam analisis mereka.    
            Classroom discourse berkaitan erat dengan teks dan konteks. Teks itu tidak hanya berupa tulisan saja akan tetapi juga harus mengandung konteks. Konteks merupakan pemahaman yang didapatkan oleh seorang dalam memahami sebuah teks.  Dari situlah seorang pembaca dapat menentukan makna dari teks tersebut.  Di sisi lain, classroom discourse merupakan suatu hal yang sangat complicated.   Hal ini disebabkan karena adanya interaksi di dalam kelas itu sendiri.  Dalam bukunya Drs. Soetomo istilah interaksi adalah suatu hubungan timbal balik antara orang satu dengan orang lainnya.  Yang terpenting dalam interaksi itu adalah adanya kontak dan komunikasi diantara orang-orang tersebut.  Akan tetapi lain halnya jika pengertian interaksi ini kita hubungkan dengan proses belajar mengajar. Di dalam interaksi belajar mengajar, hubungan timbal balik antara guru harus bersifat edukatif (mendidik) yang mana interaksi itu harus diarahkan pada suatu tujuan tertentu yang bersifat mendidik yaitu adanya perubahan tingkah laku anak didik kearah kedewasaan.


Dalam interaksi belajar mengajar, seorang guru sebagai pengajar akan berusaha secara maksimal dengan menggunakan berbagai ketrampilan dan kemampuannya agar anak dapat mencapai tujuan yang diharapkan.  Oleh karena itu, guru harus dapat menciptakan situasi dimana anak dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan, sebab sebenarnya proses belajar mengajar itu belum dapat dikatakan berakhir jika anak belum dapat belajar dan belum mengalami perubahan tingkah laku. Karena perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Perubahan tingkah laku dapat diartikan perubahan-perubahan yang mencakup tiga aspek tingkah laku manusia, yaitu aspek kognitif, aspek psikomotorik, dan aspek afektif. Pada prinsipnya, interaksi belajar mengajar membutuhkan adanya perencanaan dan persiapan yang matang, baik itu perencanaan maupun persiapan diri, karena perencanaan dan persiapan yang matang akan mengurangi hambatan-hambatan yang muncul dalam proses belajar mengajar, bahkan akan lebih memotivasi anak untuk melakukan belajar secara efektif dan efisien.
Dalam interaksi belajar mengajar, seorang guru memegang peranan yang menentukan, karena walau bagaimanapun keadaan sistem pendidikan di sekolah, baik itu keadaan sarana dan prasarana maupun anak didiknya, pada akhirnya bergantung pada cara bagaimana guru tersebut memanfaatkan semua komponen yang ada. Hal ini dikarenakan metode dan keputusan guru dalam interaksi belajar mengajar akan sangat menentukan keberhasilan anak untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pada proses pelaksanaan pendidikan di sekolah, guru mempunyai tugas atau kewajiban serta adab guru dalam membimbing anak didiknya agar mencapai tujuan yang diharapkan, di mana semuanya sangat menentukan keberhasilan anak dalam mencapai tujuan adanya perubahan tingkah laku siswa sebagai hasil belajar.  Seperti halnya guru yang mengajarkan tentang nilai-nilai toleransi antar umat beragama.  Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia itu merupakan negara yang kaya akan suku bangsa, budaya, bahasa dan agamanya. Jadi seyogyanya seorang guru harus mampu mengajarkan dan menciptakan rasa toleransi terhadap siswanya agar mereka dapat saling bertoleransi dan menghargai satu sama lain terutama di dalam kelas, baik itu  hubangan antara siswa yang seagama maupun yang berbeda agamanya. 
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi interaksi di dalam suatu kelas, antara lain:
1)      Background (Latar belakang)
Latar belakang siswa merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya interaksi di dalam suatu kelas.  Hal ini disebabkan karena setiap siswa pasti memiliki latar belakang yang berbeda, entah dari segi keluarga, pengalaman, kemampuan, bakat, maupun motivasinya.  Selain itu, mereka juga memiliki karakteristik yang berbeda baik itu hal usia, jenis kelamin, ataupun status sosial ekonomi.
2)       Communicative strategies
Komunikasi adalah faktor yang paling penting dalam sebuah interaksi. Strategi komunikasi adalah suatu cara untuk mengatur pelaksanaan proses komunikasi sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi, untuk mencapai suatu tujuan.
Di bawah ini tujuan dari strategi komunikasi, antara lain :
a.       Pesan mudah dipahami secara benar;
b.      Penerima pesan dapat dibina dengan baik;
c.       Kegiatan dapat termotivasi untuk dilakukan.
Hal ini sebagaimana beraitan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Dallas Burnet dalam bukunya yang berjudul “Techniques for Effective Communication”, menyatakan bahwa tujuan sentral dari kegiatan komunikasi terdiri atas tiga tujuan utama, yaitu : to secure understanding (komunikan mengerti akan pesan yang diterimanya), to establish acceptance (penerimaan pesan oleh komunikan), to motivate action (kegiatan memotivasi).
3)      Meaning making practice
Setiap siswa pasti memiliki alasan yang berbeda-beda ketika mereka berada di dalam kelas. Ada yang sungguh-sungguh ingin belajar dan ada pula yang hanya sekedar ingin duduk dan tidak serius dalam belajar.  Selain itu, mereka juga memiliki pengertian yang berbeda-beda terhadap suatu hal, sehingga hal inilah  yang akan mempengaruhi bagaimana seorang siswa itu bertindak dan bersikap di dalam kelas. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut, diantaranya yaitu faktor ideology (ideologi) dan value (nilai).  Value ini dapat mempengaruhi bagaimana sikap siswa di dalam kelas, apakah mereka termasuk siswa yang baik, disiplin, jujur, ataupun sebaliknya.  Yang membedakan antara bangsa kita dan Amerika ialah dari segi tingkat kedisiplinannya.  Mayoritas orang-orang Amerika memiliki jiwa kedisiplinan yang tinggi, lain halnya dengan masyarakat Indonesia.  Mereka sangat menghargai waktu, makannya mereka selalu melaksanakan segala aktivitas mereka tepat pada waktunya atau on time.  Sebaliknya, sebagian besar masyarakat Indonesia justru malah sering terlambat melaksanakan aktivitasnya karena mereka selalu menunda-nunda waktu.
Menurut Vivian Gussin Paley dalam bukunya Betsy Rymes, mengatakan bahwa mereka yang menganggap semua abnalisis pada buku itu akan menuju “talk” (perbincangan).  Siswa mempunyai starting point yang berbeda-beda dalam kelas. Perbincangan (talk) seorang siswa dengan siswa lainnya di dalam kelas akan menjadi sebuah proses untuk saling mengenal karakter dari masing-masing siswa satu sama lain.  Selain itu, konflik juga kebanyakan timbul dari adanya “talk” (perbincangan).  Mesipun demikian,  “talk” merupakan hal penting dalam literasi, karena literasi itu ujung-unjungnya adalah “talk”.
Setidaknya ada empat alasan mengapa guru perlu menganalisis pembicaraan (talk) di dalam suatu kelas, diantaranya :
1.      Mutuality :  saling memahami atau pengertian antara guru dan siswanya.
2.      Locality    :  guru mampu memahami perbedaan lokal talk di dalam kelasny.
3.      Academic achievement improves  :  guru dapat meningkatkan prestasi akademiknya.
4.      Foster an intrinsic and lifelong love for the practice of teaching :   dengan adanya proses analisis classroom discourse dapat menumbuhkan rasa cinta intrinsik dalam praktek mengajar serta dapat meningkatkan potensi guru.
Dari uraian di atas dapat disimpulan bahwa dengan memahami classroom discourse, secara umum kita dapat memahami perbedaan komunikasi antara suatu individu dengan invidu lainnya, maupun antara kelompok satu dengan kelompok sosial lainnya. Selain itu, dengan memahami classroom discourse juga,  guru atau dosen dapat menyesuaikan strategi komunikasi guru dengan siswa yang memiliki background atau latar belakang yang berbeda-beda, dengan begitu proses pembelajaran guru dan siswa didalam kelas dapat diterima dan dipahami oleh siswanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic