Class Review 6
Mengusir
malas
Hai malas yang mengungkungku
Kuinging menghancurkanmu
Karena kau telah menelan masaku
Hai malas yang selalu lekat menyelingkup tubuhku
Pada tiap sisi ruang dan waktu.
Bodohnya aku tak kuasa menepis keangkuhanmu
Meski telah ku upayakan
Tak bertegur sapa denganmu
Kau terus saja menggapai-gapai menari
Setiap langkah yang terarah melawanmu
Magnet kemalsan pasang kuda-kuda menjeratku
Kurasa kantuk, berkeringat, pusing dan pegal
Menyeretku ke pembaringan
Melenakanku dalam mimpi
Oh...
Kemalasan enyahlah
Sepertinya
penyakit ini masih melekat pada diri, sangat sulit untuk melepaskannya. Ingin rasanya
seperti mereka, bersemangat untuk menghargai waktu. Mengeluh juga tak ada arti,
walaupun sudah kehabisan kata-kata dan tak tahu mau menulis apa. Tanpa ada
motivasi dari orangtua mungkin saya sudah angkat tangan. Malam ini bertarung
lagi melawan lelah, kantuk, dan sakit. Mencoba mengingat perkuliahan pada
tanggal 11 Maret 2014, suasana tegang kembali saya rasakan ketika Mr.Lala
Bumela masuk kelas.
Menu
pembuka kali ini membahas mengenai pentingnya lierasi dalam sebuah sejarah,
sebagai contohnya buku karya Howard Zinn yang menguak ceruk baru dalam
kebohongan sebuah sejarah dengan fakta tertulis. Pembahasan ini akan di kaitkan
dengan ideologi dan values. Ketika membaca buku karya Howard Zinn, kita mencari
ceruk baru di dalam cerita Columbus. Seorang penulis biasanya berawal dari
Emulate – Discover - Create.
Dalam slide awal,
tertulis :
Katanya, tugas mereka yang tercerahkan--kaum literat--adalah
meneroka ceruk ceruk 'baru' tempat pengetahuan dan keterampilan yang mereka
pungut, kumpulkan dan kuasai dalam perjalanan hidupnya sebagai bagian sederhana
dari cinta mereka pada pengetahuan dan pemberi pengetahuan. Mereka yang hanya
baru tahu teori ini dan itu dari 'suara-suara penuh kuasa' di bidang yang
mereka geluti, belumlah dapat dikatakan yang tercerahkan--literat; mereka baru pada
fase awal; peniru. Meniru adalah bagian penting dari menemukan lalu
menciptakan, dari memahami affordance dan meaning potential tanda tanda
yang terserak, yang dibaca dengan teori ini dan itu. Yang berbahaya adalah
ketika kita merasa sudah mendesiminasi, pun meneroka padang-padang baru tempat
segala teori yang dipahami digunakan, padahal kita baru sampai pada tahap
meniru. Lalu kita dengan pongahnya mengatakan 'ini salah itu tak benar",
tanpa dasar yang 'tak bergetar' pada mereka yang berada di titik awal menjadi
peniru. Kita merasa bahwa hapal saja teori ini dan itu, telah membuat kita menjadi
bagian dari "Rejim kebenaran tak terbantahkan". Begitu banyak yang harus
dipelajari, dipahami lalu dimaknai; lebih banyak dari alasan menjadi sombong
sebab apa yang baru kitasedikit ketahui.
Maksudnya
adalah kita berawal menjadi seorang peniru untuk menemukan sesuatu hal yang
baru, kemudian membuatnya menjadi sebuah karya yang dapat memberi pengetahuan
kepada khalayak. Ketika membaca sejarah mengenai Columbus, kita mencari
ceruk-ceruk baru. Seperti, mengapa Columbus harus ke india? Karena di India
memiliki teknologi-teknologi canggih yang tidak di miliki oleh negara lain. Inilah
ceruk baru yang dimaksud yaitu adanya teknologi. Menurut Fowler (1996 : 10) bahwa
kita belajar literasi seperti para sejarawan yang harus memahami nilai-nilai seperti sosial, ekonomi, politik, diakroni,
merubah nilai-nilai dan informasi.
Memahami nilai sosial
Organ-organ
masyarakat adalah semua komponen yang membentuk masyarakat. Komponen-komponen
tersebut berupa kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga sosial atau institusi
sosial. Organ-organ tersebut berfungsi sebagai wadah bagi anggota masyarakat
yang mengusahakan nilai-nilai tertentu menjadi wujud nyata dan dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tempat yang diberikan masyarakat kepada
setiap anggotanya ditentukan oleh tinggi rendahnya wujud nilai sosial yang
diusahakan. Sesuai dengan sifat manusia yang dinamis, penempatan posisi yang
aktual dalam struktur tersebut tidak diperlakukan secara mutlak dan untuk
selamanya karena struktur hanya mencerminkan pandangan hidup masyarakat pada
waktu tertentu. Skema dari suatu struktur sosial selalu berubah sejalan dengan
perkembangan zaman, kebutuhan, dan pandangan masyarakat tentang nilai-nilai
yang ada. Uraian tersebut sejalan dengan pernyataan A.Giddens (1976), yang menyatakan
bahwa struktur soaial adalah sumberdaya yang bisa memberdayakan sekaligus
membatasi masyarakatnya. Menurutnya, pada masa lalu kebanyakan pandangan
tentang struktur sosial terkonsentrasi pada ciri-ciri yang restriktif dan
membatasi. Bagi Giddens, kali ini jelas merupakan sebuah kekeliruan dalam
memahami bagaimana kekuatan dan struktur beroperasi dalam kehidupan sosial.
Memahami nilai politik
Sebagai
sebuah karya yang tidak terlepas dari faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhinya, sastra juga merupakan
sebuah mahakarya manusia yang tidak terlepas dari nilai-nilai dan ideologi,
baik ideologi dari si pengarang ataupun ideologi-ideologi luar yang
mempengaruhi perkembangan karya sastra itu sendiri. Salah satu fungsi dari
karya sastra adalah sebagai alat untuk penyampai ideologi, pengetahuan, dan nilai-nilai
sosial. Jonathan Culler dalam bukunya bahkan menuliskan bahwa karya sastra
berfungsi untuk mendidik masyarakat yang membacanya dan salah satu unsur
pendidikan dalam karya sastra tersebut adalah nilai-nilai ideologi.
Faktor
lain yang mempengaruhi perkembangan kesusastraan adalah politik, pengarang
dengan pandangan politik tertentu biasanya juga menyalurkan ideologi-ideologi
politiknya kedalam karya sastra yang dihasilkannya. Menurut Fowler
(1996:12) bahwa ideologi merupakan media atau sarana yang baik dan
instrumen proses sejarah. Ideologi ada dimana-mana bahkan di suatu teks baik
itu (lisan, tertulis, audio, visual atau kombinasi dari semua itu).
Setelah
kita tahu bahwa values itu sangat penting, kita juga tidak mengesampingkan
ideologi, karena dalam nilai-nilai terkandung ideologi. Ideologi adalah
seperangkat gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita yang membentuk
landasan teori ekonomi dan politik atau yang dipegangi olh seseorang atau
sekelompok orang menjadi suatu pegangan hidup. (A.S Hornby).
Sifat-sifat
ideologi antara lain :
Dimensi realitas
: nilai yang terkandung dalam dirinya bersumber dari nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat, terutama pada waktu ideologi itu lahir. Sehingga mereka
betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah milik
mereka bersama.
Dimensi idealisme
: ideologi itu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dimensi fleksibilitas
: ideologi itu memberikan penyegaran, memelihara dan memperkuat relevansinya
dari waktu kewaktu sehingga bersifat dinamis, demokratis.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa menulis sebuah teks harus didasari ideologi, karena
setiap pembaca memiliki persepsi yang berbeda untuk memaknai isi dari bacaan. Dengan
ideologi dan values yang terkandung didalamnya, maka pembaca akan memahami apa
makna yang terkandung dalam sebuah tulisan karena pada dasarnya literasi akan berujung dengan memaknai apa
yang ada dalam tulisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic