Hening…
puluhan pasang mata tunduk dengan sosok kokoh, sosok intelektual yang selalu merangsang jari-jemari kita untuk mengukir paradigma baru, mengukir sejarah baru. Saat ideologi berteman dengan perspektif yang berbeda, saat ideologi terkontaminasi dengan dogma-dogma ilmiah dan saat itulah penyucian ideologi di lakukan. Bahkan semuanya terlihat begitu nyata ketika semua ideologi kita berkumpul dalam ruang kelas, sosok itu adalah Mr. Lala Bumela yang mampu mengaktifkan berbagai ideologi. Kini, di tanggal 11 Maret 2014 Mr. Lala Bumela kembali menebarkan risalahnya dengan tema yang mengaitkan “Analysis wacana dengan ideology”.
puluhan pasang mata tunduk dengan sosok kokoh, sosok intelektual yang selalu merangsang jari-jemari kita untuk mengukir paradigma baru, mengukir sejarah baru. Saat ideologi berteman dengan perspektif yang berbeda, saat ideologi terkontaminasi dengan dogma-dogma ilmiah dan saat itulah penyucian ideologi di lakukan. Bahkan semuanya terlihat begitu nyata ketika semua ideologi kita berkumpul dalam ruang kelas, sosok itu adalah Mr. Lala Bumela yang mampu mengaktifkan berbagai ideologi. Kini, di tanggal 11 Maret 2014 Mr. Lala Bumela kembali menebarkan risalahnya dengan tema yang mengaitkan “Analysis wacana dengan ideology”.
Menulis, seperti yang kita lihat
memang tak mudah untuk dilakukan. Perlu adanya wawasan dan pemahaman yang
mumpuni. Ini seperti yang kita lihat dalam kondisi kelas kita, penganalisisan
dalam mencapai asas pemahaman memang belum berada pada level of relevance. Kita masih belum mampu untuk mengaitkan
“menulis discourse” dengan aspek lainnya, yang menjadi pembahasan. Jika kita
ingat apa yang terjadi dengan tulisan kita minggu lalu, tentunya hal tersebut
menjadi tolak ukur untuk kedepan dengan tidak lagi mengulangi hal yang sama
dalam memahami sejarah Christopher Colombus. Kita terjebak dalam naluri kita
untuk menulis dengan kata-kata dramatis, tapi kita tak meletakkan thesis
statement di awal yang akan menjadi pembahasan di paragraph selanjutnya.
Thesis Statement (TS) adalah ide utamanya. Pernyataan tesis dari esai adalah pernyataan satu atau
dua kalimat yang mengungkapkan gagasan utama ini. Pernyataan tesis
mengidentifikasi topik penulis dan pendapat penulis memiliki topik sekitar yang
akan dibahas (baca di: The Writing Center
Pasadena City College. Revised
3/24/03). Dalam artian ini, tesis merupakn hal utama dalam mengembangkan
suatu teks yang kan dibahas.
Pembahasan berikutnya dalam proyek analisis sejarah Columbus,
ada
beberapa hal kita mungkin tak mampu menuliskannya: memutuskan tesis dan menghubungkan topik dan tesis dengan tema
sejarah Columbus. Debat dan diplomasi dalam Sejarah: memanipulasi sejarah, penyembunyian identitas asli Columbus oleh Howard Zinn, perekrutan dogma dalam sejarah Amerika. Tesis ini adalah apa yang akan kita coba untuk membuktikan dalam proyek kita kedepan. Sejarawan tidak hanya menuliskan daftar acara atau menggambarkan segala sesuatu yang terjadi. Mereka meneliti dan menganalisa bukti-bukti sejarah dan kemudian menarik kesimpulan tentang penyebab (mengapa sesuatu terjadi), dampak (hasil, warisan), dan signifikansi (pentingnya, berarti). Dengan kata lain, mereka mengembangkan tesis (argumen) dan kemudian menunjukkan mengapa tesis mereka benar.
Jangan
bingung dengan topik dan tesis. Topik adalah sebuah waktu, tempat, dan jenis sejarah kita jelajahi, tapi itu tidak menunjukkan tentang teori apa-apa atau kesimpulan. Sebuah pernyataan tesis singkat satu sampai tiga kalimat akan muncul pada awal kertas proses kita, dalam proyek yang sejarah Columbus, atau keduanya. Pernyataan tesis harus mengatakan mengapa atau bagaimana kita berpikir sesuatu yang berhubungan dengan topik yang terjadi. Tesis ini memberikan fokus untuk penelitian dan proyek kita. Setelah pernyataan tesis awal, sisa proyek kita harus mendukung, menjelaskan, mendiskusikan dan membuktikan tesis kita.
(lihat: Developing a Thesis Statement and Writing
a Thesis Statement).
Sesuai dengan
perkataan beliau dalam Quote of the Day, mengenai apa yang menjadi fokus posisi
kita saat ini dalam menulis.
“katanya, tugas mereka yang
tercerahkan--kaum literat--adalah meneroka ceruk ceruk 'baru' tempat
pengetahuan dan keterampilan yang mereka pungut, kumpulkan dan kuasai dalam
perjalanan hidupnya sebagai bagian sederhana dari cinta mereka pada pengetahuan
dan pemberi pengetahuan. Mereka yang hanya baru tahu teori ini dan itu dari
'suara-suara penuh kuasa' di bidang yang mereka geluti, belumlah dapat
dikatakan yang tercerahkan--literat; mereka baru pada fase awal; peniru. Meniru
adalah bagian penting dari menemukan lalu menciptakan,
dari memahami affordance dan meaning potential tanda tanda yang terserak, yang
dibaca dengan teori ini dan itu. Yang berbahaya adalah ketika kita merasa sudah
mendesiminasi, pun meneroka padang-padang baru tempat segala teori yang
dipahami digunakan, padahal kita baru sampai pada tahap meniru. Lalu kita
dengan pongahnya mengatakan 'ini salah itu tak benar", tanpa dasar yang
'tak bergetar' pada mereka yang berada di titik awal menjadi peniru. Kita
merasa bahwa hapal saja teori ini dan itu, telah membuat kita menjadi bagian
dari "Rejim kebenaran tak terbantahkan". Begitu
banyak yang harus dipelajari, dipahami lalu dimaknai; lebih banyak dari alasan
menjadi sombong sebab apa yang baru kita sedikit ketahui”.
Ayat utama yang
dijelaskan dalam Quote tersebut, menjelaskan bahwa kita tak semestinya puas
dengan posisi kita saat ini sebagai penulis ulung yang belum mampu tercerahkan
oleh kaum literat lain. Masih banyak serpihan pengetahuan yang harus kita
pungut kembali dari otak para literat. Posisi awal kita berada dalam fase meniru (emulate), meniru adalah bagian penting dari menemukan (discover) lalu
menciptakan (create), dari memahami
affordance dan meaning potential tanda tanda yang terserak, yang dibaca dengan
teori ini dan itu.
Dalam menuliskan
sebuah teks pun demikian, masih banyak hal yang belum kita pahami. Kaitannya
dengan tak memutuskan tesis dan topik dalam pembahasan awal, kita terpelosok
dalam “naluri” kita untuk menulis di awal dengan pembahsan lain dan meletakkan
tesis yang terserak oleh kalimat lain. Dalam kata affordance, kita menghasilkan sesuatu yang baru dalam tulisan
dengan cara dipelajari, dipahami dan di makanai. Memaknai dalam jangka panjang
akan menjadi literasi, ini yang akan tercerahkan kaum kita.
Meskipun demikian, kita harus meninjau catatan kita dan melakukan penelitian lebih lanjut sebelum kita bisa mengembangkan tesis yang lebih kuat. Jika kita menjelajahi topik yang sama sekali baru bagi kita, kita akan perlu melakukan cukup banyak penelitian sebelum kita memutuskan tesis kita, bahkan jika kita sudah akrab dengan topik, kita mungkin perlu penelitian untuk memahami topik yang berkaitan dengan tema. Apakah kita mulai mengetahui tentang topik atau memilih yang baru lalu kita kaitkan
dengan konteks yang ada, sekarang saatnya untuk kembali menganalisis wacana
dengan benar.
Dalam menganalisis wacana, disini kita menggunakan
pendekatan dengan menggunakan buku Critical
Linguist [R. Fowler dan Hodge B (1979)]
dalam R. Fowler et al (Eds.).
Critical Linguistics merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap
relasi-relasi kuasa tersembunyi (hidden power) dengan proses-proses
ideologis yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal,
1991:90). Analisis linguistik belaka diyakini tidak dapat mengungkapkan
signifikansi kritis. Menurut Fowler (1986:6) hanya analisis kritis yang
merealisasikan “teks sebagai modus wacana” serta memperlakukan teks sebagai
wacana yang akan dapat melakukannya. CL mengarahkan teori
bahasa ke dalam fungsi-fungsi yang sepenuhnya dan dinamik dalam konteks
historis, sosial, dan retoris.
Fowler sang pelopor secara terang-terangan
mengatakan bahwa pikiran-pikiran Halliday mendasari pengembangan linguistic
ini. Untuk menganalisisnya, diperlukan analisis linguistik yang tidak
semata-mata deskriptif. Linguistik kritis amat relevan digunakan untuk
menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni adanya
ketidaksetaraan relasi antarpartisipan, seperti komunikasi dalam politik,
relasi antara atasan-bawahan, komunikasi dalam wacana media massa, serta relasi
antara laki-laki dan perempuan dalam politik gender. Menurut Fowler (1996:5),
model linguistik itu sangat memerhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar
misrepresentasi dan diskriminasi dalam pelbagai modus wacana publik. Beberapa
pandangan Halliday yang berpengaruh terhadap pengembangan linguistik kritis
dipaparkan berikut.
- Pandangan tentang Sifat Instrumental dalam Linguistik
Istilah linguistic instrumental dimunculkan sebagai
penjabaran pandangan Halliday tentang konsep instrumental dalam linguistic
fungsional-sistemik. Menurut Fowler (19- 96), linguistic fungsional sistemik
mempunyai dua pengertian: (1) linguistik fungsional berangkat dari premis bahwa
bentuk bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa dan (2) linguistik
fungsional berangkat dari pandangan bahwa bentuk linguistic akan merespon
fungsi-fungsi linguistik itu.
Critical Linguist memberikan landasan yang kokoh
untuk menganalisis penggunaan bahasa yang nyata antara lain dalam politik,
media massa, komunikasi multikultural, perang, iklan, dan relasi gender. Fowler
sudah merumuskan sebuah analisis wacana publik, yakni sebuah analisis yang
dirancang untuk (i) memperoleh atau menemukan ideology yang dikodekan secara
implisit di belakang proposisi yang jelas (overt propositions), dan (ii)
mengamati ideologi secara khusus dalam konteks pembentukan sosial (Fowler,
1996:3).
Pandangan instrumental
Halliday juga tampak pada pandangan Fowler tentang fungsi klasifikasi bahasa.
Menurut Fowler (1986:19), bahasa adalah medium efisien dalam pengodean
kategori- kategori sosial. Bahasa tidak hanya menyediakan kata-kata untuk
konsep-konsep tertentu, bahasa juga mengkristalisasikan dan menstabilisasikan
ide-ide itu. Fowler menunjukkan bahwa struktur bahasa yang dipilih menciptakan
sebuah jarring makna yang mendorong ke arah sebuah perspektif tertentu. Jaring
makna itu merupakan sebuah ideologi
atau teori dari penuturnya yang tentu
saja bukan berupa kategori alamiah. Jaring makna lebih merupakan kategori
kultural.
Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu
dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Butt et al., 1999:11).
Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal)
maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Di atas
konteks situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks
situasi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman
terhadap konteks situasi dan konteks budaya.
Jejak Halliday tersebut dapat ditemukan dalam
pandangan Fowler (1986:70) bahwa satuan bahasa dalam penggunaan yang nyata
lebih dari sekadar sebuah teks yang dibangun bersama-sama dengan konvensi
dasarnya, tetapi lebih banyak berupa wacana dari yang sudah dilahirkannya itu.
Fowler membedakan konsep teks dan wacana. Wacana dibangun dari teks dan konteks
. Untuk melihat bahasa sebagai teks membawa kita kepada kajian keseluruhan unit-unit
komunikasi yang dilihat sebagai struktur sintaksis dan semantik yang koheren
yang dapat diucapkan atau ditulis. Dalam pandangan kritis, teks dipandang
secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks. Dengan demikian,
teks dapat dipandang sebagai medium wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wacana
membawa kita kepada keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara
masyarakat yang menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks.
Gagasan
bahwa ideologi berada dalam teks yang diusulkan oleh Critical Linguistic telah ditentang oleh Fairclough (1992, 1995). Meskipun mengakui bahwa memang benar bentuk dan isi teks yang menanggung jejak proses ideologi dan struktur, Fairclough berpendapat bahwa tidak mungkin untuk 'membacakan' ideologi dari teks. Fairclough berpendapat pada Ideologi, terletak baik dalam struktur yang merupakan hasil dari peristiwa masa lalu dan kondisi untuk kejadian terkini, dan dalam peristiwa itu sendiri karena mereka mereproduksi dan mengubah struktur pendingin mereka. Mengenai wacana sebagai praktik sosial, Fairclough membahas wacana dalam kaitannya dengan ideologi dan kekuasaan. Dia mengambil pandangan bahwa ideologi yang berarti dalam pelayanan kekuasaan, yaitu ideologi adalah proposisi yang umumnya mencari asumsi sebagai tersirat dalam teks, yang berkontribusi untuk memproduksi atau mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak setara atau dominasi.
Asumsi sentral lain Critical Discourse
Analysis (CDA) dan Systemic Functional
Linguistics (SFL) adalah bahwa pembicara membuat pilihan mengenai kosa kata dan tata bahasa,
dan bahwa pilihan ini secara sadar atau tidak sadar "berprinsip dan
sistematis" (Fowler et al.,1979, hal. 188). Jadi pilihan yang ideologis
berbasis. Menurut Fowler et al. ( 1979), "hubungan antara bentuk dan isi tidak sewenang-wenang
atau konvensional,
tapi...bentuk menandakan isi" (hal. 188). Singkatnya, bahasa adalah
tindakan sosial dan itu didorong ideologis.
Setelah Halliday, praktisi CL ini melihat bahasa yang digunakan secara simultan melakukan tiga fungsi: ideasional, interpersonal, dan tekstual fungsi. Menurut Fowler (1991, p. 71), dan Fairclough (1995b, p. 25), sedangkan fungsi ideasional mengacu pada pengalaman para pembicara dari dunia dan fenomena,
fungsi antarpribadi mewujudkan penyisipan sikap pembicara sendiri dan evaluasi tentang fenomena tersebut, dan membangun hubungan antara pembicara dan pendengar. Instrumental untuk dua fungsi ini adalah fungsi tekstual. Ini adalah melalui fungsi tekstual bahasa yang speaker mampu menghasilkan teks yang dipahami oleh pendengar. Ini adalah fungsi yang memungkinkan menghubungkan wacana untuk co-teks
dan konteks di mana hal itu terjadi.
Pandangan Halliday tentang bahasa sebagai "tindakan sosial"
adalah pusat banyak praktisi CDA ( Chouliaraki & Fairclough , 1999;
Fairclough , 1989 , 1992 , 1993 , 1995b , 1995a ; Fowler et
al , 1979; . Fowler , 1991; Hodge & Kress , 1979). Menurut
Fowler et al. ( 1979), CL, seperti sosiolinguistik, menegaskan bahwa, "ada
hubungan yang kuat dan luas antara struktur bahasa dan struktur sosial"
(hal.185). Namun, dalam sosiolinguistik
" konsep 'bahasa' dan 'masyarakat' dibagi...sehingga seseorang dipaksa
untuk berbicara tentang 'hubungan antara kedua' ", untuk CL "bahasa merupakan
bagian integral dari proses sosial " (Fowler et al ., 1979, hal.
189 ).
Dalam buku “Perspectives in Politics and Discourse” yang ditulis Urszula Okulska dan Piotr Cap (2010: 178) menjelaskan juga tentang analisis wacana. Perspektif diakronis diadopsi dalam proyek adalah extention rentang waktu panjang (kritis) wacana-historis pendekatan didirikan mengacu pada komunikasi politik abad ke-20 , misalnya dengan Mass ( 1984) , Enlich (1989), Wodak et al. (1990, 1994, 1999). Eisigl dan Wodak 2001, Martin dan Wodak (2003), Wodak dan Weiss (2004), dan Wodak de CilliA ( 2006), Heer et al. ( 2008), atau Triandafyllidou , Wodak dan Krzyzanowski (2009). Hal ini juga menanggapi kebutuhan lama-diartikulasikan dalam linguistik kritis untuk menggunakan siaran bingkai historis-diakronis acuan, karena, sebagai Flower ( 1996:10 ) berpendapat, "koneksi spesifik tujuan dan metode dengan sejarah. "Adapun tujuan, dalam pandangannya , linguis kritis, seperti sejarawan
bertujuan untuk memahami [sinkron] nilai-nilai yang mendukung pembentukan sosial, ekonomi, dan politik. Adapun metode, salah satu aspek pada setiap tingkat, linguis kritis , seperti sejarawan, memperlakukan teks sebagai kedua jenis praktik diskursif (karakter, huruf, proklamasi, kisah parlemen) dan sebagai dokumen (sumber untuk kepercayaan lembaga, misalnya). Seperti histographer itu, linguis kritis krusial berkaitan dengan relativitas ideologis representasi ( fowler 1996:10 ).
Dalam hal ini sejarah juga merupakan
diagronik, karena berkenaan dengan
pendekatan terhadap bahasa dengan melihat perkembangan sepanjang waktu.
Diagronik adalah salah satu ideology pada teks, dan itu bisa berubah. Hal ini
juga sesuai dengan perkataan Fowler (1996: 12): "Ideologi ini tentu saja baik media dan alat proses sejarah." Ideologi mana-mana di setiap teks tunggal (lisan, tertulis, audio, visual atau kombinasi dari semua itu) (Fowler 1996). Begitu juga dengan value (nilai, norma) kita memahami value
dalam kehidupan kita (terkait dengan bahasa), value juga bisa berubah terkait
dengan perkembangan waktu dan hal ini bukan lah bersifat statis. Contohnya
dalam aturan yang di terapkan dalam formasi social, politik, maupun ekonomi di
masyarakat. Adakalanya aturan ini berubah seiring dengan perkembangan waktu.
Hal
tersebut juga sama dengan teks, Produksi teks tidak pernah netral! (Fairclough 1989; 1992; 1995; 2000; Lehtonen 2000). Artinya teks juga bisa berkembang
sesuai dengan konteks yang diciptakan, hal ini menunjukkan bahwa literasi tak
pernah netral (Alwasilah 2001; 2012). Oleh karena itu, membaca dan menulis selalu termotivasi secara ideologis. Menulis merupakan eksekusi dari pikiran yang di tuangkan
dalam tulisan, tulisan ini yang nantinya akan menghasilkan teks. Menulis di perguruan tinggi sering mengambil bentuk persuasi-meyakinkan orang lain bahwa kita memiliki hal yang menarik, sudut pandang logika pada subjek yang kita pelajari.
Persuasi adalah keterampilan kita berlatih secara teratur dalam kehidupan sehari-hari kita. dalam teks,
persuasif mengajak pembaca untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh penulis
dalam. Sedang kan dalam lisan, ini disebut komunikasi persuasif, komunikasi yang bertujuan untuk
mengubah atau memengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang sehingga bertindak
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator. (lihat di: (http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_persuasif). Di
perguruan tinggi, tugas kursus sering meminta Anda untuk membuat kasus persuasif secara tertulis.
Kita akan diminta untuk meyakinkan pembaca dengan sudut pandang kita. Bentuk persuasi, sering disebut argumen akademis, mengikuti pola diprediksi secara tertulis. Setelah pengenalan singkat dari topik, kita menyatakan sudut pandang kita pada topik secara langsung dan sering dalam satu kalimat. Kalimat ini adalah pernyataan tesis, dan berfungsi sebagai ringkasan dari argumen kita akan membuat di sisa kertas kita. Dalam
argumentasi, pengarang hanya mengharapkan pembaca mengakui pembenaran yang ada
dalam paragraf. Sedangkan dalam persuasi, pengarang mengharapkan pembaca
mengikuti perbuatan sesuai instruksi yang dianjurkan penulis. Perbedaan
karangan hortatoris dengan karangan lainnya adalah adanya unsur opini, data,
fakta, dan alasan sebagai penyokong opini tersebut. (lihat di Pengertian dan Contoh paragraph Persuasif).
Dalam
analisa wacana tersebut, memang sebenarnya kita sudah tahu bahwa kita
menganalisis berbagai wacana tersebut kaitannya untuk mendapatkan topic dan
thesis yang akan dituliskan. Jadi kembali lagi pada thesis, bahwa thesis sangat
diperlukan dalam menulis wacana. Dalam “The
Writing Center Pasadena City College (2003)” Pernyataan tesis melakukan dua fungsi:
Pertama, penulis membuat
tesis untuk fokus subjek esai. Jika penulis tidak dapat menyimpulkan gagasan
utama esai dalam satu atau dua kalimat, maka dia mungkin belum memahami topik
secara jelas. Dengan cara ini,
menulis pernyataan tesis tes kejelasan pemikiran penulis. Setelah penulis memutuskan fokus utama kertas,
pernyataan tesis tambahan berfungsi sebagai panduan untuk mengingatkan penulis
untuk menjaga esai terfokus dan terorganisir.
Kedua, adanya pernyataan
tesis yang baik membantu pemahaman pembaca. Sebuah tanda dari sebuah esai yang
terorganisir dengan baik adalah struktur tesis-support. Artinya, pernyataan
tesis mengumumkan topik esai, kemudian tubuh esai lebih lanjut menjelaskan dan
mendukung topik itu.
Dengan kata lain,
pernyataan tesis menciptakan harapan dalam pikiran pembaca tentang apa yang
akan mengikuti sisa esai. Ketika paragraf tubuh memenuhi harapan pembaca,
kertas terasa terorganisasi dengan baik dan konten masuk akal. Jika pernyataan
tesis menyesatkan, bagaimanapun, atau hilang sama sekali, tubuh kertas bisa
tampak membingungkan atau tidak relevan karena tidak dilihat dalam kaitannya
dengan topik keseluruhan kertas (tesis). Dengan demikian, pernyataan tesis ini penting
karena itu menjawab pertanyaan pembaca, "Mengapa kau menceritakan ini
padaku?"
Jadi
kesimpulannya untuk pembahasan thesis adalah:
1. memberitahu pembaca bagaimana Anda akan menafsirkan pentingnya materi pelajaran yang sedang dibahas.
2. Thesis adalah peta jalan untuk kertas, dengan kata lain,
ia memberitahu pembaca apa yang diharapkan dari sisa kertas.
3. Langsung menjawab pertanyaan diminta dari Anda. Tesis merupakan interpretasi dari pertanyaan atau subjek, bukan subjek itu sendiri. Subyek, atau topik, dari sebuah esai mungkin Perang Dunia II atau Moby Dick, tesis maka harus menawarkan cara untuk memahami perang atau novel.
4. Membuat klaim bahwa orang lain mungkin membantah.
5. Biasanya satu kalimat di suatu tempat di paragraf pertama Anda yang menyajikan argumen Anda kepada pembaca. Sisa kertas, tubuh esai, mengumpulkan dan mengatur bukti yang akan membujuk pembaca logika penafsiran Anda.
Tesis adalah hasil dari proses berpikir
yang panjang. Sebelum kita mengembangkan
argumen tentang topik apa saja, kita harus mengumpulkan dan mengatur bukti, mencari
kemungkinan hubungan antara fakta yang diketahui (seperti kontras mengejutkan
dan persamaan), dan berpikir tentang pentingnya hubungan ini.
Pada pertemuan kali ini pun kita melakukan contoh laporan
thesis seperti minggu lalu. kali ini kita diuji dengan pembuatan thesis dengan
waku singkat untuk membuktikan hasil feedback
dalam penjelasan mengenai thesis.
Proyek pembuatan thesis sesingkat
mungkin, benar-benar memutar mesin otak kita. karena dalam kategori ini kita harus
mendapatkan kategori “So What?” untuk bisa lulus tes, jika kita ini akan
berakhir dalam kritikan “how and why?”. Jika pembaca respon pertama adalah "how?" Atau "why?" Tesis kita mungkin terlalu terbuka dan kurang bimbingan bagi pembaca.
Jadi dalam pembahasan kali ini, memang
sebenarnya masih mengungkit kesalahan kita dalam menulis. Apalagi dalam
menentukkan thesis statement dan topic yang memang itu adalah hal utama dalam
menulis, tapi kita tak tepat meletakkan posisinya. Perlu adanya analisis lagi
dalam menulis wacana dan perlu melihat lagi struktur nya baik dalam segi
manapun. Seperti yang dijelaskan di atas tentang analisis wacana dalam ideologi,
memang sebenarnya wacana terkait dengan berbagai material yang ada di sekitar. Kita
harus pandai lagi menelusuri pikiran penulis yang tersembunya dalam ribuan
kalimat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic