Class review 6
Sudah tak terasa mata kuliah Writing and Composition 4 telah memasuki
minggu keenam. Berbagai kata untuk menggambarkan kelelahan dalam mengikuti mata
kuliah writing kali ini sepertinya telah habis. Nampaknya telah tersedia ruang
dalam dimensi di otakku untuk menerima jenis-jenis teks yang sulit-sulit, yang
tersedia di semester 4 ini, contohnya
critical review. Dari minggu ke minggu jemari dan otakku terus bekerja agar
dapat menyelesaikan tugas-tugas yang ada. Mengeluh pun sepertinya sudah tak
bisa. Lebih tepatnya kali ini aku bosan untuk mengeluh tidak bisa. Kali ini aku
hanya ingin mempersembahkan yang terbaik untuk tugas-tugasku di mk writing 4
ini. Aku hanya ingin do the best, persistance. Pertemuan minggu keenam ini diisi
dengan membahas banyak hal mengenai critical review.
1. Thesis
Statement
Tak
pernah bosan Pak Lala mengingatkan kami bahwa jangan pernah melupakan hal
terpenting dalam pembuatan teks, yaitu membuat dan meletakkan thesis statement dengan
benar dan tepat. Thesis statement adalah satu atau dua kalimat yang berisi
topik (topic), klaim (claim) dan alasan (reason). Kalimat yang bernama thesis
statement sebenarnya selalu ada di sebuah tulisan. Biasanya thesis statement
terletak di paragraf pertama, namun bisa juga terletak di akhir paragraf. Bentuk
thesis statement ini dapat tersurat dan tersirat. Hal ini dibutuhkan karena
klaim dan alasan topik harus dibuktikan pada bagian body of paragraph dan
pembuktian itu dijabarkan secara ringkas di dalam kesimpulan.
2. Keterkaitan
Praktik Literasi dan Sejarah
Literacy
practices change society
Praktik
Literasi adalah kerja-kerja peradaban
Praktik literasi adalah aktivitas
dan proses kreatif yang bisa mengubah arah dan jalannya sejarah.
Seorang
wartawati kelas dunia. Ungkapannya berikut ini: “I red because i want to change
society”. Perspektifnya tentang membaca
sangat mengesankan. Ternyata,
membaca bukan sekedar mengisi waktu atau menghibur diri. Lebih dari itu,
membaca adalah kerja-kerja peradaban. Membaca adalah aktivitas dan proses
kreatif yang bisa mengubah arah dan jalannya sejarah. Berikut adalah penjelasan
yang lebih real, agar kita semua paham dan meyakini, bahwa jalannya sejarah
sedikit banyak dipengaruhi oleh praktik literasi berupa salah satunya aktivitas
membaca. Sebagai bukti empiris, sejarah peradaban Islam dapat dijadikan sebagai
contoh.
Para
penulis sejarah Islam sepakat, bahwa titik tolak sejarah peradaban Islam
dimulai dari peristiwa turunnya wahyu pertama kepada nabi Muhammad di gua Hira.
Wahyu pertama yang terdapat dalam surah al-alaq itu, ternyata diawali dengan
perintah iqra’ (bacalah), bukan perintah sholat, puasa dan ibadah-ibadah
lainnya. Para ahli tafsir mengatakan: “mengapa ayat pertama itu diawali dengan
perintah membaca?, karena membaca adalah miftaahul ma’rifah (kunci
pengetahuan)”. Ayat inilah yang menjadi embrio peradaban Islam melalui budaya
literasi (literacy culture) yang kuat.
Menurut agama Islam, membaca
adalah kewajiban yang bersifat individual sebagai konsekuesi penciptaan kita
sebagai manusia. Maka tidak
mengherankan, ada banyak ribuan ilmuan yang lahir dari rahim peradaban Islam.
Bahkan, peradaban Barat banyak mendapatkan sumbangsih dari peradaban Islam
dalam bidang ilmu pengetahuan.
Fakta
ini sengaja ditampilkan untuk memperkuat gagasan kita tentang pentingnya
membangun budaya literasi untuk menciptakan masa depan peradaban Indonesia yang
lebih bermartabat, unggul, dan
kompetitif dengan bangsa-bangsa lain. Sampai pada tahap ini, kita harus
meyakini aksioma sejarah ini. Lalu bagaimana dengan praktik literasi berupa
menulis? Apakah sama pentingnya dengan membaca?
Apa
yang kita baca adalah didapat dari aktivitas praktik literasi berupa menulis.
Aktivitas berupa membaca dan menulis ini saling berkaitan, yakni melalui kedua
aktivitas itu kita dapat mengetahui sejarah yang telah ada dan dapat
menciptakan sejarah yang belum ada. Praktik literasi merupakan hal yang tidak
bisa terpisahkan dari pembuatan sejarah. Ini masuk akal, begini maksudnya.
Tanpa adanya praktik literasi sejarah tidak akan ada, karena sejarah diciptakan
melalui praktik literasi ini. Praktik literasi merupakan modal yang wajib
dimiliki oleh seorang sejarawan.
3.
Tujuan Literasi
“Meaning,
Making, Practices, Values, Ideology”
Tujuan berliterasi adalah
untuk menciptakan meaning, making, dan practices karena di dalam sebuah kelas,
masing-masing siswa-siswi tentunya berasal dari background yang berbeda-beda.
Background disini contohnya, dari segi pendidikan, pendapatan orangtua, ilmu
pengetahuan, dsb. Selanjutnya, kelas dapat dikatakan meaning, making, practices
karena di dalam kelas pun masing-masing siswa-siswi tentunya berasal dari
ideologi yang berbeda-beda. Ideologi inilah yang akan menghantarkan kita
menghasilkan sets of beliefe dan akhirnya sampai pada tahap pembentukan makna. Ideologi
juga berguna untuk memproduksi teks. Dalam proses produksi teks ideologi
berperan sebagai tidak pernah netral, karena tentunya masing-masing siswa
berasal dari ideologi yang beragam. Ideologi ini akan membawa kita menghasilkan
values. Values disini maksudnya adalah nilai (akhlak), contohnya nilai
kedisiplinan, norma, nilai kejujuran. Pada intinya di dalam values atitude yang
baik sangat dinomorsatukan. Dan values yang kita peroleh akan bergantung pada
berapa banyak proses belajar yang telah kita tempuh. Karena di dalam proses
belajar, kita dapat menemukan ilmu pengetahuam. Ilmu pengetahuan inilah yang
akan menjadi modal kita untuk menghasilkan values yang baik.
References:
http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/05/budaya-literasi-548542.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic