6th Class Review
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak
menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”
(Rumah Kaca, hlm. 352)
(Rumah Kaca, hlm. 352)
“Yang paling penting bagi setiap
pengarang ialah jiwanya sendiri...”
(John Cowper Powys)
Ada
sebuah pesan dari sang sastrawan peraih Nobel Sastra dari Perancis, William Faulkner berpesan “Jangan sibuk berusaha menjadi lebih baik
dari para pengarang yang lebih dahulu tapi cobalah menjadi lebih baik dari
dirimu sendiri,”
Ilustrasinya
seperti ini, suara seorang Penyanyi dikenali terutama dengan kekhasan
suaranya. Iya kan? Anda akan tahu itu suara Celine Dion, Ruth Sahanaya, Anggun
C.Sasmi, Raisa, atau Afghan ketika lagu mereka diperdengarkan. Baik di mall,
restoran, angkot, bahkan di penjual CD bajakan di pinggir jalan yang memutarnya
dengan full volumel. Jenis suara akan membedakan satu penyanyi dengan penyanyi
lain. Sementara tingkat penguasaan teknik olah vokal menunjukkan kelas si
penyanyi apakah ia seorang diva atau penyanyi kamar mandi. Hal ini tidak ada
bedanya dengan seorang penulis. Ketika Anda suka dan sering membaca
karya-karya penulis favorite Anda, Anda hapal dengan kekhasan gaya tutur
mereka, Meskipun karya tersebut belum
pernah Anda baca sebelumnya, Anda yakin atau setidaknya mempunyai feeling kuat
tentang penulisnya. Itulah Voice atau suara penulis.
Oke….
itu kan penulis terkenal. Bagaimana dengan penulis seperti kita? Apakah tidak
terlalu muluk membayangkan kita juga punya voice yang bisa dikenali pembaca?
Mungkin
terasa jauh dari jangkauan, mengawang-awang, tapi tidak mustahil. Voice itu
bisa diperoleh dan dilatih secara bertahap. Seperti yang telah disampaikan oleh
Mr. Lala Bumela mengenai fase awal seorang penulis baru pada tahap meniru, Nah
meniru disini bisa menjadi cara ampuh untuk belajar dengan cepat. Meniru
bukanlah mencuri (kecuali Anda menjual tiruan itu) Meniru disini untuk
kepentingan belajar. Tahap selanjutnya kita belajar untuk berdiri sendiri dan
menciptakan kekhasan dari penulisan yang kita buat. Setelah kita bisa sedikit
menulis, jangan lupakan juga pesan ini, “Begitu banyak yang harus dipelajari,
dipahami, lalu dimaknai. Apa yang kita ketahui barulah sedikit, jadi apa
alasannya untuk menjadi sombong?”. (Mr.
Lala Bumela).
Tiga Tahap Penulis Awal Emulate à
Discover à Create
Baiklah
tidak panjang lebar mengenai kekhasan penulisan yang kita buat, kita bisa
memaknai tulisan kita sendiri. Langsung kepada topic yang lebih kompleks masih
mengenai Howard Zinn dan buku nya, yang menarik dari buku Zinn tentu
saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi gelap sejarah benua baru.
Sasaran tembaknya adalah Christoper
Colombus. Howard Zinn juga pernah melemparkan kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison. Dalam bukunya
Marrison lebih menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta
pembantaian masal yang terjadi pada suku Indian Arawaks. Menurut Zinn hal ini
bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan
ideologis. Zinn tidaklah sependapat dengan tulisan Morrison dan menulis versi
sejarah yang berbeda. Ada yang menarik ketika kita sebenarnya juga bisa
melempar kritik yang serupa pada Zinn. Bahwa Zinn juga sedang mengambil sebuah
pilihan ideologis dalam menulis sejarah, bahwa Zinn menekankan fakta-fakta yang
ia suka dan melewatkan yang lain.
Menurut Fowler (1996), Ideologi itu selalu hadir dalam
setiap teks, baik dalam ranah lisan, tulisan, audio, visual atau kombinasi dari
mereka. Lehtonen (2000), dan Fairclough
(1989; 1992; 1995; 2000) menuturkan bahwa produksi teks itu tidak pernah
netral. Terlebih Prof Chaedar
Al-wasilah, ia juga menuturkan bahwa literasi itu tidak pernah netral, ia
selalu memiliki cita rasa yang berbeda. Semua teks tulis pasti memiliki ideologi, yakni didikte oleh
lingkungan sosial politiknya. Tidak
terkecuali dengan Howard Zinn yang berliterasi tentang siapa Columbus sebenarnya.
Zinn, adalah soal ideologinya dalam menulis sejarah. Ia
seseorang yang anti kekerasan dan menolak alasan apapun yang digunakan untuk
mendukung sebuah perang hal ini juga yang mendasarinya dalam mengungkapkan sisi
lain perihal Christopher Columbus.
Zinn
menuliskan dalam oto-baografinya, "You
Can't Be Neutral on a Moving Train" (Kau Tak Bisa Netral terhadap
Kereta yang Bergerak) (1994), "Sejak awal, apa yang aku ajarkan dimaknai
juga oleh sejarah hidupku. Aku harus mencoba selalu jujur terhadap pandangan-pandangan
yang berbeda, tapi aku ingin lebih dari sekadar mengajarkan 'obyektivitas'; aku
ingin mahasiswa-mahasiswaku meninggalkan kelas bukan saja sekadar mendapatkan
informasi yang lebih baik, tapi lebih siap menghancurkan kebisuan, lebih siap
untuk berbicara, lebih siap bertindak melawan ketidakadilan di mana pun mereka
temukan itu. Hal tersebut, tentunya, merupakan resep untuk mengatasi berbagai
masalah."
Demikian juga yang terjadi pada
Academic Writing kali ini, dengan adanya Class Review, Critical Review, maupun
Free Writing yang semata-mata untuk menghancurkan kebisuan tentang keabsahan (Validity)
sebuah sejarah. Karena masih ada sejarah yang di tutup-tutupi seperti keabsahan
tentang Colombus dalam menemukan benua baru. Mata kita mulai terbuka dengan
kebenaran ini, bahwa bukan Colombus yang pertama kali singgah di benua Amerika
melainkan kaum muslim lah yang sebenarnya memijakkan kaki terlebih dahulu sebelum
adanya ekspedisi Colombus. Sejarah mengenai suku Indian di Amerika yang telah mengenal
Islam sebelum adanya ekspedisi Colombus juga ikut disembunyikan oleh sejarah. Bahkan
suku Indian di Amerika sendiri hanya menjadi suku yang terpinggirkan. Christopher Columbus
adalah seorang penjelajah yang berlayar untuk menemukan India pada 1492.
Columbus menulis:
"Segera setelah saya tiba di Hindia, di pulau
pertama yang saya temukan, saya mengambil beberapa pribumi dengan kekerasan
agar mereka bisa belajar dan mungkin memberikan informasi apa pun ada di daerah
ini."
Zinn mengkritisi:
Informasi yang Columbus paling diinginkannya adalah: Dimana
emas? Dia membujuk raja dan ratu Spanyol untuk membiayai sebuah ekspedisi ke
tanah, kekayaan, ia berharap akan berada di sisi lain dari Atlantik-Hindia dan
Asia, emas dan rempah-rempah. Sebab, seperti orang-orang lain informasi waktu,
ia tahu bumi itu bulat dan ia bisa berlayar ke barat untuk mendapatkan ke Timur
yang Jauh.
Van
Dijk (1955) memandang analisis
wacana terkait dengan ideologi. Meskipun ideologi tidak secara ekslusif
diproduksi dalam sebuah wacana. Dalam analisis nya ideologi dibagi menjadi tiga
bagian yakni:
-
Analisis sosial,
berkaitan dengan struktur sosial secara keseluruhan (The context);
-
Analisis wacana,
terutama berbasis teks (sintaks, leksikon, semantic local, topic, struktur
tema,dll). Wacana selalu melibatkan kekuasaan dan ideologi;
-
Analisis Kognitif,
yakni pembaca dan pendengar tergantung pada latar belakang pengetahuan mereka,
posisi mereka, dan informasi yang ia peroleh (1995, hal 30).
Linguistik kritis (critical
linguistics) merupakan
kajian ilmu bahasa
yang bertujuan mengungkap relasi-relasi
antara kuasa tersembunyi (hidden power)
dan proses-proses ideologis
yang muncul dalam
teks-teks lisan atau
tulisan (Crystal, 1991:90).
Fowler sudah merumuskan sebuah analisis wacana publik, yakni sebuah
analisis yang dirancang untuk (i)
memperoleh atau menemukan
ideologi yang dikodekan
secara implisit di belakang proposisi yang
jelas (overt propositions), dan (ii) mengamati ideologi
secara khusus dalam konteks
pembentukan sosial (Fowler, 1996:3). Fowler menunjukkan bahwa struktur bahasa yang dipilih
menciptakan sebuah jarring makna
yang mendorong ke
arah sebuah perspektif tertentu.
Jaring makna itu merupakan sebuah
ideologi atau teori
dari penuturnya yang tentu saja bukan
berupa kategori alamiah.
Pandangan Fowler (1986:27)
tentang ketidaknetralan kode kebahasaan karena menjalankan
fungsi representasi. Kode kebahasaan
atau lingual tidak merefleksikan realitas secara netral.
Kode lingual itu menafsirkan, mengorganisasikan, dan mengklasifikasikan subjek-subjek wacana. Wacana tertentu selalu
membentuk teori tentang bagaimana
dunia itu disusun.
Hal itulah yang disebut pandangan dunia
atau ideologi.
Budaya literasi merupakan
cermin kemajuan bangsa. Para antropolog bahasa, seperti Lucian Levy-Bruhl, Claude Levi-Strauss, Walter Ong, dan Jack Goody
memandang literasi sebagai titik pangkal pembeda masyarakat primitif dari
masyarakat “Beradab” (Ma’mur, 2010:4).
Belajar dari Literasi India
Negara India bukan hanya dikenal
dengan Bollywood dan goyangannya yang menggoda. Dibalik itu, India kini tengah
merangkak maju menuju negara besar dunia. Keberhasilan India tidak hanya dari
film saja, tapi juga dalam dunia teknologi informasi, otomotif, dan farmasi.
Berbagai bentuk keberhasilan negara India berawal dari pondasi pembangunan
pendidikannya. Pemerintah India pun memiliki komitmen kuat dalam mempertahankan
budaya membaca dan menulis pada masyarakatnya. Negara India menempati urutan
teratas dunia dalam menggunakan waktu untuk membaca: orang India rata-rata
menghabiskan waktu 10,7 jam per minggu untuk membaca. Angka yang lebih tinggi
4,2 jam dibandingkan dengan rata-rata angka global.
Pandangan
Halliday tentang konsep wacana dapat dilacak
pada pikiran Fairclough. Dalam
pandangan Fairclough (1995), wacana
dipahami sebagai sebuah
tindakan. Wacana adalah
bentuk interaksi. Wacana tidak
ditempatkan dalam ruang yang tertutup dan internal. Tidak ada
wacana yang vakum sosial. Hal itu mengandung dua implikasi. Pertama, wacana dipandang sesuatu yang bertujuan, apakah untuk
memengaruhi, membujuk, menyanggah, memersuasif. Seseorang yang berbicara atau menulis selalu
mempunyai tujuan, besar atau kecil. Kedua, wacana dipahami
sebagai sesuatu yang diekspresikan
secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali
atau diekspresikan di
luar kesadaran. Tidak ada wacana
yang lahir tanpa disadari sepenuhnya oleh
penutur atau pembicaranya.
Paradigma kritis, wacana
ditempatkan dalam konteks
kesejarahan tertentu. Wacana selalu berada
pada ruang waktu tertentu dan akan selalu berhubungan
dengan waktu lainnya.
Sejarah
ditulis oleh para ahli sejarah dari adanya kejadian di masa lalu. Kejadian masa
lalu ini yang kemudian diekspresikan ke dalam bentuk teks. Proses penciptaannya
didasari pula oleh pandangan pengarang. Pandangan inilah yang menggambarkan
nilai dalam suatu teks. Tiap-tiap ahli sejarah pasti memiliki cara pandang atau
pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya oleh karena itu nilai dari
sebuah teks tergantung oleh pandangan ahli sejarah. Jadi persamaan antara Value atau nilai dengah ahli sejarah adalah
berasal dari sudut pandangnya. Pada umumnya para penulis Sejarah tidak menuliskan
nilai-nilai di dalam tulisannya eksplisit. Untuk itu, bila kita ingin
mengenalinya, terlebih dahulu kita harus membaca teks tersebut secara
tuntas.
Menulis sejarah merupakan unsur subyektif berdasarkan apa
yang dilakukan pada masa silam. Celakanya ada yang mempolitisi kenyataan
sejarah itu sendiri. Ada fakta yang berusaha ditutupi agar kelak bisa merubah
pandangan seseorang tentang sejarah masa lalu. Dalam peristiwa sejarah banyak
hal atau rangkaian peristiwa yang hilang atau memang sengaja dihilangkan. Oleh
karena itu penafsiran dari seorang sejarawan (ahli sejarah) sangat diperlukan
untuk menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa lain. Sehingga bisa
mendekati kebenaran dari penafsiran sejarawan tersebut dan dari bukti
fakta-fakta yang di berikan. Dari sini dapat dilihat bahwa suatu penulisan
peristiwa sejarah tidak dapat terlepas dari unsure subjektivitas. Karena dalam
penulisan sejarah tidak dapat objektif 100 %.
Pengertian Subjektivitas sendiri adalah kesaksian atau
tafsiran yang merupakan gambaran hasil perasaan atau pikiran manusia. Dalam
peristiwa sejarah, seorang ahli sejarah menggunakan analisis dan penafsirannya.
Disinilah akan muncul subjektivitas dalam penulisan sejarah. Seorang sejarawan
berusaha untuk menerangkan mengapa, bagaimana peristiwa terjadi, dan mengapa
saling berhubungan dengan peristiwa lain serta berupaya mneceritakan apa,
dimana, dan siapa yang terlibat di dalamnya. Sehingga penulisaanya akan lebih
bermakna.
Dapat di simpulkan bahwa sejarah tidak luput dari tangan sejarawan.
Hal ini berarti LITERASI dibutuhkan
sebagai modal awal penulisan sejarah dan pandangan sejarawan merupakan VALUE dari apa yang sejarawan tafsirkan
dari tulisannya.
Dalam menulis sebuah teks selalu ada Thesis Statement, yakni satu atau dua kalimat yang berisi topic,
claim, dan reason. Bentuk dari Thesis Statement sendiri dapat tersurat maupun tersirat.
Klaim dan alasan dari sebuah topic haruslah dibuktikan pada bagian Body of
paragraph serta pembuktian tersebut harus dirinci lebih dalam lagi secara
ringkas pada bagian kesimpulan.
Fowler (1986) selalu
mempertahankan tesisnya
bahwa teks merupakan
realisasi sebuah modus wacana,
biasanya lebih dari satu modus. Sebuah teks bukan hanya
karya individual. Teks yang dihasilkan oleh penghasil teks
sebagai individu bukanlah
hasil dari keseluruhan individu
itu. Sebuah teks yang lahir
mungkin saja hasil dari
suatu perjuangan di antara banyak tangan penghasil wacana itu.
Ringkasan dari tulisan yang saya buat seperti ini:
-
Voice:
Kekhasan Penulisan
-
Pilihan
Ideologi Penulis
-
Sudut
Pandang Penulis menghasilkan Value
Pada
akhirnya saya akan diminta untuk meyakinkan pembaca dari sudut pandang saya.
Bentuk persuasi, sering disebut argumen akademis, mengikuti pola diprediksi
secara tertulis. Thesis Statement yang saya buat
dalam tulisan ini berawal dari Kekhasan gaya penulisan. Masing-masing penulis
memiliki kekhasan tersendiri dalam karya tulisnya yang disebut dengan “Voice”. Dari kekhasan Penulis (voice)
tersebut akan diketahui Ideologi yang dipilihnya. Klaim mengenai perdebatan
antara penulis-penulis terkenal seperti Howard Zinn dan Morrison menunjukkan kekuatan
masing-masing Ideologi yang
menyarang di fikiran masing-masing penulis. Dalam body paragraph ada beberapa
pendapat dari para ahli mengenai Ideologi dalam sebuah karya tulis. Kemudian
dari pandangan penulis ini akan menghasilkan sebuah nilai (Value) yang
ditafsirkan dari tangan penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic