We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 17 Maret 2014

Literasi di Tangan Penulis

6th Class Review

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”
(Rumah Kaca, hlm. 352)
“Yang paling penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri...”
(John Cowper Powys)
Ada sebuah pesan dari sang sastrawan peraih Nobel Sastra dari Perancis, William Faulkner berpesan “Jangan sibuk berusaha menjadi lebih baik dari para pengarang yang lebih dahulu tapi cobalah menjadi lebih baik dari dirimu sendiri,”
Ilustrasinya seperti ini, suara seorang Penyanyi dikenali terutama dengan kekhasan suaranya. Iya kan? Anda akan tahu itu suara Celine Dion, Ruth Sahanaya, Anggun C.Sasmi, Raisa, atau Afghan ketika lagu mereka diperdengarkan. Baik di mall, restoran, angkot, bahkan di penjual CD bajakan di pinggir jalan yang memutarnya dengan full volumel. Jenis suara akan membedakan satu penyanyi dengan penyanyi lain. Sementara tingkat penguasaan teknik olah vokal  menunjukkan kelas si penyanyi apakah ia seorang diva atau penyanyi kamar mandi. Hal ini tidak ada bedanya dengan seorang penulis. Ketika Anda suka  dan sering membaca karya-karya penulis favorite Anda, Anda hapal dengan kekhasan gaya tutur mereka, Meskipun  karya tersebut belum pernah Anda baca sebelumnya, Anda yakin atau setidaknya mempunyai feeling kuat tentang penulisnya. Itulah Voice atau suara penulis.
Oke…. itu kan penulis terkenal. Bagaimana dengan penulis seperti kita? Apakah tidak terlalu muluk membayangkan kita juga punya voice yang bisa dikenali pembaca?
Mungkin terasa jauh dari jangkauan, mengawang-awang, tapi tidak mustahil. Voice itu bisa diperoleh dan dilatih secara bertahap. Seperti yang telah disampaikan oleh Mr. Lala Bumela mengenai fase awal seorang penulis baru pada tahap meniru, Nah meniru disini bisa menjadi cara ampuh untuk belajar dengan cepat. Meniru bukanlah mencuri (kecuali Anda menjual tiruan itu) Meniru disini untuk kepentingan belajar. Tahap selanjutnya kita belajar untuk berdiri sendiri dan menciptakan kekhasan dari penulisan yang kita buat. Setelah kita bisa sedikit menulis, jangan lupakan juga pesan ini, “Begitu banyak yang harus dipelajari, dipahami, lalu dimaknai. Apa yang kita ketahui barulah sedikit, jadi apa alasannya untuk menjadi sombong?”.  (Mr. Lala Bumela).
Tiga Tahap Penulis Awal Emulate à Discover à Create
Baiklah tidak panjang lebar mengenai kekhasan penulisan yang kita buat, kita bisa memaknai tulisan kita sendiri. Langsung kepada topic yang lebih kompleks masih mengenai Howard Zinn dan buku nya, yang menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi gelap sejarah benua baru. Sasaran tembaknya adalah Christoper Colombus. Howard Zinn juga pernah melemparkan kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot Morrison. Dalam bukunya Marrison lebih menceritakan sebuah heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku Indian Arawaks. Menurut Zinn hal ini bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni pilihan ideologis. Zinn tidaklah sependapat dengan tulisan Morrison dan menulis versi sejarah yang berbeda. Ada yang menarik ketika kita sebenarnya juga bisa melempar kritik yang serupa pada Zinn. Bahwa Zinn juga sedang mengambil sebuah pilihan ideologis dalam menulis sejarah, bahwa Zinn menekankan fakta-fakta yang ia suka dan melewatkan yang lain.
Menurut Fowler (1996), Ideologi itu selalu hadir dalam setiap teks, baik dalam ranah lisan, tulisan, audio, visual atau kombinasi dari mereka. Lehtonen (2000), dan Fairclough (1989; 1992; 1995; 2000) menuturkan bahwa produksi teks itu tidak pernah netral. Terlebih Prof Chaedar Al-wasilah, ia juga menuturkan bahwa literasi itu tidak pernah netral, ia selalu memiliki cita rasa yang berbeda. Semua teks tulis pasti memiliki ideologi, yakni didikte oleh lingkungan sosial politiknya.  Tidak terkecuali dengan Howard Zinn yang berliterasi tentang siapa Columbus sebenarnya.  
Zinn, adalah soal ideologinya dalam menulis sejarah. Ia seseorang yang anti kekerasan dan menolak alasan apapun yang digunakan untuk mendukung sebuah perang hal ini juga yang mendasarinya dalam mengungkapkan sisi lain perihal Christopher Columbus.  
Zinn menuliskan dalam oto-baografinya, "You Can't Be Neutral on a Moving Train" (Kau Tak Bisa Netral terhadap Kereta yang Bergerak) (1994), "Sejak awal, apa yang aku ajarkan dimaknai juga oleh sejarah hidupku. Aku harus mencoba selalu jujur terhadap pandangan-pandangan yang berbeda, tapi aku ingin lebih dari sekadar mengajarkan 'obyektivitas'; aku ingin mahasiswa-mahasiswaku meninggalkan kelas bukan saja sekadar mendapatkan informasi yang lebih baik, tapi lebih siap menghancurkan kebisuan, lebih siap untuk berbicara, lebih siap bertindak melawan ketidakadilan di mana pun mereka temukan itu. Hal tersebut, tentunya, merupakan resep untuk mengatasi berbagai masalah." 
Demikian juga yang terjadi pada Academic Writing kali ini, dengan adanya Class Review, Critical Review, maupun Free Writing yang semata-mata untuk menghancurkan kebisuan tentang keabsahan (Validity) sebuah sejarah. Karena masih ada sejarah yang di tutup-tutupi seperti keabsahan tentang Colombus dalam menemukan benua baru. Mata kita mulai terbuka dengan kebenaran ini, bahwa bukan Colombus yang pertama kali singgah di benua Amerika melainkan kaum muslim lah yang sebenarnya memijakkan kaki terlebih dahulu sebelum adanya ekspedisi Colombus. Sejarah mengenai suku Indian di Amerika yang telah mengenal Islam sebelum adanya ekspedisi Colombus juga ikut disembunyikan oleh sejarah. Bahkan suku Indian di Amerika sendiri hanya menjadi suku yang terpinggirkan. Christopher Columbus adalah seorang penjelajah yang berlayar untuk menemukan India pada 1492.
Columbus menulis:
  "Segera setelah saya tiba di Hindia, di pulau pertama yang saya temukan, saya mengambil beberapa pribumi dengan kekerasan agar mereka bisa belajar dan mungkin memberikan informasi apa pun ada di daerah ini."
Zinn mengkritisi:
Informasi yang Columbus paling diinginkannya adalah: Dimana emas? Dia membujuk raja dan ratu Spanyol untuk membiayai sebuah ekspedisi ke tanah, kekayaan, ia berharap akan berada di sisi lain dari Atlantik-Hindia dan Asia, emas dan rempah-rempah. Sebab, seperti orang-orang lain informasi waktu, ia tahu bumi itu bulat dan ia bisa berlayar ke barat untuk mendapatkan ke Timur yang Jauh.
Van Dijk (1955) memandang analisis wacana terkait dengan ideologi. Meskipun ideologi tidak secara ekslusif diproduksi dalam sebuah wacana. Dalam analisis nya ideologi dibagi menjadi tiga bagian yakni:
-          Analisis sosial, berkaitan dengan struktur sosial secara keseluruhan (The context);
-          Analisis wacana, terutama berbasis teks (sintaks, leksikon, semantic local, topic, struktur tema,dll). Wacana selalu melibatkan kekuasaan dan ideologi;
-          Analisis Kognitif, yakni pembaca dan pendengar tergantung pada latar belakang pengetahuan mereka, posisi mereka, dan informasi yang ia peroleh (1995, hal 30).

Linguistik  kritis  (critical  linguistics) merupakan  kajian  ilmu  bahasa  yang  bertujuan mengungkap  relasi-relasi  antara  kuasa tersembunyi  (hidden  power)  dan  proses-proses  ideologis  yang  muncul  dalam  teks-teks  lisan  atau  tulisan  (Crystal,  1991:90).
Fowler sudah merumuskan sebuah analisis wacana publik, yakni sebuah analisis yang dirancang untuk (i)  memperoleh  atau  menemukan  ideologi yang dikodekan  secara  implisit di belakang proposisi  yang  jelas  (overt  propositions), dan  (ii) mengamati  ideologi  secara  khusus dalam konteks pembentukan sosial (Fowler, 1996:3). Fowler menunjukkan bahwa struktur bahasa yang  dipilih  menciptakan  sebuah  jarring makna  yang  mendorong  ke  arah  sebuah perspektif  tertentu.  Jaring makna  itu merupakan  sebuah  ideologi  atau  teori  dari penuturnya  yang tentu  saja bukan  berupa kategori alamiah.
Pandangan Fowler (1986:27) tentang ketidaknetralan kode  kebahasaan karena  menjalankan  fungsi  representasi. Kode  kebahasaan  atau  lingual  tidak merefleksikan realitas secara netral. Kode lingual itu menafsirkan, mengorganisasikan, dan mengklasifikasikan subjek-subjek  wacana. Wacana tertentu  selalu  membentuk  teori tentang  bagaimana  dunia  itu  disusun.  Hal itulah yang disebut pandangan dunia  atau ideologi.
Budaya literasi merupakan cermin kemajuan bangsa. Para antropolog bahasa, seperti Lucian Levy-Bruhl, Claude Levi-Strauss, Walter Ong, dan Jack Goody memandang literasi sebagai titik pangkal pembeda masyarakat primitif dari masyarakat “Beradab” (Ma’mur, 2010:4).

Belajar dari Literasi India
Negara India bukan hanya dikenal dengan Bollywood dan goyangannya yang menggoda. Dibalik itu, India kini tengah merangkak maju menuju negara besar dunia. Keberhasilan India tidak hanya dari film saja, tapi juga dalam dunia teknologi informasi, otomotif, dan farmasi. Berbagai bentuk keberhasilan negara India berawal dari pondasi pembangunan pendidikannya. Pemerintah India pun memiliki komitmen kuat dalam mempertahankan budaya membaca dan menulis pada masyarakatnya. Negara India menempati urutan teratas dunia dalam menggunakan waktu untuk membaca: orang India rata-rata menghabiskan waktu 10,7 jam per minggu untuk membaca. Angka yang lebih tinggi 4,2 jam dibandingkan dengan rata-rata angka global.

Pandangan Halliday tentang konsep wacana dapat dilacak pada pikiran Fairclough. Dalam  pandangan  Fairclough  (1995),  wacana  dipahami  sebagai  sebuah  tindakan.  Wacana  adalah  bentuk  interaksi. Wacana  tidak  ditempatkan  dalam  ruang yang tertutup dan internal. Tidak ada wacana yang vakum sosial. Hal itu mengandung dua  implikasi. Pertama, wacana  dipandang sesuatu yang bertujuan, apakah untuk memengaruhi, membujuk, menyanggah, memersuasif. Seseorang yang berbicara atau menulis  selalu  mempunyai  tujuan,  besar atau kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu  yang  diekspresikan  secara  sadar, terkontrol, bukan  sesuatu yang di  luar kendali  atau  diekspresikan  di  luar  kesadaran. Tidak ada wacana yang  lahir  tanpa disadari sepenuhnya  oleh  penutur  atau  pembicaranya.

Paradigma  kritis,  wacana  ditempatkan  dalam konteks kesejarahan tertentu. Wacana selalu berada pada  ruang waktu  tertentu dan akan selalu  berhubungan  dengan  waktu  lainnya.
Sejarah ditulis oleh para ahli sejarah dari adanya kejadian di masa lalu. Kejadian masa lalu ini yang kemudian diekspresikan ke dalam bentuk teks. Proses penciptaannya didasari pula oleh pandangan pengarang. Pandangan inilah yang menggambarkan nilai dalam suatu teks. Tiap-tiap ahli sejarah pasti memiliki cara pandang atau pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya oleh karena itu nilai dari sebuah teks tergantung oleh pandangan ahli sejarah. Jadi persamaan antara Value atau nilai dengah ahli sejarah adalah berasal dari sudut pandangnya. Pada umumnya para penulis Sejarah tidak menuliskan nilai-nilai di dalam tulisannya eksplisit. Untuk itu, bila kita ingin mengenalinya, terlebih dahulu kita harus membaca teks tersebut secara tuntas. 
Menulis sejarah merupakan unsur subyektif berdasarkan apa yang dilakukan pada masa silam. Celakanya ada yang mempolitisi kenyataan sejarah itu sendiri. Ada fakta yang berusaha ditutupi agar kelak bisa merubah pandangan seseorang tentang sejarah masa lalu. Dalam peristiwa sejarah banyak hal atau rangkaian peristiwa yang hilang atau memang sengaja dihilangkan. Oleh karena itu penafsiran dari seorang sejarawan (ahli sejarah) sangat diperlukan untuk menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa lain. Sehingga bisa mendekati kebenaran dari penafsiran sejarawan tersebut dan dari bukti fakta-fakta yang di berikan. Dari sini dapat dilihat bahwa suatu penulisan peristiwa sejarah tidak dapat terlepas dari unsure subjektivitas. Karena dalam penulisan sejarah tidak dapat objektif 100 %.
Pengertian Subjektivitas sendiri adalah kesaksian atau tafsiran yang merupakan gambaran hasil perasaan atau pikiran manusia. Dalam peristiwa sejarah, seorang ahli sejarah menggunakan analisis dan penafsirannya. Disinilah akan muncul subjektivitas dalam penulisan sejarah. Seorang sejarawan berusaha untuk menerangkan mengapa, bagaimana peristiwa terjadi, dan mengapa saling berhubungan dengan peristiwa lain serta berupaya mneceritakan apa, dimana, dan siapa yang terlibat di dalamnya. Sehingga penulisaanya akan lebih bermakna.
Dapat di simpulkan bahwa sejarah tidak luput dari tangan sejarawan. Hal ini berarti LITERASI dibutuhkan sebagai modal awal penulisan sejarah dan pandangan sejarawan merupakan VALUE dari apa yang sejarawan tafsirkan dari tulisannya.
Dalam menulis sebuah teks selalu ada Thesis Statement, yakni satu atau dua kalimat yang berisi topic, claim, dan reason. Bentuk dari Thesis Statement sendiri dapat tersurat maupun tersirat. Klaim dan alasan dari sebuah topic haruslah dibuktikan pada bagian Body of paragraph serta pembuktian tersebut harus dirinci lebih dalam lagi secara ringkas pada bagian kesimpulan.
Fowler  (1986)  selalu  mempertahankan tesisnya  bahwa  teks  merupakan  realisasi sebuah modus wacana,  biasanya  lebih  dari satu modus. Sebuah teks bukan hanya karya individual. Teks yang dihasilkan oleh penghasil  teks  sebagai  individu  bukanlah  hasil dari  keseluruhan  individu  itu. Sebuah teks yang lahir mungkin saja  hasil  dari  suatu perjuangan  di  antara banyak tangan penghasil wacana itu.

Ringkasan dari tulisan yang saya buat seperti ini:

-          Voice: Kekhasan Penulisan
-          Pilihan Ideologi Penulis
-          Sudut Pandang Penulis menghasilkan Value

Pada akhirnya saya akan diminta untuk meyakinkan pembaca dari sudut pandang saya. Bentuk persuasi, sering disebut argumen akademis, mengikuti pola diprediksi secara tertulis. Thesis Statement yang saya buat dalam tulisan ini berawal dari Kekhasan gaya penulisan. Masing-masing penulis memiliki kekhasan tersendiri dalam karya tulisnya yang disebut dengan “Voice”. Dari kekhasan Penulis (voice) tersebut akan diketahui Ideologi yang dipilihnya. Klaim mengenai perdebatan antara penulis-penulis terkenal seperti Howard Zinn  dan Morrison menunjukkan kekuatan masing-masing Ideologi yang menyarang di fikiran masing-masing penulis. Dalam body paragraph ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai Ideologi dalam sebuah karya tulis. Kemudian dari pandangan penulis ini akan menghasilkan sebuah nilai (Value) yang ditafsirkan dari tangan penulis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic