Critical Review 2
Ini
merupakan Critical Review dari buku Anthropology “Speaking Trutth to Power with
Book,” yang ditulis oleh Howard Zinn.
Sebuah buku adalah jendela dunia
yang dapat mengubah bumi, di mana tempat kita berpijak saat ini. Sesaat sebelum
membacanya, terkadang kita hanya memandang buku sebagai suatu tumpukan kertas
yang tidak berjiwa yang penuh dengan teori-teori, cerita-cerita, curahan hati
penulisnya dan jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Namun, siapa sangka, di
balik sebuah buku dapat tersimpan suatu kekuatan hebat. Sehingga buku merupakan
instrumen yang berdaya kuat, mencengkeram erat, menggetarkan, dan berkuasa
mengubah arah peristiwa-peristiwa yang sedang atau akan terjadi.
Semua berawal dari isu yang
berkaitan dengan menulis. Untuk membuat sebuah tulisan, membutuhkan kesadaran
dari masyarakat itu sendiri. Disini di katakan bahwa penulis tidak pernah
diperkenalkan dengan buku. ketika dia berusia 14 tahun, saat itu juga dia
menemukan sebuah buku di jalan. Ketika dia sudah menjadi dosen dan di undang
berbicara di University of Hawai dia bertanya kepada siswa yang sedang membaca
buku “The Color Purple by Alice Walker,” yang merupakan mahasiswanya sendiri.
Ketika itu dia bertanya “Apa pendapat anda tentang buku itu?” Buku ini mengubah
hidup saya.
Bisa dikatakan kekuatan buku
dapat melebihi nuklir. Masih ingat Salman Rushdi penulis yang
menulis buku Ayat-Ayat Setan? Salman Rushdi dan bukunya Satanic Verses yang
terbit tahun 1988, membuat banyak tokoh negara-negara Islam berang. Bahkan
Ketika itu pemimpin Iran almarhum Ayatullah Rahullah Imam Khamaini mengeluarkan
fatwa hukuman mati untuk penulis kelahiran Bombay India yang berkebangsaan
Inggris. Ketika itu bukunya diburu banyak orang seluruh dunia, walau di banyak
negara Islam buku tersebut dilarang beredar.
Setelah marak aksi tahun 2009 menolak pembakaran buku. Kini memasuki
tahun 2010 di Indonesia kembali heboh masalah pembredelan buku-buku yang sudah
terbit dan sudah beredar Bahkan banyak di toko-toko buku. Berbagai tema buku
yang dilarang, mulai dari buku bertema agama, sejarah, sastra, budaya, politik
dan ekonomi. Memang tindakan tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian besar
pecinta buku. Pemerintah yang diwakili oleh Mahkamah Agung mengeluarkan
perintah untuk pembredelan buku-buku tersebut. Kita ketahui bersama buku memang
mempunyai kekuatan yang luar biasa, sehelai kertas bisa mengalahkan kekuatan
bom nuklir! Karena itulah banyak buku tokoh di dunia ini memilih menulis buku
atau meminta bantuan penulis untuk menuliskannya, daripada sekedar membuat
film atau video tentang kehidupannya. Banyak buku biografi tokoh yang ditulis
ketika mereka masih hidup. Demikian pula film-film yang dibuat dan dipasarkan
oleh Hollywood, Bollywood dan negara lainnya, semua diangkat dari sebuah buku.
Di banyak negara, satu kata saja kesalahan dalam buku
bisa menjadi persoalan besar. Pernah saya berbincang dengan penerbit buku di
Jakarta beberapa tahun lalu. Dikatakan oleh manager penerbit tersebut, pihaknya
pernah diminta oleh negara Jepang (kalau tidak salah) untuk menghapus satu kata
dalam sebuah buku sejarah sekolah yang diterbitkannya. Di Yunani, saya membaca
buku pelajaran sejarah anak SD, yang berkisah tentang peperangan antara Sultan
Ottoman dan Byzantium. Dalam buku tersebut ditulis Nabi Muhammad SAW adalah
seorang pelaut, padahal masa kecilnya beliau Sebagai penggembala ternak.
Seperti yang penulis tulis dalam tulisannya mengatakan bahwa untuk mereka yang
dibesarkan di negara Amerika Serikat, menganggap Christopher Colombus sebagai
pahlawan, penemu besar dan pembaca Al kitab yang saleh. Sedangkan penulis
bertolak belakang dengan fakta yang ada, dia menghujat Colombus sebagai
pembunuh, penyiksa, penculik, multilator orang pribumi, munafik, orang yang
tamak dalam mencari emas, bersedia membunuh dan mencincang orang.
Mungkin
diantara kita sudah mengetahui soal fakta sejarah asli mengenai Columbus, tokoh
yang selalu disebut-sebut sebagai penemu benua Amerika. Ada banyak kebohongan
yang sangat mencengangkan ketika para penulis dan peneliti sejarah menguak
sejarah Christopher Columbus. Rasa penasaran ini berdasar pada kenyataan, bahwa
setiap tahun ada satu hari khusus yang disebut “Columbus Day” sebagai
peringatan atas jasanya sebagai penemu Benua Amerika. Benarkah?
Di Indonesia
memang tidak secara langsung terkena dampaknya, namun pemahaman yang diterima
dalam ranah pendidikan formal betapa hebatnya Columbus, tentu akan mengaburkan
kebenaran. Semoga guru-guru dan murid-murid di sekolah, tidak menelan
mentah-mentah isi teks pelajaran sejarah tentang si Columbus ini. Mudah-mudahan
beberapa fakta di bawah ini bisa membuka mata kita mengerti betul akan
kebenaran suatu sejarah.
Colombus
adalah seorang pelaut yang bernama lengkap Christopher Columbus atau dengan
nama Italia-nya Cristoforo Colombo diklaim sebagai orang pertama yang
mengarungi jalur Atlantik lalu menemukan benua Amerika. Hal ini selama ratusan
tahun masih dianggap sebuah fakta yang tak terbantahkan. Benarkah demikian?
Analisis berikut ini mencoba menguraikan dan mengkritisi teori tersebut.
Tentu saja
tidak perlu diragukan lagi yang pertama kali datang menemukan benua Amerika
adalah nenek moyang asli bangsa Amerika. Mereka mungkin menyeberang ke Amerika
melalui Rusia dan Alaska sekitar 12.000 tahun yang lalu. Diskusi penemuan benua
Amerika oleh orang-orang Eropa, Afrika, atau Asia, sebenarnya adalah penghinaan
terhadap sejarah masyarakat asli benua tersebut. Keberanian dan sejarah mereka
sangat tidak dihargai dan tidak dinilai apabila teori Columbus sebagai penemu
benua Amerika adalah fakta yang hakiki.
Columbus
hidup di zaman dimana orang-orang berasumsi bahwa bumi ini datar. Padahal sejak
lama Aristoteles dan Pythagoras mengeluarkan sebuah teori bahwa bumi itu
berputar. Demikian juga di masa kejayaan Islam (750-1100-an M) ilmuwan-ilmuwan
Islam meyakini bumi itu bulat.
Teori Arab
dan Muslim Spanyol
Seorang
sejarawan dan ahli geografi muslim, Abu Hasan al-Mas’udi pada tahun 956 menulis
perjalanan muslim Spanyol di tahun 889 M. Eskpedisi pelayaran muslim Spanyol di
tahun itu bertolak dari pelabuhan Delba (pelabuhan yang sama dengan start
ekspedisi Columbus), dan berlayar selama berbulan-bulan ke arah Barat. Lalu
mereka menemukan sebuah daratan yang sangat luas dan mereka pun berniaga dengan
penduduk asli di daerah tersebut, setelah itu kembali lagi ke Eropa. Al-Mas’udi
menggambarkan tanah tersebut dalam petanya yang sangat fenomenal, ia menyebut
daratan tersebut dengan “Daratan yang Tidak Diketahui” atau daratan tanpa nama.
Tercatat muslim Spanyol telah dua
kali mengadakan ekspedisi ke Amerika. Pertama, pada tahun 999 M oleh Ibnu
Farrukh dari Granada dan yang kedua oleh al-Idrisi pada tahun 1100 M. Al-Idrisi
mencatat sekelompok kaum muslimin berlayar kea rah Barat dari Lisbon selama 31
hari dan berlabuh di sebuah pulau di Karibia. Mereka ditawan oleh penduduk asli
Amerika di kepulauan tersebut selama beberapa hari. Setelah beberapa hari
mereka pun dibebaskan karena negosiasi dengan perantara salah seorang penduduk
setempat yang memahami bahasa Arab. Mereka pun kembali ke al-Andalus kemudian
menceritakan apa yang mereka alami. Poin menarik dari kejadian ini adalah
adanya penduduk setempat yang memahami bahasa Arab. Tentu saja hal ini
menunjukkan sering terjadi kontak antara penduduk setempat (Amerika) dengan
orang-orang Arab.
Ada sebuah
teori yang menyatakan bahwa kaum muslimin datang ke benua Amerika menyebrangi
kegelapan Samudera Atlantik 300 atau 400 tahun sebelum kedatangan Columbus. Hal
ini diindikasikan dengan kemampuan pemetaan, citra geografis, dan astronomi
yang mumpuni di kalangan kaum muslimin. Umat Islam telah mengeluarkan teori
bumi itu berputar seperti bola sebagaimana Ibnu Khardzabah (242 H/885 H) dan
Ibnu Rustah (290 H/903 M), termasuk Khalifah Abbasiyah, al-Makmun.
Teori Afrika
Barat
Ada bagian
dunia Islam lainnya yang telah mengadakan kontak dengan orang-orang di benua
Amerika sebelum Columbus. Di Afrika Barat ada sebuah kerajaan yang sangat kaya
dan memiliki kekuatan besar yaitu kerjaan Mali dengan raja yang paling terkenal
Mansa (raja) Musa. Sebelum Raja Musa, Mali dipimpin oleh saudaranya yang
bernama Abu Bakar. Abu Bakar pernah mengirim 400 kapal menjelajahi Samudera
Atlantik, namun dari jumlah yang besar tersebut hanya satu kapal saja yang
berhasil kembali. Kapal tersebut melaporkan bahwa di seberang lautan sana ada
sebuah daratan yang luas. Mendengar kabar tersebut, Mansa Abu Bakar pun
melakukan ekspedisi dengan 2000 awak kapalnya menuju daerah tersebut namun
setelah itu kabar mereka tidak pernah terdengar lagi.
Meskipun
tidak ada catatan spesifik hasil dari pelayaran tersebut, namun di Amerika ada
bukti yang kuat mengenai kedatangan mereka. Ada situs arkeologi di daerah
Amerika Utara dan Amerika Selatan yang menunjukkan bahwa orang-orang Mali
pernah datang ke wilayah tersebut. Orang Spanyol saat datang menjajah wilayah
Amerika, mereka menemukan prasasti di wilayah Brasil dengan bahasa Mandika
(bahasa Mali). Lebih dari itu, prasasti dalam bahasa Mandika juga ditemukan di
wilayah Amerika Serikat; di wilayah Misissipi dan Arizona. Di Arizona prasasti
tersebut mengabarkan tentang gajah-gajah sakit, padahal gajah bukanlah hewan
asli Amerika. Ini pun menjadi indikasi kesuksesan perjalanan Mansa Abu Bakar
menuju daratan Amerika.
Teori
Dinasti Utsmaniyah
Pada tahun
1929, terdapat sebuah penemuan yang cukup fenomenal di Istanbul. Pada tahun itu
ditemukan sebuah peta yang dibuat pada tahun 1513 oleh seorang kartografer
Dinasti Utsmani, Piri Reis. Reis menyatakan bahwa peta yang dibuatnya itu
berdasarkan sumber-sumber di masa lalu, yaitu peta Yunani dan Arab kuno,
termasuk peta yang berdasarkan ekspedisi yang dilakukan oleh Columbus yang
berlayar 21 tahun sebelumnya. Yang luar biasa dari peta ini adalah tingkat
kedetailannya sehingga memaksa para sejarawan melakukan penelitian ulang
tentang teori ekspedisi Columbus.
Peta
tersebut dengan jelas menunjukkan pantai Timur Amerika Selatan. Pantai Brasil
juga ditampilkan dengan detail yang luar biasa, disertai dengan tingkat akurasi
yang tinggi letak-letak sungainya. Meskipun Reis menjadikan ekspedisi Columbus
sebagai sumber primernya, namun Columbus tidak pernah menginjakkan kakinya di
wilayah Amerika Selatan sehingga catatan-catatan ekspedisi kaum muslimin pun
menjadi bagian penting dari peta karyanya.
Data-data
historis di atas adalah bukti shahih yang menunjukkan ekspedisi kaum muslimin
dilakukan sebelum keberhasilan Columbus menginjakkan kakinya ke benua Amerika
di tahun 1492, bahkan mungkin Columbus sendiri mengetahui bahwa dirinya
bukanlah orang yang pertama melakukan hal itu. Columbus berlayar dari Spanyol
di tahun yang sama dengan runtuhnya dinasti Islam terakhir di tanah Iberia.
Selain itu banyak masyarakat Iberia yang beragama Islam dan sangat mengenal
sejarah masa keemasan Islam. Pelayaran Columbus juga banyak diawaki oleh
orang-orang Islam yang dipaksa memeluk Katolik atau dibunuh, Columbus pun bisa
dengan mudah mendengar kisah tentang dunia baru tersebut lalu terinspirasi
untuk menuju ke sana.
Dengan buku kita banyak mengetahui
tentang sejarah-sejarah dunia, seperti kebohongan Amerika tentang Christopher Columbus. Teori
yang menyatakan bahawa Columbus adalah orang yang pertama menjelajahi Samudera
Atlantik dan menginjakkan kaki di benua Amerika adalah teori lama yang belum
diuji. Tidak dipungkiri bahwa era Columbus adalah waktu yang sangat penting
dalam sejarah dunia yang mengubah cara hidup di benua Amerika dan Eropa. Namun
untuk dikatakan bahwa dia adalah orang yang pertama menginjakkan kaki di benua
Amerika adalah teori yang sangat lemah. Eksistensi orang-orang Arab, Afrika
Barat, dan Utsmani di daerah tersebut jauh sebelum kedatangan Columbus dan
orang-orang Kristen Eropa. Teori-teori yang menyatakan bahwa Columbus adalah
orang yang pertama datang ke tanah tersebut bukanlah menjadi fakta final.
Melainkan masih teori tersebut masih perlu diuji kebenarannya.
Buku adalah cara untuk mengubah
kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca dan menulis. Sayangnya, di
Indonesia kesadaran masyarakat akan buku masih sangat rendah. Kebanyakan orang
Indonesia lebih memilih membeli pakaian, makanan, aksesoris dan sebagainya,
dibanding untuk membeli buku. Sehingga akan sulit menumbuhkan kesadaran
tersebut. Buku mempunyai banyak kekuatan untuk pembacanya dan merupakan
penunjang pendidikan. Di Indonesia kesadaran akan pentingnya buku dan
pendidikan masih sangat kurang. Misalnya, dari segi pendidikannya, seperti
kesiapan fasilitas, kesiapan komponen di sekolah, dan kesiapan program-program
pendidikannya. Padahal kita mengetahui bahwa pendidikan adalah mata uang yang
berlaku pada setiap negara di dunia. ketika kita Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan bahkan saat kuliah,
kita sudah diperkenalkan dengan buku-buku. Kuliah bukan hanya sekedar ilmu yang
ada dibukunya, tetapi cara berpikir tentang pentingnya sebuah buku dan disiplin,
akan terbentuk pada saat kita kuliah. Karena saat kita sudah memasuki dunia
kuliah, kesadaran akan buku, menulis, dan membaca akan tumbuh dengan
sendirinya, Karena kita dituntut untuk memiliki wawasan yang luas. Wawasan atau pengetahuan yang luas bisa
didapatkan dari sebuah buku.
Kesadaran akan
pentingnya buku, menulis dan membaca digambarkan oleh Louis Braille, seorang
tunanetra asal Perancis yang menciptakan huruf Braille, huruf yang biasa
dipakai para tunanetra. Louis Braille menjadi buta saat berumur tiga tahun
karena kecelakaan. Di tahun 1819, awal masa sekolahnya, Louis yang bersekolah
di The Royal Institute of Blind Youth (sekolah khusus tunanetra di Paris)
merasakan betapa sulitnya kegiatan membaca dan menulis bagi orang-orang buta.
Meski
berbagai usaha telah dilakukan untuk membuat para tunanetra bisa membaca,
misalnya dengan mencetak huruf-huruf dalam ukuran lebih besar secara timbul,
atau mengadopsi bahasa “Sandi Militer (Night Writing)” yang berupa titik-titik
timbul untuk digunakan para tunanetra. Namun semua itu dibuat tanpa lebih
dahulu mempertimbangkan apakah metode ini mudah, tepat dan dapat memenuhi
kebutuhan para tunanetra akan membaca, menulis serta kebutuhan akan buku.
Cara itu
tidak hanya menyulitkan tunanetra saat membaca karena huruf dicetak dalam
ukuran besar, juga tidak memungkinkan tunanetra menulis. Di samping itu, karena
ukuran huruf yang besar-besar tersebut, biaya pembuatan buku untuk tunanetra
menjadi sangat mahal, akibatnya sekolah tersebut hanya mampu menyediakan 14
buku untuk seratus orang murid-murid yang belajar di sana. Karena tunanetra
membaca dengan indera perabaan, maka Louis berpikir, huruf-huruf untuk mereka
harus dapat dengan mudah dikenali cukup dengan merabakan satu ujung jari saja.
Itu artinya, ukuran huruf itu harus tidak terlalu besar, tapi juga tidak
terlalu kecil.
Louis
memahami bahwa orang-orang yang selama ini bekerja untuk tunanetra memang
tampak bersikap baik dan menolong. Akan tetapi, pada umumnya mereka
berpendapat bahwa orang-orang buta tidak secerdas mereka yang bisa
melihat, sehingga orang buta seharusnya cukuplah puas dengan hanya
melakukan hal-hal sederhana saja, sepeti membaca kalimat-kalimat pendek serta
pesan-pesan singkat, dan memahami arah, yang berarti orang buta tak perlu
membaca buku.
Waktu itu sangat sedikit yang bisa dilakukan
orang-orang buta di Perancis. Sebagian besar dari mereka hanya menjadi
pengemis, termasuk orang-orang buta di Coupvray. Pada awalnya, kedua orang tua
Louis pun sangat merasa kasihan pada anak lelaki mereka. Mereka cenderung
melindungi secara berlebihan, bahkan juga memanjakan. Tapi, kemudian mereka
berpikir, Louis harus tumbuh seperti anak-anak lain yang tidak buta. Mereka
tidak ingin Louis seperti anak-anak buta lainnya, yang takut melakukan hal
apapun.
Dengan jerih
payahnya, Louis telah membuka jendela ilmu pengetahuan bagi mereka yang
"dalam gulita" (tunanetra) pada usia 15 tahun. Namun cita-citanya
masih belum sepenuhnya tercapai. Di negara-negara sedang berkembang seperti
Indonesia, masih banyak anak-anak tunanetra belum bersekolah di saat usia
mereka sudah memasuki masa duduk di kelas. Mereka belum mengenal huruf,
apalagi membaca. Mereka yang sudah dapat membaca pun masih belum dicukupi dengan
buku-buku yang mereka perlukan.
Masih
dibutuhkan ratusan Louis Braille, ribuan orang seperti Pendeta Palluy, DR.
Pignier, Joseph Gaudet, bahkan orang seperti Dufau di seluruh penjuru bumi.
Louis Braille telah mencontohkannya kepaa kita semua, diperlukan kerja sama
untuk mewujudkan impian. Di era dengan dukungan kemajuan teknologi seperti
sekarang ini, seharusnyalah upaya meneruskan perjuangan Louis Braille agar para
tunanetra dapat menjadi manusia berpendidikan bukanlah hal yang terlalu sulit.
Diperlukan upaya bersama, kegigihan, ketekunan serta komitmen dan konsistensi
semua pihak, seperti yang dicontohkan Louis Braille.
Ini
menunjukan bahwa literasi membaca dan menulis tidak hanya untuk orang yang
dapat melihat saja. Tetapi, pada kenyataannya literasi dapat diterapkan kepada
orang-orang tunanetra. Dengan adanya Braille menunjukan bahwa orang
tunanetrapun dapat melakukan hal yang sama seperti, yang dilakukan oleh orang
normal lainya. Yang membedakannya adalah keinginan dan kesadaran akan
pentingnya membaca, menulis dan sebuah buku.
Kesimpulan
Buku
bukanlah untuk mengukur nilai-nilai moral, tetapi untuk menunjukkan bahwa di
dalam sebuah buku tersimpan suatu kekuatan yang dapat merubah hidup seseorang.
Sehingga dapat menjadi senjata-senjata yang dinamis dan hebat. Tapi itu semua
tergantung sejauhmana kita meresapi dan mendalami kandungan isinya. Buku
merupakan salah satu literasi yang harus terus ditumbuh-kembangkan
keberadaannya, karena dengan buku kita juga dapat mengenal sajarah-sejarah
dunia, baik itu dimasa lampau atau dimasa yang akan datang.
Penulis
(Howard Zinn) menyadari dalam sebuah buku pasti ada
kepentingan-kepentingan dan pesan yang ingin disampaikan penulisnya. Salah satu
alat untuk mengkordinasinya adalah buku.
Referensi
Terlalu banyak copy-paste-nya nih artikel. Ini membuat saya tidak punya nafsu makan yang baik. Kalau kamu gini terus nanti saya nantangin kamu nulis tangan aja
BalasHapus