DASYATNYA KEKUATAN SEBUAH BUKU
Berbicara
tentang kekuatan sebuah buku. Bahwa sebuah buku adalah jendela dunia yang dapat
mengubah bumi tempat kita berpijak ini, tidak ada seorang pun yang
memungkirinya. Sesaat sebelum membacanya, terkadang kita hanya memandang buku
sebagai suatu tumpukan kertas tak berjiwa yang penuh oleh teori-teori,
cerita-cerita, curahan hati sang penulisnya dan jauh dari kenyataan hidup
sehari-hari.
Namun
siapa sangka, dibalik sebuah buku dapat tersimpan suatu kekuatan hebat.
Sebegitu hebatnya kekuatan dari buku, sehingga ia merupakan instrumen yang
berdaya kuat, mencengkeram erat, menggetarkan dan berkuasa mengubah arah
peristiwa-peristiwa yang sedang atau akan terjadi. Yang bisa diarahkan untuk
kebaikan maupun keburukan. Bagi kemaslahatan maupun bencana.
Kekuatan sebuah buku
tergantung pada kualitas si penulis buku tersebut. Seorang pembaca dapat
mengatakan bahwa “buku ini telah mengubah hidaup saya”. Timbul pertanyaan, apa
yang menjadikan perubahan terhadap seorang pembaca tersebut? Buku atau penulis?
Tentu saja dengan mudah dapat menjawab
yaitu penulislah yang mengubah hidup seorang pembaca. Buku tidak akan ada tanpa
penulis. Timbul pertanyaan lain, apa yang dilakukan penulis sehingga dapat
mengubah hidup si pembaca? Hal ini tentu saja cukup sulit untuk dijawab.
Tetapi, kita harus mengetahui bahwasannya, seorang penulis yang berkualitas
akan mengetahui bagaimana cara menulis dengan baik, tahu bagaimana memproduksi
tulisan dengan baik, dan tahu bagaimana mempresentasikan tulisan tersebut.
Penggunaan bahasa dengan baik adalah modal utama untuk menjadi seorang penulis
yang berkualitas.
Kita
mulai dengan mengambil contoh buku Common Sense (Pikiran
Sehat) karya Thomas Paine, seorang pengarang Amerika Serikat, terbit pada 10
Januari 1776 dengan harga dua shilling (sebutan mata uang logam yang berlaku saat
itu). Buku tersebut pada dasarnya sebuah pamflet, lantaran hanya setebal 47
halaman. Dalam waktu tiga bulan saja, buku tersebut terjual habis 120.000
eksemplar. Perkiraan penjualan seluruhnya mendekati jumlah setengah juta
eksemplar. Suatu jumlah yang bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada
masa itu, sama besarnya dengan penjualan enam puluh juta di Amerika Serikat
masa sekarang. Pendek kata setiap orang yang pandai membaca di ketiga belas
koloni jajahan Inggris masa itu telah membaca buku Common
Sense. Sekalipun penjualan buku tersebut luar biasa
besarnya, Paine tidak bersedia untuk menerima honorarium biar sesen pun.
Tidak
ada buku di Amerika Serikat masa itu yang mempunyai pengaruh begitu cepat
seperti Common Sense. Buku ini laksana tiupan nyaring sangkakala
yang memanggil kolonis-kolonis Amerika untuk bangkit memperjuangkan kemerdekaan
mereka tanpa syarat. Paine telah mengemukakan dalam bukunya bahwa revolusi
adalah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persengketaan mereka dengan
Inggris dan Raja George III. “Lantaran tidak ada cara lain mencapai tujuan
kecuali ledakan-ledakan,” kata Paine.
Hal yang
membuat pena Thomas Paine begitu berarti dalam perjuangan kemerdekaan Amerika
Serikat adalah ia meminum dari tinta yang gelap, lalu melukiskan cahaya…. Buku
Paine ini salah satu seberkas cahaya yang diarahkan bagi kemaslahatan.
Kebalikannya,
buku juga dapat mendatangkan bencana. Mein Kampf (Perjuanganku)
karya Adolf Hitler contohnya. Buku ini ada yang mengatakan sebagai “karya besar
propaganda zaman ini”. Pula jika dilihat dari kacamata seorang hakim Mahkamah
Kejahatan Perang Internasional yang dibentuk seusai Perang Dunia II, Mein
Kampf adalah “buku abad ke-20 yang paling dibebani
kejahatan”. Melalui buku ini, sebuah bangsa besar, yakni Jerman, dan
kawan-kawan serikatnya telah menyediakan diri untuk melaksanakan pikiran-pikran
fanatik yang terkandung dalam buku tersebut.
Mein
Kampf terdiri dari 2 jilid. Jilid pertama
diterbitkan tahun 1925, dan jilid kedua setahun berikutnya, dengan ketebalan
keduanya 700 halaman lebih. Dengan demikian buku tersebut terbit jauh hari
sebelum Adolf Hitler mengambil kendali pemerintahan di Jerman pada 1933. Oya,
dua jilid buku dimaksud juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh
penerbit Narasi, dan tersedia di toko-toko buku tanah air.
Sesungguhnya
Mein
Kampf lebih merupakan buku yang diucapkan ketimbang yang
dituliskan. Buku tersebut diselesaikan saat Hitler meringkuk dalam penjara
Bavaria. Orang yang menyertai Hitler dalam penjara adalah pengikutnya yang
setia, Rudolf Hess. Jilid pertama dari buku ini didiktekan kepada Hess dan
langsung diketik di atas sebuah mesin ketik. Buku ini dipersembahkan kepada 16
orang Nazi yang gugur dalam pemberontakan Munich. Aslinya buku jilid pertama
diberi titel “Empat Setengah Tahun Perjuangan Melawan Dusta,
Kebohongan dan Kepengecutan“. Lantas oleh penerbit, diubah menjadi Mein
Kampf yang berarti Perjuanganku. Sementara itu, jilid kedua
diselesaikan dan terbit pada tahun 1926.
Di
Jerman, sewaktu Perang Dunia II pecah pada 1939, 5.000.000 (lima juta)
eksemplar buku Mein Kampf telah diedarkan.
Nyanyi pokok buku karya Hitler yang selalu diulang-ulang ialah ras, kemurnian
ras, keunggulan ras dan keangkuhan ras, seraya merendahkan ras lain, utamanya
ras Yahudi.
Didorong
oleh percikan api buku Mein Kampf ini, dan
propaganda masif yang menyertai, kaum Nazi pada Perang Dunia II tanpa rasa
berperikemanusiaan telah membakar dan membumihanguskan kota-kota, serta
menewaskan jutaan orang di daratan Eropa. Hanya karena berbeda ras. Dalam hal
ini kaum ras Yahudi, Gipsy, Negro dan lain-lain di luar ras Arya.
Menurut
Norman Cousins, seorang wartawan politik Amerika Serikat yang juga aktivis
perdamaian dunia, “Buku Mein Kampf adalah buku yang paling efektif dalam abad
ke-20. Bagi setiap kata yang terdapat di dalamnya 125 nyawa telah hilang; bagi
setiap halaman 4.700 jiwa lenyap; dan bagi setiap bab lebih dari 1.200.000
nyawa melayang”. Kehebatan buku Mein Kampf, kata Cousins lebih lanjut, lantaran ia
merupakan kitab suci politik rakyat Jerman, dan pembimbing politik dari Reich
Ketiga itu dari tahun 1933 sampai akhir Perang Dunia II.
Dari
pemaparan berdasarkan dua buah contoh buku di atas, yakni Common
Sense dan Mein Kampf, ternyata
kekuatan sebuah buku yang dapat mengubah sejarah dunia bukan dilihat dari tebal
tipisnya jumlah halaman. Common Sense, buku tipis
hanya 47 halaman, tidak lebih dari sebuah pamflet. Sementara Mein
Kampf, cukup tebal dengan lebih dari 700 halaman.
Di mana
rahasia kekuatan sebuah buku? Dalam konteks tulisan di atas, inilah hukum besi
yang berlaku di mana-mana tiada lain lantaran tuntutan zaman telah siap buat
para penulis bersangkutan. Rakyat Amerika kala itu tengah bersitegang dengan
Inggris hingga melahirkan perang kemerdekaan. Sumbu-sumbu pendek dinamit yang
siap terbakar dan meledak, mendapatkan percikan api lebih cepat dari pamflet Common
Sense Thomas Paine.
Demikian
pula Jerman di masa Hitler hidup. Dipermalukan sebagai bangsa melalui
Perjanjian Versailles pada 1919 oleh Sekutu karena kalah dalam Perang Dunia I,
ekonomi Jerman kalang kabut dan terhempas di titik nadir. Kehidupan dan masa
depan tidak menentu. Kondisi psikologi publik semacam itu melahirkan perlunya
suatu kambing hitam. Lantas, ras Yahudi di Eropa dipersalahkan sebagai penyebab
kekacauan tersebut dan sasaran utamanya. Terbitnya Mein
Kampf karya Adolf
Hitler dinilai sebagai jawaban atas situasi kacau itu. Dan ia dianggap membawa
pesan-pesan yang acapkali emosional sifatnya.
Dua buah
buku semacam dikupas sekilas di atas, harus diakui memiliki kekuatan-kekuatan.
Kekuatan dimaksud bisa menimbulkan pengaruh baik maupun buruk. Lebih daripada
itu, keduanya menorehkan rekor dari segi besarnya jumlah eksemplar yang
diterbitkan. Pula tingkat keterbacaan tinggi.
Mengenai
pengaruh dan kekuatan yang dapat ditimbulkan oleh suatu buku bagi manusia dan
kebudayaannya, ada baiknya pula jika saya sitir kata-kata seorang penulis
Amerika Serikat, Ray Bradbury. Dengan kalimat menyentak ia mengatakan, “Anda
tidak perlu membakar buku jika ingin menghancurkan kebudayaan.
Perintahkan orang untuk berhenti membaca, itu sudah cukup!”.
Disamping
itu terdapat beberapa penelitian tentang minat membaca dikutip dari sebuah
situs, yaitu The National Endowment for the Arts telah menempatkan dua
studi, yang paling baru keluar pada bulan November 2007. Penelitian sebelumnya,
”Membaca at Risk” diterbitkan pada tahun 2004 dan menilai penurunan membaca
literatur dari 1982 sampai 2002. Laporan terbaru,” Untuk Baca atau Tidak Untuk
Dibaca,” berbicara kepada masalah yang sama membaca menurun dalam populasi
secara keseluruhan dari Amerika Serikat, tapi itu membuat sejumlah pengamatan
menarik lainnya. Mari kita lihat. Kemampuan membaca yang buruk cenderung
menyamakan dengan gaji yang lebih rendah, kurangnya atau pekerjaan yang buruk,
dan lebih sedikit kesempatan untuk kemajuan. Pembaca miskin umumnya tidak membaca
sebanyak pembaca yang baik. Ini adalah siklus ke bawah untuk pembaca miskin. Mereka
tidak membaca dengan baik, sehingga mereka tidak banyak membaca, yang berarti
mereka tidak mendapatkan latihan yang mereka butuhkan untuk memperbaiki.
Pembaca miskin memiliki keberhasilan akademis yang lebih rendah. Secara umum,
para tahanan memiliki kemampuan membaca yang lebih buruk daripada populasi umum.
Juga pembaca miskin cenderung untuk aktif dalam kehidupan sipil, relawan kurang,
dan suara kurang dari pembaca yang lebih baik. Menjadi pembaca yang buruk pasti
membawa kerugian pribadi dan sosial bagi individu dan masyarakat secara
keseluruhan.” Apakah iya atau tidak orang membaca, dan memang berapa banyak dan
seberapa sering mereka baca, mempengaruhi kehidupan mereka dengan cara yang
sangat penting.”
“Membaca
berkorelasi dengan hampir setiap pengukuran perilaku personal dan sosial yang
positif yang disurvei. Hal ini meyakinkan, meskipun tidak menakjubkan, bahwa
pembaca menghadiri konser dan teater lebih daripada non-pembaca, tetapi cukup
mengejutkan bahwa mereka latihan lebih banyak dan bermain lebih olahraga-tidak
peduli apa tingkat pendidikan mereka. Statistik dingin mengkonfirmasi sesuatu
yang sebagian besar pembaca tahu, tapi sebagian besar telah enggan untuk menyatakan
sebagai perubahan fakta-buku hidup menjadi lebih baik.” Sebagai orang tua dan
guru, harus jelas bahwa mereka yang di bawah perawatan Anda seharusnya diajarkan
dan didorong untuk membaca, tidak hanya untuk tugas sekolah mereka, tapi untuk
kesenangan mereka juga.
Laporan
memiliki sejumlah grafik dan angka menjelaskan bagaimana membaca untuk
kesenangan telah menurun selama dua puluh tahun terakhir, khususnya di kalangan
orang-orang muda. Sementara jumlah membaca untuk sekolah dan pekerjaan rumah
tetap hampir sama selama periode ini, jumlah membaca untuk kesenangan telah
menurun. Ini adalah kebiasaan sehari-hari membaca untuk kesenangan yang membuat
perbedaan. Sepotong data menunjukkan bahwa sementara mereka dengan pendidikan
yang lebih cenderung untuk membaca lebih lanjut, penurunan membaca untuk
kesenangan itu hanya sebagai terlihat di kalangan lulusan perguruan tinggi
seperti itu dengan mereka yang tidak memiliki pendidikan perguruan tinggi.
Sebagai bangsa kita membaca untuk kesenangan menurun pada semua kelompok
pendidikan.
Alasan yang
paling mungkin diberikan, tidak hanya oleh penelitian ini tetapi oleh orang
lain, adalah ledakan dari media elektronik yang mengundang untuk waktu kita .
Internet , video game, film, televisi, ponsel, dan sejenisnya bertanggung jawab
untuk menyedot sejumlah besar waktu yang pernah mungkin telah dimanfaatkan
sebagai waktu membaca.
Salah satu
bagian menarik dari penelitian menunjukkan bahwa jumlah buku di rumah memiliki
pengaruh yang besar pada nilai tes siswa. Yang cukup menarik, nilai tes yang
diukur adalah dalam ilmu pengetahuan dan sejarah, bukan sastra atau bahasa
Inggris. Grafik menunjukkan nilai tes rata dikelompokkan berdasarkan jumlah
buku di rumah. Data itu dari 2005-2006 tes yang diberikan kepada senior sekolah
tinggi. Sains dan kewarganegaraan skor berkisar 0-300. Sejarah skor berkisar
dari 0 sampai 500. Sumber: Departemen Pendidikan Amerika Serikat, Pusat Nasional
untuk Statistik Pendidikan. Tampaknya bahwa kehadiran buku, dan lebih banyak
lebih baik, memungkinkan untuk kesempatan bagi anak-anak untuk memilih satu
dari rak dan mudah-mudahan membaca atau setidaknya membaca di dalamnya.
Berikut
adalah beberapa temuan yang lebih dilaporkan dalam penelitian ini. Data ini
dari tempat kerja tentang membaca .
Ø 38 % dari pengusaha menemukan lulusan SMA "kekurangan"
dalam pemahaman bacaan, sedangkan tingkat 63 % keterampilan dasar ini sangat
penting.
Ø Satu dari lima pekerja AS membaca pada tingkat keterampilan
rendah dari pekerjaan mereka membutuhkan.
Ø kursus menulis Remedial yang diperkirakan menelan biaya lebih
dari $ 3.100.000.000 untuk pengusaha perusahaan besar dan $ 221.000.000 untuk
pengusaha negara.
Temuan ini
merefleksikan kebiasaan membaca yang buruk dan kemampuan sebagian besar tenaga
kerja di Amerika Serikat, dan itu mencerminkan pendidikan mereka atau
kekurangan itu.
Pada wacana
Howard Zinn yang berjudul “Speaking Truth to Power With Books” menyinggung
tentang sejarah kebenaran Chistopher Colombus. Zinn mengatakan bahwa Colombus
adalah penemu besar, Colombus pembaca Alkitab yang saleh, Colombus sebagai
pembunuh, penyiksa, penculik, mutilator orang pribumi, munafik, orang yang
tamak mencari emas, bersedia untuk membunuh orang dan mencincang orang itu. Disini Saya akan mencoba mengungkap sedikit fakta tentang
Colombus. Pada sebuah situs Islam dituliskan bahwa Tidak kita sangkal
lagi bahwa penulis sejarah adalah kelompok pemenang. Sejarah-sejarah peradaban
Islam banyak ditulis di masa Dinasti Abbasiyah sebagai pemenang di periode
pertengahan sejarah peradaban Islam. Dan di era modern ini sejarah ditulis oleh
Barat sebagai pihak pemenang dan menguasai berbagai media informasi.
Namun
sejarawan di masa Abbasiyah sangat jauh berbeda dengan sejarawan Barat di era
modern ini. Di masa Abbasiyah sisi objektivitas dan keotentikan sejarah lebih
dikedepankan daripada sejarawan Barat. Barat yang menguasai hegemoni abad
modern nyaris menutupi kelemahan mereka di abad pertengahan dan tingginya
peradaban Islam di masa tersebut.
Di antaranya
adalah kontroversi ekspedisi yang dilakukan oleh Columbus. Pelaut yang bernama lengkap
Christopher Columbus atau dengan nama Italia-nya Cristoforo Colombo diklaim
sebagai orang pertama yang mengarungi jalur Atlantik lalu menemukan benua
Amerika. Hal ini selama ratusan tahun masih dianggap sebuah fakta yang tak
terbantahkan. Benarkah demikian? Analisis berikut ini mencoba menguraikan dan
mengkritisi teori tersebut.
Tentu saja
tidak perlu diragukan lagi yang pertama kali datang menemukan benua Amerika
adalah nenek moyang asli bangsa Amerika. Mereka mungkin menyeberang ke Amerika
melalui Rusia dan Alaska sekitar 12.000 tahun yang lalu. Diskusi penemuan benua
Amerika oleh orang-orang Eropa, Afrika, atau Asia, sebenarnya adalah penghinaan
terhadap sejarah masyarakat asli benua tersebut. Keberanian dan sejarah mereka
sangat tidak dihargai dan tidak dinilai apabila teori Columbus sebagai penemu
benua Amerika adalah fakta yang hakiki.
Columbus
hidup di zaman dimana orang-orang berasumsi bahwa bumi ini datar. Padahal sejak
lama Aristoteles dan Pythagoras mengeluarkan sebuah teori bahwa bumi itu
berputar. Demikian juga di masa kejayaan Islam (750-1100-an M) ilmuwan-ilmuwan
Islam meyakini bumi itu bulat.
ü Teori Arab dan Muslim Spanyol
Seorang
sejarawan dan ahli geografi muslim, Abu Hasan al-Mas’udi pada tahun 956 menulis
perjalanan muslim Spanyol di tahun 889 M. Eskpedisi pelayaran muslim Spanyol di
tahun itu bertolak dari pelabuhan Delba (pelabuhan yang sama dengan start
ekspedisi Columbus), dan berlayar selama berbulan-bulan ke arah Barat. Lalu
mereka menemukan sebuah daratan yang sangat luas dan mereka pun berniaga dengan
penduduk asli di daerah tersebut, setelah itu kembali lagi ke Eropa. Al-Mas’udi
menggambarkan tanah tersebut dalam petanya yang sangat fenomenal, ia menyebut
daratan tersebut dengan “Daratan yang Tidak Diketahui” atau daratan tanpa nama.
Tercatat
muslim Spanyol telah dua kali mengadakan ekspedisi ke Amerika. Pertama, pada
tahun 999 M oleh Ibnu Farrukh dari Granada dan yang kedua oleh al-Idrisi pada
tahun 1100 M. Al-Idrisi mencatat sekelompok kaum muslimin berlayar kea rah
Barat dari Lisbon selama 31 hari dan berlabuh di sebuah pulau di Karibia.
Mereka ditawan oleh penduduk asli Amerika di kepulauan tersebut selama beberapa
hari. Setelah beberapa hari mereka pun dibebaskan karena negosiasi dengan
perantara salah seorang penduduk setempat yang memahami bahasa Arab. Mereka pun
kembali ke al-Andalus kemudian menceritakan apa yang mereka alami. Poin menarik
dari kejadian ini adalah adanya penduduk setempat yang memahami bahasa Arab.
Tentu saja hal ini menunjukkan sering terjadi kontak antara penduduk setempat
(Amerika) dengan orang-orang Arab.
Ada sebuah
teori yang menyatakan bahwa kaum muslimin datang ke benua Amerika menyebrangi
kegelapan Samudera Atlantik 300 atau 400 tahun sebelum kedatangan Columbus. Hal
ini diindikasikan dengan kemampuan pemetaan, citra geografis, dan astronomi
yang mumpuni di kalangan kaum muslimin. Umat Islam telah mengeluarkan teori
bumi itu berputar seperti bola sebagaimana Ibnu Khardzabah (242 H/885 H) dan
Ibnu Rustah (290 H/903 M), termasuk Khalifah Abbasiyah, al-Makmun.
ü Teori Afrika Barat
Ada bagian
dunia Islam lainnya yang telah mengadakan kontak dengan orang-orang di benua
Amerika sebelum Columbus. Di Afrika Barat ada sebuah kerajaan yang sangat kaya
dan memiliki kekuatan besar yaitu kerjaan Mali dengan raja yang paling terkenal
Mansa (raja) Musa. Sebelum Raja Musa, Mali dipimpin oleh saudaranya yang
bernama Abu Bakar. Abu Bakar pernah mengirim 400 kapal menjelajahi Samudera
Atlantik, namun dari jumlah yang besar tersebut hanya satu kapal saja yang
berhasil kembali. Kapal tersebut melaporkan bahwa di seberang lautan sana ada
sebuah daratan yang luas. Mendengar kabar tersebut, Mansa Abu Bakar pun
melakukan ekspedisi dengan 2000 awak kapalnya menuju daerah tersebut namun
setelah itu kabar mereka tidak pernah terdengar lagi.
Meskipun
tidak ada catatan spesifik hasil dari pelayaran tersebut, namun di Amerika ada
bukti yang kuat mengenai kedatangan mereka. Ada situs arkeologi di daerah
Amerika Utara dan Amerika Selatan yang menunjukkan bahwa orang-orang Mali
pernah datang ke wilayah tersebut. Orang Spanyol saat datang menjajah wilayah
Amerika, mereka menemukan prasasti di wilayah Brasil dengan bahasa Mandika
(bahasa Mali). Lebih dari itu, prasasti dalam bahasa Mandika juga ditemukan di
wilayah Amerika Serikat; di wilayah Misissipi dan Arizona. Di Arizona prasasti
tersebut mengabarkan tentang gajah-gajah sakit, padahal gajah bukanlah hewan
asli Amerika. Ini pun menjadi indikasi kesuksesan perjalanan Mansa Abu Bakar
menuju daratan Amerika.
ü Teori Dinasti Utsmaniyah
Pada tahun
1929, terdapat sebuah penemuan yang cukup fenomenal di Istanbul. Pada tahun itu
ditemukan sebuah peta yang dibuat pada tahun 1513 oleh seorang kartografer
Dinasti Utsmani, Piri Reis. Reis menyatakan bahwa peta yang dibuatnya itu
berdasarkan sumber-sumber di masa lalu, yaitu peta Yunani dan Arab kuno,
termasuk peta yang berdasarkan ekspedisi yang dilakukan oleh Columbus yang
berlayar 21 tahun sebelumnya. Yang luar biasa dari peta ini adalah tingkat
kedetailannya sehingga memaksa para sejarawan melakukan penelitian ulang
tentang teori ekspedisi Columbus.
Peta tersebut
dengan jelas menunjukkan pantai Timur Amerika Selatan. Pantai Brasil juga
ditampilkan dengan detail yang luar biasa, disertai dengan tingkat akurasi yang
tinggi letak-letak sungainya. Meskipun Reis menjadikan ekspedisi Columbus
sebagai sumber primernya, namun Columbus tidak pernah menginjakkan kakinya di
wilayah Amerika Selatan sehingga catatan-catatan ekspedisi kaum muslimin pun
menjadi bagian penting dari peta karyanya. Selain itu peta Reis juga
mencatumkan gambar Pegunungan Andes yang tidak tersentuh oleh eksplorer Eropa
hingga tahun 1520-an, satu decade penuh setelah gambar peta Reis.
Peta Reis
dengan sumber-sumber klasik yang ia gunakan menunjukkan penguasaannya yang
mapan mengenai benua Amerika. Peta karyanya juga merupakan bukti fisik terkuat
mengani ekspedisi-ekspedisi kaum mulimin jauh sebelum ekspedisi Columbus.
ü Catatan Columbus
Data-data
historis di atas adalah bukti shahih yang menunjukkan ekspedisi kaum muslimin
dilakukan sebelum keberhasilan Columbus menginjakkan kakinya ke benua Amerika
di tahun 1492, bahkan mungkin Columbus sendiri mengetahui bahwa dirinya
bukanlah orang yang pertama melakukan hal itu. Columbus berlayar dari Spanyol
di tahun yang sama dengan runtuhnya dinasti Islam terakhir di tanah Iberia.
Selain itu banyak masyarakat Iberia yang beragama Islam dan sangat mengenal
sejarah masa keemasan Islam. Pelayaran Columbus juga banyak diawaki oleh
orang-orang Islam yang dipaksa memeluk Katolik atau dibunuh, Columbus pun bisa
dengan mudah mendengar kisah tentang dunia baru tersebut lalu terinspirasi
untuk menuju ke sana.
Setalah
Columbus tiba di Amerika, ia mencatat beberapa hal syi’ar-syi’ar Islam di
daerah tersebut. Ia berkomentar mengenai emas yang dimiliki oleh penduduk asli,
dibuat dengan paduan dan tata cara yang sama dengan yang dibuat oleh kaum
mulimin dari Afrika Barat. Columbus juga mencatatat bahwa kata asli untuk emas
di daerah tersebut disebut dengan ghunain, yang sangat mirip dengan bahasa
Mandika untuk menyebut kata emas, yaitu ghanin, sangat mirip sekali dengan
bahasa Arab ghina yang berarti kekayaan. Catatan Columbus juga
mengisahkan adanya sebuah kapal di tahun 1498 yang memuat banyak barang
dagangan yang diawaki oleh orang-orang Afrika yang menurut keterangan penduduk
asli mereka adalah mitra dagang penduduk lokal.
Jelas, teori
yang menyatakan bahawa Columbus adalah orang yang pertama menjelajahi Samudera
Atlantik dan menginjakkan kaki di benua Amerika adalah teori lama yang belum
diuji. Tidak dipungkiri bahwa era Columbus adalah waktu yang sangat penting
dalam sejarah dunia yang mengubah cara hidup di benua Amerika dan Eropa. Namun
untuk dikatakan bahwa ia adalah orang yang pertama menginjakkan kaki di benua
Amerika adalah teori yang sangat lemah. Eksistensi orang-orang Arab, Afrika
Barat, dan Utsmani di daerah tersebut jauh sebelum kedatangan Columbus dan
orang-orang Kristen Eropa. Teori-teori yang menyatakan bahwa Columbus adalah
orang yang pertama datang ke tanah tersebut bukanlah menjadi fakta final. Teori
tersebut masih sangat perlu diuji dan dibenturkan dengan teori Arab, Afrika
Barat, dan Utsmani.
Dapat ditarik
kesimpulan bahwa, kekuatan sebuah buku bagi pembaca maupun dunia sangatlah
berpengaruh besar. Kekuatan yang terdapat dalam buku tentunya bermuaera pada
kekuatan seorang penulis. Bahasa seperti apa yang disampaikan oleh penulis, bagaimana
penulis mempresentasikan karyanya hal itulah yang menjadi dasar dari kekuatan
sebuah buku.
REFERENSI
·
Buku-Buku Pengubah Sejarah, Robert B. Downs, alih bahasa Asrul Sani, Penerbit
Tarawang Press Yogyakarta, April 2001.
·
Madza
Qaddamal Muslimuna lil ‘Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah
oleh DR. Raghib as-Sirjani.
·
http://lostislamichistory.com/columbus-was-not-the-first-to-cross-the-atlantic/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic