Sebuah gelas mewah akan terlihat mewah
dimanapun itu di letakan. Gelas mewah tersebut
tidak lagi mewah ketika berisikan air sungai yang kotor dan akan terlihat lebih
mewah ketika berisikan air jernih.
Manusia selayaknya gelas mewah tersebut.
Manusia merupakan satu-satunya mahluk level atas yang diciptakan oleh
sang maha kuasa. Dikatakan demikian
karena manusia memiliki organ yang bernama otak sebagai wadah dari semuanya. Namun kualitas atau ilmu-ilmu pengetahuan
didalamnya bergantung pada setiap majikannya, manusia. Dengan kata lain informasi-informasi yang
berperan untuk menjadikan otak lebih berwarna dan mewah bergantung dari apa
yang manusia tuangkan. Banyak cara dapat
dilakukan, diantaranya dengan belajar atau mungkin melihat berita-berita di
televisi guna memperkaya pengetahuan dalam otak. Namun sangat disayangkan bahwa manusia dengan
organ otak tersebut sering kali lebih memilih menuangkan air sungai dari pada
air jernih. Manusia bahkan selalu
memilih dan mendukung suatu yang salah dan kotor.
Manusia memiliki sebuah keunikan
tersendiri. Kapasitas otak manusia
berdasarkan ilmu biologi dapat menghafal lebih dari lima buku tebal. Namun tetap saja manusia memiliki ketidaktahuan. Itu wajar sebenarnya karena mengingat
informasi-informasi di dunia ini sungguh banyak dan selalu terupdatekan. Sesuatu yang harus digarisbawahi adalah bukan
masalah tersebut, tetapi bagaimana setiap manusia menyikapi ketidaktahuannya
tersebut. Terdapat dua pilihan yang
dapat diambil. Pertama, menyerah dan memberikan
ketidaktahuan ruang untuk lebih leluasa mengatur kehidupan. Kedua adalah dengan melawannya dan merubah
ketidaktahuan menjadi mengerti dan tahu.
Buku merupakan salah satu penghapus guna menghilangkan ketidaktahuan
tersebut.
Tahukah manusia akan Israel? Jawabannya
pasti tahu. Namun fakta dan realita yang
terjadi didalam negara tersebut belum tentu semua seorang tahu. Israel melarang penduduk membeli dan bahkan
menyewa tanah di negara tersebut, terkecuali mereka yang memiliki ras Yahudi. Israel pula mengalokasikan 85% air bersih
untuk ras Yahudi yang hanya berjumlah 400 penduduk di Hebron dan hanya 15%
untuk 120 ribu penduduk Palestina.
Mereka tidak adil. Yang menjadi
persoalan adalah apakah manusia tahu akan hal tersebut? Mungkin mereka tahu bahwa
Israel kejam dan tidak adil, namun bentuk pengetahuan akan ketidakadilannya
masih dangkal. Mungkin apabila terdapat
buku yang bercerita tentang hal ini manusia akan mengetahui hal-hal demikian
dan akan berdampak dengan hilangnya dukungan-dukungan dari negara-negara
adidaya terhadap Israel yang sekarang ini masih mengalir. “Israel is Non-Sense”, mungkin
itu dapat menjadi judul bukunya.
Entahlah, titik pusatnya adalah lewat buku manusia mengetahui yang belum
diketahui.
Tahukah masyarakat akan kebijakan
pemerintah mengenai wajib berpastisipasi dalam pemilihan umum? Tentunya tahu. Sesuatu yang menjadi persoalan adalah apakah
masyarakat tahu kebijakan itu hanya mimpi belaka selama sistem belum
diperbaiki?? Itulah yang harus diketahui
masyarakat. Penduduk Indonesia lebih
dari 250 juta. Itu semua terbagi menjadi
dua bagian. 15% terdiri dari anak-anak
dan 75% berada di atas 17 tahun. Jadi
ada sekitar 190 juta penduduk yang harusnya dapat memilih dalam pemilihan
umum. Namun berdasarkan data Komisi
Pemilihan Umun (KPU) hanya sekitar 180 juta penduduk yang terdaftar sebagai
pemilih dalam pemilu. Jadi apakah
penduduk yang harus disalahkan ketika mereka tidak bisa memilih? Tidak tentunya, mereka ingin memilih namun
apa boleh buat, mereka tidak terdaftar. “Daftarkan Kita, Kita Ingin Nyoblos”,
mungkin harusnya ada buku yang berjudul seperti itu dan menjelaskan semuanya
mengenai administrasi pencoblosan.
Tahukah masyarakat berapa banyak
pedagang di Indonesia? Berdasarkan data
dari BKKSI (Indonesia District Cooperation Agency) jumlah pedagang hampir
mencapai 12,65 juta orang dari sekitar 13.450 pasar di Indonesia. Seorang pedagang tidak akan mengenal hari
libur. Hari libur, maka uang pun akan
libur mengalir pula. Sedangkan proses
pemilihan biasanya dilaksanakan pada jam kerja dimana para pedagang sedang giat
mencari pelanggan demi seteguk kopi.
Ketika seorang tidak bisa memilih karena hendak mencari uang guna
menlanjutkan hidup, apakah harus dihukum?
Tentu saja tidak. Mungkin
pemerintah harus memperpanjang waktu pemilihan menjadi sedikit lama, jangan
hanya mentok pada jam makan siang saja. “Pak, saya lagi cari uang!”, mungkin
apabila ada buku yang berjudul seperti itu akan membuka mata pemerintah
lebar-lebar dan sadar diri akan kekurangannya.
Menurut Migrant Care ada sekitar 6,5
juta penduduk Indonesia berada di luar negeri.
80% sampai 90% sebagai pekerja atau TKI dan sisanya merupakan pelajar,
pengusaha dan lain-lainnya. Tahukah
masyarakat akan hal itu? Mungkin tahu tetapi hanya hal-hal dangkalnya
saja. Memang sudah berjalan pemilihan
umum diluar negeri, namun prosesnya sungguh sulit. Ada sekitar tiga alasan mengapa pemilihan
umum di luar negeri begitu sulit.
Pertama, masyarakat Indonesia yang hendak memilih harus mempunyai surat
izin dari perusahaan tempatnya bekerja.
Surat ijin tersebut akan dikeluarkan apabila ada surat resmi dari
pemerintah Indonesia. Selain itu alasan
kedua adalah sumber daya manusia yang harus mengatur proses pemilihan umum
tidak sebanyak di negara asalnya. Terakhir adalah masalah tradisi, Arab Saudi
melarang penduduk wanitanya berpartisipasi dalam pemilihan umum. Sedangkan Di negara tersebut penduduk
Indonesia mencapai 1,5 juta penduduk.
Untuk memperbolehkan penduduk wanita sendiri saja sudah tidak mungkin
apalagi penduduk perempuan dari negara lain yang menetap di negara
tersebut. Sungguh tidak masuk akal
kebijakan wajib memilih ini selama semua masalah belum ada solusinya. “Benerin Dulu Pak!”, mungkin itu judul
buku lainnya yang dapat menegur pemerintah.
Buku merupakan sarana penyampian fakta
dan realita. Itu yang harus
digarisbawahi. Howard Zinn dalam
artikelnya yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books” memiliki pendapat
terebut. Lewat buku semua kebenaran
dapat terungkap. Namun apakah berdampak sangat
signifikan?? Entahlah, itu hanya
pendapat Howard Zinn.
Howard Zinn berpendapat bahwa seorang
penulis itu selayaknya seorang pengajar.
Tujuan utama seorang pengajar adalah sebagai penolong peserta didik guna
menjadi individu yang lebih berilmu. Namun
sekali lagi manusia layaknya sebuah gelas mewah yang dihadapkan dengan dua
pilihan. Manusia bisa menuangkan air
sungai ke dalam gelas atau pun air jenih untuk memperindah gelas mewah
tersebut. Sudah terlalu sering manusia
memilih menuangkan air sungai ke dalam mewahnya gelas dan menurunkan level
kemewahan gelas tersebut. Begitu pun
seorang pengajar dan penulis yang seharusnya bertujuan menolong masyarakat
malah bertujuan untuk diri sendiri saja.
Seperti hanya untuk meningkatkan keprofesionalannya saja.
Howard Zinn menjelaskan peran penting
dari membaca buku melalui dirinya sendiri, melalui pengalamannya. Howard Zinn berargumen bahwa langkah yang dia
lakukan hingga bisa seperti saat ini, bisa menjadi seorang aktivis adalah
dengan membaca. Howard Zinn bukanlah
sosok yang dekat dengan buku sejak dini.
14 tahun merupakan waktu yang cukup lama ketika dia menemukan buku di
jalanan. Sejak saat itu orang tuanya
menyadari bahwa Howard Zinn menyukai dan tertarik dengan buku. Setelah kejadian itu orang tua Howard Zinn
memberinya sebuah Koran yang berisikan “Dicken”. Orang tuanya tidak pernah mengetahui dan
mendengar siapa itu “Dicken”, namun
setelah anaknya membaca yang secara otomatis akan diikuti pula oleh orang
tuanya. Mereka tahu akan hal baru tersebut.
Peran sebuah buku tidak dapat dilihat
secara langsung. Hal ini dikarenakan
jalan yang akan dilalui oleh buku menuju pemahaman pembaca akan sangat berliku
bahkan lebih berliku dengan proses metamorphosis seekor kupu-kupu. Namun terkadang ada pertemuan tidak langsung
antara buku dan kebijakan. Banyak
terjadi pada sebuah zaman ketika masyarakat mulai menulis dan mentransfer
informasi lewat buku dan ketika itu pula kebijakan-kebijakan berubah. Tulisan dalam buku dapat mempengaruhi
masyarakat. Setelah itu berbekal
pengaruh dari buku masyarakat melakukan sesuatu. Sesuatu tersebut akan memunculkan hubungan
antara sesuatu yang dikerjakan oleh satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Ketika semua orang melakukan langkah-langkah
menakjubkan maka dunia akan berubah.
Itulah alasan Howard Zinn mengapa hubungan antara membaca dan kehidupan
nyata sangat rumit.
Howard Zinn menambahkan bahwa dampak
buku begitu dahsyat. Buku dapat mengubah
hidup seseorang. Di dalam buku terdapat
informasi-informasi, karena buku adalah kumpulan tulisan yang berisikan
informasi. Dengan kata lain masyarakat
dapat menghapus ketidaktahuannya lewat buku dan juga dapat memperbaharui level kesadaran
dari masing-masing masyarakat. Keasadaran,
itulah kuncinya apabila masyarakat ingin ditiolong oleh sebuah buku dan
mendapatkan hidup lebih baik kerana benda ajaib tersebut.
Howard Zinn juga menambahkan ketika
membaca Herman Melville, Billy Budd akan ada kesadaran yang akan muncul. Buku ini menurut Howard Zinn menceritakan
kondisi dimana masyarakat selalu mentaati peraturan-peraturan yang ada di
lingkungan dan hal-hal yang berbau positif lainnya. Peraturan-peraturan harus diuji sebelum
diterapkan dan mungkin ada sebuah pertanyaan muncul mengenai alasan mengapa
masyarakat harus mematuhi aturan. Itulah
beberapa bentuk kesadaraan yang akan muncul.
Howard Zinn juga menyebutkan dalam
artikelnya bahwa banyak hal dapat ditemukan lewat tulisan. Keadaan sosial yang terbagi berdasarkan
kelas. Miskin dengan miskin dan kaya
dengan kaya. Itulah keadaan sosial atau
pemerintah yang berpihak kepada mereka yang kaya dan memiliki jabatan. Ini semua kehidupan dan manusia tidak akan
mengerti apabila tidak ada buku yang berisikan hal-hal seperti itu. Jadi sangat jelas terlihat bahwa ada sesuatu
di dalam buku. Sesuatu itu adalah fakta
yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal
ini dikarenakan buku haruslah berisikan fakta-fakta bukan kebohongan. Sesuai dengan fungsi dari buku, yaitu sebagai
penolong maka tidak aneh benda itu harus berisikan sebuah hal bernilai yang
disebut fakta. Itulah pendapat dari
Howard Zinn.
Rachel Carson’s The Sea Around Us tidak luput dari pengamatan seorang Howard
Zinn. Buku ini terbit pada tahun
1951. Buku ini hanya menjelaskan apa
yang sebenarnya terjadi di lingkunagn dimana masyarakat hidup tanpa ada fakta
yang dibuat-buat. Inti permasalahannya
adalah fakta yang harus sesuai dengan kenyataan. Contoh lain adalah ketika hendak menceritakan
apa yang sedang terjadi di negeri Sudan.
Masyarakat tahu ada sesuatu terjadi di Sudan, oleh karena itu muncul
buku yang mendalaminya. Maka dengan kata
lain tanpa harus membuat fakta bualan masyarakat sudah tahu akan Sudan. Namun pastinya akan ada satu atau dua hal
yang masyarakat tidak ketahui.
Ketidaktahuan inilah yang seharusnya menjadi target. Dengan hanya menceritakan sesuatu yang
masyarakat tidak ketahui pun pasti akan berdampak cukup signifikan bagi mereka
dan bagi tindakan yang akan mereka lakukan.
Itulah yang terpenting bukan melebih-lebihkan fakta.
Howard Zinn pun seorang penulis buku. Salah satu buku yang paling fenomenal adalah
ketika dia menerbitkan buku berjudul A
people‘s History of the United Nation States. Semua orang termasuk masyarakat Amerika mengetahui
bahwa penemu Amerika adalah Christoper Colombus. Christoper Colombus dikenal sebagai sosok
sangat baik dan suci yang jauh dari hal-hal negatif. Seperti Christoper Colombus sebagai sosok
yang taat beribadah atau Christoper Colombus sebagai penemu yang agung dan
lain-lain. Namun Howard Zinn membuat
seluruh masyarakat Amerika bahkan seluruh dunia gempar dan geram padanya
melalui tulisan-tulisan dalam bukunya ini.
Howard Zinn menggambarkan sosok Christoper Colombus sebagai sumber dari
semua keburukan. Seperti sebagai sosok
pembunuh, penculik, penyiksa, seorang munafik, rakus mencari kekayaan, dan
sosok dengan keinginan membunuh yang besar.
Jelas Howard Zinn mendapat banyak respon dan kecaman dari berbagai macam
pihak.
Bagaikan
dua sisi mata uang yang saling berbeda.
Howard Zinn akan berhadapan dengan sisi lainnya yang berusaha mencari
kelemahan atau bahkan menolong menyempurnakan pendapat-pendapatnya. Pendapat atau opini yang baik adalah opini
yang dapat diterapkan oleh masyarakat di seluruh dunia. Oleh karena itu sebuah opini hendaknya
dianalisis terlebih dahulu apakah itu ditujukan hanya untuk suatu kaum atau
grup, apakah ditujukan hanya untuk satu sosok, atau mungkin ditujukan untuk
umum. Nampaknya apa yang disampaikan
oleh Howard Zinn adalah opini yang
diperuntukan bagi khalayak umum. Maka
dapat dikatakan Howard Zinn lupa atau mungkin sengaja melupakan sebuah keadaan
yang sebenarnya ada di dunia dimana perbedaan merajalela di seluruh pelosok
dunia. Ekonomi, sosial, politik, budaya,
pendidikan, dan lain-lain tidak akan ada yang sama. Semua orang pasti berbeda.
Mari bandingkan dengan Indonesia sebagai
wakil dari Asia. Buku tidak akan
berdampak apapun kepada masyarakat yang tidak memiliki latar belakang
pendidikan yang baik. Hanya berbekal
ijazah sekolah dasar ataupun sekolah menengah pertama untuk dapat mengerti
hal-hal utama dalam sebuah buku akan nampak mustahil. Keinginan untuk membaca saja mungkin akan
sulit ditemukan, apalagi menjadi pembaca yang berkualitas. Itulah mengapa pendapat Howard Zinn terlihat
cocok hanya untuk negara-negara sepeti Amerika dan negara-negara dengan tingkat
pendidikan yang baik lainnya saja.
Berdasarkan data statistik, Masyarakat
Indonesia 100% dapat bersekolah di sekolah dasar. Namun hanya 50% saja yang dapat melanjutkan
ketingkat yang lebih tinggi. Itu artinya
ada sekitar 50% peserta didik yang putus sekolah. Disisi lain pertumbuhan penduduk terus
terjadi, sekitar 4,5 juta bayi lahir setiap tahunnya. Maka oleh karena itu buku hanyalah barang
pajangan belaka dan tidak ada dampaknya.
Itupun andaikan masyarakat berkeinginan untuk membacanya.
Setelah
membahas Indonesia sebagai wakil Asia, mari lanjutkan pembahasan mengenai
kondisi di Afrika. Sekitar 43 juta anak-anak usia sekolah tidak bisa
menginjakan kaki di kelas bahkan sekolah sekalipun mereka tidak pernah. Alasan utamanya adalah masalah kemiskinan di
Afrika yang selalu menjadi tembok pengahalang untuk semua perkembangan,
termasuk pendidikan. Sekali lagi
pendapat Howard Zinn bukan untuk negara-negara berkembang, apalagi untuk
negara-negara dengan masalah ekonomi dan pendidikan yang cukup serius. Howard Zinn harus memikirkan cara bagaimana
masyarakat dengan kondisi seperti yang terjadi di negara-negara Afrika dan juga
negara-negara berkembang lainnya untuk mendapatkan sebuah buku. Apabila Howard Zinn ingin membuktikan pendapatnya,
itu yang harus dilakukan. Jangan hanya
membuat buku tentang Christoper Colombus sebagai manusia penuh keburukan yang
mengemparkan dunia. Tujuannya pun tidak
jelas, mungkin untuk meneliti respon masyarakat yang disebabkan oleh sebuah
buku atau untuk tujuan lain. Entahlah,
itu hanya goresan tangan Howard Zinn dalam bukunya. Akan tetapi untuk memikirkan cara mendapatkan
buku untuk anak-anak Afrika memang harus dipikirkan.
Mari kita bayangkan masyarakat dengan pendidikan
rendah seperti masyarakat Afrika dan mungkin juga Indonesia membaca sebuah buku. Kegiatan membaca buku tidak semudah seperti
melihat berita ditelivisi tentang gosip-gosip artis. Memahami apa yang buku lakukan dan apa yang
hendak buku sampaikan adalah kegiatan yang sunguh sulit. Kegiatan ini membutuhkan kemampuan yang baik
dan latar pendidikan yang baik pula guna menunjang kegiatan membaca tersebut. Jadi meskipun masyarakat membaca tetapi tidak
diiringi dengan latar belakang pendidikan buku hanyalah benda biasa dan tidak
akan ada efeknya. Mungkin hanya sebagai
kegiatan mengisi waktu kosong saja atau kegiatan yang cuma-cuma saja. Seorang mahasiswa maupun sarjana sekalipun yang
notabene telah bergelut dengan pendidikan begitu lamanya bahkan seorang
pendidik pun akan kesulitan untuk memahami hal-hal utama apa saja yang buku
hendak sampaikan. Berbeda sekali dengan
apa yang disampaikan oleh Howard Zinn.
Efek yang didapatkan akan jauh berbeda antara
melihat langsung dengan membaca sebuah buku.
Penulis buku adalah mereka yang hebat dalam mengolah kata-kata biasa
menjadi penuh makna. Perlu usaha hebat
pula untuk menaklukan orang hebat tersebut.
Kebanyakan masyarakat menyerah dengan buku dan pada akhirnya tidak
mendapatkan apa-apa dari sebuah buku.
Itu mengapa melihat langsung akan lebih “Ngena”. Salah satu contohnya adanya organisasi
Education for Africa yang peduli dan sadar akan adanya kekurangan pasokan
pendidikan di Afrika. Para petinggi
organisasi ini tidak mencari keuntungan bahkan tanpa profit sepeser pun. Para petinggi organisasi ini tergerak hatinya
karena melihat kondisi anak-anak Afrika bukan dari buku. Contoh lain terjadi pada seorang bocah Afrika
bernama Pascal Mwanchoka. Dia adalah
anak dari orang tua miskin dan tidak berpendidikan, lebih parahnya lagi mereka selalu
mabuk-mabukan. Melihat kebiasaan orang
tuanya yang buruk itu ternyata mengerakan hati bocah 13 tahun ini untuk
bersekolah dan memperbaiki semuanya, kemiskinan dan kebodohan adalah dua hal
yang menjadi tujuan penghapusan. Namun
masalahnya adalah uang. Tingkat
kemiskinan di Afrika sangat tinggi.
Untungnya terdapat organisasi pendidikan bernama Undugu Society of Kenya
yang menyediakan pendidikan gratis.
Masih banyak contoh yang menunjukan dampak signifikan dari melihat
langsung dengan tindakan yang masyarakat lakukan.
Semua masyarakat tahu tentang novel Harry
Potter. Novel ini adalah salah satu
novel terlaris di dunia. Novel karya J.K.
Rowling ini meledak dipasaran dengan 450 juta buku terjual laris. Keadaan ini pun selaras dengan dampak yang
didapatkan oleh penulisnya yang mendapatkan upah sebesar 444 juta US
dollar. Terdapat dua apresiasi
bagi buku-buku berkualitas di dunia, Hadiah Nobel dan Hadiah Pulitzer. Faktanya novel terlaris ini tidak mendapatkan
penghargaan tersebut. Margaret Mitchell
membuat sebuah karya novel yang berjudul Gone
with the Wind yang berada jauh di bawah novel Harry Potter dari sisi
penjualan. Namun novel ini berhasil
mendapatan penghargaan Pulitzer.
Sedangkan di Indonesia apresiasi untuk para
pejuang tulisan dikenal sebagai Khatulistiwa Literary Award. Pada tahun 2013 penghargaan ini diberikan
kepada Afrizal Malna lewat buku puisinya ynag berjudul Museum Penghancur Dokumen dan Leila S. Chudori lewat novel berjudul
Pulang. Namun apabila ditilik dari sisi penjualannya,
buku-buku berkualitas ini berada jauh dari buku-buku laris lainnya. Kedua buku inji bukanlah best seller. Berdasarkan data dari artikel yang
diterbitkan oleh Kompas.com pada tanggal 29 November 2013, buku-buku yang
terlaris adalah buku yang bergender entertainment, terutama komik. Artikel ini juga menyebutkan bahwa semua toko
buku akan mempunyai buku andalan untuk dijual, buku itu adalah komik.
Sebagaimana Howard Zinn paparkan, bahwa buku
merupakan pegangan utama manusia dalam menjalani hidup dan mengetahui sebuah
fakta atau kebenaran. Fakta di atas
menyebutkan sesuatu yang berlawanan.
Ketika masyarakat sudah tidak lagi tertarik dengan buku-buku berkualitas
dan malah memilih buku-buku hiburan seperti komik, apa yang buku dapat lakukan
untuk memperbaiki dunia? Pola pikir masyarakat akan hal tersebut belum
terbangun. Jadi sebagaimana pemaparan di
atas bahwa melihat langsung akan lebih “Ngena” dari pada apa yang buku hendak lakukan. Hal ini dikarenakan buku berkualitas tidak
memiliki tempat di hari masyarakat modern ini.
Semakin laris terjual sebuah buku maka semakin
banyak juga royalty yang didapatkan.
Itulah realita seorang penulis di dunia modern ini. Bahkan penulis harus sama-sama berjuang
mempromosikan bukunya guna mendapatkan royalty yang ditargetkan. Maka tidaklah aneh ketika di dalam dunia
tulis-menulis mengenal istilah penulis harus bergerilya. Jadi apakah benar pendapat dari Howard Zinn
yang menyebutkan tujuan penulis adalah tulus untuk memberikan dunia sebuah
kebaikan? Atau hanya sebuah cara untuk tetap bisa hidup di zaman modern ini? Entahlah,
seluruh masyarakat harus cerdas memikirkan penjelasan-penjelasan di atas.
References
http://usatoday30.usatoday.com/
:)
BalasHapusnampaknya kamu harus belajr masak dengan lebih teratur Aldha. Karena kamu punya kekuatan di data presentation and elaboration, akan lebih baik kamu menghindari analogi yang membuat masakan kamu lama jadinya. Dengan data yang diungkap, mestinya kamu menungkap dengan tegas keterkaitan antara sejarah dan literasi, plus dukungna teoretik dari Lehtonen mengenai teks sejarah sebagai artefak
BalasHapus