We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 03 Maret 2014

Critical Review 2: Sometimes Book is Only the Writers Way of Life

Sebuah gelas mewah akan terlihat mewah dimanapun itu di letakan.  Gelas mewah tersebut tidak lagi mewah ketika berisikan air sungai yang kotor dan akan terlihat lebih mewah ketika berisikan air jernih.  Manusia selayaknya gelas mewah tersebut.  Manusia merupakan satu-satunya mahluk level atas yang diciptakan oleh sang maha kuasa.  Dikatakan demikian karena manusia memiliki organ yang bernama otak sebagai wadah dari semuanya.  Namun kualitas atau ilmu-ilmu pengetahuan didalamnya bergantung pada setiap majikannya, manusia.  Dengan kata lain informasi-informasi yang berperan untuk menjadikan otak lebih berwarna dan mewah bergantung dari apa yang manusia tuangkan.  Banyak cara dapat dilakukan, diantaranya dengan belajar atau mungkin melihat berita-berita di televisi guna memperkaya pengetahuan dalam otak.  Namun sangat disayangkan bahwa manusia dengan organ otak tersebut sering kali lebih memilih menuangkan air sungai dari pada air jernih.  Manusia bahkan selalu memilih dan mendukung suatu yang salah dan kotor.
Manusia memiliki sebuah keunikan tersendiri.  Kapasitas otak manusia berdasarkan ilmu biologi dapat menghafal lebih dari lima buku tebal.  Namun tetap saja manusia memiliki ketidaktahuan.  Itu wajar sebenarnya karena mengingat informasi-informasi di dunia ini sungguh banyak dan selalu terupdatekan.  Sesuatu yang harus digarisbawahi adalah bukan masalah tersebut, tetapi bagaimana setiap manusia menyikapi ketidaktahuannya tersebut.  Terdapat dua pilihan yang dapat diambil.  Pertama, menyerah dan memberikan ketidaktahuan ruang untuk lebih leluasa mengatur kehidupan.  Kedua adalah dengan melawannya dan merubah ketidaktahuan menjadi mengerti dan tahu.  Buku merupakan salah satu penghapus guna menghilangkan ketidaktahuan tersebut.
Tahukah manusia akan Israel? Jawabannya pasti tahu.  Namun fakta dan realita yang terjadi didalam negara tersebut belum tentu semua seorang tahu.  Israel melarang penduduk membeli dan bahkan menyewa tanah di negara tersebut, terkecuali mereka yang memiliki ras Yahudi.  Israel pula mengalokasikan 85% air bersih untuk ras Yahudi yang hanya berjumlah 400 penduduk di Hebron dan hanya 15% untuk 120 ribu penduduk Palestina.  Mereka tidak adil.  Yang menjadi persoalan adalah apakah manusia tahu akan hal tersebut? Mungkin mereka tahu bahwa Israel kejam dan tidak adil, namun bentuk pengetahuan akan ketidakadilannya masih dangkal.  Mungkin apabila terdapat buku yang bercerita tentang hal ini manusia akan mengetahui hal-hal demikian dan akan berdampak dengan hilangnya dukungan-dukungan dari negara-negara adidaya terhadap Israel yang sekarang ini masih mengalir.  “Israel is Non-Sense”, mungkin itu dapat menjadi judul bukunya.  Entahlah, titik pusatnya adalah lewat buku manusia mengetahui yang belum diketahui.
Tahukah masyarakat akan kebijakan pemerintah mengenai wajib berpastisipasi dalam pemilihan umum?  Tentunya tahu.  Sesuatu yang menjadi persoalan adalah apakah masyarakat tahu kebijakan itu hanya mimpi belaka selama sistem belum diperbaiki??  Itulah yang harus diketahui masyarakat.  Penduduk Indonesia lebih dari 250 juta.  Itu semua terbagi menjadi dua bagian.  15% terdiri dari anak-anak dan 75% berada di atas 17 tahun.  Jadi ada sekitar 190 juta penduduk yang harusnya dapat memilih dalam pemilihan umum.  Namun berdasarkan data Komisi Pemilihan Umun (KPU) hanya sekitar 180 juta penduduk yang terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu.  Jadi apakah penduduk yang harus disalahkan ketika mereka tidak bisa memilih?  Tidak tentunya, mereka ingin memilih namun apa boleh buat, mereka tidak terdaftar.  “Daftarkan Kita, Kita Ingin Nyoblos”, mungkin harusnya ada buku yang berjudul seperti itu dan menjelaskan semuanya mengenai administrasi pencoblosan.
Tahukah masyarakat berapa banyak pedagang di Indonesia?  Berdasarkan data dari BKKSI (Indonesia District Cooperation Agency) jumlah pedagang hampir mencapai 12,65 juta orang dari sekitar 13.450 pasar di Indonesia.  Seorang pedagang tidak akan mengenal hari libur.  Hari libur, maka uang pun akan libur mengalir pula.  Sedangkan proses pemilihan biasanya dilaksanakan pada jam kerja dimana para pedagang sedang giat mencari pelanggan demi seteguk kopi.  Ketika seorang tidak bisa memilih karena hendak mencari uang guna menlanjutkan hidup, apakah harus dihukum?  Tentu saja tidak.  Mungkin pemerintah harus memperpanjang waktu pemilihan menjadi sedikit lama, jangan hanya mentok pada jam makan siang saja.  “Pak, saya lagi cari uang!”, mungkin apabila ada buku yang berjudul seperti itu akan membuka mata pemerintah lebar-lebar dan sadar diri akan kekurangannya.
Menurut Migrant Care ada sekitar 6,5 juta penduduk Indonesia berada di luar negeri.  80% sampai 90% sebagai pekerja atau TKI dan sisanya merupakan pelajar, pengusaha dan lain-lainnya.  Tahukah masyarakat akan hal itu? Mungkin tahu tetapi hanya hal-hal dangkalnya saja.  Memang sudah berjalan pemilihan umum diluar negeri, namun prosesnya sungguh sulit.  Ada sekitar tiga alasan mengapa pemilihan umum di luar negeri begitu sulit.  Pertama, masyarakat Indonesia yang hendak memilih harus mempunyai surat izin dari perusahaan tempatnya bekerja.  Surat ijin tersebut akan dikeluarkan apabila ada surat resmi dari pemerintah Indonesia.  Selain itu alasan kedua adalah sumber daya manusia yang harus mengatur proses pemilihan umum tidak sebanyak di negara asalnya. Terakhir adalah masalah tradisi, Arab Saudi melarang penduduk wanitanya berpartisipasi dalam pemilihan umum.  Sedangkan Di negara tersebut penduduk Indonesia mencapai 1,5 juta penduduk.  Untuk memperbolehkan penduduk wanita sendiri saja sudah tidak mungkin apalagi penduduk perempuan dari negara lain yang menetap di negara tersebut.  Sungguh tidak masuk akal kebijakan wajib memilih ini selama semua masalah belum ada solusinya.  “Benerin Dulu Pak!”, mungkin itu judul buku lainnya yang dapat menegur pemerintah.
Buku merupakan sarana penyampian fakta dan realita.  Itu yang harus digarisbawahi.  Howard Zinn dalam artikelnya yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books” memiliki pendapat terebut.  Lewat buku semua kebenaran dapat terungkap.  Namun apakah berdampak sangat signifikan??  Entahlah, itu hanya pendapat Howard Zinn.
Howard Zinn berpendapat bahwa seorang penulis itu selayaknya seorang pengajar.  Tujuan utama seorang pengajar adalah sebagai penolong peserta didik guna menjadi individu yang lebih berilmu.  Namun sekali lagi manusia layaknya sebuah gelas mewah yang dihadapkan dengan dua pilihan.  Manusia bisa menuangkan air sungai ke dalam gelas atau pun air jenih untuk memperindah gelas mewah tersebut.  Sudah terlalu sering manusia memilih menuangkan air sungai ke dalam mewahnya gelas dan menurunkan level kemewahan gelas tersebut.  Begitu pun seorang pengajar dan penulis yang seharusnya bertujuan menolong masyarakat malah bertujuan untuk diri sendiri saja.  Seperti hanya untuk meningkatkan keprofesionalannya saja.
Howard Zinn menjelaskan peran penting dari membaca buku melalui dirinya sendiri, melalui pengalamannya.  Howard Zinn berargumen bahwa langkah yang dia lakukan hingga bisa seperti saat ini, bisa menjadi seorang aktivis adalah dengan membaca.  Howard Zinn bukanlah sosok yang dekat dengan buku sejak dini.  14 tahun merupakan waktu yang cukup lama ketika dia menemukan buku di jalanan.  Sejak saat itu orang tuanya menyadari bahwa Howard Zinn menyukai dan tertarik dengan buku.  Setelah kejadian itu orang tua Howard Zinn memberinya sebuah Koran yang berisikan “Dicken”.  Orang tuanya tidak pernah mengetahui dan mendengar siapa itu  “Dicken”, namun setelah anaknya membaca yang secara otomatis akan diikuti pula oleh orang tuanya.  Mereka tahu akan hal baru tersebut.
Peran sebuah buku tidak dapat dilihat secara langsung.  Hal ini dikarenakan jalan yang akan dilalui oleh buku menuju pemahaman pembaca akan sangat berliku bahkan lebih berliku dengan proses metamorphosis seekor kupu-kupu.  Namun terkadang ada pertemuan tidak langsung antara buku dan kebijakan.  Banyak terjadi pada sebuah zaman ketika masyarakat mulai menulis dan mentransfer informasi lewat buku dan ketika itu pula kebijakan-kebijakan berubah.  Tulisan dalam buku dapat mempengaruhi masyarakat.  Setelah itu berbekal pengaruh dari buku masyarakat melakukan sesuatu.  Sesuatu tersebut akan memunculkan hubungan antara sesuatu yang dikerjakan oleh satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.  Ketika semua orang melakukan langkah-langkah menakjubkan maka dunia akan berubah.  Itulah alasan Howard Zinn mengapa hubungan antara membaca dan kehidupan nyata sangat rumit.
Howard Zinn menambahkan bahwa dampak buku begitu dahsyat.  Buku dapat mengubah hidup seseorang.  Di dalam buku terdapat informasi-informasi, karena buku adalah kumpulan tulisan yang berisikan informasi.  Dengan kata lain masyarakat dapat menghapus ketidaktahuannya lewat buku dan juga dapat memperbaharui level kesadaran dari masing-masing masyarakat.  Keasadaran, itulah kuncinya apabila masyarakat ingin ditiolong oleh sebuah buku dan mendapatkan hidup lebih baik kerana benda ajaib tersebut.
Howard Zinn juga menambahkan ketika membaca Herman Melville, Billy Budd  akan ada kesadaran yang akan muncul.  Buku ini menurut Howard Zinn menceritakan kondisi dimana masyarakat selalu mentaati peraturan-peraturan yang ada di lingkungan dan hal-hal yang berbau positif lainnya.  Peraturan-peraturan harus diuji sebelum diterapkan dan mungkin ada sebuah pertanyaan muncul mengenai alasan mengapa masyarakat harus mematuhi aturan.  Itulah beberapa bentuk kesadaraan yang akan muncul.
Howard Zinn juga menyebutkan dalam artikelnya bahwa banyak hal dapat ditemukan lewat tulisan.  Keadaan sosial yang terbagi berdasarkan kelas.  Miskin dengan miskin dan kaya dengan kaya.  Itulah keadaan sosial atau pemerintah yang berpihak kepada mereka yang kaya dan memiliki jabatan.  Ini semua kehidupan dan manusia tidak akan mengerti apabila tidak ada buku yang berisikan hal-hal seperti itu.  Jadi sangat jelas terlihat bahwa ada sesuatu di dalam buku.  Sesuatu itu adalah fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.  Hal ini dikarenakan buku haruslah berisikan fakta-fakta bukan kebohongan.  Sesuai dengan fungsi dari buku, yaitu sebagai penolong maka tidak aneh benda itu harus berisikan sebuah hal bernilai yang disebut fakta.  Itulah pendapat dari Howard Zinn.
Rachel Carson’s The Sea Around Us tidak luput dari pengamatan seorang Howard Zinn.  Buku ini terbit pada tahun 1951.  Buku ini hanya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di lingkunagn dimana masyarakat hidup tanpa ada fakta yang dibuat-buat.  Inti permasalahannya adalah fakta yang harus sesuai dengan kenyataan.  Contoh lain adalah ketika hendak menceritakan apa yang sedang terjadi di negeri Sudan.  Masyarakat tahu ada sesuatu terjadi di Sudan, oleh karena itu muncul buku yang mendalaminya.  Maka dengan kata lain tanpa harus membuat fakta bualan masyarakat sudah tahu akan Sudan.  Namun pastinya akan ada satu atau dua hal yang masyarakat tidak ketahui.  Ketidaktahuan inilah yang seharusnya menjadi target.  Dengan hanya menceritakan sesuatu yang masyarakat tidak ketahui pun pasti akan berdampak cukup signifikan bagi mereka dan bagi tindakan yang akan mereka lakukan.  Itulah yang terpenting bukan melebih-lebihkan fakta.
Howard Zinn pun seorang penulis buku.  Salah satu buku yang paling fenomenal adalah ketika dia menerbitkan buku berjudul A people‘s History of the United Nation States.  Semua orang termasuk masyarakat Amerika mengetahui bahwa penemu Amerika adalah Christoper Colombus.  Christoper Colombus dikenal sebagai sosok sangat baik dan suci yang jauh dari hal-hal negatif.  Seperti Christoper Colombus sebagai sosok yang taat beribadah atau Christoper Colombus sebagai penemu yang agung dan lain-lain.  Namun Howard Zinn membuat seluruh masyarakat Amerika bahkan seluruh dunia gempar dan geram padanya melalui tulisan-tulisan dalam bukunya ini.  Howard Zinn menggambarkan sosok Christoper Colombus sebagai sumber dari semua keburukan.  Seperti sebagai sosok pembunuh, penculik, penyiksa, seorang munafik, rakus mencari kekayaan, dan sosok dengan keinginan membunuh yang besar.  Jelas Howard Zinn mendapat banyak respon dan kecaman dari berbagai macam pihak.
Bagaikan dua sisi mata uang yang saling berbeda.  Howard Zinn akan berhadapan dengan sisi lainnya yang berusaha mencari kelemahan atau bahkan menolong menyempurnakan pendapat-pendapatnya.  Pendapat atau opini yang baik adalah opini yang dapat diterapkan oleh masyarakat di seluruh dunia.  Oleh karena itu sebuah opini hendaknya dianalisis terlebih dahulu apakah itu ditujukan hanya untuk suatu kaum atau grup, apakah ditujukan hanya untuk satu sosok, atau mungkin ditujukan untuk umum.  Nampaknya apa yang disampaikan oleh Howard Zinn adalah opini yang diperuntukan bagi khalayak umum.  Maka dapat dikatakan Howard Zinn lupa atau mungkin sengaja melupakan sebuah keadaan yang sebenarnya ada di dunia dimana perbedaan merajalela di seluruh pelosok dunia.  Ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan, dan lain-lain tidak akan ada yang sama.  Semua orang pasti berbeda.
Mari bandingkan dengan Indonesia sebagai wakil dari Asia.  Buku tidak akan berdampak apapun kepada masyarakat yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang baik.  Hanya berbekal ijazah sekolah dasar ataupun sekolah menengah pertama untuk dapat mengerti hal-hal utama dalam sebuah buku akan nampak mustahil.  Keinginan untuk membaca saja mungkin akan sulit ditemukan, apalagi menjadi pembaca yang berkualitas.  Itulah mengapa pendapat Howard Zinn terlihat cocok hanya untuk negara-negara sepeti Amerika dan negara-negara dengan tingkat pendidikan yang baik lainnya saja. 
Berdasarkan data statistik, Masyarakat Indonesia 100% dapat bersekolah di sekolah dasar.  Namun hanya 50% saja yang dapat melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi.  Itu artinya ada sekitar 50% peserta didik yang putus sekolah.  Disisi lain pertumbuhan penduduk terus terjadi, sekitar 4,5 juta bayi lahir setiap tahunnya.  Maka oleh karena itu buku hanyalah barang pajangan belaka dan tidak ada dampaknya.  Itupun andaikan masyarakat berkeinginan untuk membacanya.
Setelah membahas Indonesia sebagai wakil Asia, mari lanjutkan pembahasan mengenai kondisi di Afrika.  Sekitar  43 juta anak-anak usia sekolah tidak bisa menginjakan kaki di kelas bahkan sekolah sekalipun mereka tidak pernah.  Alasan utamanya adalah masalah kemiskinan di Afrika yang selalu menjadi tembok pengahalang untuk semua perkembangan, termasuk pendidikan.  Sekali lagi pendapat Howard Zinn bukan untuk negara-negara berkembang, apalagi untuk negara-negara dengan masalah ekonomi dan pendidikan yang cukup serius.  Howard Zinn harus memikirkan cara bagaimana masyarakat dengan kondisi seperti yang terjadi di negara-negara Afrika dan juga negara-negara berkembang lainnya untuk mendapatkan sebuah buku.  Apabila Howard Zinn ingin membuktikan pendapatnya, itu yang harus dilakukan.  Jangan hanya membuat buku tentang Christoper Colombus sebagai manusia penuh keburukan yang mengemparkan dunia.  Tujuannya pun tidak jelas, mungkin untuk meneliti respon masyarakat yang disebabkan oleh sebuah buku atau untuk tujuan lain.  Entahlah, itu hanya goresan tangan Howard Zinn dalam bukunya.  Akan tetapi untuk memikirkan cara mendapatkan buku untuk anak-anak Afrika memang harus dipikirkan. 
Mari kita bayangkan masyarakat dengan pendidikan rendah seperti masyarakat Afrika dan mungkin juga Indonesia membaca sebuah buku.  Kegiatan membaca buku tidak semudah seperti melihat berita ditelivisi tentang gosip-gosip artis.  Memahami apa yang buku lakukan dan apa yang hendak buku sampaikan adalah kegiatan yang sunguh sulit.  Kegiatan ini membutuhkan kemampuan yang baik dan latar pendidikan yang baik pula guna menunjang kegiatan membaca tersebut.  Jadi meskipun masyarakat membaca tetapi tidak diiringi dengan latar belakang pendidikan buku hanyalah benda biasa dan tidak akan ada efeknya.  Mungkin hanya sebagai kegiatan mengisi waktu kosong saja atau kegiatan yang cuma-cuma saja.  Seorang mahasiswa maupun sarjana sekalipun yang notabene telah bergelut dengan pendidikan begitu lamanya bahkan seorang pendidik pun akan kesulitan untuk memahami hal-hal utama apa saja yang buku hendak sampaikan.  Berbeda sekali dengan apa yang disampaikan oleh Howard Zinn.
Efek yang didapatkan akan jauh berbeda antara melihat langsung dengan membaca sebuah buku.  Penulis buku adalah mereka yang hebat dalam mengolah kata-kata biasa menjadi penuh makna.  Perlu usaha hebat pula untuk menaklukan orang hebat tersebut.  Kebanyakan masyarakat menyerah dengan buku dan pada akhirnya tidak mendapatkan apa-apa dari sebuah buku.  Itu mengapa melihat langsung akan lebih “Ngena”.  Salah satu contohnya adanya organisasi Education for Africa yang peduli dan sadar akan adanya kekurangan pasokan pendidikan di Afrika.  Para petinggi organisasi ini tidak mencari keuntungan bahkan tanpa profit sepeser pun.  Para petinggi organisasi ini tergerak hatinya karena melihat kondisi anak-anak Afrika bukan dari buku.  Contoh lain terjadi pada seorang bocah Afrika bernama Pascal Mwanchoka.  Dia adalah anak dari orang tua miskin dan tidak berpendidikan, lebih parahnya lagi mereka selalu mabuk-mabukan.  Melihat kebiasaan orang tuanya yang buruk itu ternyata mengerakan hati bocah 13 tahun ini untuk bersekolah dan memperbaiki semuanya, kemiskinan dan kebodohan adalah dua hal yang menjadi tujuan penghapusan.  Namun masalahnya adalah uang.  Tingkat kemiskinan di Afrika sangat tinggi.  Untungnya terdapat organisasi pendidikan bernama Undugu Society of Kenya yang menyediakan pendidikan gratis.  Masih banyak contoh yang menunjukan dampak signifikan dari melihat langsung dengan tindakan yang masyarakat lakukan.
Semua masyarakat tahu tentang novel Harry Potter.  Novel ini adalah salah satu novel terlaris di dunia.  Novel karya J.K. Rowling ini meledak dipasaran dengan 450 juta buku terjual laris.  Keadaan ini pun selaras dengan dampak yang didapatkan oleh penulisnya yang mendapatkan upah sebesar 444 juta US dollar.  Terdapat dua apresiasi bagi buku-buku berkualitas di dunia, Hadiah Nobel dan Hadiah Pulitzer.  Faktanya novel terlaris ini tidak mendapatkan penghargaan tersebut.  Margaret Mitchell membuat sebuah karya novel yang berjudul Gone with the Wind yang berada jauh di bawah novel Harry Potter dari sisi penjualan.  Namun novel ini berhasil mendapatan penghargaan Pulitzer.
Sedangkan di Indonesia apresiasi untuk para pejuang tulisan dikenal sebagai Khatulistiwa Literary Award.  Pada tahun 2013 penghargaan ini diberikan kepada Afrizal Malna lewat buku puisinya ynag berjudul Museum Penghancur Dokumen dan Leila S. Chudori lewat novel berjudul Pulang.  Namun apabila ditilik dari sisi penjualannya, buku-buku berkualitas ini berada jauh dari buku-buku laris lainnya.  Kedua buku inji bukanlah best seller.  Berdasarkan data dari artikel yang diterbitkan oleh Kompas.com pada tanggal 29 November 2013, buku-buku yang terlaris adalah buku yang bergender entertainment, terutama komik.  Artikel ini juga menyebutkan bahwa semua toko buku akan mempunyai buku andalan untuk dijual, buku itu adalah komik.
Sebagaimana Howard Zinn paparkan, bahwa buku merupakan pegangan utama manusia dalam menjalani hidup dan mengetahui sebuah fakta atau kebenaran.  Fakta di atas menyebutkan sesuatu yang berlawanan.  Ketika masyarakat sudah tidak lagi tertarik dengan buku-buku berkualitas dan malah memilih buku-buku hiburan seperti komik, apa yang buku dapat lakukan untuk memperbaiki dunia? Pola pikir masyarakat akan hal tersebut belum terbangun.  Jadi sebagaimana pemaparan di atas bahwa melihat langsung akan lebih “Ngena” dari pada apa yang buku hendak lakukan.  Hal ini dikarenakan buku berkualitas tidak memiliki tempat di hari masyarakat modern ini.
Semakin laris terjual sebuah buku maka semakin banyak juga royalty yang didapatkan.  Itulah realita seorang penulis di dunia modern ini.  Bahkan penulis harus sama-sama berjuang mempromosikan bukunya guna mendapatkan royalty yang ditargetkan.  Maka tidaklah aneh ketika di dalam dunia tulis-menulis mengenal istilah penulis harus bergerilya.  Jadi apakah benar pendapat dari Howard Zinn yang menyebutkan tujuan penulis adalah tulus untuk memberikan dunia sebuah kebaikan? Atau hanya sebuah cara untuk tetap bisa hidup di zaman modern ini? Entahlah, seluruh masyarakat harus cerdas memikirkan penjelasan-penjelasan di atas.


References
http://usatoday30.usatoday.com/
http://www.datastatistik-indonesia.com/                              




2 komentar:

  1. nampaknya kamu harus belajr masak dengan lebih teratur Aldha. Karena kamu punya kekuatan di data presentation and elaboration, akan lebih baik kamu menghindari analogi yang membuat masakan kamu lama jadinya. Dengan data yang diungkap, mestinya kamu menungkap dengan tegas keterkaitan antara sejarah dan literasi, plus dukungna teoretik dari Lehtonen mengenai teks sejarah sebagai artefak

    BalasHapus

a space for comment and critic