5th Class Review
Pertemuan yang
kelima dilaksanakan pada tanggal 04 Maret 2014 yang bertepatan pada hari Selasa
pukul 10.50 WIB diruang 44. Seperti biasanya sebelum masuk kedalam materi
pelajaran inti, Mr. Lala Bumela memberikan sedikit pemanasan materi dalam
kelas, lebih tepatnya kritikan dan masukan untuk kami semua para mahasiswa
ketika menuliskan critical review. Pada saat, Mr. Lala Bumela membaca critical
review kami, beliau merasa tidak puas dengan hasil critical review yang kami
kerjakan ‘bukan kecewa’, beliau hanya merasa ‘tidak senang’ dengan hasilnya.
Mr. Lala Bumela sendiri yang mengatakan bahwa beliau memanglah rewel ‘fussy’
dalam menilai sesuatu apalagi itu yang terkait dengan mata kuliah Writing.
Sejauh ini
kami telah berjuang untuk mencapai titik yang dirasa tepat apabila mundur dalam
mata kuliah ini, karena jika salah satu dari mahasiswa tersebut menunda waktu
untuk mundur, maka hal tersebut adalah suatu hal yang salah karena semakin jauh
kita mengikuti mata kuliah ini tingkatannya akan lebih jauh lagi, lebih tinggi
lagi, dan akan sulit dikejar tanpa adanya niat. Namun saya tidak akan mundur
sebelum perang dimulai. Pada saat - saat ini perguruan tinggi IAIN Syekh
Nurjati sedang berevolusi untuk menjadi lebih baik lagi, dosen yang tidak
sesuai kriteriapun kini sudah mulai diseleksi begitu juga dengan para
mahasiswanya yang harus selalu terus ditingkatkan mutu kualitasnya dan diasah
lagi kemampuannya. Dalam minggu ini Mr. Lala Bumela lebih banyak untuk mengkritik
hasil karya tulis kami, karena dengan diberikan kritikan –kritikan maka pola
pikir kita juga akan berubah menjadi lebih kritis lagi, dan dengan kritikan
kita akan jauh lebih maju.
Ketika kami
menuliskan karya critical review untuk yang pertama kalinya, dalam tulisan
tersebut masih terbilang kurang tepat maka hal tersebut masih dianggap sebagai
kekurangan (weakness) oleh Mr. Lala
Bumela, jika hal tersebut masih terulang kembali pada pembuatan critical review
yang kedua maka hal tersebut disebut sebagai kesalahan (mistake), dan apabila hal tersebut masih terulang kembali pada
pembuatan critical review yang ketiga kalinya nanti maka hal tersebut dianggap
sebagai suatu kebodohan (ignorance)
yang ditulis oleh mahasiswa.
Kebiasaan –
kebiasaan yang sering kali dilakukan oleh mahasiswa dalam penulisan critical
review diantaranya sebagai berikut:
1. Banyak
membahas hal yang tidak penting
Kebanyakan dari mahasiswa selalu
saja membahas hal yang sama dilain paragraph (pengulangan) kemudian membahas
sesuatu yang seharusnya tidak perlu dibahas dalam tulisannya. Selain itu juga
mahasiswa masih kurang bisa untuk meletakkan suatu paragraph dengan sesuai.
2. Tidak terdapat
kata kunci
Ketika mahasiswa menuliskan
karyanya kebanyakan mahasiswa tidak menuliskan utuh kalimatnya, sehingga sulit
untuk menemukan kata kunci dalam tulisannya.
3. Fakta –
faktanya kurang terlihat
Dalam critical review yang
ditulis pada minggu lalu banyak pula mahasiswa yang kurang menguak mengenai
peristiwa dalam faktanya sehingga contoh yang diberikan tidak terlihat jelas
sebagai contoh yang benar – benar terjadi.
4. Struktur
Rata – rata dari kami ketika
menuliskan karya tulis berbentuk critical, susunan teks yang ditulis masih
tidak berurutan dengan benar. Sehingga hal tersebut membuat ide yang sudah
digagas dari awal tidak terlalu mengena dihati pembacanya dikarenakan susunan
yang berantakan, diibaratkan pemain bola yang menendang bola terlalu jauh
sehingga tidak tepat pada sasarannya.
5. Non – Akademik
Tulisan yang kebanyakan dibuat
oleh mahasiswa terlalu copy paste dari sumber referensi yang ia cari sehingga
tulisannya merupakan bukan tulisan akademik, harusnya ketika kita menulis karya
memang tak salah jika kita mencari referensi namun ketika hendak menuliskannya
kita juga harus punya hasil pemikiran sendiri.
6. Tidak
melengkapi ruang yang kosong
Penulisan karya ini rupanya masih
belum terlalu banyak yang memahami, dapat dilihat dari masih banyaknya ruang
yang kosong yang harusnya bisa kami tumbuhkan pada pembuatan critical review
yang kedua ini.
Dalam hal ini
Mr. Lala Bumela hanya menyediakan sebuah lading untuk kita dan yang akan
memperluas serta mengembangkannya adalah diri kita sendiri. Hal – hal diatas
merupakan kesalahan – kesalahan yang sering sekali dilakukan oleh mahasiswa
ketika menulis karya tulis critical review dari Howard Zinn yang berjudul
“Speaking Truth to Power With Books”.
Howard Zinn adalah seorang
penulis, aktivis sosial dan sekaligus sejarawan yang berasal dari Amerika yang
mampu menguak sandiwara dari kisah penemu Benua Amerika, Columbus. Howard Zinn
pun menerima beberapa penghargaan dari karya – karya tersebut diantaranya Thomas Merton Award,
Eugene V. Debs Award, Lannan Literary Award dan masih ada
penghargaan lainnya. Howard Zinn dijuluki sebagai A People’s History
of the United States. Ketika
kita membaca artikel Zinn mengenai Columbus, maka kita akan menjadi sangat peka
dengan sejarah dan praktek literasi. Dalam kata-kata Zinn, setiap penekanan
tertentu dalam penulisan sejarah akan mendukung sebuah kepentingan. Sejarahwan
menulis seakan - akan setiap
pembaca punya sebuah kepentingan bersama. Para penulis tertentu seolah menjadi lupa bahwa produksi
pengetahuan adalah sebuah alat tempur dalam kehidupan antar kelas sosial, dan ras. Ada
sebuah ujaran yang mengatakan bahwa sebuah sejarah ditulis oleh seorang
“pemenang(?)” namun pada nyatanya pernyataan yang sesuai yang membuat sejarah
adalah orang – orang yang “berliterasi”. Sekalipun ada seorang “pemenang” yang
berhasil menuliskan sebuah sejarah akan tetapi dia belum tentu menjadi seorang
yang mempunyai “literasi”. Ketika ‘orang berliterasi’ menuliskan sebuah sejarah
ia termasuk seorang pemenang karena sejarah yang diciptakan antara keduanya cita
rasa yang akan diciptakannya sangat berbeda, pada saat orang literarate
menuliskan sejarah ia akan menuliskannya berdasarkan artefak. Sebuah sejarah
itu diakses melalui artefak(=teks). Lehtonen mengatakan bahwa teks bentuk fisik
yang akan menjadi bentuk yang semiotik, dan begitupun sebaliknya teks hanya
akan berbentuk semiotik apabila teks tersebut memiliki bentuk fisik. Menurut
pengertian yang saya dapatkan dari pernyataan tersebut dikatakan bahwa sebuah
artefak akan muncul jika ada seseorang yang menggalinya dan mencarinya,
kemudian barulah menjadi sebuah sejarah. Bentuk sisi fisik dari teks tersebut
bisa dikatan bahwa teks adalah artefak yang komunikatif, dengan begitu manusia
akan bisa menghasilkan komunikasi melalui artefak. Sebagai artefak, teks
dihasilkan dari bantuan teknologi. Teknologi merupakan awal mula manusia bisa
memperoleh teks yang tertulis, melalui tanda – tanda ukiran dari kayu atau batu
yang dibuat dengan kapak atau alat lainnya. Bermula dari alat kapak itulah
terbentuk teks dalam bentuk yang begitu besar, namun dengan terjadinya
perkembangan waktu sekarang ini teks tidak lagi berbentuk sesuatu yang besar
dan tertulis dibatu atau langit – langit gua. Dari situlah artefak terbentuk dan kemudian
menghasilkan teks yang lebih sederhana lagi, yaitu dalam bentuk buku yang lebih
mudah untuk diakses. Teks yang diciptakan oleh teknologi, secara tidak langsung
kita meninggalkan jejak teks yang berlaku pada budaya kita pada zaman pertama
kalinya terdapat teks. Kini budaya yang lebih modern membawa kita kepada bentuk
teks – teks yang lebih berbeda lagi, tidak perlu dengan adanya kertas, dengan
adanya computer dan internet kini teks sudah berada dalam layar komputer tidak
perlu berbentuk buku dan kertas. Lehtonen mengatakan bahwa “They are indeed the
most unnatural beings”. They dalam kalimat tersebut mengacu kepada teks. Teks
merupakan bentuk maklhuk yang paling tidak wajar, tulis Lehtonen. Saya pikir
benar juga, bagaimana tidak? Teks hanyalah sebuah kalimat yang berbentuk sangat
polos dan begitu sederhana namun menyimpan sejumlah sejarah dari semua bangsa
yang telah hidup dan juga diam – diam menyembunyikan rahasia sejarah. Sejarah
memiliki cara bagaimana mereka bisa terkuak melalui artefak – artefak yang
diakses(dicari) oleh manusia, tinggal bagaimana cara manusia tersebut
mengaksesnya. Ibarat keburukan yang ada dalam keluarga kita yang menyembunyikan
suatu konflik, begitu pula lah seperti “sejarah” yang penuh dengan hal – hal
yang belum terkuak. Itulah yang diungkapkan oleh Howard Zinn, mengungkapkan
“sesuatu” yang belum terkuak kepermukaan berdasarkan artefak yang ada. Denga
kata lain, Zinn mengajak kita untuk terhubung dengan konteks keadaan
“contextualizing”. Dalam konteks terdapat context of situation, yang bergerak
dalam konteks yang lebih luas lagi dan lebih abstrak Halliday menyebutnya the
context of culture. Praktek contextual itu sendiri meliputi aktivitas dalam
kelas, ras, ataupun pandangan yang cenderung yang akan dilihat oleh peserta. Contextualizing
adalah sebuah praktek yang diterapkan dalam metode pembelajaran yang dilakukan
dengan cara interaksi dengan peserta didik. Contextualizing itu sendiri akan
menuju kepada pembahasan tentang classroom discourse.
Dalam buku
yang ditulis Betsy Rymes, sangat jelas bahwa Rymes sangat menyarankan para
pembacanya untuk mempraktekan classroom discourse dalam kelas. Pengertian ‘classroom’
ialah sebuah konteks yang paling utama dalam discourse yang akan dipelajari
lebih jauh lagi. Konteks dalam classroom discourse ini juga meluas tidak hanya
sebatas dalam kelas namun diluar kelas juga. Konteks yang kita gunakan ketika
berada dalam kelas sangatlah berbeda dengan yang kita gunakan ketika berada
dirumah. Namun pada saat pelajaran telah selesai konteks itu mungkin saja bisa
berubah.
Walaupun kegiatan
dalam kelas akan terjadi pembicaraan, namun demikian hal – hal yang berada
diluar kelas juga akan mempengaruhi isi dan kualitas dari pembicaraan tersebut
dengan berbagai tingkatan. Discourse akan memiliki makna yang berbeda jika itu
terjadi diluar kelas, dan perbandingannya dapat dilihat ketika berada didalam
kelas. Classroom research across a range of situations has shown that classroom
interaction dramatically constrains what kinds of language and literacy events
are encouraged or allowed (McGroarty, 1996), dalam penelitian yang dilakukan
oleh McGroarty mengatakan bahwa interaksi yang terjadi didalam kelas memanglah
terbatas dan komunikasi yang terjadi seperti sangat canggung antara satu dengan
yang lainnya karena seolah – olah dibatasi karena ‘formal’nya pembahasan yang
kurang bisa mengaitkan dengan kejadian yang tidak ‘formal’. Selain itu juga
dipengaruhi oleh sikap pengajar dalam kelas itu sendiri, biasanya peserta didik
merasakan canggung untuk berkomunikasi dengan pengajarnya sendiri karena pembawaan
pengajar bisa saja terlalu tegas sehingga peserta didiknya takut untuk
berinteraksi didalam ataupun diluar kelas. Selain itu dipengaruhi pula karena
factor pertemuan yang terjalin sangat kurang. Namun, berbeda dengan ketika
peserta didik berada dalam lingkungan keluarganya sendiri, interaksi yang
dilakukan sangatlah begitu dekat dan intim karena factor kebiasaan berinteraksi
itu juga dapat mempengaruhinya. Bahkan ketika interaksi yang dilakukan diluar
kelas sekalipun belum tentu akan mengubah “konteks fisik”, palingan hanya
sebatas “konteks discourse” saja. Pada buku Betsy Rymes, terdapat contoh yang
efektif untuk dilaksanakan dalam kelas agar suasana tidak terkesan canggung,
seorang pengajara bisa saja menceritakan kembali tentang pengajarannya dan disaat
itu pengajar mempersilahkan peserta didiknya untuk menanyakan sesuatu agar
terjadi interaksi yang baik antara pengajar dan peserta didik. Contextualizing
dapat dikatakan sebagai praktek reflektif yang dilakukan dalam kelas, dengan
tujuan untuk meningkatkan interaksi dalam kelas yang pada akhir akan bisa
mempengaruhi hasil sosial dalam konteks diluar kelas antara pengajar dan
peserta didik. Sedangkan pengertian‘discourse’ itu sendiri ialah komunikasi
yang dijalankan saat berada dalam kelas. Menurut Rymes, discourse ialah
language in use. Mengapa Rymes perlu menambahkan kata ‘in use’ dibelakang
pengertiannya? Karena discourse itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah praktek
yang biasanya digunakan (in use). Sebagian orang mengatakan bahwa hal tersebut
adalah hal yang kurang penting. Bahasa dapat dikendalikan oleh konteks
interaksi dan sosial. Namun dalam buku Betsy Rymes, beberapa fitur tentang
bahasa didefinisikan sebagai kemampuan untuk di-kontekstualisasikan. Seperti
pada contohnya disebutkan, ‘tree’ tidak perlu membutuhkan kata ‘a tree around’
untuk dipahami, seperti missal ketika seorang murid menceritakan ‘she saw a
tree today’ kamupun akan mengerti apa yang dimaksudnya. Namun dalam pembahasan
‘discourse’, maka akan lebih mendetail mengapa dia menceritakan tentang hal
tersebut, itulah ‘discourse’ yang dimaksud oleh Betsy Rymes. Ketika seorang
pengajar memasuki ruangan kelas, ia bisa menangkap jenis konteks interaksi yang
terjadi dalam kelas sebelumnya. Kontekstualisasi suasana dalam kelas pun dapat
berpengaruh, termasuk posisi duduk peserta didiknya, karena dalam memilih teman
sebangku yang sesuai dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan pada konteks
selajutnya. Laura Sterponi (2007) memberikan gambaran “how clandestine
interactive reading” is facilitated by a
layout that includes isolated nooks and crannies throughout a classroom,
each with just enough space for a pair of peer readers to cozy up with their
books, out of the teacher’s direct field of view.” Yang menyatakan bahwa
komunikasi yang interaktif dapat dipengaruhi juga dari letak duduk seorang
peserta didik. Teman sebaya dapat memberikan
perspektif pada konteks yang relevan dengan begitu mereka dapat menemukan
solusi yang sesuai. Dengan interaksi yang dilakukan dikelas para peserta didik
dapat memonitori teman – temannya, itulah yang dilakukan siswa yang terbaik
dalam kelas, namun tidak mendominasi. Cara berbicara yang terjadi dalam sebuah
kelas dipengaruhi oleh konteks dan tujuan mereka berbicara.
Dilihat dari gambar diatas,
merupakan cara piker peserta didik pada saat seorang pengajar memberikan
materi, peserta didik mencernanya dengan pola tersebut. Ketika siswa mulai
membuat kontribusi dengan materi yang disampaikan, maka proses yang selanjutnya
sedang berjalan didalam pikiran peserta didik tersebut. Jadi, langkah yang
paling penting dalam sebuah proses pembelajaran adalah waktu untuk memahami
materi tersebut. Pola tersebut juga mengatur ekspektasi yang lebih spesifik
dalam rangkaian materinya, dan membantu untuk menimbulkan interaksi dalam
kelas.
Dalam dimensi interaksional classroom discourse
dikatakan bahwa interkasi yang terjadi dengan teman sebayapun begitu penting
seperti bercerita. Dengan begitu ketika pengajar memasuki ruang kelas, peserta didik
karena sudah bercerita dengan temannya sehingga pada saat pembelajaran siswa
tanpa disuruh akan mengangkat tangan untuk bertanya. Proses tersebut merupakan
bagian dari proses belajar siswa dengan menggunakan aspek kreatif interaksi. Dalam analisis
‘discourse’ kita meneliti bagaimana ‘discourse dan konteks’ dapat berpengaruh
satu sama lainnya. Untuk memahami mengapa seseorang menanyakan sesuatu selalu
menggunakan dengan cara yang berbeda, dapat kita lihat pada konteks yang
terjadi sebelumnya. Jenis penggunaan konteks juga dapat dipengaruhi oleh acara
yang ditonton (tv), ataupun memanglah sudah dasar dari bawaan logat. Dengan
kata lain, yang dimaksud oleh Betsy Rymes tentang pengertian ‘discourse’ itu
ialah interaksi yang dilakukan antara pengajar dengan peserta didiknya. Dalam
kegiatan belajar mengajar, komunikasi merupakan suatu keharusan agar terjadi
hubungan yang harmonis antara pengajar dengan peserta didiknya. Keefektifan komunikasi dalam
kegiatan belajar mengajar ini sangat tergantung dari kedua belah pihak. Akan
tetapi karena pengajar yang memegang kendali kelas, maka tanggung jawab
terjadinya komunikasi dalam kelas yang sehat dan efektif terletak pada tangan
pengajar (guru). Keberhasilan pengajar dalam mengemban tanggung jawab tersebut
dipengaruhi oleh keterampilannya dalam melakukan komunikasi ini. Shirley Brice
Heath (1983) memperlihatkan pengaruh keluarga kepada bagaimana seorang anak
berprestasi disekolah sebuah contoh gambar 2 buah traktor + 2 buah trailer,
jawaban yang banyak terjadi yaitu 4, namun pada prakteknya 2 buah traktor + 2
buah trailer adalah sebuah truk, kombinasi dari keduanya. Guru memiliki
kewenangan yang sah dalam kelas, peserta didikpun bisa disalahpahami oleh
pengajar dalam kelas.
Betsy Rymes
dalam menganalisis hubungan konteks dan discourse selalu melihat konteks yang
terjadi sebelumnya. Terkadang peserta didik merubah cara bicaranya agar sesuai
dengan konteks yang terjadi dalam kelas yang kemudian mengubaha discourse itu
sendiri. Ketika seorang pengajar memulai pembelajaran dalam kelas dengan
menyelidiki terlebih dahulu kegiatan apa yang mereka lakukan dirumah atau
memeriksa PR, tetapi juga seorang pengajar harus tau cara menggunakan bahasa
kedalam konteks seperti dalam rumah (yang intim) seperti bercerita atau kegiatan
lainnya seperti tanya jawab. Dengan mengubah konteks kelas maka setidaknya akan
menambahkan pengalaman siswa dan meningkatkan kemampuan mereka untuk
berpatisipasi dalam sebuah diskusi (Heath, 1983).
Pengajar
hendaknya menyadari bahwa didalam kegiatan belajar dan pembelajaran,
seungguhnya ia sedang melaksanakan kegiatan komunikasi. Untuk itu pengajar
harus memilih dan menggunakan kata-kata yang berada dalam jangkauan pengalaman
para peserta didiknya, agar dapat dimengerti dengan baik oleh mereka sehingga pesan
pembelajaran yang disampaikan dapat diterima oleh peserta didik dengan baik.
KESIMPULAN :
Classroom
discourse adalah komunikasi dan interaksi yang terjadi didalam kelas dengan
menggunakan bahasa yang sesuai konteks pembahasan dalam kelas. Komunikasi bukan cuma terkait dengan bagaimana cara menggunakan bahasa tapi
sangat terkait juga dalam menyampaikan pesan dalam bentuk yang lainnya seperti
tatapan mata, gesture tubuh, serta mungkin intonasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic