We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 10 Maret 2014

CONNECT EVERYTHING



5th Class Review

Pertemuan yang kelima dilaksanakan pada tanggal 04 Maret 2014 yang bertepatan pada hari Selasa pukul 10.50 WIB diruang 44. Seperti biasanya sebelum masuk kedalam materi pelajaran inti, Mr. Lala Bumela memberikan sedikit pemanasan materi dalam kelas, lebih tepatnya kritikan dan masukan untuk kami semua para mahasiswa ketika menuliskan critical review. Pada saat, Mr. Lala Bumela membaca critical review kami, beliau merasa tidak puas dengan hasil critical review yang kami kerjakan ‘bukan kecewa’, beliau hanya merasa ‘tidak senang’ dengan hasilnya. Mr. Lala Bumela sendiri yang mengatakan bahwa beliau memanglah rewel ‘fussy’ dalam menilai sesuatu apalagi itu yang terkait dengan mata kuliah Writing.
Sejauh ini kami telah berjuang untuk mencapai titik yang dirasa tepat apabila mundur dalam mata kuliah ini, karena jika salah satu dari mahasiswa tersebut menunda waktu untuk mundur, maka hal tersebut adalah suatu hal yang salah karena semakin jauh kita mengikuti mata kuliah ini tingkatannya akan lebih jauh lagi, lebih tinggi lagi, dan akan sulit dikejar tanpa adanya niat. Namun saya tidak akan mundur sebelum perang dimulai. Pada saat - saat ini perguruan tinggi IAIN Syekh Nurjati sedang berevolusi untuk menjadi lebih baik lagi, dosen yang tidak sesuai kriteriapun kini sudah mulai diseleksi begitu juga dengan para mahasiswanya yang harus selalu terus ditingkatkan mutu kualitasnya dan diasah lagi kemampuannya. Dalam minggu ini Mr. Lala Bumela lebih banyak untuk mengkritik hasil karya tulis kami, karena dengan diberikan kritikan –kritikan maka pola pikir kita juga akan berubah menjadi lebih kritis lagi, dan dengan kritikan kita akan jauh lebih maju.
Ketika kami menuliskan karya critical review untuk yang pertama kalinya, dalam tulisan tersebut masih terbilang kurang tepat maka hal tersebut masih dianggap sebagai kekurangan (weakness) oleh Mr. Lala Bumela, jika hal tersebut masih terulang kembali pada pembuatan critical review yang kedua maka hal tersebut disebut sebagai kesalahan (mistake), dan apabila hal tersebut masih terulang kembali pada pembuatan critical review yang ketiga kalinya nanti maka hal tersebut dianggap sebagai suatu kebodohan (ignorance) yang ditulis oleh mahasiswa.

Kebiasaan – kebiasaan yang sering kali dilakukan oleh mahasiswa dalam penulisan critical review diantaranya sebagai berikut:
1.      Banyak membahas hal yang tidak penting
Kebanyakan dari mahasiswa selalu saja membahas hal yang sama dilain paragraph (pengulangan) kemudian membahas sesuatu yang seharusnya tidak perlu dibahas dalam tulisannya. Selain itu juga mahasiswa masih kurang bisa untuk meletakkan suatu paragraph dengan sesuai.
2.      Tidak terdapat kata kunci
Ketika mahasiswa menuliskan karyanya kebanyakan mahasiswa tidak menuliskan utuh kalimatnya, sehingga sulit untuk menemukan kata kunci dalam tulisannya.
3.      Fakta – faktanya kurang terlihat
Dalam critical review yang ditulis pada minggu lalu banyak pula mahasiswa yang kurang menguak mengenai peristiwa dalam faktanya sehingga contoh yang diberikan tidak terlihat jelas sebagai contoh yang benar – benar terjadi.
4.      Struktur
Rata – rata dari kami ketika menuliskan karya tulis berbentuk critical, susunan teks yang ditulis masih tidak berurutan dengan benar. Sehingga hal tersebut membuat ide yang sudah digagas dari awal tidak terlalu mengena dihati pembacanya dikarenakan susunan yang berantakan, diibaratkan pemain bola yang menendang bola terlalu jauh sehingga tidak tepat pada sasarannya.
5.      Non – Akademik
Tulisan yang kebanyakan dibuat oleh mahasiswa terlalu copy paste dari sumber referensi yang ia cari sehingga tulisannya merupakan bukan tulisan akademik, harusnya ketika kita menulis karya memang tak salah jika kita mencari referensi namun ketika hendak menuliskannya kita juga harus punya hasil pemikiran sendiri.
6.      Tidak melengkapi ruang yang kosong
Penulisan karya ini rupanya masih belum terlalu banyak yang memahami, dapat dilihat dari masih banyaknya ruang yang kosong yang harusnya bisa kami tumbuhkan pada pembuatan critical review yang kedua ini.
Dalam hal ini Mr. Lala Bumela hanya menyediakan sebuah lading untuk kita dan yang akan memperluas serta mengembangkannya adalah diri kita sendiri. Hal – hal diatas merupakan kesalahan – kesalahan yang sering sekali dilakukan oleh mahasiswa ketika menulis karya tulis critical review dari Howard Zinn yang berjudul “Speaking Truth to Power With Books”.
Howard Zinn adalah seorang penulis, aktivis sosial dan sekaligus sejarawan yang berasal dari Amerika yang mampu menguak sandiwara dari kisah penemu Benua Amerika, Columbus. Howard Zinn pun menerima beberapa penghargaan dari karya – karya tersebut diantaranya Thomas Merton Award, Eugene V. Debs Award, Lannan Literary Award dan masih ada penghargaan lainnya. Howard Zinn dijuluki sebagai A People’s History of the United States. Ketika kita membaca artikel Zinn mengenai Columbus, maka kita akan menjadi sangat peka dengan sejarah dan praktek literasi. Dalam kata-kata Zinn, setiap penekanan tertentu dalam penulisan sejarah akan mendukung sebuah kepentingan. Sejarahwan menulis seakan - akan setiap pembaca punya sebuah kepentingan bersama. Para penulis tertentu seolah menjadi lupa bahwa produksi pengetahuan adalah sebuah alat tempur dalam kehidupan antar kelas sosial, dan ras. Ada sebuah ujaran yang mengatakan bahwa sebuah sejarah ditulis oleh seorang “pemenang(?)” namun pada nyatanya pernyataan yang sesuai yang membuat sejarah adalah orang – orang yang “berliterasi”. Sekalipun ada seorang “pemenang” yang berhasil menuliskan sebuah sejarah akan tetapi dia belum tentu menjadi seorang yang mempunyai “literasi”. Ketika ‘orang berliterasi’ menuliskan sebuah sejarah ia termasuk seorang pemenang karena sejarah yang diciptakan antara keduanya cita rasa yang akan diciptakannya sangat berbeda, pada saat orang literarate menuliskan sejarah ia akan menuliskannya berdasarkan artefak. Sebuah sejarah itu diakses melalui artefak(=teks). Lehtonen mengatakan bahwa teks bentuk fisik yang akan menjadi bentuk yang semiotik, dan begitupun sebaliknya teks hanya akan berbentuk semiotik apabila teks tersebut memiliki bentuk fisik. Menurut pengertian yang saya dapatkan dari pernyataan tersebut dikatakan bahwa sebuah artefak akan muncul jika ada seseorang yang menggalinya dan mencarinya, kemudian barulah menjadi sebuah sejarah. Bentuk sisi fisik dari teks tersebut bisa dikatan bahwa teks adalah artefak yang komunikatif, dengan begitu manusia akan bisa menghasilkan komunikasi melalui artefak. Sebagai artefak, teks dihasilkan dari bantuan teknologi. Teknologi merupakan awal mula manusia bisa memperoleh teks yang tertulis, melalui tanda – tanda ukiran dari kayu atau batu yang dibuat dengan kapak atau alat lainnya. Bermula dari alat kapak itulah terbentuk teks dalam bentuk yang begitu besar, namun dengan terjadinya perkembangan waktu sekarang ini teks tidak lagi berbentuk sesuatu yang besar dan tertulis dibatu atau langit – langit gua.  Dari situlah artefak terbentuk dan kemudian menghasilkan teks yang lebih sederhana lagi, yaitu dalam bentuk buku yang lebih mudah untuk diakses. Teks yang diciptakan oleh teknologi, secara tidak langsung kita meninggalkan jejak teks yang berlaku pada budaya kita pada zaman pertama kalinya terdapat teks. Kini budaya yang lebih modern membawa kita kepada bentuk teks – teks yang lebih berbeda lagi, tidak perlu dengan adanya kertas, dengan adanya computer dan internet kini teks sudah berada dalam layar komputer tidak perlu berbentuk buku dan kertas. Lehtonen mengatakan bahwa “They are indeed the most unnatural beings”. They dalam kalimat tersebut mengacu kepada teks. Teks merupakan bentuk maklhuk yang paling tidak wajar, tulis Lehtonen. Saya pikir benar juga, bagaimana tidak? Teks hanyalah sebuah kalimat yang berbentuk sangat polos dan begitu sederhana namun menyimpan sejumlah sejarah dari semua bangsa yang telah hidup dan juga diam – diam menyembunyikan rahasia sejarah. Sejarah memiliki cara bagaimana mereka bisa terkuak melalui artefak – artefak yang diakses(dicari) oleh manusia, tinggal bagaimana cara manusia tersebut mengaksesnya. Ibarat keburukan yang ada dalam keluarga kita yang menyembunyikan suatu konflik, begitu pula lah seperti “sejarah” yang penuh dengan hal – hal yang belum terkuak. Itulah yang diungkapkan oleh Howard Zinn, mengungkapkan “sesuatu” yang belum terkuak kepermukaan berdasarkan artefak yang ada. Denga kata lain, Zinn mengajak kita untuk terhubung dengan konteks keadaan “contextualizing”. Dalam konteks terdapat context of situation, yang bergerak dalam konteks yang lebih luas lagi dan lebih abstrak Halliday menyebutnya the context of culture. Praktek contextual itu sendiri meliputi aktivitas dalam kelas, ras, ataupun pandangan yang cenderung yang akan dilihat oleh peserta. Contextualizing adalah sebuah praktek yang diterapkan dalam metode pembelajaran yang dilakukan dengan cara interaksi dengan peserta didik. Contextualizing itu sendiri akan menuju kepada pembahasan tentang classroom discourse.
Dalam buku yang ditulis Betsy Rymes, sangat jelas bahwa Rymes sangat menyarankan para pembacanya untuk mempraktekan classroom discourse dalam kelas. Pengertian ‘classroom’ ialah sebuah konteks yang paling utama dalam discourse yang akan dipelajari lebih jauh lagi. Konteks dalam classroom discourse ini juga meluas tidak hanya sebatas dalam kelas namun diluar kelas juga. Konteks yang kita gunakan ketika berada dalam kelas sangatlah berbeda dengan yang kita gunakan ketika berada dirumah. Namun pada saat pelajaran telah selesai konteks itu mungkin saja bisa berubah.
Walaupun kegiatan dalam kelas akan terjadi pembicaraan, namun demikian hal – hal yang berada diluar kelas juga akan mempengaruhi isi dan kualitas dari pembicaraan tersebut dengan berbagai tingkatan. Discourse akan memiliki makna yang berbeda jika itu terjadi diluar kelas, dan perbandingannya dapat dilihat ketika berada didalam kelas. Classroom research across a range of situations has shown that classroom interaction dramatically constrains what kinds of language and literacy events are encouraged or allowed (McGroarty, 1996), dalam penelitian yang dilakukan oleh McGroarty mengatakan bahwa interaksi yang terjadi didalam kelas memanglah terbatas dan komunikasi yang terjadi seperti sangat canggung antara satu dengan yang lainnya karena seolah – olah dibatasi karena ‘formal’nya pembahasan yang kurang bisa mengaitkan dengan kejadian yang tidak ‘formal’. Selain itu juga dipengaruhi oleh sikap pengajar dalam kelas itu sendiri, biasanya peserta didik merasakan canggung untuk berkomunikasi dengan pengajarnya sendiri karena pembawaan pengajar bisa saja terlalu tegas sehingga peserta didiknya takut untuk berinteraksi didalam ataupun diluar kelas. Selain itu dipengaruhi pula karena factor pertemuan yang terjalin sangat kurang. Namun, berbeda dengan ketika peserta didik berada dalam lingkungan keluarganya sendiri, interaksi yang dilakukan sangatlah begitu dekat dan intim karena factor kebiasaan berinteraksi itu juga dapat mempengaruhinya. Bahkan ketika interaksi yang dilakukan diluar kelas sekalipun belum tentu akan mengubah “konteks fisik”, palingan hanya sebatas “konteks discourse” saja. Pada buku Betsy Rymes, terdapat contoh yang efektif untuk dilaksanakan dalam kelas agar suasana tidak terkesan canggung, seorang pengajara bisa saja menceritakan kembali tentang pengajarannya dan disaat itu pengajar mempersilahkan peserta didiknya untuk menanyakan sesuatu agar terjadi interaksi yang baik antara pengajar dan peserta didik. Contextualizing dapat dikatakan sebagai praktek reflektif yang dilakukan dalam kelas, dengan tujuan untuk meningkatkan interaksi dalam kelas yang pada akhir akan bisa mempengaruhi hasil sosial dalam konteks diluar kelas antara pengajar dan peserta didik. Sedangkan pengertian‘discourse’ itu sendiri ialah komunikasi yang dijalankan saat berada dalam kelas. Menurut Rymes, discourse ialah language in use. Mengapa Rymes perlu menambahkan kata ‘in use’ dibelakang pengertiannya? Karena discourse itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah praktek yang biasanya digunakan (in use). Sebagian orang mengatakan bahwa hal tersebut adalah hal yang kurang penting. Bahasa dapat dikendalikan oleh konteks interaksi dan sosial. Namun dalam buku Betsy Rymes, beberapa fitur tentang bahasa didefinisikan sebagai kemampuan untuk di-kontekstualisasikan. Seperti pada contohnya disebutkan, ‘tree’ tidak perlu membutuhkan kata ‘a tree around’ untuk dipahami, seperti missal ketika seorang murid menceritakan ‘she saw a tree today’ kamupun akan mengerti apa yang dimaksudnya. Namun dalam pembahasan ‘discourse’, maka akan lebih mendetail mengapa dia menceritakan tentang hal tersebut, itulah ‘discourse’ yang dimaksud oleh Betsy Rymes. Ketika seorang pengajar memasuki ruangan kelas, ia bisa menangkap jenis konteks interaksi yang terjadi dalam kelas sebelumnya. Kontekstualisasi suasana dalam kelas pun dapat berpengaruh, termasuk posisi duduk peserta didiknya, karena dalam memilih teman sebangku yang sesuai dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan pada konteks selajutnya. Laura Sterponi (2007) memberikan gambaran  “how clandestine interactive reading” is facilitated by a  layout that includes isolated nooks and crannies throughout a classroom, each with just enough space for a pair of peer readers to cozy up with their books, out of the teacher’s direct field of view.” Yang menyatakan bahwa komunikasi yang interaktif dapat dipengaruhi juga dari letak duduk seorang peserta didik.  Teman sebaya dapat memberikan perspektif pada konteks yang relevan dengan begitu mereka dapat menemukan solusi yang sesuai. Dengan interaksi yang dilakukan dikelas para peserta didik dapat memonitori teman – temannya, itulah yang dilakukan siswa yang terbaik dalam kelas, namun tidak mendominasi. Cara berbicara yang terjadi dalam sebuah kelas dipengaruhi oleh konteks dan tujuan mereka berbicara.



Dilihat dari gambar diatas, merupakan cara piker peserta didik pada saat seorang pengajar memberikan materi, peserta didik mencernanya dengan pola tersebut. Ketika siswa mulai membuat kontribusi dengan materi yang disampaikan, maka proses yang selanjutnya sedang berjalan didalam pikiran peserta didik tersebut. Jadi, langkah yang paling penting dalam sebuah proses pembelajaran adalah waktu untuk memahami materi tersebut. Pola tersebut juga mengatur ekspektasi yang lebih spesifik dalam rangkaian materinya, dan membantu untuk menimbulkan interaksi dalam kelas.
Dalam dimensi interaksional classroom discourse dikatakan bahwa interkasi yang terjadi dengan teman sebayapun begitu penting seperti bercerita. Dengan begitu ketika pengajar memasuki ruang kelas, peserta didik karena sudah bercerita dengan temannya sehingga pada saat pembelajaran siswa tanpa disuruh akan mengangkat tangan untuk bertanya. Proses tersebut merupakan bagian dari proses belajar siswa dengan menggunakan aspek kreatif interaksi. Dalam analisis ‘discourse’ kita meneliti bagaimana ‘discourse dan konteks’ dapat berpengaruh satu sama lainnya. Untuk memahami mengapa seseorang menanyakan sesuatu selalu menggunakan dengan cara yang berbeda, dapat kita lihat pada konteks yang terjadi sebelumnya. Jenis penggunaan konteks juga dapat dipengaruhi oleh acara yang ditonton (tv), ataupun memanglah sudah dasar dari bawaan logat. Dengan kata lain, yang dimaksud oleh Betsy Rymes tentang pengertian ‘discourse’ itu ialah interaksi yang dilakukan antara pengajar dengan peserta didiknya. Dalam kegiatan belajar mengajar, komunikasi merupakan suatu keharusan agar terjadi hubungan yang harmonis antara pengajar dengan peserta didiknya. Keefektifan komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar ini sangat tergantung dari kedua belah pihak. Akan tetapi karena pengajar yang memegang kendali kelas, maka tanggung jawab terjadinya komunikasi dalam kelas yang sehat dan efektif terletak pada tangan pengajar (guru). Keberhasilan pengajar dalam mengemban tanggung jawab tersebut dipengaruhi oleh keterampilannya dalam melakukan komunikasi ini. Shirley Brice Heath (1983) memperlihatkan pengaruh keluarga kepada bagaimana seorang anak berprestasi disekolah sebuah contoh gambar 2 buah traktor + 2 buah trailer, jawaban yang banyak terjadi yaitu 4, namun pada prakteknya 2 buah traktor + 2 buah trailer adalah sebuah truk, kombinasi dari keduanya. Guru memiliki kewenangan yang sah dalam kelas, peserta didikpun bisa disalahpahami oleh pengajar dalam kelas.
Betsy Rymes dalam menganalisis hubungan konteks dan discourse selalu melihat konteks yang terjadi sebelumnya. Terkadang peserta didik merubah cara bicaranya agar sesuai dengan konteks yang terjadi dalam kelas yang kemudian mengubaha discourse itu sendiri. Ketika seorang pengajar memulai pembelajaran dalam kelas dengan menyelidiki terlebih dahulu kegiatan apa yang mereka lakukan dirumah atau memeriksa PR, tetapi juga seorang pengajar harus tau cara menggunakan bahasa kedalam konteks seperti dalam rumah (yang intim) seperti bercerita atau kegiatan lainnya seperti tanya jawab. Dengan mengubah konteks kelas maka setidaknya akan menambahkan pengalaman siswa dan meningkatkan kemampuan mereka untuk berpatisipasi dalam sebuah diskusi (Heath, 1983).
Pengajar hendaknya menyadari bahwa didalam kegiatan belajar dan pembelajaran, seungguhnya ia sedang melaksanakan kegiatan komunikasi. Untuk itu pengajar harus memilih dan menggunakan kata-kata yang berada dalam jangkauan pengalaman para peserta didiknya, agar dapat dimengerti dengan baik oleh mereka sehingga pesan pembelajaran yang disampaikan dapat diterima oleh peserta didik dengan baik.

KESIMPULAN          :
Classroom discourse adalah komunikasi dan interaksi yang terjadi didalam kelas dengan menggunakan bahasa yang sesuai konteks pembahasan dalam kelas. Komunikasi bukan cuma terkait dengan bagaimana cara menggunakan bahasa tapi sangat terkait juga dalam menyampaikan pesan dalam bentuk yang lainnya seperti tatapan mata, gesture tubuh, serta mungkin intonasi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic