Class Review 4
Malam
ini, ditemani dengan rintikan-rintikan air yang jatuh dari langit yang
membasahi bumi dan berkarib dengan sepi.
Pena ini kembali menari-nari diatas lembaran-lembaran putih yang akan
menggoreskan tulisan-tulisan indah.
Tulisan-tulisan indah dimana yang akan merekam ulang kembali momen-momen
yang ada pada kelas writing pada hari
Selasa, 25 Februari 2014. Hari itu
dimana saya dan teman-teman seperjuangan saya mengikuti pertemuan keempat dalam
mata kuliah yang mengharuskan pena ini menari-nari diatas lembaran-lembaran
putih dan otak ini berpikir lebih keras untuk mencari dan menemukan ide-ide
brilian yang akan dituliskan dengan indah diatas lembaran-lembaran putih
tersebut. Itu adalah writing.
Tentunya dengan dosen yang selalu membimbing kami dan mentransferkan
ilmunya. Beliau adalah Mr.Lala Bumela,
M.Pd.
Pada
pertemuan keempat ini, Mr.Lala mengevaluasi mengenai critical review yang pertama yaitu yang berjudul Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony. Dalam membuat critical review ini, hampir sebagian
besar dari kami tidak ada yang tepat dalam membuat critical review tersebut.
Kebanyakan dari kami, tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya
dikritik dan isi pembahasannya belum mengenai classroom discourse sesuai dengan judul dari wacana tersebut.
Menurut
perspektif Mr.Lala, classroom discourse itu
diantaranya :
1)
Sacred site
(Situs suci)
Dalam
hal ini, kenapa kelas dikatakan sebagai sacred
site? Hal ini dikarenakan tidak semua hal dapat dilakukan di dalam
kelas. Kita tidak bisa melakukan semua
kegiatan dengan sesuka hati di dalam kelas.
Tentunya hanya hal-hal yang bersifat edukatif yang dilakukan di dalam
kelas. Selain itu, hanya orang-orang
tertentu saja yang bisa masuk ke dalam kelas.
Contohnya yaitu dalam mata kuliah writing,
tidak sembarang mahasiswa yang bisa masuk ke dalam kelas writing.
Tentunya hanya mahasiswa tertentu yang bisa mengikuti kelas writing tersebut.
2)
Complicated
Selain
sebagai sacred site, kelas juga
merupakan hal yang complicated. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan interaction dan talk. Maka dari itu,
terdapat beberapa alasan yang menjadikan kelas begitu complicated, diantaranya:
- Background. Hal ini merupakan aspek yang mendasar yang ada di dalam kelas. Di dalam sebuah kelas, tentunya memiliki background yang berbeda-beda, seperti agama, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Dalam perbedaan tersebut, tentunya dalam berinteraksi satu sama lain harus ada rasa saling menghormati dan bertoleransi agar terciptanya kerukunan dan keharmonisan di dalam kelas.
- Communicative strategies. Dalam hal ini, suatu kelas dikatakan complicated salah satunya yaitu karena communicative strategies. Dalam berinteraksi satu sama lain di dalam kelas, tentunya harus ada communcative strategies. Hal ini dikarenakan di dalam suatu kelas memiliki background yang berbeda-beda, jadi dalam berinteraksi dan berkomunikasi harus memerhatikan dengan siapa lawan kita berbicara. Contohnya yaitu komunikasi antara mahasiswa dengan dosen.
- Meaning-making practices. Dalm hal ini, suatu kelas dikatakan complicated karena didalamnya harus bernegosiasi dengan ideology dan values.
Jadi,
kelas merupakan hal yang sangat complex
dan complicated.
Berbicara
mengenai classroom discourse atau
wacana kelas berarti merujuk pada bahasa yang guru dan siswa gunakan untuk
berkomunikasi satu sama lain di dalam kelas.
Talk atau percakapan adalah
media dimana sebagian besar kegiatan belajar mengajar berlangsung, sehingga
studi wacana kelas adalah studi tentang proses pengajaran secara tatap muka
yang terjadi di dalam kelas.
Dalam classroom discourse, kata discourse
tersebut meliputi text and context. Teks merujuk pada wujud kongkret
penggunaan bahasa berupa untaian kalimat yang mengemban proposisi-proposisi
tertentu sebagai suatu keutuhan. Menurut
Fowler (Sugira Wahid dan Juanda,
2006:77), wacana tentu saja berbeda dengan teks, sebab wacana merujuk pada
kompleksitas aspek yang terbentuk oleh interaksi antara aspek kebahasaan
sebagaimana terwujud dalam teks dengan aspek luar bahasa. Interaksi tersebut selain menentukan
karakteristik bentuk komunikasi ataupun penggunaan bahasanya juga berfungsi
dalam menentukan makna suatu teks. Unsur
yang dimaksudkan adalah diluar bahasa tersebut merujuk kepada partisipan atau
peserta komunikasi, tujuan, dan konteks dalam persfektif kajian linguistik
secara kritis.
Sebagaimana
yang telah disampaikan oleh Fowler, Cook
(Sugira Wahid dan Juanda, 2006:78) merumuskannya sebagai berikut:
a. Teks merupakan
semua bentuk bahasa baik itu kata-kata yang tercetak di kertas, tetapi juga
berbagai ekspresi komunikasi, seperti: ucapan, musik, gambar, efek suara, dan
sebagainya.
b. Konteks terdiri
atas semua situasi yang berada diluar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa,
seperti: partisipan, situasi, fungsi, dan sebagianya.
c. Wacana adalah
teks dan konteks sebagai suatu kesatuan.
Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan
tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday
& Hasan, 1994: 13). Teks adalah contoh interaksi interaksi lingual
tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa, apa saja yang dikatakan
atau ditulis, dalam konteks yang operasional (operational context). Teks
berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh
masyarakat dalam situasi yang nyata.
Konteks adalah sesuatu yang menyertai
atau yang bersama teks. Secara garis
besar, konteks wacana dibedakan atas dua kategori, yaitu konteks linguistik dan
konteks ekstralinguistik. Konteks
linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur bahasa. Konteks linguistik ini mencakup sifat kata
kerja, kata kerja bantu, dan proposisi positif. Sedangkan konteks ekstralinguistk adalah
konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa.
Konteks ekstralinguistik ini mencakup praanggapan, partisipan, topik,
latar, saluran, dan kode.
Dalam menganalisis wacana, sasaran
utamanya bukan pada struktur kalimat tetapi pada status dan nilai fungsional
kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun konteks
ekstralinguistik. Tiga manfaat konteks
dalam analisis wacana, diantaranya:
1. Penggunaan
konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan konteks
linguistik.
2. Penggunaan
konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan
ditentukan oleh konteks wacana.
3. Penggunaan
konteks untuk mencari bentuk tak terujar, yaitu bentuk yang memiliki unsur tak
terujar atau bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks.
Jufri
(2008: 22) menjelaskan bahwa
konteks dalam analisis wacana kritis dipandang perlu mengkaji tentang latar,
situasi, peristiwa, dan kondisi. Dalam
persfektif kritis wacana dipahami sebagai penggunaan bahasa sebagai praktik
sosial. Wacana harus dipahami dari tiga
dimensi kewacanaan secara simultan, wacana, teks, dan praktik sosial kultural.
Fairclough
(Jufri, 2008: 22) berpandangan
bahwa dimensi kewacanaan secara simultan, seperti dimensi teks meliputi bahasa
lisan dan tulisan. Dimensi praktik
wacana yang berkaitan dengan produksi dan interpretasi teks, dan dimensi
praktik sosial kultural yang berkaitan dengan perubahan aspek sosial
masyarakat, institusi, dan kebudayaan turut menentukan bentuk dan makna sebuah
wacana.
Dalam
pandangan kritis, teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal
dalam konteks. Dengan demikian, teks
dapat dipandang sebagai medium wacana.
Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada keseluruhan
proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat yang menghasilkan dan
masyarakat yang memahami teks.
Dalam
menganalisis classroom discourse, setidaknya
ada empat alasan diantaranya sebagai berikut:
1)
Wawasan yang
diperoleh dari analisis wacana kelas telah meningkatkan saling pemahaman antara
guru dan siswa;
2) Dengan menganalisis
wacana kelas sendiri, guru telah mampu memahami perbedaan lokal di kelas
bicara, akan melampaui stereotip atau generalisasi budaya lainnya;
3)
Ketika para guru
menganalisis wacana di kelas mereka sendiri, akademik prestasi meningkat;
4) Proses melakukan
analisis wacana kelas dapat sendiri menumbuhkan intrinsik dan cinta seumur
hidup untuk praktek mengajar dan umum meneguhkan hidupnya potensial.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa classroom discourse atau wacana tentang
kelas memang merupakan hal yang sangat complex
dan complicated. Hal itu dikarenakan di dalam kelas
terdapat interaksi antara satu sama lain.
Dalam membangun interaksi dan komunikasi di dalam kelas tersebut,
tentunya tidaklah mudah dan banyak hal yang mempengaruhinya, salah satunya
yaitu background. Background dari setiap orang di dalam
kelas tersebut tentunya berbeda-beda, baik itu dari aspek agama, budaya,
politik, ekonomi, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic