We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Selasa, 04 Maret 2014

Classroom: The Foundation of Interaction

Class Review 4

            Malam ini, ditemani dengan rintikan-rintikan air yang jatuh dari langit yang membasahi bumi dan berkarib dengan sepi.  Pena ini kembali menari-nari diatas lembaran-lembaran putih yang akan menggoreskan tulisan-tulisan indah.  Tulisan-tulisan indah dimana yang akan merekam ulang kembali momen-momen yang ada pada kelas writing pada hari Selasa, 25 Februari 2014.  Hari itu dimana saya dan teman-teman seperjuangan saya mengikuti pertemuan keempat dalam mata kuliah yang mengharuskan pena ini menari-nari diatas lembaran-lembaran putih dan otak ini berpikir lebih keras untuk mencari dan menemukan ide-ide brilian yang akan dituliskan dengan indah diatas lembaran-lembaran putih tersebut.  Itu adalah writing.  Tentunya dengan dosen yang selalu membimbing kami dan mentransferkan ilmunya.  Beliau adalah Mr.Lala Bumela, M.Pd.
            Pada pertemuan keempat ini, Mr.Lala mengevaluasi mengenai critical review yang pertama yaitu yang berjudul Classroom Discourse to Foster Religious Harmony.  Dalam membuat critical review ini, hampir sebagian besar dari kami tidak ada yang tepat dalam membuat critical review tersebut.  Kebanyakan dari kami, tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya dikritik dan isi pembahasannya belum mengenai classroom discourse sesuai dengan judul dari wacana tersebut.
            Menurut perspektif Mr.Lala, classroom discourse itu diantaranya :
1)      Sacred site (Situs suci)
Dalam hal ini, kenapa kelas dikatakan sebagai sacred site? Hal ini dikarenakan tidak semua hal dapat dilakukan di dalam kelas.  Kita tidak bisa melakukan semua kegiatan dengan sesuka hati di dalam kelas.  Tentunya hanya hal-hal yang bersifat edukatif yang dilakukan di dalam kelas.  Selain itu, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk ke dalam kelas.  Contohnya yaitu dalam mata kuliah writing, tidak sembarang mahasiswa yang bisa masuk ke dalam kelas writing.  Tentunya hanya mahasiswa tertentu yang bisa mengikuti kelas writing tersebut. 
2)      Complicated
Selain sebagai sacred site, kelas juga merupakan hal yang complicated.  Hal ini dikarenakan berkaitan dengan interaction dan talk.  Maka dari itu, terdapat beberapa alasan yang menjadikan kelas begitu complicated, diantaranya:
  • Background.  Hal ini merupakan aspek yang mendasar yang ada di dalam kelas.  Di dalam sebuah kelas, tentunya memiliki background yang berbeda-beda, seperti agama, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.  Dalam perbedaan tersebut, tentunya dalam berinteraksi satu sama lain harus ada rasa saling menghormati dan bertoleransi agar terciptanya kerukunan dan keharmonisan di dalam kelas.
  • Communicative strategies.  Dalam hal ini, suatu kelas dikatakan complicated salah satunya yaitu karena communicative strategies.  Dalam berinteraksi satu sama lain di dalam kelas, tentunya harus ada communcative strategies.  Hal ini dikarenakan di dalam suatu kelas memiliki background yang berbeda-beda, jadi dalam berinteraksi dan berkomunikasi harus memerhatikan dengan siapa lawan kita berbicara.  Contohnya yaitu komunikasi antara mahasiswa dengan dosen.
  • Meaning-making practices.  Dalm hal ini, suatu kelas dikatakan complicated karena didalamnya harus bernegosiasi dengan ideology dan values.      
Jadi, kelas merupakan hal yang sangat complex dan complicated. 
            Berbicara mengenai classroom discourse atau wacana kelas berarti merujuk pada bahasa yang guru dan siswa gunakan untuk berkomunikasi satu sama lain di dalam kelas.  Talk atau percakapan adalah media dimana sebagian besar kegiatan belajar mengajar berlangsung, sehingga studi wacana kelas adalah studi tentang proses pengajaran secara tatap muka yang terjadi di dalam kelas.          
Dalam classroom discourse, kata discourse tersebut meliputi text and context.  Teks merujuk pada wujud kongkret penggunaan bahasa berupa untaian kalimat yang mengemban proposisi-proposisi tertentu sebagai suatu keutuhan.  Menurut Fowler (Sugira Wahid dan Juanda, 2006:77), wacana tentu saja berbeda dengan teks, sebab wacana merujuk pada kompleksitas aspek yang terbentuk oleh interaksi antara aspek kebahasaan sebagaimana terwujud dalam teks dengan aspek luar bahasa.  Interaksi tersebut selain menentukan karakteristik bentuk komunikasi ataupun penggunaan bahasanya juga berfungsi dalam menentukan makna suatu teks.  Unsur yang dimaksudkan adalah diluar bahasa tersebut merujuk kepada partisipan atau peserta komunikasi, tujuan, dan konteks dalam persfektif kajian linguistik secara kritis. 
            Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Fowler, Cook (Sugira Wahid dan Juanda, 2006:78) merumuskannya sebagai berikut:
a.  Teks merupakan semua bentuk bahasa baik itu kata-kata yang tercetak di kertas, tetapi juga berbagai ekspresi komunikasi, seperti: ucapan, musik, gambar, efek suara, dan sebagainya.
b.  Konteks terdiri atas semua situasi yang berada diluar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti: partisipan, situasi, fungsi, dan sebagianya.
c.   Wacana adalah teks dan konteks sebagai suatu kesatuan. 
Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis.  Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday & Hasan, 1994: 13). Teks adalah contoh interaksi interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa, apa saja yang dikatakan atau ditulis, dalam konteks yang operasional (operational context).  Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata. 
Konteks adalah sesuatu yang menyertai atau yang bersama teks.  Secara garis besar, konteks wacana dibedakan atas dua kategori, yaitu konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.  Konteks linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur bahasa.  Konteks linguistik ini mencakup sifat kata kerja, kata kerja bantu, dan proposisi positif.    Sedangkan konteks ekstralinguistk adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa.  Konteks ekstralinguistik ini mencakup praanggapan, partisipan, topik, latar, saluran, dan kode.
Dalam menganalisis wacana, sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun konteks ekstralinguistik.  Tiga manfaat konteks dalam analisis wacana, diantaranya:
1.   Penggunaan konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan konteks linguistik.
2.   Penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks wacana.
3.   Penggunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar, yaitu bentuk yang memiliki unsur tak terujar atau bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks. 
Jufri (2008: 22) menjelaskan bahwa konteks dalam analisis wacana kritis dipandang perlu mengkaji tentang latar, situasi, peristiwa, dan kondisi.  Dalam persfektif kritis wacana dipahami sebagai penggunaan bahasa sebagai praktik sosial.  Wacana harus dipahami dari tiga dimensi kewacanaan secara simultan, wacana, teks, dan praktik sosial kultural.
Fairclough (Jufri, 2008: 22) berpandangan bahwa dimensi kewacanaan secara simultan, seperti dimensi teks meliputi bahasa lisan dan tulisan.  Dimensi praktik wacana yang berkaitan dengan produksi dan interpretasi teks, dan dimensi praktik sosial kultural yang berkaitan dengan perubahan aspek sosial masyarakat, institusi, dan kebudayaan turut menentukan bentuk dan makna sebuah wacana.
            Dalam pandangan kritis, teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks.  Dengan demikian, teks dapat dipandang sebagai medium wacana.  Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat yang menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks. 
             Dalam menganalisis classroom discourse, setidaknya ada empat alasan diantaranya sebagai berikut:
1)      Wawasan yang diperoleh dari analisis wacana kelas telah meningkatkan saling pemahaman antara guru dan siswa;
2)   Dengan menganalisis wacana kelas sendiri, guru telah mampu memahami perbedaan lokal di kelas bicara, akan melampaui stereotip atau generalisasi budaya lainnya;
3)      Ketika para guru menganalisis wacana di kelas mereka sendiri, akademik prestasi meningkat;
4)    Proses melakukan analisis wacana kelas dapat sendiri menumbuhkan intrinsik dan cinta seumur hidup untuk praktek mengajar dan umum meneguhkan hidupnya potensial.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa classroom discourse atau wacana tentang kelas memang merupakan hal yang sangat complex dan complicated.  Hal itu dikarenakan di dalam kelas terdapat interaksi antara satu sama lain.  Dalam membangun interaksi dan komunikasi di dalam kelas tersebut, tentunya tidaklah mudah dan banyak hal yang mempengaruhinya, salah satunya yaitu background.  Background dari setiap orang di dalam kelas tersebut tentunya berbeda-beda, baik itu dari aspek agama, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic