CLASS REVIEW KE = 6
BELAJAR VISUAL
MENGHASILKAN SISWA BERFIKIR KRITIS
Semua yang baru akan ku jalani
Walau tidak tahu bagaimana klimaks kisah ini
Meski masih banyak mimpi ku yamg belum tercapai….
Masa lalu ku biarlah menjadi kenangan
Masa sekarang biarlah ku jalani dengan senyum
Masa depan biarlah yang menjadi penentu hidupku….
Senyum dan semangat baru itulah aku
Meski aku harus jatuh bangun menghadapi rintangan
Semangat tetap ada di hidupku…….
Bahasa
merupakan media bagi manusia dalam berkomunikasi. Melaluibahasa, manusia dapat
mengungkapkan ide, pikiran, dan perasaannya.
Namun demikian, saat ini definisi bahasa telah berkembang sesuai
fungsinya bukan hanya sebagai alat berkomunikasi. Saat ini, bahasa telah menjadi media
perantara dalam pelaksanaan kuasa melalui ideologi. Bahkan bahasa juga menyumbang proses dominasi
terhadap orang lain oleh pihak lain (Fairclough, 1989:
2).
Sejalan
dengan pernyataan di atas, Halliday (1978: 2)
juga menegaskan bahwa sesungguhnya bahasa bukan hanya terdiri atas kalimat,
melainkan juga terdiri atas teks atau wacana yang di dalamnya terdapat tukar –
menukar maksud dalam konteks interpersonal antara satu dengan yang lain. Konteks dalam tukar menukar maksud itu tidak bersifat
kosong dari nilai sosial, tetapi sangat dipengaruhi oleh konteks social budaya masyarakatnya.
Perkembangan
peran dan definisi bahasa tersebut telah membawa pengaruh yang sangat besar
terhadap kajian bahasa (linguistik). Linguistik
tidak lagi bergerak dalam kajian struktural atau gramatikal, tetapi telah
berkembang menjadi kajian-kajian yang lintas disipliner dengan bidang lain,
seperti sosiolinguistik, pragmatik, analisis wacana, neurolinguistik, dan psikolinguistik.
Kajian-kajian lintas disipliner itu
menandai bahwa bahasa memang berperan besar dalam segala bidang kehidupan
masyarakat.
Salah
satu bidang yang juga memanfaatkan bahasa dalam kaitannya dengan pelaksanaan
kuasa dalam ideologi seperti yang dijelaskan di atas adalah bidang media.
Sebagian besar bentuk produksi media diwujudkan dalam bentuk bahasa. Dengan demikian, hubungan antara bahasa dan
media merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Richardson (2007:
6) menyatakan bahwa “the
language used in newspaper is one key site in naturalisasion of inqequality
and neutralisasion of dissert”.
Alwasilah (2002:120) mengungkapkan bahwa teori berfungsi untuk
membangun model atau peta yang menggambarkan dunia (data) seperti apa adanya. Melalui teorilah, dunia atau fenomena dapat
disederhanakan, tetapi penyederhanaan ini dilakukan untuk menjelaskan atau
menerangkan bagaimana fenomena itu bekerja. Selain itu, teori juga merupakan penuntun
dalam memberikan pemahaman lebih baik terhadap objek yang diteliti dalam
sebuah penelitian (Sudaryanto, 1998:6). Teori yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Wacana Kritis Model Norman Fairclough
(1992b, 1995a, 1998, 2000), Eriyanto (2006), Titscher (2009), Jorgensen
(2007), dan Richardson (2007). Teori-teori ini digunakan karena selaras
dengan permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian yang mengusung
bidang analisis wacana kritis ini.
Metodologi
adalah cara dalam penelitian untuk memperoleh “pengetahuan” dan “pemahaman”
dari objek yang kita teliti. Metodologi
dapat dilihat pada tiga tataran, yakni :
1. Paradigma yang digunakan.
2. Metode yang dipilih.
3. Teknik
yang dipakai (Hoed, 2011:7).
Sementara
itu, metode adalah cara yang harus dilaksanakan, teknik adalah cara
melaksanakan metode dan sebagai cara, keberhasilan teknik ditentukan oleh alat
yang dipakai. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu metode yang bertujuan
memberikan deskripsi secara sistematis mengenai data, sifat-sifat, dan
hubungan fenomena-fenomena yang akan diteliti (Djajasudarma,
2006: 9).
Analisis
Wacana Kritis Model Norman Fairclough
Analisis
Wacana Kritis adalah sebuah upaya untuk proses (penguraian) untuk memberi penjelasan
dari sebuah teks (realitas sosial) dari seseorang atau kelompok dominan yang
kecenderungannya memiliki tujuan tertentu untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Artinya dalam suatu konteks
harus disadari adanya kepentingan (Darma, 2009: 49).
Kerangka
teori yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis wacana pendekatan Norman Fairclough (1992b, 1995a; 1998; 2000) yang
dikenal dengan nama analisis wacana tiga dimensi. Yang dimaksud dengan
analisis wacana tiga dimensi ini ialah analisis yang melibatkan tiga tingkat
analisis:
1. Analisis
teks atau textual (mikro), yaitu pendeskripsian (description)
mengenai teks.
2. Analisis
wacana atau discourse practice (meso), yaitu interpretasi (interpretation)
hubungan antara proses produksi wacana dan teks.
3. Analisis sosio-budaya atau sociocultural
practice (makro), yaitu penjelasan (explanation) hubungan antara
proses wacana dengan proses sosial (Fairclough,
1992a:73; 1995a:59; Idris, 2006:75).
Apa pemikiran visual dan belajar visual?
Berpikir visual adalah gaya belajar dimana peserta didik lebih baik memahami dan mempertahankan informasi ketika ide-ide, kata-kata dan konsep – konsep yang terkait dengan gambar.
Riset mengatakan bahwa mayoritas siswa di kelas reguler perlu melihat informasi dalam rangka untuk mempelajarinya.
Beberapa strategi pembelajaran umum visual meliputi menciptakan penyelenggara grafis, diagram, pemetaan pikiran, menguraikan dan banyak lagi.
Bagaimana membantu belajar visual siswa?
Belajar visual membantu siswa menjelaskan pikiran mereka. Siswa melihat bagaimana ide – ide terhubung dan menyadari
bagaimana informasi dapat dikelompokkan dan terorganisir. Dengan belajar visual, konsep – konsep baru yang lebih menyeluruh dan mudah dipahami ketika mereka terkait dengan pengetahuan sebelumnya. Belajar visual membantu siswa mengatur dan menganalisa informasi. Siswa dapat menggunakan diagram dan plot untuk menampilkan sejumlah besar informasi dengan cara yang mudah dimengerti dan membantu mengungkapkan hubungandan pola. Belajar visual membantu siswa mengintegrasikan pengetahuan baru. Menurut penelitian, siswa lebih mengingat informasi ketika diwakili dan belajar baik secara visual
dan verbal. Belajar visual membantu siswa berpikir kritis Linked informasi verbal dan visual membantu
siswa membuat hubungan, memahami hubungan dan mengingat rincian yang terkait.
Berpikir dan belajar Visual memanfaatkan cara grafis bekerja dengan ide – ide dan menyajikan informasi. Penelitian dalam teori pendidikan dan psikologi kognitif mengatakan bahwa belajar visual adalah salah satu metode yang terbaik untuk mengajar siswa dari segala usia cara berpikir dan cara belajar.
Berpikir visual dan pembelajaran dalam pendidikan
Strategi pembelajaran visual seperti penyelenggara grafis, diagram, garis besar dan masih terus digunakan di ruang kelas diseluruh negeri. Strategi ini membantu siswa atau semua usia baik mengelola tujuan belajar dan mencapai keberhasilan akademis. Sebagai mahasiswa diwajibkan untuk mengevaluasi dan menginterpretasikan informasi dari
berbagai sumber, menggabungkan pengetahuan baru dengan apa yang telah mereka pelajari, dan meningkatkan keterampilan menulis dan berpikir kritis, alat belajar visual membantu siswa memenuhi tuntutan. Dipasangkan dengan kapasitas otak untuk gambar, strategi belajar visual membantu siswa lebih memahami dan menyimpan informasi. Dalam bagian ini menawarkan berbagai sumber daya untuk lebih memahami penggunaan metodologi belajar visual dan alat untuk memasukkan ke dalam kelas.
View
Rencana pelajaran yang menggabungkan pemikiran visual dan menguraikan dan sejalan dengan Standar Negara Inti Umum.
Visual, Auditory, dan Kinestetik Gaya Belajar (VAK)
Gaya belajar VAK menggunakan tiga penerima sensor utama: Visual, Auditory, dan Kinestetik (gerakan) untuk menentukan gaya belajar yang dominan. Hal ini kadang – kadang dikenal sebagai VAK (Visual, Auditory, Kinestetik, & Perabaan). Hal ini didasarkan pada modaitas – saluran dimana ekspresi manusia dapat terjadi dan terdiri dari kombinasi persepsi dan memori. VAK berasal dari dunia percepatan belajar dan tampaknya tentang model yang paling populer saat ini karena kesederhanaannya. Sementara penelitian telah menunjukkan hubungan dengan modalitas dan gaya belajar (University of Pennsylvania, 2009), penelitian sejauh ini tidak dapat membuktikan menggunakan gaya belajar seseorang menyediakan cara terbaik untuk belajar tugas atau subjek. Ini mungkin karena lebih dari preferensi, bukan gaya.
Pembelajar menggunakan ketiga modalitas untuk menerima dan mempelajari informasi baru dan pengalaman. Namun, menurut VAK atau modalitas teori, satu atau dua dari gaya menerima biasanya dominan. Gaya dominan ini mendefinisikan cara terbaik bagi seseorang untuk mempelajari informasi baru dengan menyaring apa yang harus dipelajari. Gaya ini mungkin tidak selalu harus sama untuk beberapa tugas. Pelajar dapat memilih satu gaya belajar untuk satu tugas, dan kombinasi dari orang lain untuk tugas yang berbeda.
Secara klasik, gaya belajar kita dipaksakan pada kita melalui hidup seperti ini: Dalam kelas TK hingga ketiga, informasi baru disajikan kepada kita kinesthetically; nilai 4 sampai 8 disajikan secara visual, sedangkan nilai 9 ke perguruan tinggi dan masuk ke lingkungan bisnis, informasi adalah disajikan kepada kita sebagian besar melalui sarana pendengaran, seperti ceramah.
Menurut teori VAK, kita perlu untuk menyajikan informasi dengan menggunakan segala tiga gaya. Hal ini memungkinkan semua peserta didik kesempatan untuk terlibat, tidak peduli apa gaya yang mereka sukai.
Sementara ada beberapa bukti untuk kekuatan tertentu modalitas dan kelemahan (Rourke, etal. 2002), apa yang belum ditetapkan adalah pencocokan gaya instruksional untuk kekuatan belajar individu meningkatkan kemampuan belajar mereka. Sebagai contoh, satu studi ( Constantinidou dan Baker, 2002 ), menemukan bahwa presentasi visual melalui penggunaan gambar itu menguntungkan untuk semua orang dewasa, terlepas dari preferensi belajar gaya tinggi atau rendah untuk gambar visual. Memang, itu sangat menguntungkan bagi mereka dengan preferensi yang kuat untuk diproses verbal.
Petunjuk untuk Mengenali dan Melaksanakan Styles Tiga VAK
Peserta didik Auditory sering berbicara untuk diri mereka sendiri. Mereka juga bisa bergerak bibir mereka dan membaca keras - keras. Mereka mungkin mengalami kesulitan dengan membaca dan menulis tugas. Mereka sering lebih baik berbicara dengan kolega atau tape recorder dan mendengar apa yang dikatakan. Untuk mengintegrasikan gaya ini ke dalam lingkungan belajar:
◦ Mulailah materi baru dengan penjelasan singkat tentang apa yang akan datang. Menyimpulkan dengan ringkasan dari apa yang telah dibahas. Ini adalah pepatah lama "mengatakan kepada mereka apa yang akan mereka bersandar, mengajar mereka, dan memberitahu mereka apa yang telah mereka pelajari."
◦ Gunakan metode Sokrates perkuliahan dengan mempertanyakan peserta didik untuk menarik sebanyak mungkin informasi dari mereka mungkin dan kemudian mengisi kekosongan dengan keahlian Anda sendiri.
◦ Termasuk kegiatan pendengaran, seperti brain storming, kelompok buzz, atau Jeopady. Meninggalkan banyak waktu untuk berdiskusi kegiatan. Hal ini memungkinkan mereka untuk membuat hubungan dari apa yang mereka bersandar dan bagaimana hal itu berlaku untuk situasi mereka.
◦ Mengembangkan dialog internal antara diri sendiri dan peserta didik.
Pelajar visual memiliki dua sub – saluran linguistik dan spasial. Peserta didik yang bersifat visual – linguistik ingin belajar melalui bahasa tertulis, seperti membaca dan menulis tugas. Mereka ingat apa yang telah ditulis, bahkan jika mereka tidak membacanya lebih dari sekali. Mereka suka untuk menuliskan arah dan memperhatikan lebih baik untuk kuliah jika mereka menonton. Peserta didik yang visual spasial biasanya memiliki
kesulitan dengan bahasa tertulis dan berbuat lebih baik dengan grafik, demonstrasi, video, dan materi visual lainnya. Mereka dengan mudah memvisualisasikan wajah dan tempat dengan menggunakan imajinasi mereka dan jarang tersesat di lingkungan baru. Untuk mengintegrasikan gaya ini ke dalam lingkungan belajar:
◦ Gunakan grafik, diagram, ilustrasi, atau alat bantu visuallainnya.
◦ Sertakan garis besar, peta konsep, agenda, handout, dll untuk membaca dan membuat catatan.
◦ Sertakan banyak konten dalam hand out untuk membaca ulang setelah sesi belajar.
◦ Tinggalkan ruang putih di hand out untuk mencatat.
◦ Undang pertanyaan untuk membantu mereka tetap waspada di lingkungan pendengaran.
◦ grafik Posflip untuk menunjukkan apa yang akan terjadi dan apa yang telah disajikan.
◦ Tekankan poin – poin penting untuk isyarat kapan harus mengambil catatan.
◦ Hilangkan gangguan potensial. Tambahan informasi tekstual.
◦ Dengan ilustrasi bila memungkinkan.
◦ Minta mereka menggambar di pinggiran.
◦ Apakah peserta didik membayangkan topik atau mereka bertindak keluar materi pelajaran. Pelajar kinestetik melakukan yang terbaik sembari menyentuh dan bergerak.
Lajuga memiliki dua sub - saluran: Kinestetik (gerakan) dan taktil (sentuhan). Mereka cenderung kehilangan konsentrasi jika ada rangsangan eksternal sedikit atau tidak ada atau gerakan. Ketika mendengarkan ceramah mereka mungkin ingin mengambil catatan demi menggerakkan tangan mereka. Ketika membaca, mereka ingin memindai bahan pertama, dan kemudian fokus pada detail (mendapatkan gambaran besar). Mereka biasanya menggunakan warna pemantik tinggi dan membuat catatan dengan menggambar gambar, diagram, atau mencoret - coret. Untuk mengintegrasikan gaya ini ke dalam lingkungan belajar:
◦ Gunakan kegiatan yang mendapatkan peserta didik berdiri dan bergerak.
◦ Musik Play, jika diperlukan, selama kegiatan.
◦ Gunakan spidol berwarna untuk menekankan poin – poin penting pada flip chart atau papan putih.
◦ Berikan sering stretch istirahat (istirahatotak).
◦ Sediakan mainan seperti bola Koos hand Play – Dough untuk memberi mereka sesuatu untuk dilakukan dengan tangan mereka.
◦ Untuk menyorot titik, memberikan permen karet, permen, aroma, dll yang menyediakan linkl intas dari aroma (aroma) dengan topik ditangan (aroma bisa menjadi isyarat kuat).
◦ Memberikan korek api tinggi, pena berwarna dan atau pensil.
◦ Panduan pelajar melalui visualisasi tugas – tugas kompleks.
◦ Apakah mereka mentransfer informasi dari teks ke media lain seperti keyboard atau tablet. Selain itu, sebagai bentuk lain juga analisis wacana yang mempertimbangkan hubungan antara teks dan konteks sosial budaya, istilah 'kritis' dalam nama pendekatan menunjukkan, menurut Fairclough (1989), pendekatan yang berusaha untuk menunjukkan koneksi yang mungkin tersembunyi dari orang - orang, seperti hubungan antara bahasa, kekuasaan dan ideologi (dikutip di Sunderland dan Litosseliti 2002: 19). Analis wacana feminis bernama proses ini juga sebagai demistifikasi – denaturalization – mempertahankan bahwa salah satu tujuan feminis CDA adalah untuk mengungkap – untuk – diberikan atau asumsi umum – sensical gender dengan menunjukkan bahwa asumsi ini ideologis dan mengaburkan diferensil kekuasaan dan ketidak setaraan (Lazar 2005: 7, Sunderland dan Litosseliti 2002: 19, 5 Talbot 1995: 151). Proses ini didasarkan pada asumsi pasca strukturalis bahasa dan wacana ideologis, wacana bekerja sebagai situs perjuangan 'untuk ideologi gender dan asumsi dan memberikan kontribusi bagi penciptaan dan reproduksi hubungan kekuasaan yang tidak setara antara
kelompok social (Lazar 2005: 5, Jørgensen dan Phillips 2004: 18). Feminis CDA dengan demikian terbuka politik, pendekatan kriti semansipatoris yang berkomitmen untuk kesadaran – kesadaran dan perubahan sosial melalui kritik terhadap wacana (Lazar 2005: 5; Jørgensendan Phillips 2004: 64, Talbot 1995: 151). Itu keterbukaan tentang agenda politik tidak hanya pilihan, tapi
kebutuhan: seperti kebanyakan teorifeminis, analis wacana kritis harus "secara eksplisit mengakui ketidakmungkinan pengamatan berimbang – untuk semua pendekatan analitis "karena juga pilihan bahasa analis dan posisi
yang secara sosiologis dan berbentuk ideologis (Sunderland dan Litosseliti 2002: 21).
Ideologi
dan kekuasaan – pandangan kaleidoskopik
Dorongan kritis CDA dan program penelitian
lain 'kritis' adalah warisan pencerahan (Horkheimer dan Adorno, 1969/1991).
Kecaman teratur bertujua nmengungkapkan
struktur kekuasaan dan membuka selubung ideologi. Ideologi ini kemudian tidak dipahami dengan cara
positivistik, yaitu ideology tidak bisa mengalami proses pemalsuan. Juga tidak sejenis
Marxis ideology sesuai dengan ekonomi dasar atau supra struktur dikotomi yang menarik
untuk CDA. Ilmuwan politik mengemukakan empat karakteristik utama
dari ideologi:
1. Kekuasaan
lebih penting daripada kognisi.
2. Mereka mampu membimbing evaluasi individu'
3. Mereka memberikan bimbingan melalui tindakan.
4.
Mereka harus secara logis koheren. (Mullins, 1972).
Meskipun definisi inti dari ideology
sebagai seperangkat koheren dan relative stabil dari kepercayaan atau nilai – nilai
tetap sama dalam ilmu politik dari waktu ke waktu, konotasi terkait dengan konsep
ini telah mengalami banyak transformations.
During era fasisme, komunisme dan perang dingin, ideology totaliter dihadapkan
dengan demokrasi, kejahatan dengan kebaikan tersebut. Jika kita berbicara tentang 'ideologi kapitalisme
baru' (Lihat van Dijk dan Fairclough dalam buku ini), ideology sekali lagi memiliki
konotasi yang 'buruk'. Jelas, tidak mudah
untuk menangkapi deologi sebagai sistem kepercayaan dan secara bersamaan untuk membebaskan
konsep dari konotasi negative (Knight, 2006: 625).
Jenis yang lebih tersembunyi dan laten keyakinan sehari
- hari, yang sering muncul menyamar sebagai metafora konseptual dan analogi, sehingga
menarik perhatian ahli bahasa': hidup adalah
sebuah perjalanan, organisasi social adalah tanaman, cinta adalah perang, dan sebagainya
(Lakoff,
1987; Lakoff dan Johnson, 1980, 1999).
Kita sampai pada Gramscian
Konsep hegemony berkaitan dengan
konsep kunci dari ideologi, van Dijk (1998) melihat ideology sebagai 'pandangan
dunia' yang merupakan 'kognisisosial': 'Kompleks skematis terorganisir
representasi dan sikap dengan memperhatikan aspek – aspek tertentu dari dunia
sosial, misalnya skema, putih memiliki tentang
orang kulit hitam' (van Dijk, 1993b: 258).
Teori adalah generalisasi
yang abstrak mengenai beberapa fenomena.
Dalam menyusung eneralisasi itu teori selalu memakai konsep - konsep. Konsep itu lahir dalam pikiran (mind) manusia
dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta – fakta dapat dipakai sebagai
batu loncatan.
Teori politik
adalah bahasa dan sistematis dan generalisasi – generalisasi dari politik. Teori politik bersifat spekulatif (merenung -
renung) sejauh dia menyangkut norma – norma untuk kegiatan politik. Tetapi teori politik juga dapat bersifat
deskriptif (menggambarkan) atau komparatif (membandingkan) atau
berdasarkan logika. Dengan kata lain, teori politik adalah bahasan dan renungan
atas:
1.
Tujuan dari kegiatan politik.
2.
Cara-cara mencapai tujuan itu.
3.
Kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan –
kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu.
4.
Kewajiban – kewajiban (obligations) yang di
akibatkan oleh tujuan politik itu.
Konsep-konsep
yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain, masyarakat, kelas
sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga
– lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, modernisasi dan sebagainya. Menurut Thomas P. Jenkin dalam The Study of Political Theory
dibedakan dua macam teori politik. Sekali
pun perbedaan antara kedua kelompok teori tidak bersifat mutlak.
Teori – teori yang mempunyai dasar moril dan yang menentukan
norma – norma politik (norm for political behavior). Karena adanya unsure norma – norma dan nilai
(value) maka teori – teori ini boleh dinamakan valuational (mengandung nilai). Yang termasuk golongan ini antara lain filsafat
politik, teori politik sistematis, ideology dan sebagainya.
Teori – teori yang
menggambarkan dan membahas fenomena dan fakta – fakta politik dengan tidak mempersoalkan
norma – norma atau nilai. Teori – teori ini
dapat dinamakan non - valuational. Ia bisasanya
bersifat deskriptif (menggambarkan) dan komparatif (membandingkan). Ia berusaha untuk membahas fakta – fakta kehidupan
politik sedemikian rupa sehingga dapat di sistematisir dan disimpulkan dalam generalisasi
- generalisasi. Teori – teori politik yang mempunyai dasar moril (kelompok A) fungsinya
terutama menentukan pedoman dan patokan yang bersifat moral dan yang sesuai dengan
norma – norma moral. Semua fenomena politik
ditafsirkan dalam rangka tujuan dan pedoman moral ini. Dianggap bahwa dalam kehidupan politik yang sehat
diperlukan pedoman dan patokan ini. Teori
– teori semacam ini mencoba mengatur hubungan – hubungan antara anggota masyarakat
sedemikian rupa sehingga disatu pihak member kepuasan perorangan, dipihak lain dapat
membimbingnya menujuk esuatu struktur masyarakat politik yang stabil dan dinamis. Untuk keperluan itu teori – teori politik semacam
ini memperjuangkan suatu tujuan yang bersifat moral dan atas dasar itu menetapkan
suatu kode etik atau tata cara yang harus dijadikan pegangan dalam kehidupan politik.
Fungsi utama dari teori – teori politik ini ialah memdidik warga masyarakat mengenai
norma – norma dan nilai – nilai itu. Teori
– teori kelompok A dapat dibagi dalam tiga golongan:
1.
Filsafat
politik (Political Philosophy).
Filsafat
politik mencari penjelasan yang berdasarkan ratio. Saya melihat jelas adanya hubungan antara
sifat dan hakekat dari alam semesta (universe) dengan sifat dan hakekat dari
kehidupan politik di dunia fana ini.
Pokok pikiran dari filsafat politik ialah bahwa persoalan – persoalan
yang menyangkut alam semesta seperti meta fisika dan epistemology harus
dipecahkan dulu sebelum persoalan – persoalan politik yang kita alami seahri –
hari dapat ditanggulangi. Misalnya
menurut filsuf Yunani Plato, keadilan merupakan hakikat dari alam semesta yang
sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai “kehidupan yang baik” (goodlife)
yang di cita – cita kan olehnya. Contoh lain
adalah beberapa karya John Locke.
Filsafat politik erat hubungannya dengan etika dan filsafat sosial.
2.
Teori
politik sistematis (Systematic Political Theory)
Teori – teori politik ini tidak memajukan suatu
pandangan tersendiri mengenai metafisika dan epistemology, tetapi berdasarkan diri
atas pandangan – pandangan yang sudah lazim diterima pada masa itu. Jadi, ia tidak menjelaskan asal – usul atau cara
lahirnya norma - norma, tetapi hanya mencoba untuk merealisasikan norma – norma
dalam suatu program politik. Teori – teori
semacam ini merupakan suatu langkah lanjutan dari filsafat politik dalam arti bahwa
ia langsung menetrapkan norma – norma dalam kegiatan politik. Misalnya, dalam abad ke 19 teori – teori politik
banya kmembahas mengenai hak – hak individu yang diperjuangkan terhadap kekuasaan
Negara dan mengenai sistem hukum dan sistem politik yang sesuai dalam pandangan
itu. Bahasan – bahasan ini didasarkan atas
pandangan yang sudah lazim pada masa itu mengenai adanya hukum alam (natual
law), tetapi tidak lagi mempersoalkan hukum alam itu sendir.
3. Ideologi politik (Political Ideology)
Ideologi politik adalah himpunan nilai - nilai,
ide, norma - norma, kepercayaan dan keyakinan, suatu “Weltanschauung”, yang dimiliki
seorang atau sekelompok orang, atas dasar mana dia menentukan sikapnya terhadap
kejadian dan problema politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku
politiknya. Nilai – nilai dan ide – ide ini
merupakan sistem yang berpautan. Dasar dari
ideology politik adalah keyakinan akan adanya suatu pola tata tertib social politik
yang ideal. Ideologi politik mencakup pembahasan
dan diagnose, serta sarana – sarana (prescription) mengenai bagaimana mencapai
tujuan ideal itu. Ideologi – berbeda dengan
filsafat yang sifatnya merenung – renung - mempunyai tujuan untuk menggerakkan kegiatan dan
aksi (action oriented). Ideologi yang
berkembang luas mau tidak mau dipengaruhi oleh kejadian – kejadian dan pengalaman
– pengalaman dalam masyarakat dimana dia berada, dan sering harus mengadakan kompromi
dan perubahan-perubahan yang cukup luas. Contoh dari beberapa ideologi atau
doktrin politik misalnya demokrasi Marxisme-Leninisme, Liberalisme, Facisme dan
sebagainya, di antara mana Marxisme-Leninisme merupakan ideologi yang sifat
doktriner dan sifat militannya lebih menonjol.
Ide – ide politik sering juga dibahas menurut sejarah
perkembangannya, oleh karena setiap ide politik selalu erat hubungannya dengan pikiran
– pikiran dalam masa ide itu lahir. Ide politik
itu tak dapat melepaskan diri dari nilai - nilai, norma – norma dan prasangka dari
masanya sendiri dan karena itu karya – karya dari filsuf – filsuf serta ahli – ahli
politik hendaknya dibahas dengan menyelami sejarahnya. Kupasan berdasarkan sejarah ini di Negara –
Negara Barat biasanya mulai zaman Yunani Kuno dalam abad ke – 6 SM sampai abad ke
– 20 ini.
Bidang kedua dari ilmu politik yaitu
lembaga-lembaga politik seperti misalnya pemerintah mencakup aparatur politik
teknis untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
Hubungan antara lapangan pertama dan lapangan kedua sangat erat, sebab
tujuan-tujuan sosial dan politik biasanya ditentukan dalam filsafat dan doktrin
politik.
Dalam kehidupan sehari-hari kita telah terbiasa
untuk menterjemahkan kata Inggris “constitution” dengan kata Indonesia
“Undang-undang Dasar”. Kesukaran dengan
pemakaian istilah undang-undang dasar adalah bahwa kita langsung membayangkan
suatu naskah tertulis. Padahal istilah constitusion bagi sarjana ilmu politik
merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari praturan-peraturan – baik
yang tertulis, maupu yang tidak – yang mengatur secara mengikat cara-cara
bagaimana suatu pemerintah diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Terjemahan kata constitution dengan kata
undang-undang dasar memang sesuai dengan kebiasan orang Belanda dan Jerman,
yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata Grondwet (Grond = dasar; wet =
undang-undang) dan Grundgesetz (Grund = dasar; gesetz = undang -undang), yang
dua-duanya menunjuk pada naskah tertulis. Dan memang tidak dapat disangkal
bahwa dewasa ini hampir semua negara (kecuali Inggris) memiliki naskah tertulis
sebagai undang - undang dasarnya.
Akan tetapi perlu dicatat bahwa dalam
kepustakaan Belanda (misalnya L.J. van Apeldoorn) diadakan perbedaan antara
pengertian undang-undang dasar (grondwet) dan konstitusi (constutie). Menurut faham tersebut undang-undang dasar
adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan konstitusi memuat baik
peraturan tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis. Dan rupa - rupanya para Penyusun Undang-Undang
Dasar 1945 menganut pikiran yang sama, sebab dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 dikatakan: “Undang - undang
dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasarnya negari itu. Undang - undang Dasar ialah Hukum Dasar yang
tertulis, sedangkan di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga Hukum
Dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis”.
Menurut
sarjana hukum E.C.S. Wade dalam buku Constitutional Law, undang-undang dasar
adalah “naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan
pemerintah suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan
tersebut”. Jadi, pada pokoknya dasar
dari setiop pemerintahan diatur dalam suatu undang-undang dasar.
Bagi mereka yang memandang negara dari
sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasan, maka
undang-undang dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang
menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan,
misalnya antara badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudikatif. Undang-undang dasar menentukan cara-cara
bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama
lain; undang-undang dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu
negara. Sesuai dengan pandangan ini Herman Finner dalam bukunya Theory and Practice of Modern Goverment menamakan
undang-undang dasar sebagai “riwayat hidup sesuatu hubungan kekuasaan” (the
aoutobiography of a power relationship)”.
Pandangan ini merupakan pandangan yang luas dan
yang paling tua dalam perkembangan pemikiran politik. Dapat dicatat bahwa dalam
abad ke 5 SM seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles yang di dunia Barat
dipandang sebagai sarjana ilmu politik yang pertama telah berhasil untuk
melukiskan undang-undang dasar dari 186 negara kota Yunani dengan jalan
mencatat pembagian kekuasaan serta hubungan-hubungan kekuasaan dalam setiap
negara kecil itu.
Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya
atas demokrasi konstitusionil, undang - undang dasar mempunyai fungsi khas
yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak
warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan Konstitusionalisme.
Menurut Carl J. Friedrich dalam
buku Constitusional Goverment and Democracy,
konstitusionalisme merupakan “gagasan bahwa pemerintahan merupakan suatu
kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang
dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan
yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang
mendapat tugas untuk memerintah. Cara pembatasan yang paling efektif ialah
dengan jalan pembagian kekuasaan. Menurutnya,
dengan jalan membatasi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan suatu
sistem pembatasan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah.
Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang - undang dasar. Jadi, dalam anggapan ini undang-undang dasar
mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari
hukum tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat, tetapi oleh
pemerintah serta penguasa sekalipun.
Bidang ketiga mengenai partai - partai,
golongan-golongan dan pendapat umum, banyak memakai konsep-konsep sosiologis
dan psikologis dan sering disebut political dymanics oleh karena
sangat menonjolkan aspek-aspek dinamis dari proses - proses politik.
Penelitian mengenai partai politik merupakan
kegiatan ilmiah yang relatif baru. Sekalipun bermacam-macam penelitian telah
diadakan untuk mempelajarinya, akan tetapi hingga sekarang belum tersusun suatu
teori yang mantap mengenai partai sebagai lembaga politik. Istilah tentang lapangan studi ini pun masih
belum ada, meskipun nama “statiologi“ kadang - kadang dipakai. Sarjana - sarjana
yang telah mempelopori studi mengenai partai politik antara lain M. Ostrogorsky (1902), Robert Michels (1911), Maurice Duverger
(1951) dan Sigmund Nueumann (1956). Selain
itu beberapa sarjana behavioralis seperti Joseph Lapalombara dan Myron Weiner
telah meneropong secara khusus partai politik dalam hubungannya dengan
pembangunan politik dalam bukunya Political Parties and Political
Development. Ditinjau dari hasil
karya sarjana-sarjana ini memang nampak adanya usaha ke arah penyusunan suatu
teori yang menyeluruh, akan tetapi usaha ini masih jauh dari sempurna dan jauh
ketinggalan bila dibandingkan dengan penelitian di bidang - bidang ilmu politik
lainnya.
Partai politik pertama - tama lahir di
negara-negara Eropa Barat. Dengan
meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta
diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah secara spontan
dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di
pihak lain. Partai politik pada umumnya
dianggap sebagai manisfetasi dari suatu sistem politik yang sudah modern atau
yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka dari itu, dewasa ini di Negara - negara
baru pun partai sudah menjadi lembaga politik yang biasa dijumpai.
Di Negara - negara yang menganut paham
demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa
rakyat berhak turut menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Di negara-negara totaliter gagasan mengenai
partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu
dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai itu, partai politik merupakan
alat yang baik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai
politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
–(biasanya) denagn cara konstitusional – untuk melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Kegiatan seseorang dalam partai politik
merupakan suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua
kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan tak
langsung – dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan –kegiatan ini mencakup kegiatan
memilih dalam pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai,
kelompok penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti
dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat
yang duduk dalam badan itu; berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi, dan
sebagainya. (Kebalikan dari partisipasi adalah apati. Seseorang dinamakan apatis (secara politik)
jika tidak ikut serta dalam kegiatan - kegiatan tersebut di atas.
Partai politik berbeda dengan kelompok penekan
(pressure group) atau istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini,
kelompok kepentingan (interest group). Kelompok ini bertujuan
memperjuangkan suatu “kepentingan“ dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik
agar mendapatkan keputusan-keputusan yang menguntungkan atau menghindari
keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha menempatkan
wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu
atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang
berwenang. Teranglah bahwa kelompok kepentingan mempunyai orientasi yang jauh
lebih sempit daripada partai politik, yang –karena mewakili pelbagai golongan-
lebih banyak memperjuangkan kepentingan umum. Pun organisasi kelompok
kepentingan lebih kendor dibanding partai politik.
Kelompok – kelompok kepentingan berbeda-beda
antara lain dalam hal struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya;
dan perbedaan-perbedaan ini sangat mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan
sosial suatu bangsa. Walaupun kelompok-kelompok kepentingan juga diorganisir
berdasarkan keanggotaan, kesukuan, ras, etnis, agama atau pun berdasar issue - isue
kebijaksanaan, kelompok - kelompok kepentingan yang paling kuat, paling besar,
dan secara finansial paling mampu adalah kelompok yang berdasar pada bidang
pekerjaan atau profesi, terutama karena kehidupan sehari-hari dan karier
seseoranglah yang paling cepat dan paling langsung dipengaruhi oleh
kebijaksanaan atau tindakan pemerintah. Kerana itu sebagian besar negara memiliki
serikat buruh, himpunan pengusaha, kelompok petani dan persatuan-persatuan
dokter, advokat, insinyur dan guru.
Bidang keempat mengenai hubungan internasional.
Bidang ini baru dikenal setelah berakhirnya Perang Dunia I, meskipun sebagai
sasaran perhatian masalah, hubungan internasional hampir sama tuanya dengan
pengkajian politik klasik. Semula,
telaah tentang hubungan internasional dikaitkan dengan “hubungan antarnegara“ (inter-state
relations) yang berpangkal dari Ilmu Hukum Internasional Publik. Sebagaimana halnya Ilmu politik lahir dari
tradisi Ilmu Negara, maka ilmu hubungan internasional amat terpengaruh oleh
pengkajian yuridis - formal yang berlaku sejak lahirnya Hukum Internasional
Publik. Oleh sebab itu, dalam
perkembangan setelah perang Dunia I, ketika di Eropa dan Amerika Serikat
bangkit semangant idealisme agar bangsa-bangsa “beradab“ (Barat) tidak lagi
terjerat dalam malapetaka peperangan, lahirlah usaha-usaha awal mengikhtiarkan
dunia yang tertib dan damai. Dunia yang
tertib dan damai. Dunia yanga tertib dan
damai ini diharapkan dapat tercapai melalui pendekatan-pendekatan yuridis - formal.
Lahirlah asumsi di kalangan negarawan seperti
Presiden Woodrow Wilson, misalnya, tentang “hak penentuan nasib sendiri“ yang
harus dihormati dan dipatuhi oleh negara-negara beradab yang terikat pada
kesepakatan hukum. Pendekatan yuridis formal sampai sekarang masih kuat
dipegang, terutama para lulusan yang mengalami pendidikan ilmu hukum sebagai
jenjang pertamanya dalam pendidikan tinggi. Sikap bahwa dunia yang lebih baik,
lebih tentram dan lebih terkendali hanya dapat disepakati melalui kepatuhan
pada hukum, acap kali dikemukakan sebagai retorika pembenaran negara-negara
kuat.
Dalam pada itu, timbul pendekatan lain yang
berpangkal pada asumsi bahwa kehidupan manusia (baik sebagai individu maupun
sebagai anggota kelompok) senantiasa dipengaruhi oleh kaidah-kaidah yang bukan
idealis. Pendekatan ini disebut pendekatan realis, karena memandang proses
pelaksanaan hubungan antarbangsa (menurut mereka) lebih banyak ditandai oleh
pertarungan kekuasaan, pengaruh dan ikhtiar mencari keunggulan. Oleh sebab itu, pendekatan realis lebih
mengkaji pada faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di
belakang atau yang melatarbelakangi kaidah-kaidah hukum yang tertuang dalam
persetujuan atau perjanjian internasional. Hemat mereka, dibalik setiap rumusan hukum
antarnegara atau antarbangsa, selalu ada yang “lebih unggul“ dalam kenyataan social
– ekonomi - politiknya sekalipun berkedudukan “sama“ di mata hukum.
Perkembangan penelitian ilmu politik sejak
tahun 1950 menunjukkan betapa pesatnya
perkembangan teknologi, ekonomi dan sosial telah mengakibatkan bertambahnya pengkhususan-pengkhususan.
Hubungan dan politik luar negeri ada kecenderungan untuk berdiri sendiri dan di
beberapa negara merupakan fakultas tersendiri.
Suatu bidang yang akhir-akhir ini berkembang
dan yang sangat penting bagi negara-negara berkembang adalah Pembangunan
Politik (Political Development).
Studi ini meneropong akibat dari pembangunan
cepat di bidang sosial dan ekonomi atas tata masyarakat. Studi ini juga mempelajari peranan dari
lembaga-lembaga politik dalam mempengaruhi perkembangan dan pembangunan ini. Masalah pembangunan politik erat hubungannya
dengan negara-negara yang baru saja memerdekakan diri. Jadi, proses dekolonisasi dan proses mencapai
kemerdekaan sangat relevan dalam studi ini.
Masalah yang diteropong antara lain akibat dari
perubahan sosial dan ekonomi atas lembaga - lembaga pemerintahan dan atas
partisipasi politik; Peranan golongan
elite dan pola-pola kepemimpinan; Peranan
pendidikan sebagai sarana pembangunan, integrasi sosial dari golongan minoritas
dan sebagainya.
Golding dan Murdock menyebutkan bahwa kepentingan-kepentingan ekonomi dan
politik biasanya datang dari pemilik media as a instrument of class
domination dan sistem pasar yang digerakkan oleh paham kapitalisme. Sepaham
dengan Golding dan
Murdock, Mosco (2009:134) bahkan
menyebutkan bahwa komunikasi sendiri merupakan arena potensial tempat
terjadinya komodifikasi. Hal ini dikarenakan komunikasi merupakan komoditas
yang sangat besar pengaruhnya karena yang terjadi bukan hanya komodifikasi
untuk mendapatkan “surplus value”, tapi juga
karena pesan yang disampaikan mengandung simbol dan citra yang bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan komodifikasi.
Mosco menyebutkan ada tiga bentuk komodifikasi dalam komunikasi
(2009: 135-139), yaitu:
1. Komodifikasi konten, dimana pesan (teks media) diproduksi
dengan menggunakan simbol-simbol sebagai arena representasi hingga mewujud
dalam bentuk produk yang dapat dipasarkan.
2. Komodifikasi audiens, dimana audiens dijadikan
komoditas yang “dijual“ kepada para pengiklan.
3. Komodifikasi pekerja, dimana keahlian dan jam kerja para
pekerja dijadikan komoditas dan dihargai dengan gaji.
Kepentingan ekonomi (komodifikasi) seperti ini dapat
terlihat dari penggunaan ‘rating’ sebagai satu-satunya tolok ukur dalam melihat
keberhasilan sebuah program dalam industri pertelevisian. Rating menjadi alat
untuk menilai content (teks/produk media) apakah ia layak dijual.
Kelayakan ini ditandai dengan seberapa banyak pemasang iklan yang mampu ditarik
dalam setiap penayangan program tertentu. Selain itu, rating juga menjadi data
dalam mengkomodifikasi audiens. Data audiens yang terangkum dalam rating
menjadi pijakan bagi para pemasang iklan untuk memasarkan produknya di program
tayangan tertentu atau tidak.
Oke…kita langsung menuju
PERSUASIF!!!
Paragraf Persuasif adalah
karangan yang bertujuan mengajak pembaca untuk melakukan sesuatu dengan cara
memberikan alasan dan prospek yang baik. Seperti halnya karangan argumentasi,
karangan persuasi termasuk jenis tulisan yang dibuat untuk memengaruhi orang
(hortatoris). Dalam argumentasi, pengarang hanya mengharapkan pembaca mengakui
pembenaran yang ada dalam paragraf. Sedangkan dalam persuasi, pengarang
mengharapkan pembaca mengikuti perbuatan sesuai instruksi yang dianjurkan
penulis. Perbedaan karangan hortatoris dengan karangan lainnya adalah adanya
unsur opini, data, fakta, dan alasan sebagai penyokong opini tersebut.
Satu hal lagi yang menghambat keselamatan
terumbu karang, yaitu lemahnya peraturan perundangan yang diterapkan. Manusia
menjadi faktor utama pelaku perusakan terhadap spesial ini. Untuk itu, harus
ada tindakan tegas dari aparat terkait dengan memberi hukuman yang berat bagi
pelakunya.
Dengan demikian, diharapkan akan menjadi
benteng terakhir bagi keselamatan terumbu karang. Adanya sanksi hukum yang
berat tentu akan menjadi efek jera. Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap
penyelamatan terumbu karang juga harus ditumbuhkan.
Menulis,
menurut Johnson (2003) bukanlah kegiatan
yang hanya bisa dilakukan oleh profesor, guru bahasa Inggris, atau ahli tata
bahasa saja. Menulis berkaitan dengan
menemukan gagasan atau pikiran, mengorganisasikan gagasan atau pikiran itu, dan
menuliskannya dengan kata yang tepat untuk mengkomunikasikan gagasan itu. Keyakinan bahwa setiap orang bisa menulis
sangat penting dimiliki sejak awal menulis karena sikap ini berperan lebih
besar dari faktor lain. Dalam hal ini, Roberts
(2004:4) menyatakan: If you believe you will be able to succeed at a
particular undertaking and you approach the endeavour with a sense of
excitement and joyful expectation, your chances of achieving success are much
higher than if you face the task with dread and apprehension (2004:4).
Sebaliknya, kalau mahasiswa berpikiran negatif, maka hukum Murphy (Swetnam, 2000) atau hukum Finagle pertama
dalam penelitian (Rudestam & Newton, 1992:10) pun akan berlaku, yakni: “If something can go wrong, it will go wrong.”
Berbicara
mengenai sikap positif, Crasswell (2005:11)
menegaskan bahwa sikap positif merupakan isu yang sering muncul dalam masalah
penulisan tesis atau disertasi. Crasswell berpendapat
bahwa motivasi memang fluktuatif, tetapi motivasi di dalam diri sendiri mungkin
perlu sering dicharged sampai
penuh. Crasswell menambahkan bahwa ketika menulis tesis atau disertasi ada
kemungkinan bahwa minat mahasiswa berkurang, percaya diri turun, frustrasi
karena tidak mendapat bantuan yang diperlukan. Tetapi, tambah Crasswell,
mahasiswa harus menulis apa yang membuat dia tidak bersemangat dan membicarakannya
dengan pembimbing.
Keyakinan
bahwa setiap orang bisa menulis dengan baik dapat mendorong mahasiswa menjadi
penulis yang lebih baik, yakni dengan cara berlatih. Kalau tidak menulis,
tulisannya tidak akan menjadi baik (Johnson, 2003).
Menurut Zerubavel (1999), yang dikutip
oleh Paltridge dan Stairfield (2007:45),
“Menulis perlu dijadikan sebagai kebiasaan, melalui menulis seraca teratur,
setiap hari, ilham, inspirasi akan muncul”. Penulis tesis dan disertasi,
seperti yang disarankan oleh Bolker (1998)
dan Rodrigues dan Rodrigues (2003:119),
perlu menyisihkan waktu setiap hari untuk menulis tesis atau disertasinya atau
menentukan batas waktu yang spesifik untuk mengetahui jumlah waktu yang
dimiliki. Menulis setiap hari, walaupun hanya 15 menit, seperti yang disarankan
Bolker (1998), bisa membantu penyelesaian
tesis atau disertasi. Menulis tesis atau disertasi secara teratur juga dapat
mempertahankan motivasi serta pemahaman terhadap tujuan dan bentuk tesis atau
disertasi secara keseluruhan (Swetnam, 2000:23).
Salah
satu cara untuk memotivasi kegiatan menulis secara teratur adalah dengan
menghitung jumlah kata yang ada dalam tesis atau disertasi yang sedang ditulis (Murray, 2002:7). Misalnya, tambah Murray, kalau
hari ini jumlah kata yang sudah ditulis 1000,
besoknya menjadi 1.100, itu berarti
paling tidak ada penambahan kata yang ditulis. Hal ini bisa dijadikan sebagai
salah satu cara untuk “membuat momentum” (Murray,
2002:7).
Jadi, berpikir visual adalah gaya belajar dimana peserta didik lebih baik memahami dan mempertahankan informasi ketika ide-ide, kata-kata dan konsep – konsep yang terkait dengan gambar.
Riset mengatakan bahwa mayoritas siswa di kelas reguler perlu melihat informasi dalam rangka untuk mempelajarinya.
Belajar visual membantu siswa menjelaskan pikiran mereka. Siswa melihat bagaimana ide – ide terhubung dan menyadari
bagaimana informasi dapat dikelompokkan dan terorganisir. Dan belajar visual membantu siswa mengintegrasikan pengetahuan baru. Selain itu, menulis tesis tidak hanya
dikerjakan oleh seorang professor, guru, dan seseorang yang ahli bahasa. Tetapi siapa pun bisa melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic