We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 17 Maret 2014


CLASS REVIEW KE = 6

 

BELAJAR VISUAL MENGHASILKAN SISWA BERFIKIR KRITIS



 

Semua yang baru akan ku jalani

Walau tidak tahu bagaimana klimaks kisah ini

Meski masih banyak mimpi ku yamg belum tercapai….

Masa lalu ku biarlah menjadi kenangan

Masa sekarang biarlah ku jalani dengan senyum

Masa depan biarlah yang menjadi penentu hidupku….

Senyum dan semangat baru itulah aku

Meski aku harus jatuh bangun menghadapi rintangan

Semangat tetap ada di hidupku…….

 

Bahasa merupakan media bagi manusia dalam berkomunikasi. Melaluibahasa, manusia dapat mengungkapkan ide, pikiran, dan perasaannya.  Namun demikian, saat ini definisi bahasa telah berkembang sesuai fungsinya bukan hanya sebagai alat berkomunikasi.  Saat ini, bahasa telah menjadi media perantara dalam pelaksanaan kuasa melalui ideologi.  Bahkan bahasa juga menyumbang proses domi­nasi ter­hadap orang lain oleh pihak lain (Fair­clough, 1989: 2).

Sejalan dengan pernyataan di atas, Halliday (1978: 2) juga menegaskan bahwa sesungguhnya bahasa bukan hanya terdiri atas kalimat, melainkan juga terdiri atas teks atau wacana yang di dalamnya terdapat tukar – menukar maksud dalam konteks interpersonal antara satu dengan yang lain.  Konteks dalam tukar menukar maksud itu tidak bersifat kosong dari nilai sosial, tetapi sangat dipengaruhi oleh konteks social budaya masyarakatnya.

Perkembangan peran dan definisi bahasa ter­sebut telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kajian bahasa (linguistik).  Lingu­istik tidak lagi bergerak dalam kajian struktural atau gramatikal, tetapi telah berkembang men­jadi kajian-kajian yang lintas disipliner dengan bidang lain, seperti sosiolinguistik, pragmatik, analisis wacana, neurolinguistik, dan psiko­lingu­istik.  Kajian-kajian lintas disipliner itu menandai bahwa bahasa memang berperan besar dalam segala bidang kehidupan masyarakat.

Salah satu bidang yang juga memanfaatkan bahasa dalam kaitannya dengan pelaksanaan kuasa dalam ideologi seperti yang dijelaskan di atas adalah bidang media. Sebagian besar bentuk produksi media diwujudkan dalam bentuk bahasa.  Dengan demikian, hubungan antara bahasa dan media merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.  Richardson (2007: 6) me­nyata­kan bahwa the language used in newspaper is one key site in naturalisa­sion of inqequality and neutralisasion of dissert”.

Alwasilah (2002:120) mengungkapkan bahwa teori berfungsi untuk membangun model atau peta yang menggambarkan dunia (data) seperti apa adanya.  Melalui teorilah, dunia atau feno­mena dapat disederhanakan, tetapi penyeder­hanaan ini dilakukan untuk menjelaskan atau menerangkan bagaimana fenomena itu be­kerja.  Selain itu, teori juga merupakan pe­nuntun dalam memberikan pemahaman lebih baik ter­hadap objek yang diteliti dalam sebuah peneliti­an (Su­dar­yanto, 1998:6).  Teori yang di­gunakan dalam penelitian ini adalah Wacana Kritis Model Norman Fairclough (1992b, 1995a, 1998, 2000), Eri­yanto (2006), Titscher (2009), Jorgen­sen (2007), dan Richardson (2007).  Teori-teori ini digunakan karena selaras dengan per­masalahan yang akan dianalisis dalam peneliti­an yang mengusung bidang analisis wacana kritis ini.

Metodologi adalah cara dalam penelitian untuk memperoleh “pengetahuan” dan “pemaham­an” dari objek yang kita teliti.  Metodologi dapat di­lihat pada tiga tataran, yakni :

1.       Paradigma yang digunakan.

2.       Metode yang dipilih.

3.      Teknik yang dipakai (Hoed, 2011:7). 

Sementara itu, metode adalah cara yang harus dilaksana­kan, teknik adalah cara melaksanakan metode dan sebagai cara, keberhasilan teknik ditentu­kan oleh alat yang dipakai.  Metode yang di­gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu metode yang ber­tuju­an memberi­kan deskripsi secara sistematis me­ngenai data, sifat-sifat, dan hubungan feno­mena-fenomena yang akan diteliti (Djaja­sudarma, 2006: 9).

Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough

Analisis Wacana Kritis adalah sebuah upaya untuk proses (penguraian) untuk memberi pen­jelasan dari sebuah teks (realitas sosial) dari se­seorang atau kelompok dominan yang kecende­rungannya memiliki tujuan tertentu untuk men­capai tujuan yang diinginkan.  Artinya dalam suatu konteks harus disadari adanya kepenting­an (Darma, 2009: 49).

Kerangka teori yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis wacana pendekatan Norman Fairclough (1992b, 1995a; 1998; 2000) yang di­kenal dengan nama analisis wacana tiga dimensi. Yang dimaksud dengan analisis wacana tiga dimensi ini ialah analisis yang melibatkan tiga tingkat analisis:

1.      Analisis teks atau textual (mikro), yaitu pendeskripsian (des­crip­tion) mengenai teks.

2.      Analisis wacana atau discourse practice (meso), yaitu inter­pretasi (interpretation) hubungan antara proses pro­duksi wacana dan teks.

3.       Analisis sosio-budaya atau sociocultural practice (makro), yaitu pen­jelasan (explanation) hubungan antara proses wacana dengan proses sosial (Fair­clough, 1992a:73; 1995a:59; Idris, 2006:75).

 

Apa pemikiran visual dan belajar visual?

Berpikir visual adalah gaya belajar dimana peserta didik lebih baik memahami dan mempertahankan informasi ketika ide-ide, kata-kata dan konsep konsep yang terkait dengan gambar.  Riset mengatakan bahwa mayoritas siswa di kelas reguler perlu melihat informasi dalam rangka untuk mempelajarinya.  Beberapa strategi pembelajaran umum visual meliputi menciptakan penyelenggara grafis, diagram, pemetaan pikiran, menguraikan dan banyak lagi. 

 

Bagaimana membantu belajar visual siswa?

 

Belajar visual membantu siswa menjelaskan pikiran mereka.  Siswa melihat bagaimana ide ide terhubung dan menyadari bagaimana informasi dapat dikelompokkan dan terorganisir.  Dengan belajar visual, konsep konsep baru yang lebih menyeluruh dan mudah dipahami ketika mereka terkait dengan pengetahuan sebelumnya.  Belajar visual membantu siswa mengatur dan menganalisa informasi.  Siswa dapat menggunakan diagram dan plot untuk menampilkan sejumlah besar informasi dengan cara yang mudah dimengerti dan membantu mengungkapkan hubungandan pola.  Belajar visual membantu siswa mengintegrasikan pengetahuan baru.  Menurut penelitian, siswa lebih mengingat informasi ketika diwakili dan belajar baik secara visual dan verbal.  Belajar visual membantu siswa berpikir kritis Linked informasi verbal dan visual membantu siswa membuat hubungan, memahami hubungan dan mengingat rincian yang terkait.

Berpikir dan belajar Visual memanfaatkan cara grafis bekerja dengan ide ide dan menyajikan informasi.  Penelitian dalam teori pendidikan dan psikologi kognitif mengatakan bahwa belajar visual adalah salah satu metode yang terbaik untuk mengajar siswa dari segala usia cara berpikir dan cara belajar.

Berpikir visual dan pembelajaran dalam pendidikan

Strategi pembelajaran visual seperti penyelenggara grafis, diagram, garis besar dan masih terus digunakan di ruang kelas diseluruh negeri.  Strategi ini membantu siswa atau semua usia baik mengelola tujuan belajar dan mencapai keberhasilan akademis.  Sebagai mahasiswa diwajibkan untuk mengevaluasi dan menginterpretasikan informasi dari berbagai sumber, menggabungkan pengetahuan baru dengan apa yang telah mereka pelajari, dan meningkatkan keterampilan menulis dan berpikir kritis, alat belajar visual membantu siswa memenuhi tuntutan.  Dipasangkan dengan kapasitas otak untuk gambar, strategi belajar visual membantu siswa lebih memahami dan menyimpan informasi.  Dalam bagian ini menawarkan berbagai sumber daya untuk lebih memahami penggunaan metodologi belajar visual dan alat untuk memasukkan ke dalam kelas.

 

View

 

Rencana pelajaran yang menggabungkan pemikiran visual dan menguraikan dan sejalan dengan Standar Negara Inti Umum.

                                                                                  

Visual, Auditory, dan Kinestetik Gaya Belajar (VAK)

 

Gaya belajar VAK menggunakan tiga penerima sensor utama:  Visual, Auditory, dan Kinestetik (gerakan) untuk menentukan gaya belajar yang dominan.  Hal ini kadang kadang dikenal sebagai VAK (Visual, Auditory, Kinestetik, & Perabaan).  Hal ini didasarkan pada modaitas saluran dimana ekspresi manusia dapat terjadi dan terdiri dari kombinasi persepsi dan memori.  VAK berasal dari dunia percepatan belajar dan tampaknya tentang model yang paling populer saat ini karena kesederhanaannya.  Sementara penelitian telah menunjukkan hubungan dengan modalitas dan gaya belajar (University of Pennsylvania, 2009), penelitian sejauh ini tidak dapat membuktikan menggunakan gaya belajar seseorang menyediakan cara terbaik untuk belajar tugas atau subjek.  Ini mungkin karena lebih dari preferensi, bukan gaya.

Pembelajar menggunakan ketiga modalitas untuk menerima dan mempelajari informasi baru dan pengalaman.  Namun, menurut VAK atau modalitas teori, satu atau dua dari gaya menerima biasanya dominan.  Gaya dominan ini mendefinisikan cara terbaik bagi seseorang untuk mempelajari informasi baru dengan menyaring apa yang harus dipelajari.  Gaya ini mungkin tidak selalu harus sama untuk beberapa tugas.  Pelajar dapat memilih satu gaya belajar untuk satu tugas, dan kombinasi dari orang lain untuk tugas yang berbeda.

Secara klasik, gaya belajar kita dipaksakan pada kita melalui hidup seperti ini:   Dalam kelas TK hingga ketiga, informasi baru disajikan kepada kita kinesthetically;  nilai 4 sampai 8 disajikan secara visual, sedangkan nilai 9 ke perguruan tinggi dan masuk ke lingkungan bisnis, informasi adalah disajikan kepada kita sebagian besar melalui sarana pendengaran, seperti ceramah.

Menurut teori VAK, kita perlu untuk menyajikan informasi dengan menggunakan segala tiga gaya.  Hal ini memungkinkan semua peserta didik kesempatan untuk terlibat, tidak peduli apa gaya yang mereka sukai.

Sementara ada beberapa bukti untuk kekuatan tertentu modalitas dan kelemahan (Rourke, etal. 2002), apa yang belum ditetapkan adalah pencocokan gaya instruksional untuk kekuatan belajar individu meningkatkan kemampuan belajar mereka.  Sebagai contoh, satu studi ( Constantinidou dan Baker, 2002 ), menemukan bahwa presentasi visual melalui penggunaan gambar itu menguntungkan untuk semua orang dewasa, terlepas dari preferensi belajar gaya tinggi atau rendah untuk gambar visual.  Memang, itu sangat menguntungkan bagi mereka dengan preferensi yang kuat untuk diproses verbal.

Petunjuk untuk Mengenali dan Melaksanakan Styles Tiga VAK

Peserta didik Auditory sering berbicara untuk diri mereka sendiri.  Mereka juga bisa bergerak bibir mereka dan membaca keras - keras.  Mereka mungkin mengalami kesulitan dengan membaca dan menulis tugas.  Mereka sering lebih baik berbicara dengan kolega atau tape recorder dan mendengar apa yang dikatakan.  Untuk mengintegrasikan gaya ini ke dalam lingkungan belajar:

           Mulailah materi baru dengan penjelasan singkat tentang apa yang akan datang.  Menyimpulkan dengan ringkasan dari apa yang telah dibahas.  Ini adalah pepatah lama "mengatakan kepada mereka apa yang akan mereka bersandar, mengajar mereka, dan memberitahu mereka apa yang telah mereka pelajari."

           Gunakan metode Sokrates perkuliahan dengan mempertanyakan peserta didik untuk menarik sebanyak mungkin informasi dari mereka mungkin dan kemudian mengisi kekosongan dengan keahlian Anda sendiri.

           Termasuk kegiatan pendengaran, seperti brain storming, kelompok buzz, atau Jeopady.  Meninggalkan banyak waktu untuk berdiskusi kegiatan.  Hal ini memungkinkan mereka untuk membuat hubungan dari apa yang mereka bersandar dan bagaimana hal itu berlaku untuk situasi mereka.

           Mengembangkan dialog internal antara diri sendiri dan peserta didik.

  Pelajar visual memiliki dua sub saluran linguistik dan spasial.  Peserta didik yang bersifat visual linguistik ingin belajar melalui bahasa tertulis, seperti membaca dan menulis tugas.  Mereka ingat apa yang telah ditulis, bahkan jika mereka tidak membacanya lebih dari sekali.  Mereka suka untuk menuliskan arah dan memperhatikan lebih baik untuk kuliah jika mereka menonton.  Peserta didik yang visual spasial biasanya memiliki kesulitan dengan  bahasa tertulis dan berbuat lebih baik dengan grafik, demonstrasi, video, dan materi visual lainnya.  Mereka dengan mudah memvisualisasikan wajah dan tempat dengan menggunakan imajinasi mereka dan jarang tersesat di lingkungan baru.  Untuk mengintegrasikan gaya ini ke dalam lingkungan belajar:

           Gunakan grafik, diagram, ilustrasi, atau alat bantu visuallainnya.

           Sertakan garis besar, peta konsep, agenda, handout, dll untuk membaca dan membuat catatan.

           Sertakan banyak konten dalam hand out untuk membaca ulang setelah sesi belajar.

           Tinggalkan ruang putih di hand out untuk mencatat.

           Undang pertanyaan untuk membantu mereka tetap waspada di lingkungan pendengaran.

           grafik Posflip untuk menunjukkan apa yang akan terjadi dan apa yang telah disajikan.

           Tekankan poin poin penting untuk isyarat kapan harus mengambil catatan.

           Hilangkan gangguan potensial.  Tambahan informasi tekstual.

           Dengan ilustrasi bila memungkinkan.

           Minta mereka menggambar di pinggiran.

           Apakah peserta didik membayangkan topik atau mereka bertindak keluar materi pelajaran.  Pelajar kinestetik melakukan yang terbaik sembari menyentuh dan bergerak. Lajuga memiliki dua sub - saluran:  Kinestetik (gerakan) dan taktil (sentuhan).  Mereka cenderung kehilangan konsentrasi jika ada rangsangan eksternal sedikit atau tidak ada atau gerakan.  Ketika mendengarkan ceramah mereka mungkin ingin mengambil catatan demi menggerakkan tangan mereka.  Ketika membaca, mereka ingin memindai bahan pertama, dan kemudian fokus pada detail (mendapatkan gambaran besar).  Mereka biasanya menggunakan warna pemantik tinggi dan membuat catatan dengan menggambar gambar, diagram, atau mencoret - coret.  Untuk mengintegrasikan gaya ini ke dalam lingkungan belajar:

           Gunakan kegiatan yang mendapatkan peserta didik berdiri dan bergerak.

           Musik Play, jika diperlukan, selama kegiatan.

           Gunakan spidol berwarna untuk menekankan poin poin penting pada flip chart atau papan putih.

           Berikan sering stretch istirahat (istirahatotak).

           Sediakan mainan seperti bola Koos hand Play Dough untuk memberi mereka sesuatu untuk dilakukan dengan tangan mereka.

           Untuk menyorot titik, memberikan permen karet, permen, aroma, dll yang menyediakan linkl intas dari aroma (aroma) dengan topik ditangan (aroma bisa menjadi isyarat kuat).

           Memberikan korek api tinggi, pena berwarna dan atau  pensil.

           Panduan pelajar melalui visualisasi tugas tugas kompleks.

           Apakah mereka mentransfer informasi dari teks ke media lain seperti keyboard atau tablet.  Selain itu, sebagai bentuk lain juga analisis wacana yang mempertimbangkan hubungan antara teks dan konteks sosial budaya, istilah 'kritis' dalam nama pendekatan menunjukkan, menurut Fairclough (1989), pendekatan yang berusaha untuk menunjukkan koneksi yang mungkin tersembunyi dari orang - orang, seperti hubungan antara bahasa, kekuasaan dan ideologi (dikutip di Sunderland dan Litosseliti 2002: 19).  Analis wacana feminis bernama proses ini juga sebagai demistifikasi denaturalization mempertahankan bahwa salah satu tujuan feminis CDA adalah untuk mengungkap untuk diberikan atau asumsi umum sensical gender dengan menunjukkan bahwa asumsi ini ideologis dan mengaburkan diferensil kekuasaan dan ketidak setaraan (Lazar 2005: 7, Sunderland dan Litosseliti 2002: 19, 5 Talbot 1995: 151).  Proses ini didasarkan pada asumsi pasca strukturalis bahasa dan wacana ideologis, wacana bekerja sebagai situs perjuangan 'untuk ideologi gender dan asumsi dan memberikan kontribusi bagi penciptaan dan reproduksi hubungan kekuasaan yang tidak setara antara kelompok social (Lazar 2005: 5, Jørgensen dan Phillips 2004: 18).  Feminis CDA dengan demikian terbuka politik, pendekatan kriti semansipatoris yang berkomitmen untuk kesadaran kesadaran dan  perubahan sosial melalui kritik terhadap wacana (Lazar 2005: 5; Jørgensendan Phillips 2004: 64, Talbot 1995: 151).  Itu keterbukaan tentang agenda politik tidak hanya pilihan, tapi kebutuhan:  seperti kebanyakan teorifeminis, analis wacana kritis harus "secara eksplisit mengakui ketidakmungkinan pengamatan berimbang untuk semua pendekatan analitis "karena juga pilihan bahasa analis dan posisi yang secara sosiologis dan berbentuk ideologis (Sunderland dan Litosseliti 2002: 21).

 

Ideologi dan kekuasaan – pandangan kaleidoskopik

 

Dorongan kritis CDA dan program penelitian lain 'kritis' adalah warisan pencerahan (Horkheimer dan Adorno, 1969/1991).  Kecaman teratur bertujua nmengungkapkan struktur kekuasaan dan membuka selubung ideologi.  Ideologi ini kemudian tidak dipahami dengan cara positivistik, yaitu ideology tidak bisa mengalami proses pemalsuan.  Juga tidak sejenis Marxis ideology sesuai dengan ekonomi dasar atau supra struktur dikotomi yang menarik untuk CDA.  Ilmuwan politik mengemukakan empat karakteristik utama dari ideologi:

1.      Kekuasaan lebih penting daripada kognisi.

2.      Mereka mampu membimbing evaluasi individu'

3.      Mereka memberikan bimbingan melalui tindakan.

4.      Mereka harus secara logis koheren.  (Mullins, 1972). 

Meskipun definisi inti dari ideology sebagai seperangkat koheren dan relative stabil dari kepercayaan atau nilai – nilai tetap sama dalam ilmu politik dari waktu ke waktu, konotasi terkait dengan konsep ini telah mengalami banyak transformations.  During era fasisme, komunisme dan perang dingin, ideology totaliter dihadapkan dengan demokrasi, kejahatan dengan kebaikan tersebut.  Jika kita berbicara tentang 'ideologi kapitalisme baru' (Lihat van Dijk dan Fairclough dalam buku ini), ideology sekali lagi memiliki konotasi yang 'buruk'.  Jelas, tidak mudah untuk menangkapi deologi sebagai sistem kepercayaan dan secara bersamaan untuk membebaskan konsep dari konotasi negative (Knight, 2006: 625).

Jenis yang lebih tersembunyi dan laten keyakinan sehari - hari, yang sering muncul menyamar sebagai metafora konseptual dan analogi, sehingga menarik perhatian ahli bahasa':  hidup adalah sebuah perjalanan, organisasi social adalah tanaman, cinta adalah perang, dan sebagainya (Lakoff, 1987; Lakoff dan Johnson, 1980, 1999).

 

Kita sampai pada Gramscian

 

Konsep hegemony berkaitan dengan konsep kunci dari ideologi, van Dijk (1998) melihat ideology sebagai 'pandangan dunia' yang merupakan 'kognisisosial': 'Kompleks skematis terorganisir representasi dan sikap dengan memperhatikan aspek – aspek tertentu dari dunia sosial, misalnya skema, putih memiliki tentang orang kulit hitam' (van Dijk, 1993b: 258). 

Teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena.  Dalam menyusung eneralisasi itu teori selalu memakai konsep - konsep.  Konsep itu lahir dalam pikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta – fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan.

Teori politik adalah bahasa dan sistematis dan generalisasi – generalisasi dari politik.  Teori politik bersifat spekulatif (merenung - renung) sejauh dia menyangkut norma – norma untuk kegiatan politik.  Tetapi teori politik juga dapat bersifat deskriptif (menggambarkan) atau komparatif (membandingkan) atau berdasarkan logika. Dengan kata lain, teori politik adalah bahasan dan renungan atas:

1.      Tujuan dari kegiatan politik.

2.      Cara-cara mencapai tujuan itu.

3.      Kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan – kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu.

4.      Kewajiban – kewajiban (obligations) yang di akibatkan oleh tujuan politik itu.

Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain, masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga – lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, modernisasi dan sebagainya.  Menurut Thomas P.  Jenkin dalam The Study of Political Theory dibedakan dua macam teori politik.  Sekali pun perbedaan antara kedua kelompok teori tidak bersifat mutlak.

Teori – teori  yang mempunyai dasar moril dan yang menentukan norma – norma politik (norm for political behavior).   Karena adanya unsure norma – norma dan nilai (value) maka teori – teori ini boleh dinamakan valuational (mengandung nilai).  Yang termasuk golongan ini antara lain filsafat politik, teori politik sistematis, ideology dan sebagainya.

Teori – teori yang menggambarkan dan membahas fenomena dan fakta – fakta politik dengan tidak mempersoalkan norma – norma atau nilai.  Teori – teori ini dapat dinamakan non - valuational.  Ia bisasanya bersifat deskriptif (menggambarkan) dan komparatif (membandingkan).  Ia berusaha untuk membahas fakta – fakta kehidupan politik sedemikian rupa sehingga dapat di sistematisir dan disimpulkan dalam generalisasi - generalisasi. Teori – teori politik yang mempunyai dasar moril (kelompok A) fungsinya terutama menentukan pedoman dan patokan yang bersifat moral dan yang sesuai dengan norma – norma moral.  Semua fenomena politik ditafsirkan dalam rangka tujuan dan pedoman moral ini.  Dianggap bahwa dalam kehidupan politik yang sehat diperlukan pedoman dan patokan ini.  Teori – teori semacam ini mencoba mengatur hubungan – hubungan antara anggota masyarakat sedemikian rupa sehingga disatu pihak member kepuasan perorangan, dipihak lain dapat membimbingnya menujuk esuatu struktur masyarakat politik yang stabil dan dinamis.  Untuk keperluan itu teori – teori politik semacam ini memperjuangkan suatu tujuan yang bersifat moral dan atas dasar itu menetapkan suatu kode etik atau tata cara yang harus dijadikan pegangan dalam kehidupan politik. Fungsi utama dari teori – teori politik ini ialah memdidik warga masyarakat mengenai norma – norma dan nilai – nilai itu.  Teori – teori kelompok A dapat dibagi dalam tiga golongan:

1.      Filsafat politik (Political Philosophy).

Filsafat politik mencari penjelasan yang berdasarkan ratio.  Saya melihat jelas adanya hubungan antara sifat dan hakekat dari alam semesta (universe) dengan sifat dan hakekat dari kehidupan politik di dunia fana ini.  Pokok pikiran dari filsafat politik ialah bahwa persoalan – persoalan yang menyangkut alam semesta seperti meta fisika dan epistemology harus dipecahkan dulu sebelum persoalan – persoalan politik yang kita alami seahri – hari dapat ditanggulangi.  Misalnya menurut filsuf Yunani Plato, keadilan merupakan hakikat dari alam semesta yang sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai “kehidupan yang baik” (goodlife) yang di cita – cita kan olehnya.  Contoh lain adalah beberapa karya John Locke.  Filsafat politik erat hubungannya dengan etika dan filsafat sosial.

2.      Teori politik sistematis (Systematic Political Theory)

Teori – teori politik ini tidak memajukan suatu pandangan tersendiri mengenai metafisika dan epistemology, tetapi berdasarkan diri atas pandangan – pandangan yang sudah lazim diterima pada masa itu.  Jadi, ia tidak menjelaskan asal – usul atau cara lahirnya norma - norma, tetapi hanya mencoba untuk merealisasikan norma – norma dalam suatu program politik.  Teori – teori semacam ini merupakan suatu langkah lanjutan dari filsafat politik dalam arti bahwa ia langsung menetrapkan norma – norma dalam kegiatan politik.  Misalnya, dalam abad ke 19 teori – teori politik banya kmembahas mengenai hak – hak individu yang diperjuangkan terhadap kekuasaan Negara dan mengenai sistem hukum dan sistem politik yang sesuai dalam pandangan itu.  Bahasan – bahasan ini didasarkan atas pandangan yang sudah lazim pada masa itu mengenai adanya hukum alam (natual law), tetapi tidak lagi mempersoalkan hukum alam itu sendir.

3.      Ideologi politik (Political Ideology)

Ideologi politik adalah himpunan nilai - nilai, ide, norma - norma, kepercayaan dan keyakinan, suatu “Weltanschauung”, yang dimiliki seorang atau sekelompok orang, atas dasar mana dia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problema politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politiknya.  Nilai – nilai dan ide – ide ini merupakan sistem yang berpautan.  Dasar dari ideology politik adalah keyakinan akan adanya suatu pola tata tertib social politik yang ideal.  Ideologi politik mencakup pembahasan dan diagnose, serta sarana – sarana (prescription) mengenai bagaimana mencapai tujuan ideal itu.  Ideologi – berbeda dengan filsafat yang sifatnya merenung – renung -  mempunyai tujuan untuk menggerakkan kegiatan dan aksi (action oriented).  Ideologi yang berkembang luas mau tidak mau dipengaruhi oleh kejadian – kejadian dan pengalaman – pengalaman dalam masyarakat dimana dia berada, dan sering harus mengadakan kompromi dan perubahan-perubahan yang cukup luas. Contoh dari beberapa ideologi atau doktrin politik misalnya demokrasi Marxisme-Leninisme, Liberalisme, Facisme dan sebagainya, di antara mana Marxisme-Leninisme merupakan ideologi yang sifat doktriner dan sifat militannya lebih menonjol.

Ide – ide politik sering juga dibahas menurut sejarah perkembangannya, oleh karena setiap ide politik selalu erat hubungannya dengan pikiran – pikiran dalam masa ide itu lahir.  Ide politik itu tak dapat melepaskan diri dari nilai - nilai, norma – norma dan prasangka dari masanya sendiri dan karena itu karya – karya dari filsuf – filsuf serta ahli – ahli politik hendaknya dibahas dengan menyelami sejarahnya.  Kupasan berdasarkan sejarah ini di Negara – Negara Barat biasanya mulai zaman Yunani Kuno dalam abad ke – 6 SM sampai abad ke – 20 ini.

Bidang kedua dari ilmu politik yaitu lembaga-lembaga politik seperti misalnya pemerintah mencakup aparatur politik teknis untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.  Hubungan antara lapangan pertama dan lapangan kedua sangat erat, sebab tujuan-tujuan sosial dan politik biasanya ditentukan dalam filsafat dan doktrin politik.

Dalam kehidupan sehari-hari kita telah terbiasa untuk menterjemahkan kata Inggris “constitution” dengan kata Indonesia “Undang-undang Dasar”.  Kesukaran dengan pemakaian istilah undang-undang dasar adalah bahwa kita langsung membayangkan suatu naskah tertulis. Padahal istilah constitusion bagi sarjana ilmu politik merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari praturan-peraturan – baik yang tertulis, maupu yang tidak – yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintah diselenggarakan dalam suatu masyarakat.

Terjemahan kata constitution dengan kata undang-undang dasar memang sesuai dengan kebiasan orang Belanda dan Jerman, yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata Grondwet (Grond = dasar; wet = undang-undang) dan Grundgesetz (Grund = dasar; gesetz = undang -undang), yang dua-duanya menunjuk pada naskah tertulis. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa dewasa ini hampir semua negara (kecuali Inggris) memiliki naskah tertulis sebagai undang - undang dasarnya.

Akan tetapi perlu dicatat bahwa dalam kepustakaan Belanda (misalnya L.J. van Apeldoorn) diadakan perbedaan antara pengertian undang-undang dasar (grondwet) dan konstitusi (constutie).  Menurut faham tersebut undang-undang dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis.  Dan rupa - rupanya para Penyusun Undang-Undang Dasar 1945 menganut pikiran yang sama, sebab dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan:  “Undang - undang dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasarnya negari itu.  Undang - undang Dasar ialah Hukum Dasar yang tertulis, sedangkan di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga Hukum Dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis”.

Menurut sarjana hukum E.C.S. Wade dalam buku Constitutional Law, undang-undang dasar adalah “naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintah suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut”.  Jadi, pada pokoknya dasar dari setiop pemerintahan diatur dalam suatu undang-undang dasar.

Bagi mereka yang memandang negara dari sudut  kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasan, maka undang-undang dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudikatif.  Undang-undang dasar menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain; undang-undang dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara. Sesuai dengan pandangan ini Herman Finner dalam bukunya Theory and Practice of Modern Goverment menamakan undang-undang dasar sebagai “riwayat hidup sesuatu hubungan kekuasaan” (the aoutobiography of a power relationship)”.

Pandangan ini merupakan pandangan yang luas dan yang paling tua dalam perkembangan pemikiran politik. Dapat dicatat bahwa dalam abad ke 5 SM seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles yang di dunia Barat dipandang sebagai sarjana ilmu politik yang pertama telah berhasil untuk melukiskan undang-undang dasar dari 186 negara kota Yunani dengan jalan mencatat pembagian kekuasaan serta hubungan-hubungan kekuasaan dalam setiap negara kecil itu.

Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusionil, undang - undang dasar mempunyai fungsi khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini dinamakan Konstitusionalisme.

Menurut Carl J. Friedrich dalam buku Constitusional Goverment and Democracy, konstitusionalisme merupakan “gagasan bahwa pemerintahan merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Cara pembatasan yang paling efektif ialah dengan jalan pembagian kekuasaan.  Menurutnya, dengan jalan membatasi kekuasaan, konstitusionalisme menyelenggarakan suatu sistem pembatasan yang efektif atas tindakan-tindakan pemerintah. Pembatasan-pembatasan ini tercermin dalam undang - undang dasar.  Jadi, dalam anggapan ini undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khusus dan merupakan perwujudan atau manifestasi dari hukum tertinggi yang harus ditaati, bukan hanya oleh rakyat, tetapi oleh pemerintah serta penguasa sekalipun.

Bidang ketiga mengenai partai - partai, golongan-golongan dan pendapat umum, banyak memakai konsep-konsep sosiologis dan psikologis dan sering disebut political dymanics oleh karena sangat menonjolkan aspek-aspek dinamis dari proses - proses politik.

Penelitian mengenai partai politik merupakan kegiatan  ilmiah yang relatif baru.  Sekalipun bermacam-macam penelitian telah diadakan untuk mempelajarinya, akan tetapi hingga sekarang belum tersusun suatu teori yang mantap mengenai partai sebagai lembaga politik.  Istilah tentang lapangan studi ini pun masih belum ada, meskipun nama “statiologi“ kadang - kadang dipakai. Sarjana - sarjana yang telah mempelopori studi mengenai partai politik antara lain M. Ostrogorsky (1902), Robert Michels (1911), Maurice Duverger (1951) dan Sigmund Nueumann (1956).  Selain itu beberapa sarjana behavioralis seperti Joseph Lapalombara dan Myron Weiner telah meneropong secara khusus partai politik dalam hubungannya dengan pembangunan politik dalam bukunya Political Parties and Political Development.  Ditinjau dari hasil karya sarjana-sarjana ini memang nampak adanya usaha ke arah penyusunan suatu teori yang menyeluruh, akan tetapi usaha ini masih jauh dari sempurna dan jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan penelitian di bidang - bidang ilmu politik lainnya.

Partai politik pertama - tama lahir di negara-negara Eropa Barat.  Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.  Partai politik pada umumnya dianggap sebagai manisfetasi dari suatu sistem politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri.  Maka dari itu, dewasa ini di Negara - negara baru pun partai sudah menjadi lembaga politik yang biasa dijumpai.

Di Negara - negara yang menganut paham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan kebijaksanaan umum (public policy).  Di negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng.  Untuk mencapai itu, partai politik merupakan alat yang baik.

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini untuk memperoleh kekuasaan politik  dan merebut kedudukan politik –(biasanya) denagn cara konstitusional – untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.

Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan tak langsung – dalam pembentukan kebijaksanaan umum.  Kegiatan –kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam pemilihan umum; menjadi anggota golongan politik seperti partai, kelompok penekan, kelompok kepentingan; duduk dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat atau mengadakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu; berkampanye dan menghadiri kelompok diskusi, dan sebagainya. (Kebalikan dari partisipasi adalah apati.  Seseorang dinamakan apatis (secara politik) jika tidak ikut serta dalam kegiatan - kegiatan tersebut di atas.

Partai politik berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini, kelompok kepentingan (interest group). Kelompok ini bertujuan memperjuangkan suatu “kepentingan“ dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan-keputusan yang menguntungkan atau menghindari keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang berwenang. Teranglah bahwa kelompok kepentingan mempunyai orientasi yang jauh lebih sempit daripada partai politik, yang –karena mewakili pelbagai golongan- lebih banyak memperjuangkan kepentingan umum. Pun organisasi kelompok kepentingan lebih kendor dibanding partai politik.

Kelompok – kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam hal struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya; dan perbedaan-perbedaan ini sangat mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi dan sosial suatu bangsa. Walaupun kelompok-kelompok kepentingan juga diorganisir berdasarkan keanggotaan, kesukuan, ras, etnis, agama atau pun berdasar issue - isue kebijaksanaan, kelompok - kelompok kepentingan yang paling kuat, paling besar, dan secara finansial paling mampu adalah kelompok yang berdasar pada bidang pekerjaan atau profesi, terutama karena kehidupan sehari-hari dan karier seseoranglah yang paling cepat dan paling langsung dipengaruhi oleh kebijaksanaan atau tindakan pemerintah.  Kerana itu sebagian besar negara memiliki serikat buruh, himpunan pengusaha, kelompok petani dan persatuan-persatuan dokter, advokat, insinyur dan guru.

Bidang keempat mengenai hubungan internasional. Bidang ini baru dikenal setelah berakhirnya Perang Dunia I, meskipun sebagai sasaran perhatian masalah, hubungan internasional hampir sama tuanya dengan pengkajian politik klasik.  Semula, telaah tentang hubungan internasional dikaitkan dengan “hubungan antarnegara“ (inter-state relations) yang berpangkal dari Ilmu Hukum Internasional Publik.  Sebagaimana halnya Ilmu politik lahir dari tradisi Ilmu Negara, maka ilmu hubungan internasional amat terpengaruh oleh pengkajian yuridis - formal yang berlaku sejak lahirnya Hukum Internasional Publik.  Oleh sebab itu, dalam perkembangan setelah perang Dunia I, ketika di Eropa dan Amerika Serikat bangkit semangant idealisme agar bangsa-bangsa “beradab“ (Barat) tidak lagi terjerat dalam malapetaka peperangan, lahirlah usaha-usaha awal mengikhtiarkan dunia yang tertib dan damai.  Dunia yang tertib dan damai.  Dunia yanga tertib dan damai ini diharapkan dapat tercapai melalui pendekatan-pendekatan yuridis - formal.

Lahirlah asumsi di kalangan negarawan seperti Presiden Woodrow Wilson, misalnya, tentang “hak penentuan nasib sendiri“ yang harus dihormati dan dipatuhi oleh negara-negara beradab yang terikat pada kesepakatan hukum. Pendekatan yuridis formal sampai sekarang masih kuat dipegang, terutama para lulusan yang mengalami pendidikan ilmu hukum sebagai jenjang pertamanya dalam pendidikan tinggi. Sikap bahwa dunia yang lebih baik, lebih tentram dan lebih terkendali hanya dapat disepakati melalui kepatuhan pada hukum, acap kali dikemukakan sebagai retorika pembenaran negara-negara kuat.

Dalam pada itu, timbul pendekatan lain yang berpangkal pada asumsi bahwa kehidupan manusia (baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok) senantiasa dipengaruhi oleh kaidah-kaidah yang bukan idealis. Pendekatan ini disebut pendekatan realis, karena memandang proses pelaksanaan hubungan antarbangsa (menurut mereka) lebih banyak ditandai oleh pertarungan kekuasaan, pengaruh dan ikhtiar mencari keunggulan.  Oleh sebab itu, pendekatan realis lebih mengkaji pada faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di belakang atau yang melatarbelakangi kaidah-kaidah hukum yang tertuang dalam persetujuan atau perjanjian internasional.  Hemat mereka, dibalik setiap rumusan hukum antarnegara atau antarbangsa, selalu ada yang “lebih unggul“ dalam kenyataan social – ekonomi - politiknya sekalipun berkedudukan “sama“ di mata hukum.

Perkembangan penelitian ilmu politik sejak tahun 1950 menunjukkan  betapa pesatnya perkembangan teknologi, ekonomi dan sosial telah mengakibatkan bertambahnya pengkhususan-pengkhususan. Hubungan dan politik luar negeri ada kecenderungan untuk berdiri sendiri dan di beberapa negara merupakan fakultas tersendiri.

Suatu bidang yang akhir-akhir ini berkembang dan yang sangat penting bagi negara-negara berkembang adalah Pembangunan Politik (Political Development).

Studi ini meneropong akibat dari pembangunan cepat di bidang sosial dan ekonomi atas tata masyarakat.  Studi ini juga mempelajari peranan dari lembaga-lembaga politik dalam mempengaruhi perkembangan dan pembangunan ini.  Masalah pembangunan politik erat hubungannya dengan negara-negara yang baru saja memerdekakan diri.  Jadi, proses dekolonisasi dan proses mencapai kemerdekaan sangat relevan dalam studi ini.

Masalah yang diteropong antara lain akibat dari perubahan sosial dan ekonomi atas lembaga - lembaga pemerintahan dan atas partisipasi politik;  Peranan golongan elite dan pola-pola kepemimpinan;  Peranan pendidikan sebagai sarana pembangunan, integrasi sosial dari golongan minoritas dan sebagainya.

Golding dan Murdock menyebutkan bahwa kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik biasanya datang dari pemilik media as a instrument of class domination dan sistem pasar yang digerakkan oleh paham kapitalisme. Sepaham dengan Golding dan Murdock, Mosco (2009:134) bahkan menyebutkan bahwa komunikasi sendiri merupakan arena potensial tempat terjadinya komodifikasi. Hal ini dikarenakan komunikasi merupakan komoditas yang sangat besar pengaruhnya karena yang terjadi bukan hanya komodifikasi untuk mendapatkan “surplus value”, tapi juga karena pesan yang disampaikan mengandung simbol dan citra yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan komodifikasi.

Mosco menyebutkan ada tiga bentuk komodifikasi dalam komunikasi (2009: 135-139), yaitu:

1.       Komodifikasi konten, dimana pesan (teks media) diproduksi dengan menggunakan simbol-simbol sebagai arena representasi hingga mewujud dalam bentuk produk yang dapat dipasarkan.

2.       Komodifikasi audiens, dimana audiens dijadikan komoditas yang “dijual“ kepada para pengiklan.

3.       Komodifikasi pekerja, dimana keahlian dan jam kerja para pekerja dijadikan komoditas dan dihargai dengan gaji.

Kepentingan ekonomi (komodifikasi) seperti ini dapat terlihat dari penggunaan ‘rating’ sebagai satu-satunya tolok ukur dalam melihat keberhasilan sebuah program dalam industri pertelevisian. Rating menjadi alat untuk menilai content (teks/produk media) apakah ia layak dijual. Kelayakan ini ditandai dengan seberapa banyak pemasang iklan yang mampu ditarik dalam setiap penayangan program tertentu. Selain itu, rating juga menjadi data dalam mengkomodifikasi audiens. Data audiens yang terangkum dalam rating menjadi pijakan bagi para pemasang iklan untuk memasarkan produknya di program tayangan tertentu atau tidak.

Oke…kita langsung menuju PERSUASIF!!!

Paragraf Persuasif adalah karangan yang bertujuan mengajak pembaca untuk melakukan sesuatu dengan cara memberikan alasan dan prospek yang baik. Seperti halnya karangan argumentasi, karangan persuasi termasuk jenis tulisan yang dibuat untuk memengaruhi orang (hortatoris). Dalam argumentasi, pengarang hanya mengharapkan pembaca mengakui pembenaran yang ada dalam paragraf. Sedangkan dalam persuasi, pengarang mengharapkan pembaca mengikuti perbuatan sesuai instruksi yang dianjurkan penulis. Perbedaan karangan hortatoris dengan karangan lainnya adalah adanya unsur opini, data, fakta, dan alasan sebagai penyokong opini tersebut.



Satu hal lagi yang menghambat keselamatan terumbu karang, yaitu lemahnya peraturan perundangan yang diterapkan. Manusia menjadi faktor utama pelaku perusakan terhadap spesial ini. Untuk itu, harus ada tindakan tegas dari aparat terkait dengan memberi hukuman yang berat bagi pelakunya.

Dengan demikian, diharapkan akan menjadi benteng terakhir bagi keselamatan terumbu karang. Adanya sanksi hukum yang berat tentu akan menjadi efek jera. Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap penyelamatan terumbu karang juga harus ditumbuhkan.

Menulis, menurut Johnson (2003) bukanlah kegiatan yang hanya bisa dilakukan oleh profesor, guru bahasa Inggris, atau ahli tata bahasa saja.  Menulis berkaitan dengan menemukan gagasan atau pikiran, mengorganisasikan gagasan atau pikiran itu, dan menuliskannya dengan kata yang tepat untuk mengkomunikasikan gagasan itu.  Keyakinan bahwa setiap orang bisa menulis sangat penting dimiliki sejak awal menulis karena sikap ini berperan lebih besar dari faktor lain. Dalam hal ini, Roberts (2004:4) menyatakan:  If you believe you will be able to succeed at a particular undertaking and you approach the endeavour with a sense of excitement and joyful expectation, your chances of achieving success are much higher than if you face the task with dread and apprehension (2004:4).

Sebaliknya, kalau mahasiswa berpikiran negatif, maka hukum Murphy (Swetnam, 2000) atau hukum Finagle pertama dalam penelitian (Rudestam & Newton, 1992:10) pun akan berlaku, yakni: “If something can go wrong, it will go wrong.”

Berbicara mengenai sikap positif, Crasswell (2005:11) menegaskan bahwa sikap positif merupakan isu yang sering muncul dalam masalah penulisan tesis atau disertasi. Crasswell berpendapat bahwa motivasi memang fluktuatif, tetapi motivasi di dalam diri sendiri mungkin perlu sering dicharged sampai penuh. Crasswell menambahkan bahwa ketika menulis tesis atau disertasi ada kemungkinan bahwa minat mahasiswa berkurang, percaya diri turun, frustrasi karena tidak mendapat bantuan yang diperlukan. Tetapi, tambah Crasswell, mahasiswa harus menulis apa yang membuat dia tidak bersemangat dan membicarakannya dengan pembimbing.

Keyakinan bahwa setiap orang bisa menulis dengan baik dapat mendorong mahasiswa menjadi penulis yang lebih baik, yakni dengan cara berlatih. Kalau tidak menulis, tulisannya tidak akan menjadi baik (Johnson, 2003). Menurut Zerubavel (1999), yang dikutip oleh Paltridge dan Stairfield (2007:45), “Menulis perlu dijadikan sebagai kebiasaan, melalui menulis seraca teratur, setiap hari, ilham, inspirasi akan muncul”. Penulis tesis dan disertasi, seperti yang disarankan oleh Bolker (1998) dan Rodrigues dan Rodrigues (2003:119), perlu menyisihkan waktu setiap hari untuk menulis tesis atau disertasinya atau menentukan batas waktu yang spesifik untuk mengetahui jumlah waktu yang dimiliki. Menulis setiap hari, walaupun hanya 15 menit, seperti yang disarankan Bolker (1998), bisa membantu penyelesaian tesis atau disertasi. Menulis tesis atau disertasi secara teratur juga dapat mempertahankan motivasi serta pemahaman terhadap tujuan dan bentuk tesis atau disertasi secara keseluruhan (Swetnam, 2000:23).

Salah satu cara untuk memotivasi kegiatan menulis secara teratur adalah dengan menghitung jumlah kata yang ada dalam tesis atau disertasi yang sedang ditulis (Murray, 2002:7). Misalnya, tambah Murray, kalau hari ini jumlah kata yang sudah ditulis 1000, besoknya menjadi 1.100, itu berarti paling tidak ada penambahan kata yang ditulis. Hal ini bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk “membuat momentum” (Murray, 2002:7).

Jadi, berpikir visual adalah gaya belajar dimana peserta didik lebih baik memahami dan mempertahankan informasi ketika ide-ide, kata-kata dan konsep konsep yang terkait dengan gambar.  Riset mengatakan bahwa mayoritas siswa di kelas reguler perlu melihat informasi dalam rangka untuk mempelajarinya.  Belajar visual membantu siswa menjelaskan pikiran mereka.  Siswa melihat bagaimana ide ide terhubung dan menyadari bagaimana informasi dapat dikelompokkan dan terorganisir.  Dan belajar visual membantu siswa mengintegrasikan pengetahuan baru.  Selain itu, menulis tesis tidak hanya dikerjakan oleh seorang professor, guru, dan seseorang yang ahli bahasa.  Tetapi siapa pun bisa melakukannya.





 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic