Class
review 6
Selasa,
11 maret 2014 adalah pertemuan keenam kita bersama Mr.Lala Bumula. Sungguh luar biasa dari minggu ke minggu kita
melalui setiap tahapannya. Kini saya
akan mengingatkan kembali tentang apa saja yang telah kita bahas pada pertemuan
ke enam barsama beliau. Hanya ditemani
suara kicauan binatang malam, dan kini saya berkarib dengan sepi.
Mengingat
setelah enam minggu pertemuan dalam mata kuliah writing ini, pastinya kita
mendapatkan sesuatu yang baru. Karena
kita bukan belajar writing biasa, tapi kita belajar academic writing. Maka dari itu mendapatkan hal-hal yang baru
yang sebelumnya kita belum pernah mengetahuinya sama sekali. Seperti halnya sekarang kita mengetahui
tentang academic writing, literasi, classroom discourse, dan juga tentang
fakta-fakta Columbus, yang sudah bertahun-tahun kita dibutakan oleh kepalsuan
tentang sejarahnya. Selain itu sekarang
kita mengetahui para penulis terkenal dan para ahli sejarah, diantaranya yaitu
Howard Zinn, Halliday, Ken Hyland, Mikko Lehtonen, Haidar Alwasilah, dan
Fowler. Itu yang dinamakan dengan
meneroka ceruk-ceruk baru. Seperti dalam
pertemuan ke enam ini diawali dengan slide pertama yaitu tentang Quote Of The
Day :
Katanya, tugas mereka yang tercerahkan--kaum literat--adalah
meneroka ceruk ceruk 'baru' tempat pengetahuan dan keterampilan yang mereka
pungut, kumpulkan dan kuasai dalam perjalanan hidupnya sebagai bagian sederhana
dari cinta mereka pada pengetahuan dan pemberi pengetahuan. Mereka yang hanya
baru tahu teori ini dan itu dari 'suara-suara penuh kuasa' di bidang yang
mereka geluti, belumlah dapat dikatakan yang tercerahkan--literat; mereka baru
pada fase awal; peniru.
Meniru adalah bagian penting dari menemukan lalu menciptakan, dari memahami affordance dan meaning potential tanda tanda yang terserak, yang dibaca dengan teori ini dan itu. Yang berbahaya adalah ketika kita merasa sudah mendesiminasi, pun meneroka padang-padang baru tempat segala teori yang dipahami digunakan, padahal kita baru sampai pada tahap meniru. Lalu kita dengan pongahnya mengatakan 'ini salah itu tak benar", tanpa dasar yang 'tak bergetar' pada mereka yang berada di titik awal menjadi peniru. Kita merasa bahwa hapal saja teori ini dan itu, telah membuat kita menjadi bagian dari "Rejim kebenaran tak terbantahkan".
Begitu banyak yang harus dipelajari, dipahami lalu dimaknai; lebih banyak dari alasan menjadi sombong sebab apa yang baru kita sedikit ketahui.
Meniru adalah bagian penting dari menemukan lalu menciptakan, dari memahami affordance dan meaning potential tanda tanda yang terserak, yang dibaca dengan teori ini dan itu. Yang berbahaya adalah ketika kita merasa sudah mendesiminasi, pun meneroka padang-padang baru tempat segala teori yang dipahami digunakan, padahal kita baru sampai pada tahap meniru. Lalu kita dengan pongahnya mengatakan 'ini salah itu tak benar", tanpa dasar yang 'tak bergetar' pada mereka yang berada di titik awal menjadi peniru. Kita merasa bahwa hapal saja teori ini dan itu, telah membuat kita menjadi bagian dari "Rejim kebenaran tak terbantahkan".
Begitu banyak yang harus dipelajari, dipahami lalu dimaknai; lebih banyak dari alasan menjadi sombong sebab apa yang baru kita sedikit ketahui.
Maksud
dari quote of the day diatas adalah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
pada writing 4 ini kita banyak meneroka ceruk-ceruk baru. Namun itu belumlah dapat dikatakan yang
tercerahkan literat, karena masih berada dalam fase awal, yaitu peniru.
Akan tetapi meniru adalah bagian penting dari menemukan, dan juga awal
dari penciptaan. Karena itu merupakan
ayat utama : Meniru,
Menemukan, kemudian Menciptakan, (Emulate, Discover, and Create). Kegiatan
seperti itu sering kita lakukan dalam menulis di log book kita. Namun, tidak seharusnya kita untuk merasa
sudah mendesiminasi, karena pada dasarnya kita masih dalam tahap meniru.
Sesuatu
itu harus dipelajari, dipahami, lalu dimaknai.
Jadi kita tidak usah menyombongkan diri dari apa yang baru sedikit kita
ketahui, karena begitu banyak yang harus dipelajari, dan dipahami. Affordance
+ meaning potentials. Meaning potentials
yaitu cara kita bagaimana memaknai tulisan sendiri. Seperti halnya disaat kita menulis class
review, kita harus mengetahui makna apa yang terdapat pada tulisan kita. Karena itu meaning making practice.
Dalam
slidenya beliau menemukan sesuatu yang menarik, yaitu:
Fowler (1996:10) :
“ like the historian critical linguist aims to
understand the values hich underpin social, economic, and political
formations, and diachronically, changes
in values and changes in formation.”
Diatas,
fowler menjelaskan bahwa seperti sejarahwan linguis kritis yang bertujuan untuk
memahami nilai-nilai (values) yang mendukung formasi social, economi, politik,
dan diakronis, perubahan dalam nilai dan perubahan dalam formasi. Melihat dari pernyataan diatas menurut
Fowler, ternyata tugas kita sama dengan ahli sejarah. Kenapa seperti itu, karena kita sama-sama
bertujuan to understand values. Pengertian values itu sendiri yaitu
mempengaruhi siswa dalam bersikap dan bertindak, baik itu didalam kelas maupun
dimana saja dalam kehidupan sehari-hari.
Karena yang dimaksud values itu bisa dari sifat, kedisiplinan, dan
etika. Prilaku kita dlam sehari-hari
dapat menunjukan value kita. Kita dapat
mengambil contohnya dari kehidupan sehari-hari tentang tatakrama seseorang.
Nilai
individu biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan
oleh suatu kelompok dominan yang memiliki nilai tertentu (misalnya pengasuhan
orang tua, agama, kelompok tempat kerja) atau melalui pengalaman pribadi yang
unik (Feather, 1994; Grube, Mayton II & Ball-Rokeach, 1994; Rokeach, 1973;
Schwartz, 1994).
Kemudian Fowler juga berpendapat
tentang ideology, yaitu:
Fowler (1996:12) : “ideology is of course both a medium and an instrument of
historical processes.”
Maksudnya, ideology ini adalah tentu
saja baik sebuah media dan sebuah alat (instrumen) tentang proses sejarah. Kenapa disebut sebagai alat proses sejarah?
Karena pengertian
ideology itu sendiri adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh
dan mendalam tentang bagaimana cara sebaiknya, yaitu secara moral dianggap
benar dan adil. Mengatur tingkah laku
bersama dalam berbagai segi kehidupan. Sebagai contohnya dalam mata kuliah
writing 4 di IAIN, kita sering membuat class review dalam setiap minggunya. Sedangkan dikalangan universitas lain atau
UNMA mereka tidak melakukannya, dan itu akan mejadi sejarah tersendiri bagi
IAIN ataupun UNMA,
“Ideology hadir dimana-mana disetiap
teks tunggal (lisan, tertulis, audio, visual, atau combinasi dari semua itu).” (Fowler 1996)
Ideology itu sebagai pengantarnya
bahasa. Dalam pandangan Halliday yang
terkenal yakni bahasa sebagai semiotika sosial dan linguistic sebagai
tindakan. Kedua pandangan itu pada tahap
selanjutnya telah memberikan pengaruh yang amat kuat dalam linguistic kritis
dalam karya-karyanya Fowler (1985;1986;1995) dan terhadap analisis wacana
kritis, khususnya pada karya-karya Fairclough (1989;1995) dan Van Dijk (1985).
Halliday selalu menegaskan bahwa
bahasa adalah produk proses sosial.
Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti
tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersama-sama
membentuk budaya manusia. Dalam level
yang amat konkret bahasa itu tidak berisi kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi
teks atau wacana, yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam konteks
interpersonal.
(Fairclough 1989;1992;1995;2000; Lehtonen 2000) : “ Produksi teks tidak pernah
netral”.
Sedangkan menurut Alwasilah, teks
disini adalah literasi :
“ Literasi TIDAK pernah netral” (Alwasilah 2012).
Mereka tidak pernah netral karena
setiap individu memiliki haknya masing-masing.
Kita sangkut pautkan dengan pemilu, meskipun para PNS dianjurkan untuk
netral, tetapi dari diri mereka memiliki pilihan masing-masing yang diandalkan
atau diinginkan, maka dari itu literasi tidak pernah netral.
Kemudian pengertian teks itu sendiri
yaitu menurut Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu pilihan semantic
(semantic choice) dalam konteks sosial.
Suatu cara pengungkapan makna lewat bahasa lisan atau tulis. Semua bahasa yang hidup yang mengambil bagian
tertentu dalam konteks situasi dapat dinamakan teks.
Pandangan Halliday juga dapat
dilacak pada pokok pikiran bahwa wacana hakikatnya adalah praktek ideology. Dalam pandangan kritis, wacana dipandang
sebagai praktek ideology atau pencerminan dari ideology tertentu. Ideology yang berada dibalik penghasil
teksnya akan selalu mewarnai bentuk wacana tertentu. Penghasil teks yang berideologi liberalism
atau sosialisme tentu akan menghasilkan wacana yang memiliki karakter
sendiri-sendiri, dua catatan paling berkenaan dengan ideology dalam wacana.
Pertama, ideology secara inheren
bersifat sosial, tidak personal atau individu.
Ideology selalu membutuhkan anggota kelompok, komunitas, atau masyarakat
yang mematuhi dan dan memperjuangkan ideology itu.
Kedua, ideology digunakan secara
internal diantara anggota kelompok atau komunitas ideology selalu menyediakan
jawaban tentang identitas kelompok.
Dengan demikian, analisis wacana tidak bisa lagi menempatkan bahasa
dalam sistem tertutup, tetapi harus menempatkannya dalam konteks. Analisisnya akan selalu mengungkap bagaimana
ideology dari kelompok-kelompok yang ada berperan dalam membentuk wacana. (dikutip dari “Jejak Halliday
Dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis_Anang
Santoso-academia.edu.html”)
Oleh karena itu membaca dan menulis
selalu termotivasi secara ideologis.
Adanya values dan ideology itu dihasilkan dari meaning making
practice. Yang mana setiap individu
mempunyai pemahaman yang berbeda-beda.
Layaknya kita seorang mahasiswa IAIN jurusan Bahasa Inggris, selalu
membaca dan menulis itu karena adanya motivasi ideologis. Yakni keyakinan yang kita terima sebagai
fakta dan kebenaran. Setiap kelompok
memiliki ideologinya masing-masing.
Berbicara tentang menulis, menulis
diperguruan tinggi berbeda dengan menulis disekolah dasar ataupun
menengah. Menulis diperguruan tinggi
sering mngambil bentuk persuasi. Persuasi
yaitu meyakinkan orang lain atau pembaca bahwa kita memiliki sesuatu yang
menarik dalam tulisan kita, logika sudut pandang pada subjek yang telah kita
pelajari. Persuasi adalah sebuah
keterampilan yang kita latih dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perguruan tinggi, khususnya
sekarang ini saya sedang merasakan berpusing-pusing ria dengan tugas writing
yang memaksa kita untuk menulis dengan bentuk persuai. Kita harus meyakinkan pembaca tentang
pendapat yang kita tuangkan dalam tulisan kita.
Bentuk persuasi sering disebut argument akademis, mengikuti pola
diproduksi secara tertulis. Setelah kita
melakukan pengenalan singkat tentang topic yang kita bahas, kita menyatakan
sudut pandang kita pada topic secara langsung dan sering disebutnya dalam satu
kalimat saja. Nah, kalimat itu disebut
dengan pernyataan tesis, dan berfungsi sebagai ringkasan dari argument yang
akan kita buat dikalimat-kalimat selanjutnya.
Tesis esai adalah yang menjadi ide
utamanya yang akan kita jelaskan atau uraikan.
Pernyataan tesis esai adalah pernyataan satu atau dua kalimat yang
mengungkapkan gagasan utama dari sebuah paragraph. Pernyataan tesis ini mengenai atau
mengidentifikasi topic dan penulis yang penulis miliki.
Fungsi thesis statement, yaitu:
·
Penulis
menciptakan tesis untuk fokus subjek esai.
Jadi adanya tesis agar pembaca mengetahui tujuan dari penulis tentang
apa yang akan penulis sampaikan dalam setiap paragraph.
·
Kehadiran
pernyataan tesis yang baik membantu pemahaman seorang pembaca.
Seperti pada fungsi pertama, yaitu bertujuan untuk
memberikan kemudahan terhadap pembaca.
Thesis statement adalah memberitahu
pembaca bagaimana kita akan menafsirkan pentingnya materi pelajaran yang sedang
kita bahas. Dengan kata lain, kita
memberitahu pembaca apa yang diharapkan dari sisa kertas. Thesis adalah sebuah hasil dari proses yang
panjang. Sebelum kita mengembangkan
argument tentang topic apa saja, kita harus mengumpulkan dan mengatur bukti,
mencari kemungkinan hubungan antara fakta yang diketahui, seperti kontras dan
kesamaan. Setelah itu kita harus
berfikir tentang ini:
·
Apakah
tesis saya lulus dari “so what?” jika respon pertama pembaca adalah “jadi apa?”
maka kita harus menjelaskannya. Dalam
kata lain berarti tesis kita belum lulus, karena masih membuat bingung pembaca.
·
Apakah
esai saya mendukung tesis saya secara khusus dan tanpa berkeliaran? Jika tesis
kita dan tbuh esai kita masih tampak pergi bersama-sama, salah satu dari mereka
harus berubah atau salah satunya dibuang dan dirubah.
·
Apakah
tesis saya lulus dari kata “how and why?” kemudian respon dari pembaca adalah
“bagaimana?” atau “mengapa?”, tesis kita mungkin terlalu terbuka dan kurang
bimbingan bagi pembaca.
Maka dari itu sekarang kita akan
berlatih membuat thesis statement dalam beberapa paragraph dengan mencoba untuk
lulus dari kata “ so what, how, and why”.
Jika tulisan kita sudah terbebas dari kata-kata tersebut, maka kita
berhasil.
Dapat disimpulkan dari bahasan
minggu ke enam ini yaitu : pada kenyataannya kita ini masih dalam fase peniru,
namun itu adalah awal dari penciptaan.
Karena meniru, menemukan, dan menciptakan, dan tingkatan tersebut dapat
dikatakan sebagai ayat utama. Segala
sesuatu harus dipelajari, dipahami, lalu dimaknai, sehingga adanya meaning
making practice. Meaning making practice
ini akan mengasilkan ideology dan
values. Ideology itu sendiri adalah
sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran
oleh kelompok tertentu. Sedangkan values
adalah mempengaruhi siswa dalam bersikap dan bertindak (sifat, kedisiplian, dan
etika). Ideology itu sebagai pengantar
bahasa. Oleh karena itu, membaca dan
menulis selalu termotivasi secara ideologis. tidak disadari dengan seperti ini kita bisa meneroka ceruk-ceruk baru baik itu tentang values, ideologi, dan penggunaan thesis statement.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic