We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 17 Maret 2014

Meneroka Ceruk-Ceruk Baru



Class review 6

Selasa, 11 maret 2014 adalah pertemuan keenam kita bersama Mr.Lala Bumula.  Sungguh luar biasa dari minggu ke minggu kita melalui setiap tahapannya.  Kini saya akan mengingatkan kembali tentang apa saja yang telah kita bahas pada pertemuan ke enam barsama beliau.  Hanya ditemani suara kicauan binatang malam, dan kini saya berkarib dengan sepi.
Mengingat setelah enam minggu pertemuan dalam mata kuliah writing ini, pastinya kita mendapatkan sesuatu yang baru.  Karena kita bukan belajar writing biasa, tapi kita belajar academic writing.  Maka dari itu mendapatkan hal-hal yang baru yang sebelumnya kita belum pernah mengetahuinya sama sekali.  Seperti halnya sekarang kita mengetahui tentang academic writing, literasi, classroom discourse, dan juga tentang fakta-fakta Columbus, yang sudah bertahun-tahun kita dibutakan oleh kepalsuan tentang sejarahnya.  Selain itu sekarang kita mengetahui para penulis terkenal dan para ahli sejarah, diantaranya yaitu Howard Zinn, Halliday, Ken Hyland, Mikko Lehtonen, Haidar Alwasilah, dan Fowler.  Itu yang dinamakan dengan meneroka ceruk-ceruk baru.  Seperti dalam pertemuan ke enam ini diawali dengan slide pertama yaitu tentang Quote Of The Day :
Katanya, tugas mereka yang tercerahkan--kaum literat--adalah meneroka ceruk ceruk 'baru' tempat pengetahuan dan keterampilan yang mereka pungut, kumpulkan dan kuasai dalam perjalanan hidupnya sebagai bagian sederhana dari cinta mereka pada pengetahuan dan pemberi pengetahuan. Mereka yang hanya baru tahu teori ini dan itu dari 'suara-suara penuh kuasa' di bidang yang mereka geluti, belumlah dapat dikatakan yang tercerahkan--literat; mereka baru pada fase awal; peniru.
Meniru adalah bagian penting dari menemukan lalu menciptakan, dari memahami affordance dan meaning potential tanda tanda yang terserak, yang dibaca dengan teori ini dan itu. Yang berbahaya adalah ketika kita merasa sudah mendesiminasi, pun meneroka padang-padang baru tempat segala teori yang dipahami digunakan, padahal kita baru sampai pada tahap meniru. Lalu kita dengan pongahnya mengatakan 'ini salah itu tak benar", tanpa dasar yang 'tak bergetar' pada mereka yang berada di titik awal menjadi peniru. Kita merasa bahwa hapal saja teori ini dan itu, telah membuat kita menjadi bagian dari "Rejim kebenaran tak terbantahkan".
Begitu banyak yang harus dipelajari, dipahami lalu dimaknai; lebih banyak dari alasan menjadi sombong sebab apa yang baru kita sedikit ketahui
.
Maksud dari quote of the day diatas adalah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada writing 4 ini kita banyak meneroka ceruk-ceruk baru.  Namun itu belumlah dapat dikatakan yang tercerahkan literat, karena masih berada dalam fase awal, yaitu peniru.  Akan tetapi meniru adalah bagian penting dari menemukan, dan juga awal dari penciptaan.  Karena itu merupakan ayat utama : Meniru, Menemukan, kemudian Menciptakan, (Emulate, Discover, and Create). Kegiatan seperti itu sering kita lakukan dalam menulis di log book kita.  Namun, tidak seharusnya kita untuk merasa sudah mendesiminasi, karena pada dasarnya kita masih dalam tahap meniru.
Sesuatu itu harus dipelajari, dipahami, lalu dimaknai.  Jadi kita tidak usah menyombongkan diri dari apa yang baru sedikit kita ketahui, karena begitu banyak yang harus dipelajari, dan dipahami.  Affordance + meaning potentials.  Meaning potentials yaitu cara kita bagaimana memaknai tulisan sendiri.  Seperti halnya disaat kita menulis class review, kita harus mengetahui makna apa yang terdapat pada tulisan kita.  Karena itu meaning making practice.
Dalam slidenya beliau menemukan sesuatu yang menarik, yaitu:
Fowler (1996:10) : “ like the historian critical linguist aims to understand the values hich underpin social, economic, and political formations, and diachronically, changes in values and changes in formation.”
Diatas, fowler menjelaskan bahwa seperti sejarahwan linguis kritis yang bertujuan untuk memahami nilai-nilai (values) yang mendukung formasi social, economi, politik, dan diakronis, perubahan dalam nilai dan perubahan dalam formasi.  Melihat dari pernyataan diatas menurut Fowler, ternyata tugas kita sama dengan ahli sejarah.  Kenapa seperti itu, karena kita sama-sama bertujuan to understand values.  Pengertian values itu sendiri yaitu mempengaruhi siswa dalam bersikap dan bertindak, baik itu didalam kelas maupun dimana saja dalam kehidupan sehari-hari.  Karena yang dimaksud values itu bisa dari sifat, kedisiplinan, dan etika.  Prilaku kita dlam sehari-hari dapat menunjukan value kita.  Kita dapat mengambil contohnya dari kehidupan sehari-hari tentang tatakrama seseorang. 
Nilai individu biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok dominan yang memiliki nilai tertentu (misalnya pengasuhan orang tua, agama, kelompok tempat kerja) atau melalui pengalaman pribadi yang unik (Feather, 1994; Grube, Mayton II & Ball-Rokeach, 1994; Rokeach, 1973; Schwartz, 1994).
Kemudian Fowler juga berpendapat tentang ideology, yaitu:
Fowler (1996:12) : “ideology is of course both a medium and an instrument of historical processes.”
Maksudnya, ideology ini adalah tentu saja baik sebuah media dan sebuah alat (instrumen) tentang proses sejarah.  Kenapa disebut sebagai alat proses sejarah? Karena pengertian ideology itu sendiri adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang bagaimana cara sebaiknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil.  Mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai segi kehidupan.  Sebagai contohnya dalam mata kuliah writing 4 di IAIN, kita sering membuat class review dalam setiap minggunya.  Sedangkan dikalangan universitas lain atau UNMA mereka tidak melakukannya, dan itu akan mejadi sejarah tersendiri bagi IAIN ataupun UNMA,
“Ideology hadir dimana-mana disetiap teks tunggal (lisan, tertulis, audio, visual, atau combinasi dari semua itu).” (Fowler 1996)
Ideology itu sebagai pengantarnya bahasa.  Dalam pandangan Halliday yang terkenal yakni bahasa sebagai semiotika sosial dan linguistic sebagai tindakan.  Kedua pandangan itu pada tahap selanjutnya telah memberikan pengaruh yang amat kuat dalam linguistic kritis dalam karya-karyanya Fowler (1985;1986;1995) dan terhadap analisis wacana kritis, khususnya pada karya-karya Fairclough (1989;1995) dan Van Dijk (1985).
Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial.  Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersama-sama membentuk budaya manusia.  Dalam level yang amat konkret bahasa itu tidak berisi kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi teks atau wacana, yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam konteks interpersonal.
(Fairclough 1989;1992;1995;2000; Lehtonen 2000) : “ Produksi teks tidak pernah netral”.
Sedangkan menurut Alwasilah, teks disini adalah literasi :
“ Literasi TIDAK pernah netral” (Alwasilah 2012).
Mereka tidak pernah netral karena setiap individu memiliki haknya masing-masing.  Kita sangkut pautkan dengan pemilu, meskipun para PNS dianjurkan untuk netral, tetapi dari diri mereka memiliki pilihan masing-masing yang diandalkan atau diinginkan, maka dari itu literasi tidak pernah netral.
Kemudian pengertian teks itu sendiri yaitu menurut Halliday berpendapat bahwa teks adalah suatu pilihan semantic (semantic choice) dalam konteks sosial.  Suatu cara pengungkapan makna lewat bahasa lisan atau tulis.  Semua bahasa yang hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat dinamakan teks.
Pandangan Halliday juga dapat dilacak pada pokok pikiran bahwa wacana hakikatnya adalah praktek ideology.  Dalam pandangan kritis, wacana dipandang sebagai praktek ideology atau pencerminan dari ideology tertentu.  Ideology yang berada dibalik penghasil teksnya akan selalu mewarnai bentuk wacana tertentu.  Penghasil teks yang berideologi liberalism atau sosialisme tentu akan menghasilkan wacana yang memiliki karakter sendiri-sendiri, dua catatan paling berkenaan dengan ideology dalam wacana.
Pertama, ideology secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individu.  Ideology selalu membutuhkan anggota kelompok, komunitas, atau masyarakat yang mematuhi dan dan memperjuangkan ideology itu.
Kedua, ideology digunakan secara internal diantara anggota kelompok atau komunitas ideology selalu menyediakan jawaban tentang identitas kelompok.  Dengan demikian, analisis wacana tidak bisa lagi menempatkan bahasa dalam sistem tertutup, tetapi harus menempatkannya dalam konteks.  Analisisnya akan selalu mengungkap bagaimana ideology dari kelompok-kelompok yang ada berperan dalam membentuk wacana. (dikutip dari “Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis_Anang Santoso-academia.edu.html”)

Oleh karena itu membaca dan menulis selalu termotivasi secara ideologis.  Adanya values dan ideology itu dihasilkan dari meaning making practice.  Yang mana setiap individu mempunyai pemahaman yang berbeda-beda.  Layaknya kita seorang mahasiswa IAIN jurusan Bahasa Inggris, selalu membaca dan menulis itu karena adanya motivasi ideologis.  Yakni keyakinan yang kita terima sebagai fakta dan kebenaran.  Setiap kelompok memiliki ideologinya masing-masing.
Berbicara tentang menulis, menulis diperguruan tinggi berbeda dengan menulis disekolah dasar ataupun menengah.  Menulis diperguruan tinggi sering mngambil bentuk persuasi.  Persuasi yaitu meyakinkan orang lain atau pembaca bahwa kita memiliki sesuatu yang menarik dalam tulisan kita, logika sudut pandang pada subjek yang telah kita pelajari.  Persuasi adalah sebuah keterampilan yang kita latih dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perguruan tinggi, khususnya sekarang ini saya sedang merasakan berpusing-pusing ria dengan tugas writing yang memaksa kita untuk menulis dengan bentuk persuai.  Kita harus meyakinkan pembaca tentang pendapat yang kita tuangkan dalam tulisan kita.  Bentuk persuasi sering disebut argument akademis, mengikuti pola diproduksi secara tertulis.  Setelah kita melakukan pengenalan singkat tentang topic yang kita bahas, kita menyatakan sudut pandang kita pada topic secara langsung dan sering disebutnya dalam satu kalimat saja.  Nah, kalimat itu disebut dengan pernyataan tesis, dan berfungsi sebagai ringkasan dari argument yang akan kita buat dikalimat-kalimat selanjutnya.
Tesis esai adalah yang menjadi ide utamanya yang akan kita jelaskan atau uraikan.  Pernyataan tesis esai adalah pernyataan satu atau dua kalimat yang mengungkapkan gagasan utama dari sebuah paragraph.  Pernyataan tesis ini mengenai atau mengidentifikasi topic dan penulis yang penulis miliki.
Fungsi thesis statement, yaitu:
·         Penulis menciptakan tesis untuk fokus subjek esai.  Jadi adanya tesis agar pembaca mengetahui tujuan dari penulis tentang apa yang akan penulis sampaikan dalam setiap paragraph.
·         Kehadiran pernyataan tesis yang baik membantu pemahaman seorang pembaca.
Seperti pada fungsi pertama, yaitu bertujuan untuk memberikan kemudahan terhadap pembaca.
Thesis statement adalah memberitahu pembaca bagaimana kita akan menafsirkan pentingnya materi pelajaran yang sedang kita bahas.  Dengan kata lain, kita memberitahu pembaca apa yang diharapkan dari sisa kertas.  Thesis adalah sebuah hasil dari proses yang panjang.  Sebelum kita mengembangkan argument tentang topic apa saja, kita harus mengumpulkan dan mengatur bukti, mencari kemungkinan hubungan antara fakta yang diketahui, seperti kontras dan kesamaan.  Setelah itu kita harus berfikir tentang ini:
·         Apakah tesis saya lulus dari “so what?” jika respon pertama pembaca adalah “jadi apa?” maka kita harus menjelaskannya.  Dalam kata lain berarti tesis kita belum lulus, karena masih membuat bingung pembaca.
·         Apakah esai saya mendukung tesis saya secara khusus dan tanpa berkeliaran? Jika tesis kita dan tbuh esai kita masih tampak pergi bersama-sama, salah satu dari mereka harus berubah atau salah satunya dibuang dan dirubah.
·         Apakah tesis saya lulus dari kata “how and why?” kemudian respon dari pembaca adalah “bagaimana?” atau “mengapa?”, tesis kita mungkin terlalu terbuka dan kurang bimbingan bagi pembaca.
Maka dari itu sekarang kita akan berlatih membuat thesis statement dalam beberapa paragraph dengan mencoba untuk lulus dari kata “ so what, how, and why”.  Jika tulisan kita sudah terbebas dari kata-kata tersebut, maka kita berhasil.
Dapat disimpulkan dari bahasan minggu ke enam ini yaitu : pada kenyataannya kita ini masih dalam fase peniru, namun itu adalah awal dari penciptaan.  Karena meniru, menemukan, dan menciptakan, dan tingkatan tersebut dapat dikatakan sebagai ayat utama.  Segala sesuatu harus dipelajari, dipahami, lalu dimaknai, sehingga adanya meaning making practice.  Meaning making practice ini akan mengasilkan ideology  dan values.  Ideology itu sendiri adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu.  Sedangkan values adalah mempengaruhi siswa dalam bersikap dan bertindak (sifat, kedisiplian, dan etika).  Ideology itu sebagai pengantar bahasa.  Oleh karena itu, membaca dan menulis selalu termotivasi secara ideologis.  tidak disadari dengan seperti ini kita bisa meneroka ceruk-ceruk baru baik itu tentang values, ideologi, dan penggunaan thesis statement.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic