(Still Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony)
Malam semakin
larut, mata ini masih selalu ingin terjaga bukan karena menunggu kabar dari
seseorang, bukan karena acara televisi yang aku tunggu-tunggu atau apapun itu,
yang pasti tugas, karya ilmiah bahkan tulisan akademik ini akan selalu menemani
malam-malamku. Dingin, tak seperti di Cirebon, menyempatkan pulang kampung
memang memberikan efek yang sangat luar biasa untuk hati ini, benar saja ketika
di kampung halaman hanya tumbuhan hijau yang bisa kita lihat, pohon, sawah,
burung yang berkicau dan udara yang masih sejuk yang tidak tercemari volusi
memberikan kenyamanan untuk otak ini, seperti menemukan hal baru, mengingat di
tempat saya kuliah hanya di hiasi oleh gedung-gedung, pusat perbelanjaan, dan
kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang membuat hati dan pikiranpun jauh dari
kesan damai.
Teringat akan
nasehat dari guru besarnya dosen saya “Mr.Bumela” untuk lebih berkarib dengan
sepi. Berkariblah dengan sepi, sebab dalam
sepi ada [momen] penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah dicari. Dalam sepi
ada berhenti dari menerima ramainya stimulus yang memborbardir indera kita.
Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu satu untuk ditafakuri, lalu
dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita. Bila tidak mereka hanya dengungan
yang bising di kepala saja tak mengendap menjadi sesuatu yang mengizinkan kita
memahami dunia di sekitar kita [sedikit] lebih baik. Berkariblah dengan sepi,
sejak dalam sepi kita menemukan diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran
ketika beredar dalam ramai; dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang
diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang jelas untuk dilihat
tanpa harus memuaskan keinginan yang lain. Berkariblah dengan sepi karena dalam
sepi berlalu lalang inspirasi yang tak kita mengerti, atau tak dapat kita
tangkapi ketika kita sibuk berjalan dalam hingar yang pekak. Berkariblah dalam
sepi sebab dalam sepi suara hati lebih nyaring terdengar jernih. (Budi
Hermawan)
Critical review minggu lalu cukup membuat saya banyak berpikir keras,
apakah critical review sesulit itu? Apakah saya akan terus stak di
bagian-bagian yang seharusnya TIDAK sesulit itu? Entahlah... jangankan dalam
segi criticalnya, hasil pemahaman yang saya dapat pun tidaklah sesuai dengan
apa yang seharusnya di kritik dalam teks Classroom Discourse Religion
Harmony.
Kita flashback dulu ke minggu lalu, bahwa menurut Ken Hyland
mengatakan bahwa Literacy is something we do yang artinya literasi adalah sesuatu
yang harus kita lakukan. Contoh sesuatu yang harus kita lakukan adalah
membentuk Religion Harmony. Classroom Discourse Religion Harmony harus
ditata di dalam sekolah, jika classroom discourse adalah situs suci maka itu
artinya semua ini adalah sebuah ritual dan sacred site.
Classroom discourse
merupakan sebuah teks dan context yang akan mengalami complicated
kemudian akan melalui interaction. Dalam melalui interaksi ini setiap orang
pasti mempunyai alasan-alasan tertentu, contohnya seperti yang pertama :
background yang meliputi politk, ekonomi, dan education. Tetapi dalam sebuah
interaksi dalam education itu tidak boleh menyamakan background antara si
pengajar dengan yang di ajar, seperti yang di sampaikan oleh Betsy Rymes (2008)
: Those of us
who presume to “ teach” must not imagine that we know how each student begins to learn. Yang berarti bahwa seorang pengajar tidak boleh membayangkan bahwa
kita tahu bagaimana seorang siswa memulai belajarnya, apalagi menganggap cara mereka
memulai belajar sama dengan apa yang kita lakukan. Yang kedua adalah
communicative strakgies, dan yang terakhir adalah meaning-making practices yaitu
mencakup beberepa poin yakni –ideology, -values
dan –dicipline, sebenarnya diujung edukasi adalah values. Dan pada ujung
interaction kita akan bertemu dengan talk.
Mengidentifikasi classroom discourse dalam religion harmony dari
kemenag, mereka mengutamakan jenis modal interaksi yang ditempatkan di kelas
dan mutualitynya atau kesalingannya harus dibangun, bahwa religion harmony
harus side by side dengan achievement. Nilai dan toleransi kita harus sama-sama
besarnya.
Masalah agama dan keyakinan adalah sesuatu yang sangat sakral dan
tidak bisa dianggap sebagai pilihan, tetapi agama dan keyakinan adalah sebuah prinsip
hidup yang harus dipertahankan. Menurut the law of Indonesia, Malaysia, dan
singaphore mengenai agama bahwa agama itu tidak bisa dipasarkan kepada orang
sudah beragama.
Jadi kesimpulannya adalah kita flashback lagi ke literasi, literasi
adalah sesuatu yang kita lakukan, dan jika kita mengaitkannya dengan religion
harmony maka classroom discourse adalah situs yang suci yang kita sebut sebagai
ritual dan scred site. Classroom discourse religion harmony harus dijalankan di
sekolah. Nilai dan toleransi kita harus sama-sama besar dimana religion harmony
harus side by side dengan achivement dan mutualitynya atau kesalingannya harus
dibangun. Banyak permasalahan yang masih menjadi misteri di negara kita ini,
untuk menjadi orang yang kritis hukum maka kita harus menjadi seorang pemabaca
yang handal, yaitu pembaca yang bisa mengambil nilai dari suatu masalah. Di
Indonesia sendiri seorang reader yang memiliki kualitas yang tinggi masih
dibawah rata-rata negara lain, maka dengan kata lain kita harus meningkatkan
kembali cara membaca kita. Untuk menjadi Quality Reader, kita harus
menjernihkan hati dan pikiran, setelah menjadi pemabaca yang berkualitas maka
kita boleh menjadi menjadi penulis yang handal, karena penulis yang hebat itu
akan lahir setelah menjadi pembaca yang hebat.
Jika ada yang bertanya kenapa kita harus menulis? Maka jawabannya
simple saja, bahwa dengan menulis kita akan tahu bahwa seseorang diluar sana
juga sedang merasakan apa yang kita rasa, mereka akan tahu bahwa kita juga
sedang melakukan hal baik untuk dunia ini sama sepertinya, dan yang terpenting
adalah dengan menulis semua orang tidak akan merasa sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic