Malam selalu menjadi waktu yang tepat untuk mengukir
sejarah. Bukan karena udaranya yang terasa dingin menusuk tulang, tak ada
cahaya sang mentari, ataupun malam selalu identik dengan kegelapan, melainkan
karena bagiku malam adalah sepi yang bisa mendatangkan ide dan perasaan untuk
menyerang rasa malas.
Tersadar
bahwa mata kuliah Writing and Composition 4 ini sebuah reaksi reduksi dan
oksidasi atau lebih kita kenal dengan reaksi redoks. Sama-sama mengalami
penurunan dan peningkatan. Bila reduksi berarti penurunan biloks, tetapi dalam
mata kuliah Writing and Composition 4 ini merupakan penurunan daya tahan tubuh
akibat keseringan begadang. Begitupun dengan oksidasi yaitu peningkatan biloks
sementara dalam mata kuliah Writing and Composition 4 ini yaitu peningkatan
pengetahuan dan kemampuan menulis.
Hari selasa
lalu, pertemuan diawali dengan pembahasan mengenai critical review minggu lalu.
Critical review kami pada minggu lalu bisa dikatakan terjadi kesalahpahaman
kami terhadap teks. Tanpa kami sadari, kami telah terjebak oleh kata religious
harmony. Kami lebih membahas tentang religious harmony dari pada classroom
discoursenya. Padahal teks yang berjudul “classroom discourse to foster religious
harmony” karangan A. Chaedar Alwasilah tersebut sebenarnya intinya
membahas tentang classroom discourse. Dan yang lebih mengagetkan ternyata bukan
kelas kami saja yang terjebak, tapi kelas lainpun mengalami hal yang sama.
Menurut A.
Chaedar Alwasilah, religious harmony harus diterapkan terlebih dahulu di dalam
classroom discourse. Berbicara tentang classroom discourse, discoure merupakan
situs suci yang terdiri dari text dan context.
Discourse:
·
Text
·
Context :
berprilaku tidak seperti text, misalnya cara berpakaian
Kata kunci dari classroom discourse
ada pada interaksi. Interaksi yang dilakukan akan melibatkan participants. Oleh
karena itu classroom discourse itu complicated. Alasan mengapa classroom
discourse itu complicated:
1.
Background
Perbedaan background bisa berupa perbedaan pada
·
Polotik
·
Ekonomi
·
Education
·
Etnik, dan
sebagainya.
Bila
backgroundnya sudah berbeda, otomatis pendekatan interaksinya akan berbeda pada
setiap siswa. Maka perlu adanya classroom discourse yang tepat untuk menyatukan
perbedaan background tersebut.
2.
Communicative strategies
Communicative strategies disini merupakan perancangan
komunikasi yang dilakukan siswa terarah. Misalnya interaksi dosen dengan
mahasiswa. Ketika mahasiswa berbicara dengan dosen, tentunya akan menggunakan
bahasa yang berbeda dengan ketika berbicara dengan teman-temannya. Bahasa yang
digunakan akan terdengar lebih lembut, sopan dan enak di dengar.
3.
Meaning-making
practices
Meaning-making practices terjadi karena
·
Ideology : merupakan sets of believe kita
·
Values :
semakin kita berusaha untuk belajar itu akan semakin bagus
Seperti
yang kita ketahui bahwa proses educating itu ujung-ujungnya adalah values. Baik
itu tertulis atau tidak. Contoh yang tertulis yaitu ketika kita telah
menyelesaikan UAS di sekolah, kemudian kita akan diberi rapot yang didalamnya
terdapat nilai-nilai tertulis hasil belajar kita selama satu semester. Sementara
yang tidak tertulis bisa berupa hikmah dari sebuah kejadian.
Teringat minggu lalu ketika Mr. Lala
Bumela membahas tentang perbedaan tingkat kedisiplinan di Indonesia dan
Australia. Tentu saja sangat berbeda. Seperti yang banyak orang ketahui bahwa
Australia sangat terkenal dengan kedisiplinannya. Misalnya saja siswa-siswa di
Australia akan menjaga kebersihan di kelasnya dan tidak akan ribut ketika masuk
dan keluar kelas. Sementara di Indonesia, masih sering siswa-siswa membuang
sampah di kelasnya dan sudah menjadi kebiasaan bila siswa-siswa selalu ribut
ketika masuk dan keluar kelas.
Kembali ke pembahasan critical
review. Ketika ingin menulis critical review, pertama-tama kita harus tahu kita
akan mulai menulis darimana kemudian kita juga harus tahu apa yang akan kita
kritik. Jika kita tidak mengetahui semua
itu, bagaimana kita akan menulis sebuah
critical review yang luar biasa.
Bila kita lihat hasil critical
review kami pada minggu lalu, terdapat banyak sekali kekurangan. Diantaranya:
1)
Inti dari teksnya
kurang kita kuasai
2)
Sudut pandang dari
kemenagnya tidak ada
3)
Kita belum bisa
berubah dari reader ke quality reader. Dan untuk menjadi quality reader
syaratnya yaitu kita harus menjernihkan hati terlebih dahulu.
Menarik sekali karena pada minggu
lalu Mr. Lala Bumela membahas tentang agama. Seperti yang kita ketahui bahwa
agama ini sangat tidak menyukai islam. Banyak golongan yang berusaha untuk
menghancurkan islam. Salah satu contohnya yaitu kasus Jonnas Rivanno dan
Asmirandah. Tapi selain itu, saya juga pernah menemui kasus yang serupa. Seorang
dokter (muslim) menikah dengan wanita (non-muslim). Kemudian wanita tersebut
menjadi mualaf. Tapi setelah mereka menikah sekitar dua tahun, mereka
memutuskan untuk murtad. Kejadian ini sungguh sangat mempermainkan agama. Prinsip
agama tersebut yaitu 3D (Dipacari, Dihamili, Di non-muslimkan).
Berbicara mengenai agama ataupun
keyakinan merupakan sesuatu yang sakral dan tidak bisa dikatakan pilihan. Tapi agama
dan kepercayaan merupakan sebuah prinsip hidup yang wajib dipertahankan karena
itu merupakan sesuatu yang secara langsung berhubungan dengan sang maha
pencipta.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
religious harmony terlebih dahulu harus diterapkan di dalam classroom
discourse. Discourse merupakan situs suci yang terdiri dari text dan context. Kata
kunci dari classroom discourse itu berada pada interaksi dan melibatkan
participants. Selain itu, untuk masalah agama, seharusnya dengan rasa toleransi
yang tinggi, perbedaan agama bukanlah suatu masalah yang besar. Biarkan agamaku
menjadi agamaku dan agamamu menjadi agamamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic