APPETIZER
ESSAY
Ilmu pengetahuan pun
semakin berkembang, sumber ilmu pengetahuan pun harus terus diperbaharui. Ilmu
pengetahuan tersebut dapat terealisasikan melalui sebuah karya tulis. Penulis merupakan faktor penting dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Kemampuan
menulis di Negara kita Indonesia masih sangatlah rendah. Ketidakbiasaan bangsa Indonesia dalam hal
menulis merupakan faktor yang memicu bangsa Indonesia merasa sulit untuk
menulis. Kemampuan pendidik dalam
mencetak generasi Indonesia sebagai penulis pun patut dipertanyakan. Agar generasi Indonesia mampu menjadi seorang
penulis, tentu saja latar belakang pendidiknya pun harus seorang yang mahir
dalam hal menulis. Kemampuan menulis
generasi Indonesia pun harus terus diasah. Dengan latar belakang pendidik yang mahir
dalam menulis, maka ia pun akan mampu untuk membimbing para siswanya agar
memiliki kemampuan menulis yang baik.
Kemampuan bangsa
Indonesia dalam hal menulis di tingkat perguruan tinggi pun menjadi masalah yang cukup besar dalam dunia
pendidikan. Masalah ini pun memancing A.
Chaedar Alwasilah sebagai seorang penulis menyuarakan opininya dalam salah satu
surat kabar Pikiran Rakyat pada tanggal 29 Februari 2012. Dalam surat kabar tersebut, Chaedar menuliskan
bahwa menurut Dirjen pada saat ini jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi
Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia. Untuk mengimbangi Malaysia, Indonesia harus
bisa menerbitkan 10 kali lipat dari jumlah buku yang diterbitkan oleh Malaysia
pertahunnya. Ini merupakan salah satu
bukti jika kemampuan menulis di Indonesia masih sangatlah rendah jika
dibandingkan Negara tetangga. Masalah ini merupakan masalah kita bersama
selaku bangsa Indonesia.
Kemampuan menulis
peserta didik di Indonesia masih sangat minim. Guru sebagai pencetak generasi bangsa,
merupakan seseorang yang harus melakukan perubahan tersebut. Kemampuan menulis seseorang, sangat bergantung
kepada guru yang mengajarnya. Seorang
guru harus bisa membiasakan para siswanya tentang hal menulis, agar ketika
siswa tersebut dituntut untuk bisa menulis mereka akan terbiasa dan tidak
terlalu banyak mengalami kesulitan. Ini
menjadi keharusan bagi seorang guru untuk mengasah dan mengembangkan kemampuan
menulis siswanya sejak dini. Kemampuan
menulis seseorang merupakan hasil dari kemampuan membaca seseorang tersebut.
Sebelum menulis,
tentunya ia harus memahami terlebih dahulu tentang teks bacaan yang ia baca. Untuk menjadi seorang penulis yang handal,
tentunya kita juga harus menjadi seorang pembaca yang kritis. Sayangnya juga, bangsa Indonesia bukan termasuk
dalam pembaca kritis. Hal ini mengundang
A. Chaedar Alwasilah menuliskan opininya
dalam sebuah surat kabar The Jakarta Post tanggal 14 Januari 2012. Menurut survei Chaedar terhadap mahasiswa
Bandung, kebanyakan mahasiswa cenderung sulit untuk memahami tentang teks yang
mereka baca. Mereka cenderung
menyalahkan diri mereka sendiri, mereka mengira teks yang mereka baca tersebut
terlalu tinggi bahasanya, kurangnya konsentrasi saat membaca, dan mengevaluasi diri
mereka tidak dapat berinteraksi dengan teks.
Salah satu faktor yang
menyebabkan ketidak kritisan seorang pembaca adalah karena mereka tidak
terbiasa membaca. Seperti yang
penelitian Karsen (1984) bahwasannya di perguruan tinggi AS menunjukan bahwa mereka
yang mahir menulis adalah karena keterbiasaan mereka membaca disekolah sebelum
masuk perguruan tinggi. Keterbiasaan
membaca sejak dini merupakan proses untuk menghasilkan para pembaca kritis. Kesukaan mereka terhadap membaca karya-karya
sastra dan buku-buku ilmu pengetahuan akan melatih mereka untuk berpikir dan
memahami tentang apa yang sedang mereka baca. Kehausan mereka tentang ilmu pengetahuan akan
menjadikan mereka sebagai sosok yang serba ingin tahu dan berpikir untuk
mencari bahan bacaan baru dan menganalisisnya. Secara tidak langsung sifat menganalisis
tersebut akan membiasakan mereka untuk berpikir kritis tentang suatu hal. Kebiasaan membaca sejak dini merupakan proses
untuk menghasilkan para pembaca kritis.
Kemampuan membaca
seseorang akan menentukan kekuatan tulisannya.
Pengetahuan terakumulasi melalui membaca, sementara menulis adalah
menempatkan pengetahuan ke dalm kertas. Membaca
dan menulis layaknya seperti dua sisi mata uang tak bisa dipisahkan. Kemampuan membaca seseorang adalah akan
berdampak pada kemampuan menulisnya. Seorang
pembaca kritis, tentunya bisa menjadi seorang penulis kritis pula. Pemahamannya tentang sebuah teks, akan
mengantarkan dia untuk menjadi seorang penulis, karena pembaca yang kritis akan
mengolah pikirannya untuk menciptakan
suatu ilmu pengetahuan yang baru dan mampu menghasilkan sebuah karya tulis.
Bangsa Indonesia belum
menjadi pembaca kritis, hal ini pun menarik C.W.Watson mengutarakan pendapatnya
tentang tulisan A. Chaedar Alwasilah pada surat kabar yang sama The Jakarta
Post, 11 February 2012. Bukanlah pembaca
kritis. Hal ini menjadi salah satu
hambatan siswa menghadapi kesulitan dalam membaca teks akademis , baik tertulis
awalnya dalam bahasa Indonesia atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
atau disajikan kepada mereka dalam bahasa Inggris. Watson melihat, bahwa mahasiswa UPI tidak
mampu mengidentifikasi tema utama potongan prosa Indonesia langsung dalam
pemeriksaan pilihan ganda. Hal ini
merupakan salah satu bukti bahwa mahasiswa di Indonesia belum mampu
menganalisis teks yang menggunakan bahasa Indonesia sendiri. Bagaimana mahasiswa tersebut mampu
menganalisis teks yang berbahasa asing, jika teks yang berbahasa Indonesia
sendiri mereka mengalami kesulitan ketika menganalisisnya. Penyebabnya kesulitan ini, karena mereka
tidak terbiasa membaca ketika berada di tingkat SMA. Ketidakmampuan guru merupakan menjadikan
siswa yang kritis dalam membaca dan menulis merupakan suatu hal yang harus
segera dirubah agar siswa Indonesia pun bisa menjadi orang yang sukses dalam
membaca dan menulis kritis.
Buku merupakan salah
satu media yang amat penting dalam dunia pendidikan. Salahnya, dosen yang mendapatkan PhD diluar
negeri terlalu egois, mereka cenderung memilih buku dari luar negeri sebagai
acuan bahan ajar. Hal ini membuat
mahasiswa tidak mengerti dan tidak memahami apa yang mereka baca. Seharusnya mereka yang PhD tersebut mampu
menghasilkan karya dengan menggunakan bahasa Indonesia, bukannya
merekomendasikan buku dari luar negeri.
Dengan begitu mahasiswa Indonesia bisa mengerti dan memahami proses
belajar dengan buku yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Dari ketiga teks
tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan membaca dan menulis mahasiswa
Indonesia masih sangat rendah .
Ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam hal membaca dan menulis
diperguruan tinggi menjadi masalah yang cukup besar dalm dunia pendidikan. Kemampuan menulis siswa sangat bergantung
pada kemampuan gurunya. Seorang guru
harus tersebut harus mampu membimbing, mengembangkan, dan mengasah kemampuan
menulis siswanya. Tentu saja guru
tersebut mempunyai tingkat kemampuan menulis yang handal. Selain tingkat kemampuan menulis yang masih
sangat rendah, kemampuan membaca siswa pun masih minim. Siswa cenderung sulit memahami teks yang
mereka baca. Kesulitan siswa dalam hal
membaca dan menulis, disebabkan ketidak terbiasaan siswa membaca dan menulis ketika di tingkat
SMA. Kemampuan menulis siswa tergantung
pada kemampuan membacanya. Seorang
pembaca kritis, tentunya akan bisa mengantarkan dia menjadi seorang penulis
kritis. Tentunya kita harus mampu
memahami teks Indonesia terlebih dahulu, sebelum kita bisa memahami teks
berbahasa asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic