Appetizer
Essay
Tujuan
ditulisnya teks ini adalah untuk memberikan respon dan opini terhadap artikel
milik A. Chaedar Alwasilah dalam bukunya “Pokoknya Rekayasa Literasi” pada
halaman 186 s.d. 194 yang berisikan tiga buah wacana yang berjudul (Bukan) Bangsa Penulis; Powerful Writers
versus the Helpless Readers; dan Learning and Teaching Process : More about
Readers and Writers. Dalam wacananya, Chaedar mengedapankan permasalahan
bahwa mayoritas sarjana lulusan Perguruan Tinggi tidak bisa menulis dan bahkan
para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Sungguh ironis memang dimana
kebijakan Ditjen Dikti Kemendikbud yang mewajibkan mahasiswa menulis dan
mempublikasikan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan telah menuai polemik.
Banyak yang tidak setuju, namun tidak sedikit pula yang mendukung.
Bagaimana
tidak menuai polemik apabila kebijakan ini “mengancam” mahasiswa dan dosen,
dimana untuk program Sarjana mahasiswa harus menghasilkan makalah yang terbit
di jurnal ilmiah, sedangkan pada program Magister dituntut untuk menghasilkan
makalah yang terbit di jurnal ilmiah yang terakreditasi Dikti, dan pada program
Doktor dituntut untuk menghasilkan makalah yang
terbit di jurnal internasional. (Viva News Senin, 13 Februari 2012).
Kebijakan Ditjen Dikti Kemendikbud ini sangat bagus untuk “mendongkrak” karya
ilmiah Indonesia yang digembor-gemborkan tertinggal jauh oleh Malaysia. Namun
kenyataannya apakah sistem di Indonesia telah sesuai? Pendidikan tinggi baik
negeri maupun swasta di Indonesia pada umumnya masih mengedepankan pada nila
Indeks Prestasi Kumulatf (IPK) dan cenderung mengabaikan kompetensi.
Sistem
IPK menjadi penilaian dasar atau pintu untuk memasuki jenjang pendidikan
selanjutnya atau untuk memasuki dunia kerja yang sekarang ini telah menjadi
“primadona” dimana banyak kalangan mahasiswa yang mengejar unruk mendapatkan
IPK diatas 3,50 bahkan 4,00. Hal yang terpenting adalah pertanggungjawaban
orang yang memiliki IPK tersebut dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat
ke dalam dunia nyata atau dalam dunia kerja. Tidak sedikit orang yang memiliki
nilai IPK tinggi “terlindas” oleh orang-orang yang memiliki IPK “pas-pasan”,
namun ia memiliki keahlian maupun keterampilan yang lebih tinggi dari
orang-orang yang hanya memiliki nilai IPK besar. Dalam kenyataannya, sudah
dapat dipastikan apabila seorang mahasiswa “dekat” dengan dosennya pasti ia
layak untuk mendapatkan nilai IPK yang besar walaupun terkadang cenderung
mengabaikan kompetensi. Inilah yang seharusnya dibenahi dan dijadikan
“Pekerjaan Rumah” dosen-dosen kita.
Lalu mengapa harus artikel jurnal yang dijadikan sebagai syarat kelulusan? Selama ini untuk menentukan persyaratan kelulusan bagi para mahasiswa diserahkan sepenuhnya kepada Universitas atau Perguruan Tinggi masing-masing. Biasanya mahasiswa dituntut untuk menyelesaikan sejumlah SKS dan telah melaksanakan program akademik maupun administratif yang telah ditentukan Perguruan Tinggi masing-masing. Hal ini telah secara jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah no 66 tahun 2010 pasal 58F. Lalu bagaimanakah dengan Surat Edaran Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 apakah dapat dijadikan sumber hukum? Seharusnya semua peraturan-peraturan Dikti haruslah mengacu pada peraturan pemerintah yang berwenang berada di atasnya. Apabila kebijakan ini sangatlah penting mengapa tidak dijadikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) seperti PP nomor 66 tahun 2010 itu? Ataukah sama halnya seperti yang dikatakan Chaedar bahwa Dirjen merasa “jengkel” terhadap lulusan sarjana dan dosen-dosen yang tidak dapat menulis? Mengapa Dirjen membandingkan jumlah karya ilmiah Perguruan Tinggi Indonesia dengan Malaysia? Sedangkan saat ini kita ketahui konflik anatar dua negara ini sangat sensitif. Jangan sampai surat edaran ini dianggap hanya sebagai “gengsi” belaka.
Lalu mengapa harus artikel jurnal yang dijadikan sebagai syarat kelulusan? Selama ini untuk menentukan persyaratan kelulusan bagi para mahasiswa diserahkan sepenuhnya kepada Universitas atau Perguruan Tinggi masing-masing. Biasanya mahasiswa dituntut untuk menyelesaikan sejumlah SKS dan telah melaksanakan program akademik maupun administratif yang telah ditentukan Perguruan Tinggi masing-masing. Hal ini telah secara jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah no 66 tahun 2010 pasal 58F. Lalu bagaimanakah dengan Surat Edaran Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 apakah dapat dijadikan sumber hukum? Seharusnya semua peraturan-peraturan Dikti haruslah mengacu pada peraturan pemerintah yang berwenang berada di atasnya. Apabila kebijakan ini sangatlah penting mengapa tidak dijadikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) seperti PP nomor 66 tahun 2010 itu? Ataukah sama halnya seperti yang dikatakan Chaedar bahwa Dirjen merasa “jengkel” terhadap lulusan sarjana dan dosen-dosen yang tidak dapat menulis? Mengapa Dirjen membandingkan jumlah karya ilmiah Perguruan Tinggi Indonesia dengan Malaysia? Sedangkan saat ini kita ketahui konflik anatar dua negara ini sangat sensitif. Jangan sampai surat edaran ini dianggap hanya sebagai “gengsi” belaka.
Seperti
yang disampaikan Chaedar bahwa setiap artikel jurnal hanya sekitar 15-20
halaman. Namun bisa dibayangkan apabila satu Perguruan Tinggi Negeri dalam satu
tahun terdapat lulusan 1000 orang dan dari 1000 orang itu membuat jurnal 20
halaman, maka dibutuhkan 20.000 halaman untuk membuat karya ilmiah itu. Itu
hanya satu Perguruan Tinggi Negeri. Indonesia memiliki banyak Perguruan Tinggi
baik negeri maupun Swasta. Dapat dibayangkan siapa yang sanggup menyiapkan
jurnal sebanyak itu? Dapat dibayangkan pula berapa biaya percetakan yang harus
dikeluarkan? Lalu siapa yang akan membaca “tumpukan” jurnal yang menggunung
itu? Jangan sampai karya ilmiah mahasiswa berakhir menjadi “sampah” belaka.
Benar seperti yang dikatakan Chaedar bahwa rasanya tidak tepat mewajibkan
mahasiswa S1 dan S2 untuk menulis artikel jurnal sebagai syarat kelulusan. Ini
hanya akan menyebabkan penumpukan mahasiswa di akhir program akademiknya.
Sebaliknya, kebijakan idealnya diterapkan pada dosen-dosen yang sedang
menggeluti pendidikan S3.
Kebijakan
Dikti ini memang sangat penting dalam rangka
mendongkrak budaya menulis di kalangan mahasiswa dan dosen. Akan tetapi
kebijakan tersebut harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan jangan
dipaksakan. Apabila dipaksakan maka hasilnya tidak akan maksimal, bahkan akan
maraknya jurnal “asal-asalan”, plagiator dan calo karya ilmiah. Oleh karena itu
sebaiknya kebijakan ini dilakukan secara bertahap sehingga perlu dilakukan
pembenahan dalam berbagai aspek.
Seperti
yang telah disampaikan Chaedar bahwa untuk memproduksi mahasiswa dan dosen yang
produktif menulis, maka perlunya pembenahan pembelajaran baca tulis yang benar
di tingkat SMA. Mengapa pada masa SMA kita memiliki guru favorit, menyukai
suatu mata pelajaran, serta alasan apa yang menyebabkan guru yang bersangkutan
diidolakan? Ini sedikit menjawab bahwa seorang pelajar SMA tidak menyukai suatu
pelajaran dikarenakan gurunya tidak berkompetensi. Bagaimana muridnya mahir
dalam menulis sedangkan gurunya tidak bisa menulis.
Dalam
mmenulis, faktor membaca sangatlah penting. “Extent of your reading determines
the power of your writing”. Semakin banyak membaca maka semakin luas
pengetahuan seseorang. Dengan begitu seharusnya ia dapat menuliskannya di
kertas tentang pengetahuan yang ia miliki. Prasyarat untuk mahir menulis dalam
bahasa asing misalnya dalam bahasa Inggris, maka kita harus mahir terlebih
dahulu dalam bahasa Indonesia. Mahasiswa dan pelajar SMA dituntut untuk mampu
menulis jauh lebih baik dari angkatan-angkatan mereka sebelumnya. Tidak hanya
mahasiswa dan pelajar yang harus banyak menulis, namun guru-guru dan
dosen-dosennya pun harus banyak menulis menciptakan buku-buku baru untuk anak
didiknya dan tidak lagi mengimpor buku dari luar.
Dengan
demikian, sistem pendidikan di Indonesia haruslah segera diupgrade, bukan
semata-mata hanya untuk mengejar nilai namun kualitas dan kompetensi harus
tetap diperhatikan. Dengan banyak membaca dan menulis, dapat dipastikan suatu
saat nani akan muncul penulis-penulis muda yang akan menjadi penulis-penulis
intelektual. Dengan begitu Indonesia yang maju akan dapat segera tercipta
karena literasi akan membangun cara berpikir kritis bagi penduduknya. Dengan
pengesahan kurikulum 2013 yang baru ini, diharapkan para peserta didik mampu
berbicara, mendengarkan, memahami, membaca, serta menulis dengan standar yang
baik. Pada kurikulum ini, kompetensi kelulusan peserta didik mencangkup ke
dalam tiga ranah kompetensi yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
tentunya dapat diaplikasikan dalam budaya membaca dan menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic