We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Kamis, 13 Februari 2014

Ada Apa Dengan Menulis?

Appetizer Essay

Tujuan ditulisnya teks ini adalah untuk memberikan respon dan opini terhadap artikel milik A. Chaedar Alwasilah dalam bukunya “Pokoknya Rekayasa Literasi” pada halaman 186 s.d. 194 yang berisikan tiga buah wacana yang berjudul (Bukan) Bangsa Penulis; Powerful Writers versus the Helpless Readers; dan Learning and Teaching Process : More about Readers and Writers. Dalam wacananya, Chaedar mengedapankan permasalahan bahwa mayoritas sarjana lulusan Perguruan Tinggi tidak bisa menulis dan bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Sungguh ironis memang dimana kebijakan Ditjen Dikti Kemendikbud yang mewajibkan mahasiswa menulis dan mempublikasikan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan telah menuai polemik. Banyak yang tidak setuju, namun tidak sedikit pula yang mendukung.
            Bagaimana tidak menuai polemik apabila kebijakan ini “mengancam” mahasiswa dan dosen, dimana untuk program Sarjana mahasiswa harus menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah, sedangkan pada program Magister dituntut untuk menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah yang terakreditasi Dikti, dan pada program Doktor dituntut untuk menghasilkan makalah yang  terbit di jurnal internasional. (Viva News Senin, 13 Februari 2012). Kebijakan Ditjen Dikti Kemendikbud ini sangat bagus untuk “mendongkrak” karya ilmiah Indonesia yang digembor-gemborkan tertinggal jauh oleh Malaysia. Namun kenyataannya apakah sistem di Indonesia telah sesuai? Pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia pada umumnya masih mengedepankan pada nila Indeks Prestasi Kumulatf (IPK) dan cenderung mengabaikan kompetensi.
Sistem IPK menjadi penilaian dasar atau pintu untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya atau untuk memasuki dunia kerja yang sekarang ini telah menjadi “primadona” dimana banyak kalangan mahasiswa yang mengejar unruk mendapatkan IPK diatas 3,50 bahkan 4,00. Hal yang terpenting adalah pertanggungjawaban orang yang memiliki IPK tersebut dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat ke dalam dunia nyata atau dalam dunia kerja. Tidak sedikit orang yang memiliki nilai IPK tinggi “terlindas” oleh orang-orang yang memiliki IPK “pas-pasan”, namun ia memiliki keahlian maupun keterampilan yang lebih tinggi dari orang-orang yang hanya memiliki nilai IPK besar. Dalam kenyataannya, sudah dapat dipastikan apabila seorang mahasiswa “dekat” dengan dosennya pasti ia layak untuk mendapatkan nilai IPK yang besar walaupun terkadang cenderung mengabaikan kompetensi. Inilah yang seharusnya dibenahi dan dijadikan “Pekerjaan Rumah” dosen-dosen kita.
            Lalu mengapa harus artikel jurnal yang dijadikan sebagai syarat kelulusan? Selama ini untuk menentukan persyaratan kelulusan bagi para mahasiswa diserahkan sepenuhnya kepada Universitas atau Perguruan Tinggi masing-masing. Biasanya mahasiswa dituntut untuk menyelesaikan sejumlah SKS dan telah melaksanakan program akademik maupun administratif yang telah ditentukan Perguruan Tinggi masing-masing. Hal ini telah secara jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah no 66 tahun 2010 pasal 58F. Lalu bagaimanakah dengan Surat Edaran Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 apakah dapat dijadikan sumber hukum? Seharusnya semua peraturan-peraturan Dikti haruslah mengacu pada peraturan pemerintah yang berwenang berada di atasnya. Apabila kebijakan ini sangatlah penting mengapa tidak dijadikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) seperti PP nomor 66 tahun 2010 itu? Ataukah sama halnya seperti yang dikatakan Chaedar bahwa Dirjen merasa “jengkel” terhadap lulusan sarjana dan dosen-dosen yang tidak dapat menulis? Mengapa Dirjen membandingkan jumlah karya ilmiah Perguruan Tinggi Indonesia dengan Malaysia? Sedangkan saat ini kita ketahui konflik anatar dua negara ini sangat sensitif. Jangan sampai surat edaran ini dianggap hanya sebagai “gengsi” belaka.
Seperti yang disampaikan Chaedar bahwa setiap artikel jurnal hanya sekitar 15-20 halaman. Namun bisa dibayangkan apabila satu Perguruan Tinggi Negeri dalam satu tahun terdapat lulusan 1000 orang dan dari 1000 orang itu membuat jurnal 20 halaman, maka dibutuhkan 20.000 halaman untuk membuat karya ilmiah itu. Itu hanya satu Perguruan Tinggi Negeri. Indonesia memiliki banyak Perguruan Tinggi baik negeri maupun Swasta. Dapat dibayangkan siapa yang sanggup menyiapkan jurnal sebanyak itu? Dapat dibayangkan pula berapa biaya percetakan yang harus dikeluarkan? Lalu siapa yang akan membaca “tumpukan” jurnal yang menggunung itu? Jangan sampai karya ilmiah mahasiswa berakhir menjadi “sampah” belaka. Benar seperti yang dikatakan Chaedar bahwa rasanya tidak tepat mewajibkan mahasiswa S1 dan S2 untuk menulis artikel jurnal sebagai syarat kelulusan. Ini hanya akan menyebabkan penumpukan mahasiswa di akhir program akademiknya. Sebaliknya, kebijakan idealnya diterapkan pada dosen-dosen yang sedang menggeluti pendidikan S3.
Kebijakan Dikti ini memang sangat penting dalam rangka  mendongkrak budaya menulis di kalangan mahasiswa dan dosen. Akan tetapi kebijakan tersebut harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan jangan dipaksakan. Apabila dipaksakan maka hasilnya tidak akan maksimal, bahkan akan maraknya jurnal “asal-asalan”, plagiator dan calo karya ilmiah. Oleh karena itu sebaiknya kebijakan ini dilakukan secara bertahap sehingga perlu dilakukan pembenahan dalam berbagai aspek.
Seperti yang telah disampaikan Chaedar bahwa untuk memproduksi mahasiswa dan dosen yang produktif menulis, maka perlunya pembenahan pembelajaran baca tulis yang benar di tingkat SMA. Mengapa pada masa SMA kita memiliki guru favorit, menyukai suatu mata pelajaran, serta alasan apa yang menyebabkan guru yang bersangkutan diidolakan? Ini sedikit menjawab bahwa seorang pelajar SMA tidak menyukai suatu pelajaran dikarenakan gurunya tidak berkompetensi. Bagaimana muridnya mahir dalam menulis sedangkan gurunya tidak bisa menulis.
Dalam mmenulis, faktor membaca sangatlah penting. “Extent of your reading determines the power of your writing”. Semakin banyak membaca maka semakin luas pengetahuan seseorang. Dengan begitu seharusnya ia dapat menuliskannya di kertas tentang pengetahuan yang ia miliki. Prasyarat untuk mahir menulis dalam bahasa asing misalnya dalam bahasa Inggris, maka kita harus mahir terlebih dahulu dalam bahasa Indonesia. Mahasiswa dan pelajar SMA dituntut untuk mampu menulis jauh lebih baik dari angkatan-angkatan mereka sebelumnya. Tidak hanya mahasiswa dan pelajar yang harus banyak menulis, namun guru-guru dan dosen-dosennya pun harus banyak menulis menciptakan buku-buku baru untuk anak didiknya dan tidak lagi mengimpor buku dari luar.
Dengan demikian, sistem pendidikan di Indonesia haruslah segera diupgrade, bukan semata-mata hanya untuk mengejar nilai namun kualitas dan kompetensi harus tetap diperhatikan. Dengan banyak membaca dan menulis, dapat dipastikan suatu saat nani akan muncul penulis-penulis muda yang akan menjadi penulis-penulis intelektual. Dengan begitu Indonesia yang maju akan dapat segera tercipta karena literasi akan membangun cara berpikir kritis bagi penduduknya. Dengan pengesahan kurikulum 2013 yang baru ini, diharapkan para peserta didik mampu berbicara, mendengarkan, memahami, membaca, serta menulis dengan standar yang baik. Pada kurikulum ini, kompetensi kelulusan peserta didik mencangkup ke dalam tiga ranah kompetensi yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang tentunya dapat diaplikasikan dalam budaya membaca dan menulis.     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic