Appetizer essay
Sebagaimana dilansir oleh harian
Pikiran Rakyat (28 Februari 2012) Dr. A. Chaeadar Alwasilah mengemukakan bahwa
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) terang-terangan memboikot aturan
tentang karya ilmiah. Sehubungan dengan dikeluarkannya aturan baru tentang hal
tersebut oleh Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012.
Peraturan yang dikeluarkan oleh
Dirjen Pendidikan Tinggi dilatar belakangi oleh keprihatinan karena mayoritas
sarjana lulusan Perguruan Tinggi (PT) tidak dapat menulis bahkan dosennya pun
demikian. Jelas hal tersebut membuat Dirjen Pendidikan Tinggi geram. Jika
dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia kalah jauh dalam hal penerbitan buku
pertahunnya. Malaysia dapat menerbitkan buku 80 ribu judul pertahunnya
sedangkan Indonesia hanya 8 ribu judul pertahunnya.
Menulis artikel jurnal yang dihimbau
oleh Dirjen Pendidikan Tinggi merupakan literasi tingkat tinggi. Artikel jurnal
sebagai duplikasi berkala dan membahas keilmuan yang sedang menjadi tren akan
memberikan dampak bagi kalangan kampus untuk senantiasa membangun komunikasi
dengan masyarakat keilmuan yang ada dalam rumpunnya. Hal ini menjadi penting
agar tidak ketinggalan informasi. Maka, di kelas-kelas pembelajaran dosen
senantiasa akan menyampaikan proses keilmuan yang mutahir. Bukan ilmu yang
sekedar dari waktu ke waktu sama saja.
Jurnal dikelola oleh tim yang ahli
dalam keilmuan tertentu. Adanya blind reviewer bertugas untuk membaca
setiap naskah yang masuk dengan identitas penulis naskah yang disembunyikan
agar penilaiannya objektif.
Dalam praktiknya, jumlah perguruan
tinggi yang tidak dapat dikatakan sedikit ternyata hanya ada sedikit jurnal
yang terakteditasi. Menurut Edukasi.kompasiana.com jurnal terakreditasi Dikti
Kemendikbud di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang meliputi Kalimantan, Bali,
Nusa Tenggara, Sulawesi sampai ke Papua hanya ada satu jurnal yang
terakreditasi oleh Dikti Kemendikbud. Jurnal itu dikelola di Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makasar. Selebihnya tidak ada. Jurnal
Pemikiran Islam al-Fikr terakreditasi sejak 2010. Tahun ini akan menempuh
reakreditasi. Sistem reakreditasi jurnal pola Kemendikbud sebelum 2013 jangka
waktu reakreditasi selama tiga tahun setelah itu harus dilakukan proses
reakreditasi dengan prosedur yang sama ketika pertama kali direakreditasi.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
artikel jurnal merupakan literasi tingkat tinggi oleh karenanya menulis artikel
jurnal tidak boleh asal garap. Mahasiswa dan dosen yang produktif menulis
adalah mereka yang sewaktu SMAnya banyak menbaca. Entah itu karya sastra atau
majalah (Krashen, 1984). Oleh karenanya diperlukan perbaikan baca-tulis di
tingkat SMA.
Dr. A. Chaedar Alwasilah
berhipotesis bahwa pendidikan bahasa kita telah gagal mengembangkan pembaca
kritis (The Jakarta Post, 14 Januari 2012). Survei yang dilakukan pada 40 siswa
matematika dan 60 siswa bahasa di Bandung, menemukan bahwa siswa tidak memahami
teks yang mereka baca dikarenakan mereka tidak memiliki latar belakang membaca
yang tepat, keahlian penulis yang sangat tinggi, teori yang terlalu rumit atau
mereka tidak bisa berkonsentrasi ketika membaca. Hasil survei tersebut
mencerminka bagaimana pendidikan bahasa terjadi di negara ini.
Tingkat membaca menentukan kekuatan
tulisan. Menurut sebuah penelitian (Good Man, 1982; Smith, 1988) pembaca fasih
menciptakan hipotesis terhadap teks yang akan mereka baca didasarkan pada apa
yang sudah mereka baca, pengetahuan mereka dalam bidang itu dan pengetahuan
mereka akan bahasa serta hanya menggunakan aspek tercetak yang mereka perlukan
untuk menegaskan hipotesis mereka.
Dr. Krashen mengatakan bahwa
penyembuhan dari krisis kemampuan baca tulis terletak pada melakukan suatu
kegiatan, kegiatan yang jarang dilakukan dalam kehidupan orang banyak, yaitu
membaca khususnya menyarankan untuk membaca buku dalam jenis tertentu. Membaca
secara bebas dan sengaja berarti menjalankan kegiatan membaca kerana mereka memang
menginginkannya.
Selain beberapa alasan mengapa siswa
menghadapi kesulitan membaca teks akademis yang dikemukakan oleh Dr. A. Chaedar
A. analisis yang dilakukan oleh Dr. Imam Bagus menunjukkan bukti yang
mengejutkan di luar yang dikemukakan oleh Dr. A. Chaedar A. (The Jakarta Post,
11 Februari 2012), alasan ketidakmampuan ini disebabkan oleh kurangnya
kompetensi guru yang mengajar siswa. Selain itu, adanya faktor kurikulum juga
turut andil dalam masalah ini. Guru-guru di sekolah dipaksa untuk mengikuti
kurikulum yang ada. Sistem secara keseluruhan secara aktif enggan memaksa siswa
untuk membaca dan menulis, akibatnya siswa tidak bisa menjadi pembaca yang
kritis dan penulis yang produktif.
Argument
Dalam kesempatan ini saya lebih
fokus tembahas tentang akar dari semua yang terjadi dalam dunia pendidikan
kita. Masalah tentang peraturan karya ilmiah yang ada di perguruan tinggi yang
akhirnya membuat Direktur Pendidikan Tinggi jengkel hingga mengeluarkan aturan baru tentang karya ilmiah Nomor
152/E/T/2012, jelas hal ini memicu pro dan kontra bahkan Asosiasi Perguruan
Tinggi Swasta (Aptisi) terang-terangan memboikot aturan ini.
Dikeluarkannya aturan baru tentang
karya ilmiah merupakan bentuk nyata keprihatinan Dirjen Pendidikan tinggi terhadap
sarjana lulusan perguruan tinggi yang tidak bisa menulis.
Selanjutnya, masalah lain yang
terjadi di dunia pendidikan kita adalah kesulitan yang di hadapi siswa saat
membaca teks akademik. Survei yang dilakukan kepada 100 siswa di Bandung oleh
Dr. A. Chaedar A. (The Jakarta Post, 14 Januari 2012) menemukan bahwa hal
tersebut dilatar belakangi oleh siswa tidak memiliki latar belakang membaca
yang tepat, keahlian penulis yang sangat tinggi, teori yang terlalu rumit atau
mereka tidak bisa berkonsentrasi saat membaca. Bahkan sumber lain menyebutkan
bahwa kompetensi guru dan kurikulum juga dapat berpengaruh.
Terlepas dari alasan tersebut,
koneksi membaca dan menulis merupakan pangkal dari semua yang terjadi. Tingkat
membaca menentukan kekuatan tulisan. Riset menunjukkan bahwa kita belajar menulis
lewat membaca. Untuk lebih tepatnya, kita memperoleh gaya penulisan, bahasa
khusus penulisan dengan membaca. Oleh kerena itu, masuk akal jika gaya
penulisan tidak dipelajari secara sadar melainkan umumnya diserap yang
diperoleh lewat membaca. Orang yang membaca dengan baik pasti akan bisa menulis
dengan baik pula kerena meraka secara tidak sadar mendapatkan gaya penulisan
yang baik. Jadi, semua permasalahan yang telah disebutkan di atas adalah dampak
dari krisis kemampuan baca tulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic