Budaya baca-tulis, sepertinya tidak
berlaku di Negara ini. Padahal, Negara ini memiliki beberapa nama yang dicap
sebagai penulis berbakat dan karyanya patut diacungi jempol. Namun, sejauh ini
saya belum pernah mendengar istilah “pembaca berbakat”. Sepertinya memang belum
ada kandidatnya atau mungkin tidak disadari keberadaanyya. Artikel-artikel
mengenai masalah ini pun sudah banyak memenuhi media masa. Lalu bagaimana
memecahkan persoalan tersebut? Bukannya tidak ada solusinya, akan tetapi
hasilnyalah yang tidak terlihat. Upaya penyelesaian untuk masalah ini sudah
banyak dicoba. Namun tidak banyak merubah keadaan yang sudah dibudayakan
seperti ini.
Dalam tulisan ini, saya bermaksud
untuk menanggapi artikel- artikel yang memuat tentang masalah tersebut.
Sebenarnya, ini sebuah keharusan yang tidak dapat dihindari. Tiga artikel, tiga
pembahasan namun satu topic, yaitu mengenai kegiatan baca-tulis di kalangan
pelajar. Artikel pertama berjudul “ (Bukan) Bangsa penulis” yang ditulis oleh
A. Chaedar alwasilah. Dalam artikel tersebut dikemukakan bahwa pelajar di
Indonesia khususnya para mahasiswanya dianggap kurang produktif dalam hal
menulis. Hal itu dibuktikan dengan hasil survey yang menunjukkan bahwa produksi
buku di Indonesia masih kalah bila dibandingkan dengan Malaysia. Hal itu
berdasarkan data yang akurat dan dapat dipercaya. Kebanyakan dari pelajar di
Negara kita tidak dibekali kemampuan menulis sejak dini. Sehingga hal tersebut
berpengaruh pada produktifitas buku. Meskipun demikian, penulis juga menuliskan
solusi dan perhitungan terhadap aktivitas tersebut.
Artikel kedua berjudul “Powerful
Writers versus the Helpless Readers” dan artikel tersebut pun ditulis oleh A.
Chaedar Alwasilah yang dipublikasikan melalui surat kabar The Jakarta Post.
Artikel tersebut juga mengemukakanpermasalahan yang serupa, yakni mengenai
kegiatan baca-tulis. Berbeda dengan artikel pertama, artikel kedua ini
memperlihatkan keterkaitan antara pembaca dan penulis dalam menanggapi sebuah
wacana, factor-faktor apa saja yang mempengaruhi problem tersebut serta tidak
ketinggalan selalu ada solusi yang diutarakan oleh penulis dalam masalah
tersebut. Penulis juga memaparkan beberapa sebab-akibat yang kemungkinan atau
bahkan tanpa kita sadari telah terjadi. Dalam wacana tersebut banyak indikasi
yang mengarah kepada pembaca sebagai tersangka penyebab masalah itu terjadi.
Padahal jika diusut lebih lanjut, kedua belah pihak patut bertanggung jawab
atas hal tersebut. Namun demikian, kita juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor
lain yang juga turut andil dalam hal ini.
Berikutnya merupakan artikel
terakhir yang berjudul “Learning and Teaching Process : More about Readers and
Writers” yang ditulis oleh CW Watson. Artikel ini merupakan bentuk tanggapan kepada
artikel “Powerful Writers versus the Helpless Readers” yang ditulis oleh A.
Chaedar Alwasilah. Artikel ini lebih menyorot kepada proses kegiatan baca tulis
secara akademik yang dilakukan oleh pelajar. Artikel ini juga menyertamertakan
kurikulum dan system belajar dalam proses belajar. Sehingga hal tersebut
menjadi pemicu minimnya perubahan secara kontras. Masalahnya ada pada kesalahan
terhadap sikap yang mempertahankan system yang kurang tepat dan efisien.
Sehingga para pelajar menjadi kesulitan dalam beradaptasi atau membiasakan diri
dengan budaya menulis.
Dari ketiga artikel tersebut, saya
menyimpulkan bahwa kegagalan dalam rangka membangun budaya baca-tulis
disebabkan oleh semua pihak yang bersangkutan. Dari ketiga artikel tersebut
kita dapat mengumpulkan tersangka-tersangka dari kasus ini. Yakni sebagai
berikut :
Ø Kebiasaan : seseorang akan kesulitan dalam
menulis atau merespon wacana jika tidak dibiasakan.
Ø Pembaca : Pembaca seharusnya dapat membekali
diri dengan wawasan atau pengetahuan yang dapat mempermudah dalam memahami
sebuah wacana.
Ø Penulis
: Penulis harus memperhatikan
kondisi pembaca dalam menanggapi sebuah wacana. Menyesuaikan tulisan tersebut
dengan standar yang dapat diikuti si pembaca.
Ø System
: Kita perlu menerapkan system
yang tepat dan tidak membebani pelajar.
Ø Media
: Media sangat diperlukan
untuk menampung tulisan-tulisan yang memang layak atau patut dipublikan, serta
kebenaran informasinya dapat diterima dan dipertanggungjawabkan.
Meskipun
demikian, menyalahkan pihak-pihak tertentu juga tidak sepenuhnya benar. Selain
itu, faktor-faktor tersebut juga tidak akan berguna tanpa kekompakan atau
keterkaitan kinerja antara faktor satu dengan yang lainnya. Dengan demikian,
saya yakin hal itu akan membawa setidaknya sedikit perubahan baik terhadap
perkembangan budaya baca-tulis di Negara kita. Kita tidak boleh puas dengan
adanya segelintir penulis berbakat yang tersorot dan terkemuka di Negara ini.
Jika dipikir lebih jauh, mereka berkilau dan dianggap berbakat karena
keberadaannya merupakan hal yang langka dan jarang. Itu artinya, di Negara ini
tidak memiliki banyak penulis untuk disaingkan.
Kesimpulan
dari semua yang saya tulis ini bahwa budaya baca-tulis merupakan sebuah
kebutuhan. Karena hal itu akan menjadi sebuah tolak ukur kualitas pengetahuan
seseorang sebagai masyarakat berpendidikan. Oleh kerena itu, kita harus
membiasakan budaya tersebut. Dengan demikian, tanpa kita sadari hal itu
merupakan proses pembentukan karakter seseorang dalam perluasan wawasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic