Semua orang bisa menulis, namun tidak semua orang bisa menulis
dengan baik. Hal ini karena kegiatan menulis membutuhkan ketrampilan, ‘bahan’
yang digunakan serta kemauan. Seperti
apa yang telah dikatakan oleh Jessamin west bahwa talent is helpful in writing,
but guts is essential. Untuk dapat menulis dengan baik serta mendapatkan
tulisan yang baik, sebaiknya ketiga hal tersebut ditanamkan sejak dini.
Menulis memang bukan kewajiban setiap orang namun merupakan
kewajiban bagi setiap orang yang terdidik. Seperti yang telah dipaparkan bapak
A. Chaedar Alwasilah pada artikelnya yang berjudul ‘(bukan) bangsa penulis’
bahwa untuk kelulusannya, mahasiswa harus menulis skripsi, tesis serta
disertasi dengan kekhasan bidang studi masing-masing. Maka sudah jelas bahwa
menulis adalah kewajiban bagi setiap orang yang terdidik.
Namun pada kenyataannya masalah muncul seperti yang bapak chaedar
sampaikan dalam artikelnya bahwa sarjana lulusan perguruan tinggi di Indonesia
tidak bisa menulis. Bahkan para dosennya pun tidak bisa menulis. Padahal untuk
bisa menulis seseorang harus punya bahan yang nantinya akan ia tulis. Bahan
untuk sebuah tulisan tentu saja pengetahuan yang didapatkan dari aktifitas
membaca.
Aktifitas menulis dan membaca tentu saja saling berkaitan karena
kita bisa mendapatkan pengetahuan lewat membaca dan pengetahuan tersebut yang
nantinya menjadi bahan untuk tulisan kita. Seperti yang bapak Chaedar sampaikan
bahwa kekutan tulisan kita tergantung pada apa dan berapa yang kita baca.
Karena saat membaca itu artinya kita sedang mengumpulkan pengetahuan dan
menulis adalah dimana kita meletakan pengetahuan tersebut ke dalam kertas.
Dari ketiga wacana yang telah saya baca, dua diantaranya membahas
mengenai masalah yang dihadapi dalam kegiatan menulis. Masalah yang paling
banyak saya temui mengenai membaca. Mengapa mahasiswa atau dosen kita tidak
bisa menulis. Jika dikaitkan dengan masalah yang dipaparkan dari ketiga artikel
tersebut jawabannya ialah karena mereka kurang membaca.
Beberapa media menyampaikan masalah yang melanda para mahasiswa di
Indonesia. Mereka sedang krisis pengetahuan karena mereka mulai kurang minat
membaca serta kurangnya bahan bacaan. Padahal yang saya tahu mahasiswa haruslah
banyak membaca, membaca, dan terus membaca. Selain untuk mencari bekal untuk
tulisannya nanti, juga sebagi pendukung teori yang telah ia sampiakn melalui
tulisannya.
Kurangnya minat membca di kalangan mahasiswa dikarenakan beberapa
hal. Dianataranya menurut Syarif Bando -Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan
Pengkajian Minat Baca Perpustakaan Nasiona- dikarenakan kurangnya bahan bacaan
disebabkan karena kurangnya produksi penulisan buku. Oleh karena itu Pihaknya
pun mengimbau kalangan akademisi untuk menggiatkan penulisan buku untuk
mendukung upaya peningkatan minat membaca baik di kalangan pelajar maupun
masyarakat. Lantas bagaimana produksi buku meningkat jika mahasiswa dan
dosennya saja tidak bisa menulis? Ini sungguh sangat memprihatinkan dunia
pendidikan di Indonesia.
Faktor lain yang mengurangi
minat membaca di kalangan mahasiswa yaitu seperti yang telah dipaparkan oleh
bapak Chaedar dalam artikelnya yang berjudul ‘ powerful writers versus the
helpless readers’ melalui survey yang dia lakukan ternyata pelajar ataupun
mahasiswa tidak bisa memahami bahan bacaan mereka. Mereka beranggapan bahwa
bahan bacaan mereka terlalu sulit untuk dipahami. Ada dua kemungkinan mengapa
ini bisa terjadi. Yang pertama, mereka kurang banyak membaca jadi mereka agak
terganggu dengan kosakata-kosa kata yang baru mereka dengar. Ataupun yang
kedua, bahan bacaan yang diberikan kepada mereka sebetulnya bukan untuk mereka.
Jangan sama ratakan antara
pembaca yang satu dengan pembaca yang lain. Tingkat pengetahuan mereka berbeda.
Membacapun harus bertahap. Kasus yang dipaparkan oleh Watson dalam artikelnya
bahwa banyak dosen yang merekomendasikan buku dari luar negri adalah salah satu
penyebab utama dari kurangnya minat membaca mahasiswa sekaligus kurangnya
produksi buku di Indonesia. Watson juga beranggapan bahwa dosen percaya buku
yang mereka rekomendasikan itu berkualitas dan akan mencetak mahasiswa yang
berkualitas pula. Namun ternyata yang terjaadi justru sebaliknya. Mahasiswa
tidak minat untuk membacanya.
Jika para pengajar percaya bahwa
buku impor lebih berkualiatas, lantas kapan kepercayaan diri bangsa ini tumbuh
untuk menghasilkan buku yang lebih berkualitas? Jika sudah terjadi krisis
kepercayaan diri seperti itu lalu kapan kita bisa unjuk gigi menghasilkan buku.
Dan kapan kita bisa member jalan keluar tentang kurangnya bahan bacaan jenis
buku?
Masalah tentang membaca dan
menulis yang melanda orang terdidik di Indonesia sangatlah rumit. Menulis butuh
ketrampilan khusus, kemauan, serta berlatih. Maka untuk mencetak generasi yang
literat kenapa tidak diterapkan saja kegiatan wajib menulis sejak usia dini.
Kegiatan wajib menulis disini
bukan seperti mahasiswa meulis skripsi pada tugas akhir perkuliahannya atau
menulis makalah seperti tugas akademik yang biasanya dibebankan kepada mahasiswa.
Karena menulis sama halnya dengan membaca. Bertahap. Karena menulis merupakan
kegiatan yang membutuhkan ketrampilan serta kemauan.
Kemauan dalam menulis dapat
tumbuh jika sudah biasa dilakukan. Seperti halnya pepatah jawa mengatakan
‘kwiting tresno jalara soko kulino. Lantas bagaimana menumbuhkan dan mengasah
kreatifitas?
Mengasah serta menumbuhkan
kreatifitas dapat dilakukan sejak dini. Penelitian yang Krahsen lakukan tentang
penulis produktif sebenarnya juga meberikan solusi yang selama ini menjadi
masalah para dosen dan mahasiswa. Jika mahasiswa atau dosen diharapkan untuk
bisa menulis maka perlu ditanamkan atau diterapkan kegiatan menulis sejak dini.
Penerapan kegiatan menulis sejak dini harus dibarengi dengan peningkatan minat
membaca.
Keduanya bisa diterapkan pada
jenjang sekolah menengah. Seharusnya pembelajaran di sekolah jangan hanya
berorientasi pada ujian nasional. Orientasi seperti ini yang sebenarnya
nantinya akan memunculkan calon-calon mahasiswa tidak bisa menulis. Yang mereka
tahu banyak membaca dan memecahkan soal. Padahal membaca tanpa menulis tidak
ada artinya. Ilmu yang kita dapatkan dari membaca dapat melayang seprti burung
jika tidak ditangkap dalam tulisan. Selain itu, kegiatan membaca hanya
mengumpulkan pengetahuan, namun tidak menjabarakan pengetahuan.
Jika terdapat dosen atau
mahasiswa yang tidak bisa menulis jangan hanya menyalahkan sepihak saja.
Berfikir kritis juga kan harus memandang dari segala sisi. Mahasiswa yang tidak
bisa menulis sewaktu sekolah dulu dia kurang diperkenalkan dengan dunia tulis menulis. Sedangkan dosen yang
tidak bisa menulis mungkin saat kuliah dahulu dia kurang biasa untuk menulus di
bidang akademik. Dia terbiasa menulis hanya saat skripsi. Jadi sebenarnya siapa
yang harus disalahkan ketika minat baca mahasiswa dan masyarakat kurang karena
kekurangan bahan bacaan. Kemudian siapa yang harus disalahkan ketika mahasiswa
atau dosen tidak bisa menulis.
Jadi menurut saya, jika
mahasiswa, dosen maupun orang-orang terdidik lainnya dituntut untuk bisa
menulis, maka akan lebih baik jika perkenalkan kegiatan membaca dan menulis
sejak dini. Padahal di sekolah jenjang menengah atas sudah ada ekstra kulikuler
yang mewadahi bagi siapa saja yang ingin menjadi penulis yaitu KIR. Langkah ini
sebenarnya dapat dijadikan langkah awal mencetak generasi penulis produktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic