Class review 3
Menyusuri Labirin Writing 4
Hatiku mungkin kalut, jiwaku
kalangkabut, tetapi kakiku tak pernah lelah melangkah, otakku tak pernah lelah
berpikir dan jemariku tak berhenti menulis. Tak pernah !. Angin di luar tak
pernah tahu jika selarut ini jemariku masih terus menari. Ia mungkin hanya
berhembus saja, lalu pergi dan ia tak menyadari jika hembusannya tadi turut
menemaniku untuk menggoreskan tinta hitam ini. Dengan segelap jiwa dan gara aku
memulai menyusuri libirin writing 4 ini.
Rabu, 19 Februari 2014. Lagi-lagi
langkah kakinya tak terdengar saat memasuki ruangan dan seketika itu juga
hormon adrenalin meningkat. Ini baru ketiga kalinya Mr. Lala memasuki ruangan
kelas kami, saat Mr. Lala bicara saat itulah perputaran otak dimulai.
Lagi. Kita tak akan pernah jauh-jauh
dari labirin menulis. Akan tetapi, dalam hal ini kita tidak membarang menulis.
Menulis dalam writing 4 ini kita diharuskan mampu menulis dalam multilingual
writing. Multilingual di sini berarti kita mampu menulis dalam lebih dari dua
bahasa. Di bawah level multilingual, terdapat level bilingual artinya mengusai
dua bahasa dan level yang paling dasar adalah monolingual yang berarti mampu
menguasai satu bahasa saja. Multilingual merupakan level tertinggi dalam pegusaan bahasa kerena
pada level ini dimana seseorang dapat mengusai minimalnya dua bahasa atau
bahkan lebih. Menjadi multilingual writer bukanlah sesuatu yang mudah mengingat
rata-rata mahasiswa hanya mengusai satu bahasa saja yakni bahasa Indonesia. Jelas
ini merupakan tantangan yang begitu besar bagi kami yang notabennya hanya
mengusai satu bahasa. Disamping itu, topik yang menjadi bahasannya adalah academic
writng yang sangat memerlukan pemikiran yang kritis.
Baru pertemuan ketiga, tetapi
rasanya tenaga terkuras habis oleh mata kuliah ini, oleh karenanya endurance
atau daya tahan sangatlah diperlukan guna menjaga semangat kita untuk terus
menulis dan menulis. Sebagai makanan pembuka (appetizer) Mr. Lala menyampaikan
bahwa menulis academic writing memiliki elemen yang perlu diperhatikan, yakni:
Cohesion atau pergerakan yang mengalir antara kalimat dan paragraf.
Clarity atau kejelasan dari apa yang sedang kita komunikasikan.
Logical order atau tata urutan dalam academic writing umumnya bermula dari hal yang umum
kemudian bergerak ke arah yang lebih spesifik.
Consistency atau keseragaman gaya penulisan.
Unity atau kesatuan
yang mengacu pada hubungan antara objek yang dibahas dengan paragraf yang
disajikan.
Conciseness atau yang lebih mengacu kepada bagaimana menggunakan kata-kata dalam
penyajian tulisan dan menghindari pengulangan informasi yang telah ada
sebelumnya.
Completeness atau kelengkapan mengacu pada bagaimana penulis menyediakan informasi
secara kompelit, dan informasi yang tidak diperlukan sebaiknya tidak perlu
dituliskan.
Variety membantu pembaca menambahkan bumbu-bumbu dalam teks sehingga tulisan yang
disajiakan bervariasi.
Formality atau formal, gaya penulisan academic writing cenderung menggunakan bahasa
yang formal dengan vocabulary dan grammar yang canggih serta menghindari teks
yang sangat personal misalnya saja dengan menggunakan kata “I”.
Memasuki persimpangan dalam labirin writing 4. Pada
persimpampangan ini kita diperkenalkan
unutk menulis “Critical Review.” Critical review merupakan salah astu
assignment yang harus dipenuhi. Tidak boleh asal garap, critical review
memiliki stuktur:
Introduction. Introduction merupakan pengenalan tentang topik yang akan disajikan yang
berisi tujuan, ringkasan, dan argument yang disajikan oleh penulis. Pada bagian
akhir introduction, berisi statement singkat dari penulis.
Summary. Summary merupakan ringkasan point utama dari teks dan beberapa contoh serta
penjelasan singkat tujuan teks.
Main body. (critique). Main body (critique) merupakan bagian terpenting dari penulisan critical
review. Pada bagian ini berisi penjelasan dan evaluasi kelemahan, dan
kekurangan serta piont penting dari teks.
Conclusion. Conclusion merupakan penyimpulan pertanyaan dari kesuluruhan teks yang juga
meliputi saran dan juga pembahasan lainnya.
References. Refences merupakan beberapa daftar sumber yang digunakan dalam teks.
Memasuki
persimpangan selanjutnya. Ini merupakan materi inti pada pertemuan kali ini. Pada
bagian ini Mr. Lala banyak membahas tentang rekayasa literasi (Literacy
Enginering) yang ditulis oleh Dr. A. Chaedar A. Dalam bukunya yang berjudul
Pokoknya Rekayasa Literasi. Buku ini benar-benar membuka mata kita tentang apa
itu literasi dan bagaimana dampak besarnya dalam kehidupan yang nyata. Seseorang
yang memiliki kualitas literasi yang tinggi di tandai dengan kualitas
pendidikan yang tinggi pula. Tapi yang menjadi
pertanyaan apakah semua orang di
negara kita memiliki kualitas literasi yang tinggi? Jawabannya tentu tidak !
hal ini tercermin dari kualitas pendidikan di negara kita yang belum memiliki
standar pendidikan yang tinggi. Lalu, kalau sudah begini siapa yang harus
disalahkan? Menurut Dr. A. Chaedar A. ujung tombak pendidikan literasi adalah
guru. Dari sini kita dapat melihat bahwa guru merupakan orang yang berpengaruh
dalam kualitas literasi di negara kita. Dewasa ini kualitas literasi makin tinggi. Oleh
karenanya, diperlukan pembenahan-pembenahan guna terus meningkatkan kualitas
literasi di negara kita agar tidak tergerus oleh perkembangan zaman. Dalam hal
ini proses pengajaran membaca dan menulislah yang perlu kita rekayasa yang
mencakup empat dimensi di dalamnya yakni, linguistik, kognitif, sosiokultural,
dan perkembangan.
Pada zaman dahulu membaca dan
menulis merupakan pendidikan dasar dimana pendidikan dasar ini dirasa cukup
untuk membekali seseorang menghadapi tantangan zaman. Akan tetapi saat ini
pendidikan dasar saja tidak cukup seiring perkembangan zaman yang kian melesat
jauh. Untuk menghadapi persolan ini jelas mambaca dan menulis saja bukanlah
solusinya. Sebagai modal hidup, Reading,
writing, arithmetic, and reasoning adalah solusi yang tepat.
Pembenahan pengajaran membaca dan
menulis merupakan cara ampuh untuk meningkatkan kualitas literasi. Dengan
membaca dan menulis kita akan mampu mengembangkan segala potensi yang ada dalam
diri kita secara maksimal. Minimalnya orang yang literat akan mampu membaca,
merespon teks, dan menulis
Literasi adalah something
we do (Ken Hyland, 2006). Definisi lain literasi adalah suatu interaksi yang
menempatkan interaksi dengan orang lain (Hamilton, 1998). Mengacu pada kedua
kedua definisi atas literasi merupakan hal yang tak pernah lepas dari kehidupan
kita.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa dalam menyusuri labirin
writing 4 kita tak akan pernah jauh dari yang namanya literasi. Selain itu, kita
juga harus mampu menjadi multilingual writer yang minimalnya mampu menulis
dalam dua bahasa. Ini merupakan sesuatu yang luar biasa bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic