Third
Class Review
Pertemuan pada minggu ketiga diundur menjadi hari
Rabu tanggal 19 Februari 2014 yang dimana jadwal seharusnya dilaksanakan pada
hari Selasa tanggal 18 Februari 2014, namun pertemuan tersebut diundur
dikarenakan pada saat dimana jadwal sebenarnya dilaksanakan, Mr. Lala Bumela berhalangan untuk hadir dan
memberikan materi dalam kelas karena mengikuti rapat pada jadwal yang sama.
Akan tetapi, pembelajaran yang telah dilaksanakan pada minggu lalu tetap
berjalan.
Dalam pertemuan kali ini, pembahasan dalam kelas
ialah mengenai “literasi”. Literasi dikenal sebagai kemampuan membaca dan
menulis. Kemampuan literasi yang dimiliki oleh orang Indonesia tergolong masih
rendah terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh PIRLS (Progress in
Internasional Reading Literacy Study) pada tahun 2012 silam menunjukkan bahwa
Indonesia menduduki posisi ke – 117 dari 205 negara peserta. Rendahnya
kemampuan literasi ini memang banyak dipengaruhi oleh faktor – faktor, seperti
contohnya lingkungan masyarakatnya yang menjunjung tinggi budaya berbicara,
pendidikan seseorang, dan bisa juga karena rasa malas untuk membaca dan
menulis. Untuk mengatasi rendahnya literasi di Indonesia salah satunya upaya
yang bisa dilakukan agar supaya mampu mengembangkan pengetahuan tentang
literasi ini adalah dengan cara mengenalkan dan membiasakan untuk selalu
berlatih budaya baca – tulis agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari – hari
kepada anak – anak. Dengan budaya literasi yang dimiliki oleh guru ataupun siswanya
diharapkan mampu membawa Negara kita menjadi Negara maju agar tidak terjadi
kebodohan dalam pendidikan dan literasi. Pada sebuah blog yang saya baca, yaitu
yang di post – kan oleh Purnomo dituliskan bahwa literasi ini bukanlah sekedar
literasi yang mampu membaca dan menulis. Akan tetapi, literasi mesti dipahami
sebagai kemampuan dari peserta didik untuk berkomunikasi dan berdialog dengan
si penulis ketika sedang membaca. Selain itu, literasi mestinya dipahami
sebagai kemampuan peserta didik untuk menuangkan segala idenya didalam bentuk
tulisan. Literasi juga harus dipahami sebagai kemampuan peserta didik untuk
menciptakan hal baru. Jadi, literasi bukan sekedar kemampuan baca – tulis saja,
akan tetapi pada akhirnya kemampuan itu sendirilah yang dapat mengembangkan
pikiran seseorang.
Literasi yang bisa mengembangkan pola piker
seseorang akan sangat ditentukan oleh “Endurance” (daya tahan tubuh kita) yang
dimiliki seseorang, contohnya intensitas membacanya, kualitas seseorang saat
membaca atau hasilnya, serta produktivitasnya dalam menulis. Diibaratkan
seperti pemain sepak bola, seorang pelatih tidak akan mencari pemain yang kuat
diarena lapangan selama 90 menit, namun lah pemain yang mampu bertahan selama
120 menit, setidaknya itulah yang akan terjadi jika seorang pelatih tersebut
adalah Mr. Lala Bumela.
Dalam Mata Kuliah Writing 4, hanya orang –
orang yang mempunyai “Endurance” atau
daya tahan tubuh yang kuatlah yang akan tersisa atau disisakan untuk
mendapatkan nilai A- atau A pada Mata Kuliah ini. Hal yang sulit dan sangat
tidak sederhana untuk bisa memahami konteks sebuah bacaan hingga pada level
seolah – olah sedang melakukan komunikasi dengan si penulis itu sendiri. Pada
saat kita sedang membaca sebuah topic, maka tingkat pemahaman kita akan berbeda
– beda antara membaca hanya dengan satu kali baca pada saat itu saja dan
membaca beberapa bacaan dengan berulang – ulang. Pemahaman tersebut akan
berubah pada saat kita hendak menuangkan kembali ide bacaan dengan berbagai
tingkat imajinatif seseorang kedalam bentuk tulisan. Letak permasalahannya
adalah sulitnya membangun budaya literasi yang masih begitu rendah.
Rendahnya budaya literasi sering dituduhkan pada
saat kita mendapatkan pendidikan dasar dan sekolah menengah yang dianggap
kurang memberikan kesempatan kepada para peserta didiknya, untuk sekedar
mengapresiasikan karya sastra (Purnomo). Padahal berawal dari kebiasaan membaca
sebuah karya sastra ataupun juga diajarkan untuk mengarang sejak mereka masih
kecil menjadikan keberhasilan untuk membangun nalar seseorang. Hal tersebut
pula lah yang kini Mr. Lala Bumela coba
terapkan dalam pembelajaran pada kami. Dan diharapkan dengan begitu Perguruan
Tinggi IAIN Syekh Nurjati Cirebon dapat menjadi “Centre of Excellence”. Dengan
begitu Perguruan Tinggi IAIN S Syekh Nurjati Cirebon akan terkenal dengan
segala kebaikan dalam pendidikannya. “Literasi merupakan jantung dari kemampuan
peserta didik untuk berhasil dalam dunia pendidikan ataupun setelahnya”(Satria
Dharma). Tanpa adanya kemampuan berliterasi yang dimiliki oleh peserta didik
maka, mereka akan kesulitan dalam menghadapi perkembangan zaman sekarang ini.
Pada dasarnya, kemampuan berliterasi adalah syarat utama bagi kalangan muda
dalam menghadapi perkembangan. Mr. Lala
Bumela menyatakan bahwa hanya mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon saja yang
membaca artikel “Rekayasa Literasi” karya A. chaedar Alwasilah karena perguruan
tinggi yang berada di Cirebon tidak membaca artikel tersebut, dengan begitu
maka akan terciptanya kemampuan literasi dikalangan mahasiswa IAIN Syekh
Nurjati Cirebon. Mr. Lala Bumela benar –
benar ingin mematangkan kami untuk menjadikan seorang mahasiswa yang memiliki
kemampuan literasi tinggi, lewat tugas – tugasnya yang diberikannya dengan cara
menjadikan kami sebagai multilingual writer. Dengan begitu, Mr. Lala Bumela berharap kami dapat menulis dalam
dua bahasa yang berbeda, L1 bahasa Indonesia namun bacaan yang kami baca berupa
L2 yaitu bahasa Inggris. Jadi dengan begitu kami bisa memahami L2 melalui
bacaan – bacaan yang dijadikan tugas. Contoh kecil dalam mempraktekkan budaya
literasi yaitu dengan mencatat segala yang kita beli pada hari ini dan besok –
besoknya, seperti yang terdapat dalam kelas kami, riana yang selalu mencatat
sesuatu yang ia beli, hal tersebut adalah salah satu contoh kecil dari praktek
literasi.
Pada saat kita menullis, kita wajib untuk mengetahui
cara mempresentasikan tulisan kita sehingga membuat tulisan kita menjadi
menarik. Pada semester sekarang ini, kamu melatih banyak menulis agar tulisan
yang diciptakan kami bisa mendapatkan cita rasa yang sesuai dengan harapan.
Selain itu, dengan kita berlatih menulis maka kita menumbuhkan budaya literasi.
Ujung tombak pendidikan literasi adalah guru, karena dalam dunia pendidikan,
guru yang memperkenalkan lebih jauh lagi tentang membaca dan menulis dan guru
juga lah yang melestarikan budaya literasi yang kemudian diturunkan atau
diajarkan pada peserta didiknya.
Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan
sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan
bahasa secara optimal. dalam hal tersebut, upaya
yang dilakukan disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan
berbudaya melalui penguasaan bahasa secara optimal adalah pengertian dari
rekayasa literasi.’
Adapun 4 dimensi dari rekaya literasi, yaitu:
1. Linguistik,
2. Kognitif,
3. Sosio cultural, dan
4. Perkembangan
Dalam
hal ini yang direkaya adalah pengajaran membaca dan menulis dalam 4 dimensi
diatas. Pada saat Mr. Lala Bumela
memberikan sebuah teks maka kita akan membacanya (reading), merespon, menulis
(write and re – write), maka dari itu kita juga harus mengetahui cara kita
mendekati teks.
Kesimpulan :
Literasi
mestinya dipahami sebagai kemampuan peserta didik untuk menuangkan segala
idenya kedalam bentuk tulisan. Literasi
yang bisa mengembangkan pola piker seseorang akan sangat ditentukan oleh
“Endurance” (daya tahan tubuh kita) yang dimiliki seseorang, contohnya
intensitas membacanya, kualitas seseorang saat membaca atau hasilnya, serta
produktivitasnya dalam menulis. Kemampuan berliterasi adalah syarat utama bagi
kalangan muda untuk menghadapi perkembangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic