We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Jumat, 14 Februari 2014

The Destiny of Our Literacy

appetizer

Sungguh merasa malu dan tersudutkan ketika saya membaca tiga artikel yang berjudul ‘(Bukan) Bangsa Penulis’, ‘The Powerful Writers versus Helpless Readers’ oleh A. Chaedar Alwashilah, dan ‘Learning and Teaching: more about Readers and Writers’ oleh WC. Watson. Yang kesemuanya itu telah menggambarkan betapa bodohnya Negara kita. Jumlah penduduk yang berada pada kisaran 200 juta jiwa ternyata tidak mampu menciptakan para generasi yang berkualitas yang mempunyai intelektual tinggi. Hal tersebut sangat terlihat jelas pada kemampuan dan minat membaca para generasi muda khususnya para pelajar, dan sangat rendahnya kemampuan untuk mengeksplorasi pengetahuan dan pemikiran dalam bentuk tulisan. Bagaimana mampu menulis jikalau membacapun malas?
Ini semua merupakan sebuah tamparan bagi kita semua agar mampu tergugah dan melawan kenyataan yang sungguh tidak memberikan kenyamanan bagi saya pribadi khususnya. Menyikapi fenomena seperti ini, saya teringat hadits Nabi yang saya dapatkan ketika belajar di madrassah semasa kecil dan sampai saat ini selalu teringat di fikran saya, ‘ Hubbul wathon minal iman’ yang berarti cinta tanah air merupakan sebagian dari iman. Yang perlu saya garis bawahi pada hadits ini adalah kata cinta, sebagaimana kita ketahui bahwa ketika di dalam pribadi seseorang tertanam rasa cinta maka tidak mungkin baginya diam di tempat, pasti segala sesuatnya akan dia lakukan dengan penuh semangat dan berani berkorban demi memperjuangkan apa yang dia cintai. Begitupun katika melihat kenyataan bahwa Negara kita yang selama ini kita agung-agungkan namanya  dan senantiasa dicinta dipandang sebelah mata dan menjadi bahan cemooh bagi yang melihatnya, maka disinilah kita harus bangkit dan timbul motivasi tinggi untuk mengharumkan kembali citra buruk suatu bangsa terutama dalam permasalahan literasi. Dan yang harus kita pegang teguh adalah bagaimana kita harus membudayakan membaca dan menulis, karena sudah jelas dalam pernyataan A. Chaedar Alwashilah bahwa membaca merupakan ajang penggalian ilmu pengetahuan, sedangkan menulis adalah sebuah hasil karya dari ilmu pengetahuan yang dieksplorasi di atas kertas. 
Di Negara maju seperti Amerika Serikat membaca merupakan sebuah hal yang wajib dilakukan oleh para pelajar  dari jenjang pendidikan rendaah sampai atas, baik itu membaca artikel, karya ilmiah, tabloid, Koran, atapun buku-buku pendidikan. Dan hingga sampai saat ini rating Negara Amerika dalam hal menulis menempati jumlah yang sangat tinggi, yaitu 60.000 produksi buku setiap tahunnya, sangat berbanding jauh dengan Negara kita yang hanya memproduksi 10.000 buku setiap tahunnya. Ini terbukti ketika kita melihat kebanyakan para pengajar yang senantiasa menggunakan referensi buku pendidikan yang berasal dari negara negara lain khususnya tentang ilmu bahasa, bahkan ada sebagian yang mengambil dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang notabenenya dalam segi segi kependudukan jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia. Inilah sebuah prestasi buruk yang sangat memalukan bagi kita semua.
Chaedar Alwashilah juga mengatakan bahwa lulusan mahasisa Indonesia rata-rata tidak bisa menulis, bahkan dosenpun demikian. Ada apa gerangan? Memang sungguh ironis bangsa kita. Kemunduran dirasakan bukan hanya dalam segi Ekonomi dan Tekhnologi, pemikiranpun selalu menjadi ekor. Walaupun demikian, sepatutnya kita berbangga diri karena sangat banyak prestasi anak bangsa kita yang sudah sukses di negara lain. Sebagai contoh Bj. Habibi yang sukses mendulang prestasi dengan kecerdasannya membuat pesawat yang diakui oleh bangsa lain. Namun hal ini justru tidak memberi arti penting bagi pemerintah pada saat itu. Inilah negeri kita ini tak menghargai orang-orang cerdas seperti beliau pak Habibie justru lebih menghargai koruptor yang setiap saat menilep uang rakyat dan menambah kesengsaraan rakyat saja. banyak Habibie-Habibie  cerdas lain yang bekerja di luar negeri dan menyumbangkan ilmu dan pemikirannya di luar negeri karena mereka dibayar mahal disana. Sedangkan jika di Indonesia mereka tidak dihargai sedikit pun. Seaka tidak berguna lagi hidup di negeri ini, tak ada penghargaan yang didapatkan melainkan pembiaran yang senantiasa tidak ada jalan keluar.
Di sisi lain, mahasiswa sedang mengalami kekhawatiran yang sangat ketika datang peraturan Dikti yang mewajibkan setiap lulusan mahasiswa harus membuat artikel jurnal, sedangkan pembuatan artikel jurnal itu sendiri tidaklah mudah, ia merupakan karya ilmiah yang sangat sulit untuk dikerjakan. Karena pada kenyataannya artikel jurnal itu dikelola oleh tim ahli dalam bidang keilmuan tertentu. Jangankan menulis artikel jurnal, tuntutan skripsipun masih menjadi image yang menakutkan bagi para mahasisa, sehingga bagi para mahasiswa yang kualitasnya terbatas hanya bisa meyelesaikan skripsi dengan jalan amplop. Sangat benar apa yang dikatakan bapak Chaedar bahwa penulisan artikel sungguh tidak tepat karena hal tersebut hanya akan menyebabkan penumpukan mahasiswa di akhir semester yang menuntut biaya hidup, SPP, dan lain sebagainya. Mereka harus mnunggu giliran pelulusan yang waktunya tidak secepat apa yang dibayangkan. Kemudian, apakah selama penantian mahasiswa terbebas dari financial kampus? Penentuan kualitas kelulusan tidaklah didapatkan dengan mudah atau instan. Semuanya membutuhkan proses. Benahi dulu pendidikan yang ada, jika dianggap sudah efektif dan berjalan dengan baik, silahkan mengeluarkan kebijakan lain yang sekiranya tidak memberatkaan bagi salah satu pihak.
Namun demikian, sebagai mahasiswa jangan sampai terus berjalan mengikuti arus kebijakan yang ada. Coba sedikit demi sedikit menantang arus dengan mampu menghasilkan inspirasi yang mampu menunjang ilmu pengetahuan dan mampu bersikap kreatif, imajinatif, dan berkarya demi membuat pencitraan yang baik bagi perkembangan suatu bangsa. Terus rajin membaca dan menulis, karena dengan membaca dan menulis merupakan ajang bergengsi di kancah internasional bagi setiap peserta didik. Sangat sulit memang menciptakan kebiasaan tersebut, namun kita harus selalu jalan ditempat guna menggali potensi diri dan gerak jalan demi mencapai sebuah kejayaan.
Membaca memerlukan keinginan yang kuat, dan menulis memerlukan imajinatif yang hebat. Sungguh tidak pantas dikataakan mahasiswa apabila malas membaca buku, dan sungguh tidak pantas dikatakan pula apabila mahasiswa tidak bisa menulis sebab kedua kegiatan tersebut merupakan makanan pokok selama menempuh jenjang pendidikan kampus.

Jadi dari semua penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya setiap pribadi membawa bekal potensi diri untuk maju dan berkembang. Tinggal kita sendiri yang menentukan mau dibawa kemana potensi kita, apakah dibiarkan begitu saja atau digunakan semaksimal mungkin. Jangan merasa pesimis dengan kenyataan yang kita hadapi saat ini, biarkan orang lain memandang kita sebelah mata, asalkan kita selalu memiliki kemauan tinggi untuk maju pasti akan maju. Masa depan ada di dalam genggaman kita. Jangan terpaku pada nasib dan takdir, karena itu semua dapat kita rubah dengan ikhtiar dan do’a yang kuat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic