appetizer
Sungguh merasa malu dan tersudutkan
ketika saya membaca tiga artikel yang berjudul ‘(Bukan) Bangsa Penulis’, ‘The
Powerful Writers versus Helpless Readers’ oleh A. Chaedar Alwashilah, dan
‘Learning and Teaching: more about Readers and Writers’ oleh WC. Watson. Yang
kesemuanya itu telah menggambarkan betapa bodohnya Negara kita. Jumlah penduduk
yang berada pada kisaran 200 juta jiwa ternyata tidak mampu menciptakan para
generasi yang berkualitas yang mempunyai intelektual tinggi. Hal tersebut
sangat terlihat jelas pada kemampuan dan minat membaca para generasi muda
khususnya para pelajar, dan sangat rendahnya kemampuan untuk mengeksplorasi
pengetahuan dan pemikiran dalam bentuk tulisan. Bagaimana mampu menulis jikalau
membacapun malas?
Ini semua merupakan sebuah tamparan
bagi kita semua agar mampu tergugah dan melawan kenyataan yang sungguh tidak
memberikan kenyamanan bagi saya pribadi khususnya. Menyikapi fenomena seperti
ini, saya teringat hadits Nabi yang saya dapatkan ketika belajar di madrassah
semasa kecil dan sampai saat ini selalu teringat di fikran saya, ‘ Hubbul
wathon minal iman’ yang berarti cinta tanah air merupakan sebagian dari
iman. Yang perlu saya garis bawahi pada hadits ini adalah kata cinta, sebagaimana
kita ketahui bahwa ketika di dalam pribadi seseorang tertanam rasa cinta maka
tidak mungkin baginya diam di tempat, pasti segala sesuatnya akan dia lakukan
dengan penuh semangat dan berani berkorban demi memperjuangkan apa yang dia
cintai. Begitupun katika melihat kenyataan bahwa Negara kita yang selama ini
kita agung-agungkan namanya dan
senantiasa dicinta dipandang sebelah mata dan menjadi bahan cemooh bagi yang melihatnya,
maka disinilah kita harus bangkit dan timbul motivasi tinggi untuk mengharumkan
kembali citra buruk suatu bangsa terutama dalam permasalahan literasi. Dan yang
harus kita pegang teguh adalah bagaimana kita harus membudayakan membaca dan
menulis, karena sudah jelas dalam pernyataan A. Chaedar Alwashilah bahwa
membaca merupakan ajang penggalian ilmu pengetahuan, sedangkan menulis adalah
sebuah hasil karya dari ilmu pengetahuan yang dieksplorasi di atas kertas.
Di Negara maju seperti Amerika
Serikat membaca merupakan sebuah hal yang wajib dilakukan oleh para
pelajar dari jenjang pendidikan rendaah
sampai atas, baik itu membaca artikel, karya ilmiah, tabloid, Koran, atapun
buku-buku pendidikan. Dan hingga sampai saat ini rating Negara Amerika dalam
hal menulis menempati jumlah yang sangat tinggi, yaitu 60.000 produksi buku
setiap tahunnya, sangat berbanding jauh dengan Negara kita yang hanya
memproduksi 10.000 buku setiap tahunnya. Ini terbukti ketika kita melihat
kebanyakan para pengajar yang senantiasa menggunakan referensi buku pendidikan
yang berasal dari negara negara lain khususnya tentang ilmu bahasa, bahkan ada
sebagian yang mengambil dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura
yang notabenenya dalam segi segi kependudukan jauh lebih sedikit dibandingkan
Indonesia. Inilah sebuah prestasi buruk yang sangat memalukan bagi kita semua.
Chaedar
Alwashilah juga mengatakan bahwa lulusan mahasisa Indonesia rata-rata tidak
bisa menulis, bahkan dosenpun demikian. Ada apa gerangan? Memang sungguh ironis
bangsa kita. Kemunduran dirasakan bukan hanya dalam segi Ekonomi dan
Tekhnologi, pemikiranpun selalu menjadi ekor. Walaupun demikian, sepatutnya
kita berbangga diri karena sangat banyak prestasi anak bangsa kita yang sudah
sukses di negara lain. Sebagai contoh Bj. Habibi yang sukses mendulang prestasi
dengan kecerdasannya membuat pesawat yang diakui oleh bangsa lain. Namun hal
ini justru tidak memberi arti penting bagi pemerintah pada saat itu. Inilah negeri kita ini tak menghargai
orang-orang cerdas seperti beliau pak Habibie justru lebih menghargai koruptor
yang setiap saat menilep uang rakyat dan menambah kesengsaraan rakyat saja.
banyak Habibie-Habibie cerdas lain yang bekerja di luar negeri dan
menyumbangkan ilmu dan pemikirannya di luar negeri karena mereka dibayar mahal
disana. Sedangkan jika di Indonesia mereka tidak dihargai sedikit pun. Seaka
tidak berguna lagi hidup di negeri ini, tak ada penghargaan yang didapatkan melainkan
pembiaran yang senantiasa tidak ada jalan keluar.
Di
sisi lain, mahasiswa sedang mengalami kekhawatiran yang sangat ketika datang
peraturan Dikti yang mewajibkan setiap lulusan mahasiswa harus membuat artikel
jurnal, sedangkan pembuatan artikel jurnal itu sendiri tidaklah mudah, ia
merupakan karya ilmiah yang sangat sulit untuk dikerjakan. Karena pada
kenyataannya artikel jurnal itu dikelola oleh tim ahli dalam bidang keilmuan
tertentu. Jangankan menulis artikel jurnal, tuntutan skripsipun masih menjadi
image yang menakutkan bagi para mahasisa, sehingga bagi para mahasiswa yang
kualitasnya terbatas hanya bisa meyelesaikan skripsi dengan jalan amplop.
Sangat benar apa yang dikatakan bapak Chaedar bahwa penulisan artikel sungguh
tidak tepat karena hal tersebut hanya akan menyebabkan penumpukan mahasiswa di
akhir semester yang menuntut biaya hidup, SPP, dan lain sebagainya. Mereka
harus mnunggu giliran pelulusan yang waktunya tidak secepat apa yang
dibayangkan. Kemudian, apakah selama penantian mahasiswa terbebas dari
financial kampus? Penentuan kualitas kelulusan tidaklah didapatkan dengan mudah
atau instan. Semuanya membutuhkan proses. Benahi dulu pendidikan yang ada, jika
dianggap sudah efektif dan berjalan dengan baik, silahkan mengeluarkan kebijakan
lain yang sekiranya tidak memberatkaan bagi salah satu pihak.
Namun
demikian, sebagai mahasiswa jangan sampai terus berjalan mengikuti arus
kebijakan yang ada. Coba sedikit demi sedikit menantang arus dengan mampu
menghasilkan inspirasi yang mampu menunjang ilmu pengetahuan dan mampu bersikap
kreatif, imajinatif, dan berkarya demi membuat pencitraan yang baik bagi
perkembangan suatu bangsa. Terus rajin membaca dan menulis, karena dengan
membaca dan menulis merupakan ajang bergengsi di kancah internasional bagi
setiap peserta didik. Sangat sulit memang menciptakan kebiasaan tersebut, namun
kita harus selalu jalan ditempat guna menggali potensi diri dan gerak
jalan demi mencapai sebuah kejayaan.
Membaca
memerlukan keinginan yang kuat, dan menulis memerlukan imajinatif yang hebat.
Sungguh tidak pantas dikataakan mahasiswa apabila malas membaca buku, dan
sungguh tidak pantas dikatakan pula apabila mahasiswa tidak bisa menulis sebab
kedua kegiatan tersebut merupakan makanan pokok selama menempuh jenjang pendidikan
kampus.
Jadi
dari semua penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya setiap
pribadi membawa bekal potensi diri untuk maju dan berkembang. Tinggal kita
sendiri yang menentukan mau dibawa kemana potensi kita, apakah dibiarkan begitu
saja atau digunakan semaksimal mungkin. Jangan merasa pesimis dengan kenyataan
yang kita hadapi saat ini, biarkan orang lain memandang kita sebelah mata,
asalkan kita selalu memiliki kemauan tinggi untuk maju pasti akan maju. Masa
depan ada di dalam genggaman kita. Jangan terpaku pada nasib dan takdir, karena
itu semua dapat kita rubah dengan ikhtiar dan do’a yang kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic