We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Kamis, 20 Februari 2014

SALAK (Membaca, Menulis dan Teks)


Entah mengapa waktu seminggu sangatlah singkat bagiku, bahkan terlalu singkat. Waktu memang akan berputar sangat cepat jika yang kita pikirkan adalah tugas-tugas kuliah yang menumpuk dan kita akan merasa kurang dengan waktu yang telah diberikan. Sepertinya disaat seperti inilah kita semua menginginkan agar jumlah jam dalam sehari menjadi 48 jam agar mempunyai waktu yang cukup untuk menyelesaikan semua tugas. Sama halnya dengan tugas writing ini, tak terasa waktu telah mengharuskanku untuk kembali berteman dengan pena berbagai warna, buku dan teks-teks yang ada. Bersama mereka bertiga sayapun mulai kerja samaa yang baik agar dapat menguntungkan bagi ‘kita’ semua.
Selasa, 11 Februari perkuliahan dimulai dengan sedikit penjelasan dari Mr. Lalatentang apa yang telah beliau jelaskan dipertemuan sebelumnya. Beliau menjelaskannya dengan detail agar kami bisa mengingat apa yang telah beliau sampaikan diminggu sebelumnya. Selannjutnya, Mr. Lala membagi kami kedalam dua kelompok dalam bentuk lingkaran dan mulai memberikan pertanyaan kepada kami satu persatu tentang apa yang telah kami tulis dan teks-teks yang telah kami baca. Mr. Lala merasa cukup puas dengan dengan jawaban yang kami berikan. Kemudian, Mr. Lala mulai menjelaskan tentang Academic Writing.
Mr. Lala menjelaskan bahwa Academic Writing bersifat:
1.      Formal
2.      Critical
3.      Structure Focused
4.      Systematicity
5.      Rigid
Academic Writing bersifat formal karena semua hal yang berhubungan dengan Academic Writing lebih banyak dipelajari di sekolah-sekolah atau institusi-institusi pendidikan formal. Namun, bukan berarti di sekolah-sekolah non-formal tidak diajarkan, tetapi memang academic writing yang diajarkan di sekolah non-formal tidak dipelajari lebih dalam hanya teori secara umum.
Academic Writing bersifat critical, sebuah tulisan haruslah bisa menyampaikan maksud dan pendapat penulisnya termasuk yang berupa kritikan yang disampaikan secara objektif. Sebagai seorang penulis, kita harus bisa mengeluarkan kritikan-kritikan yang membangun terhadap apa yang dikritiknya. Sebuah ktitikan kuat yang tepat sasaran disertai data dan fakta tetapi tidak bermaksud untuk menjatuhkan. Seorang penulis kritis akan bisa berperan sebagai penulis dan pembaca sekaligus agar sebagai penulis kita dapat merasakan apakah tulisan tersebut sudah tepat atau belum.
Structure focused, academic writing bersifat konsisten dengan adanya structure fcused. Academic writing memfokuskan tulisan dengan struktur yang ada. Structure focused berfungsi agar ide yang berusaha dikembangkan oleh penulis dapat berkembang menurut struktur yang ada tetapi tetap fokus terhadap ide awal dari penulis. Hal ini berguna agar pembaca tidak bingung dan dapat menangkap ide yang sebenarnya penulis ingin sampaikan dalam tulisannya.
Academic writing juga bersifat systematicity atau teratur. Academic writing bersifat teratur agar semua tulisan yang ada dapat ditulis menurut aturan yang ada. Tulisan akan terlihat rapi, dalam artian setiap bagian dalam tulisan tersebut dapat tersusun secara teratur dan jelas.
Sifat terakhir academic writing yaitu Rigid. Dari apa yang Mr. Lala sampaikan di kelas, Rigid yaitu kaku atau beku dn disitulah tantangan bagi kita untuk mencairkannya. Dalam proses penulisan sebuah tulisan sudah tidak aneh apabila seorang penulis kehilangan ide-idenya ditengah jalan. Tetapi disitulah proses untuk melihat sejauh mana usaha kita untuk bisa mencari jalan keluar dan menyelesaikan tulisan tersebut. Kelima sifat academic writing tersebut saling berhubungan satu sama lain dan mebentuk satu fondasi yang kokoh. Dengan mengacu pada kelima fungsi tersebut, kita tidak akan mengalami kesulitn yang berarti dalam penulisan sebuah karya tulis. Memahami kelima sifat tersebut sebagai acuan agar kita tidak menjadi penulis yang handal.
Dalam academic writing, kita dituntut harus bisa kritis dalam dalam menanggapi sebuah teks atau tulisan serta menggunakan metode yang berbeda untuk setiap teks. Berikut ini adalah lingkaran tentang hubungan ketiganya:

"Who can think clearly, they can read clearly too. And who can think and read clearly, they can clearly and easily."

Dari hubungan yang tersirat pada kalimat diatas, dijelaskan bahwa siapa yang bisa berpikir secara jelas, mereka bisa membaca secara jelas juga. Dan siapa yang bisa berfikir serta membaca secara jelas maka mereka dapat menuis dengan mudah. Mereka yang bisa menulis dengan mudah akan dapat memproduksi sebuah tulisan yang berkualitas. Hubungan ketiganya digambarkan melalui filosofi sebuah lingkaran yang memiliki arti hubungan yang tidak pernah putus. Lingkaran tidak bisa dikatakan sebagai sebuah lingkaran jika ada salah satu garisnya yang terputus. Sama halnya dengan pembaca dan penulis kritis, mereka tidak akan dikatakan kritis jika tidak bisa berpikir dan membaca secara jelas. Jika mereka tidak bisa berpikir, membaca dan menulis dengan jelas mereka tidak akan bisa kritis karena mereka akan bingung dalam menyampaikan pendapat mereka secara kritis.
Dari keluhan beberapa teman saya tentang kegiatan menulis mereka, mereka seringkali mengalami kesulitan saat menulis. Hyland berkata bahwa, “writing is a practice based on expectation: the reader’s chance of interpreting the writer’s purpose are increase if the writer takes the trouble to anticipate what the reader might be expecting based on previous text he or she has read of the same kind”. Hoey (2001) menanggapi perkataan tersebut dengan menyamakan pembaca dan penulis dengan penari-penari yang mengikuti serakan-gerakan satu sama lain, saling menemukan rasa dari teks oleh antisipasi apa yang orang lain senang untuk dilakukan dengan membuat koneksi pada teks terlebih dahulu. Dengan kata lain, penulis-pembaca membuat sebuah koneksi disebut sebagai sebuah art.
Lehtonen (2000:74) on Barthes mengatakan dimana bahasa kepada Saussure adalah sebuah sistem yang menentukan sendiri maknanya, Barthes melihat peran dari orang mempraktikan kegiatan linguistik menjadi pusat didalam bentuk makna juga. Seorang penulis bukan seorang penulis ketika perannya berhenti. Contoh lainnya yaitu seoran chef bukan sebagai chef saat tidak sedang memasak atau berada diluar dapur. Barther dengan sungguh-sungguh mendeklarasikan kematian author, bersama dengan kelahiran pembaca.
Beberapa argumen dan pendapat lain dari Lehtonen, yaitu:
-          The reader ascended to the nucleus of the information of meanings, and reading became the place where meanings belonged.
-          Text and readers never exist independently of each other, but in fact produce one another.
-          Reading includes choosing what to read, organizing and linking them together in order to form meanings, as well as bringing the reader’s own knowledge into texts.
Penelitian kebudayaan bahasa Swedia Johan Fornas dengan tepat menjelaskan pokok dasar makna dalam hidup kita.
“Culture is everywhere in human life and society. We are human by understanding and interpreting what we perceive, that is, by constructing symbol where something stands for something else. Symbol make it to think of what is not present, and thus to reflect upon the past and plan the future, to explore the other(s) and speculate about the unknown. By collectively shaping such symbolic patterns we construct a world and give ourselves specific position in it.”
Munculnya makna bisa juga jadi pembebasan. Kebungkaman bisa menambah sebuah suara, dan pengalaman dan kesadaran sebelumnya tidak termasuk dari pengaruh kebudayaan bisa menjadi nampak.
Bahasa adalah unsur aktif dari interaksi manusia.bahasa adalah beberapa perantara nyata dan pasif yang mengirimkan makna kelahiran bahwa ada diluar bahasa kepada orang pengguna bahasa. Sebaliknya, bahasa mempunyai sebuah peran aktif dalam pembentukan makna: bahasa menetapkan batasannya sendiri pada makna, menentukan kehidupan manusia melalui caranya sendiri memilih apa yang dikatakan pada kenyataan. Memproduksi sesuatu yang baru dengan bahasa selalu berhubungan dengan bahasa itu sendiri. Kita hanya bisa menghasilkan makna baru dalam beberpa hubungan pada makna yang telah ada.
Ahli bahasa dan sejarah sastra Roger Fowler menjelaskan:
“The meaning of the words in a language are the community’s established knowledge. A child learns the values and preoccupations of its culture largely by learning the language. Language is the chief instrument by of socialization. Which is the process by which person is, willy-nilly, moulded into conformity with the established system beliefs of the society in which s/he happens to be born.”
Karenanya, bahasa selalu digunakan dalam beberapa contexts. Bahasa tidak hidup untuk kita sebagai sebuah sistem abstrak dan dari fonetik atau grammar dan vocabulary, tetapi selalu berhubungan dengan penggunanya, pada kemampuan kita untuk berbuat secara linguistic. Kita mengetahui bahasa dalam rasa bahwa kita bagaimana untuk menggunakannya. Kita tahu bagaimana untuk berkomunikasi dengan sesame manusia dan bagaimana untuk memilih bentuk bahasa yang cocok untuksetiap situasi bahasa digunakan. Bahasa untuk kita artinya kemampuan untuk berbuat, kemampuan menggunakan bahasa ‘dengan benar’. Ini akan menjadi mungkin jika kita mempunyai knowledge of context. Karenanya, bahasa tidak pernah muncul sebagai grammar dan vocabulary semata. Kita tidak menggunakan bahasa dalam pemisahan atau bentuk suasana orang-orang, kegiatan dan acara, yang mana memberi makna untuk mengungkap persoalan melalui bahasa.
Meanings adalah isi atau hasil dari kegiatan sosial, mempelajari teks secara terpisah dari conteksnya itu tidak cukup. Malahan kita harus memberi perhatian pada context, ‘connection of use’ yang teks itu diusulkan dan dimana mereka memperoleh makna sesungguhnya. Dasar mempelajari bahasa (dan termasuk teks) secara rinci saling berhubungan.
Context tidak ada sebelum author atau text, maupun itu ada diluar keduannya. Benar untuk terjemahan maknanya, ‘con-text’ adalah sesame teks yang selalu ada bersama dengan teks untuk mereka adalah context. Selainitu, kebersamaan mereka seringkali berarti didalam teks sebagai bagian dai teks. Seperti, teks adalah kulit luar dari makna yang menghidupkan (dan juga memproduksi) readers’ contextual resources: linguistic resources, conception resources of reality, values, beliefs dan lain-lain.
Context includes all the following
1.      Substance: the physical material which carries or relays text.
2.      Music and pictures
3.      Paralanguage: meaningful behavior accompanying language, such as voice quality, gestures, facial expressions and touch (in speed), and choice of typeface and letter sizes (in writing).
4.      Situation: the properties and relations of subjects and people in the vinicity of the text, as perceived by the participants.
5.      Co-text: text which precedes or follows that under analysis, and which participants judge to belong to the same discourse.
6.      Intertext: text which participants perceive as belonging to other discourse, but which affects their interpretation.
7.      Participants: their intentions and interpretations, knowledge and beliefs, interpersonal attitudes, affiliations and feelings…
8.      Function: what the text is intended to do by the senders and addressers, or perceived to do by the receivers and addressers.


                Context paly as essential role in what has traditionally been describe as the ‘understanding’ of text




Kesimpulan dari semua penjelasan tersebut adalah sebuah teks dan seorang pembaca tidak hidup tanpa memperhatikan satu sama lain, tetapi menghasilkan satu sama lain sebagai sebuah teks dari masing-masing pembaca, dan sebagai pembaca dari masing-masing tks. Seperti yang Tony Bannett dan Janet Woollacott tulis, yaitu:
The text that is read…is an always-already culturally activated subject. The encounter between them is always culturally, ideologically and –which is to say the same thing-inter-textually organized in such a way that their separation as subject and object called into question. The reader is concelved not as a subject who stands outside in the text interprets it any more than the text is regarded as an object the reader encounters. Rather text and reader are concelved as being co-produced within a reading-formation, gridden on to one another in a determinate compact unity.
Karena itu, hubungan antara text, context dan readers bisa jadi titik pencarian untukpembentukan meaning (makna). Text ditentukan oleh sebuah angka bagus dari hubungan pada produksi dan membaca mereka. Context of production adalah, diantara hal-hal lain, ketersediaan bahasa dan tidak tersambung keterbatasan satu sama lain isinya, kesustraan dan arti konvensi lainnya, kecenderungan masa kini, commitment of writer (national commitments, commitments related to the writer gone, ‘race’ and social class, etc), tekanan dibuat oleh terbitan mesin dan lembaga kebudayaan lainnya dan akhirnya penulis dari pembaca menunjukka. Context membaca dalam lingkaran termasuk bakal pendengar, pembaca dengan menunjukkan dengan teks tekanan-tekanan dibuat oleh terbitan dan lembaga penyalur dan juga pembaca sesungguhnya dari teks dengan kualitas-kualitas mereka.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic