Entah
mengapa waktu seminggu sangatlah singkat bagiku, bahkan terlalu singkat. Waktu
memang akan berputar sangat cepat jika yang kita pikirkan adalah tugas-tugas
kuliah yang menumpuk dan kita akan merasa kurang dengan waktu yang telah
diberikan. Sepertinya disaat seperti inilah kita semua menginginkan agar jumlah
jam dalam sehari menjadi 48 jam agar mempunyai waktu yang cukup untuk
menyelesaikan semua tugas. Sama halnya dengan tugas writing ini, tak terasa
waktu telah mengharuskanku untuk kembali berteman dengan pena berbagai warna,
buku dan teks-teks yang ada. Bersama mereka bertiga sayapun mulai kerja samaa
yang baik agar dapat menguntungkan bagi ‘kita’ semua.
Selasa,
11 Februari perkuliahan dimulai dengan sedikit penjelasan dari Mr. Lalatentang
apa yang telah beliau jelaskan dipertemuan sebelumnya. Beliau menjelaskannya
dengan detail agar kami bisa mengingat apa yang telah beliau sampaikan diminggu
sebelumnya. Selannjutnya, Mr. Lala membagi kami kedalam dua kelompok dalam
bentuk lingkaran dan mulai memberikan pertanyaan kepada kami satu persatu
tentang apa yang telah kami tulis dan teks-teks yang telah kami baca. Mr. Lala
merasa cukup puas dengan dengan jawaban yang kami berikan. Kemudian, Mr. Lala
mulai menjelaskan tentang Academic Writing.
Mr.
Lala menjelaskan bahwa Academic Writing bersifat:
1. Formal
2. Critical
3. Structure
Focused
4. Systematicity
5. Rigid
Academic
Writing bersifat formal karena semua hal yang berhubungan dengan Academic
Writing lebih banyak dipelajari di sekolah-sekolah atau institusi-institusi
pendidikan formal. Namun, bukan berarti di sekolah-sekolah non-formal tidak
diajarkan, tetapi memang academic writing yang diajarkan di sekolah non-formal
tidak dipelajari lebih dalam hanya teori secara umum.
Academic
Writing bersifat critical, sebuah tulisan haruslah bisa menyampaikan maksud dan
pendapat penulisnya termasuk yang berupa kritikan yang disampaikan secara objektif.
Sebagai seorang penulis, kita harus bisa mengeluarkan kritikan-kritikan yang
membangun terhadap apa yang dikritiknya. Sebuah ktitikan kuat yang tepat
sasaran disertai data dan fakta tetapi tidak bermaksud untuk menjatuhkan.
Seorang penulis kritis akan bisa berperan sebagai penulis dan pembaca sekaligus
agar sebagai penulis kita dapat merasakan apakah tulisan tersebut sudah tepat
atau belum.
Structure
focused, academic writing bersifat konsisten dengan adanya structure fcused.
Academic writing memfokuskan tulisan dengan struktur yang ada. Structure
focused berfungsi agar ide yang berusaha dikembangkan oleh penulis dapat
berkembang menurut struktur yang ada tetapi tetap fokus terhadap ide awal dari
penulis. Hal ini berguna agar pembaca tidak bingung dan dapat menangkap ide
yang sebenarnya penulis ingin sampaikan dalam tulisannya.
Academic
writing juga bersifat systematicity atau teratur. Academic writing bersifat
teratur agar semua tulisan yang ada dapat ditulis menurut aturan yang ada.
Tulisan akan terlihat rapi, dalam artian setiap bagian dalam tulisan tersebut
dapat tersusun secara teratur dan jelas.
Sifat
terakhir academic writing yaitu Rigid. Dari apa yang Mr. Lala sampaikan di
kelas, Rigid yaitu kaku atau beku dn disitulah tantangan bagi kita untuk mencairkannya.
Dalam proses penulisan sebuah tulisan sudah tidak aneh apabila seorang penulis
kehilangan ide-idenya ditengah jalan. Tetapi disitulah proses untuk melihat
sejauh mana usaha kita untuk bisa mencari jalan keluar dan menyelesaikan
tulisan tersebut. Kelima sifat academic writing tersebut saling berhubungan
satu sama lain dan mebentuk satu fondasi yang kokoh. Dengan mengacu pada kelima
fungsi tersebut, kita tidak akan mengalami kesulitn yang berarti dalam
penulisan sebuah karya tulis. Memahami kelima sifat tersebut sebagai acuan agar
kita tidak menjadi penulis yang handal.
Dalam
academic writing, kita dituntut harus bisa kritis dalam dalam menanggapi sebuah
teks atau tulisan serta menggunakan metode yang berbeda untuk setiap teks.
Berikut ini adalah lingkaran tentang hubungan ketiganya:
"Who
can think clearly, they can read clearly too. And who can think and read
clearly, they can clearly and easily."
Dari
hubungan yang tersirat pada kalimat diatas, dijelaskan bahwa siapa yang bisa
berpikir secara jelas, mereka bisa membaca secara jelas juga. Dan siapa yang
bisa berfikir serta membaca secara jelas maka mereka dapat menuis dengan mudah.
Mereka yang bisa menulis dengan mudah akan dapat memproduksi sebuah tulisan
yang berkualitas. Hubungan ketiganya digambarkan melalui filosofi sebuah
lingkaran yang memiliki arti hubungan yang tidak pernah putus. Lingkaran tidak
bisa dikatakan sebagai sebuah lingkaran jika ada salah satu garisnya yang
terputus. Sama halnya dengan pembaca dan penulis kritis, mereka tidak akan
dikatakan kritis jika tidak bisa berpikir dan membaca secara jelas. Jika mereka
tidak bisa berpikir, membaca dan menulis dengan jelas mereka tidak akan bisa
kritis karena mereka akan bingung dalam menyampaikan pendapat mereka secara
kritis.
Dari
keluhan beberapa teman saya tentang kegiatan menulis mereka, mereka seringkali
mengalami kesulitan saat menulis. Hyland berkata bahwa, “writing is a practice based on expectation:
the reader’s chance of interpreting the writer’s purpose are increase if the
writer takes the trouble to anticipate what the reader might be expecting based
on previous text he or she has read of the same
kind”. Hoey (2001) menanggapi perkataan tersebut dengan menyamakan
pembaca dan penulis dengan penari-penari yang mengikuti serakan-gerakan satu
sama lain, saling menemukan rasa dari teks oleh antisipasi apa yang orang lain
senang untuk dilakukan dengan membuat koneksi pada teks terlebih dahulu. Dengan
kata lain, penulis-pembaca membuat sebuah koneksi disebut sebagai sebuah art.
Lehtonen (2000:74)
on Barthes mengatakan dimana bahasa
kepada Saussure adalah sebuah sistem yang menentukan sendiri maknanya, Barthes
melihat peran dari orang mempraktikan kegiatan linguistik menjadi pusat didalam
bentuk makna juga. Seorang penulis bukan seorang penulis ketika perannya
berhenti. Contoh lainnya yaitu seoran chef bukan sebagai chef saat tidak sedang
memasak atau berada diluar dapur. Barther dengan sungguh-sungguh
mendeklarasikan kematian author, bersama dengan kelahiran pembaca.
Beberapa
argumen dan pendapat lain dari Lehtonen, yaitu:
-
The reader ascended to the nucleus of
the information of meanings, and reading became the place where meanings
belonged.
-
Text and readers never exist independently
of each other, but in fact produce one another.
-
Reading includes choosing what to read,
organizing and linking them together in order to form meanings, as well as
bringing the reader’s own knowledge into texts.
Penelitian
kebudayaan bahasa Swedia Johan Fornas dengan tepat menjelaskan pokok dasar
makna dalam hidup kita.
“Culture is everywhere
in human life and society. We are human by understanding and interpreting what
we perceive, that is, by constructing symbol where something stands for
something else. Symbol make it to think of what is not present, and thus to
reflect upon the past and plan the future, to explore the other(s) and
speculate about the unknown. By collectively shaping such symbolic patterns we
construct a world and give ourselves specific position in it.”
Munculnya
makna bisa juga jadi pembebasan. Kebungkaman bisa menambah sebuah suara, dan
pengalaman dan kesadaran sebelumnya tidak termasuk dari pengaruh kebudayaan
bisa menjadi nampak.
Bahasa
adalah unsur aktif dari interaksi manusia.bahasa adalah beberapa perantara
nyata dan pasif yang mengirimkan makna kelahiran bahwa ada diluar bahasa kepada
orang pengguna bahasa. Sebaliknya, bahasa mempunyai sebuah peran aktif dalam
pembentukan makna: bahasa menetapkan batasannya sendiri pada makna, menentukan
kehidupan manusia melalui caranya sendiri memilih apa yang dikatakan pada
kenyataan. Memproduksi sesuatu yang baru dengan bahasa selalu berhubungan
dengan bahasa itu sendiri. Kita hanya bisa menghasilkan makna baru dalam
beberpa hubungan pada makna yang telah ada.
Ahli
bahasa dan sejarah sastra Roger Fowler
menjelaskan:
“The meaning of
the words in a language are the community’s established knowledge. A child
learns the values and preoccupations of its culture largely by learning the
language. Language is the chief instrument by of socialization. Which is the
process by which person is, willy-nilly, moulded into conformity with the
established system beliefs of the society in which s/he happens to be born.”
Karenanya, bahasa selalu digunakan dalam
beberapa contexts. Bahasa tidak hidup untuk kita sebagai sebuah sistem abstrak
dan dari fonetik atau grammar dan vocabulary, tetapi selalu berhubungan dengan
penggunanya, pada kemampuan kita untuk berbuat secara linguistic. Kita
mengetahui bahasa dalam rasa bahwa kita bagaimana untuk menggunakannya. Kita
tahu bagaimana untuk berkomunikasi dengan sesame manusia dan bagaimana untuk
memilih bentuk bahasa yang cocok untuksetiap situasi bahasa digunakan. Bahasa
untuk kita artinya kemampuan untuk berbuat, kemampuan menggunakan bahasa
‘dengan benar’. Ini akan menjadi mungkin jika kita mempunyai knowledge of
context. Karenanya, bahasa tidak pernah muncul sebagai grammar dan vocabulary
semata. Kita tidak menggunakan bahasa dalam pemisahan atau bentuk suasana
orang-orang, kegiatan dan acara, yang mana memberi makna untuk mengungkap
persoalan melalui bahasa.
Meanings adalah isi atau hasil dari
kegiatan sosial, mempelajari teks secara terpisah dari conteksnya itu tidak
cukup. Malahan kita harus memberi perhatian pada context, ‘connection of use’
yang teks itu diusulkan dan dimana mereka memperoleh makna sesungguhnya. Dasar
mempelajari bahasa (dan termasuk teks) secara rinci saling berhubungan.
Context tidak ada sebelum author atau text,
maupun itu ada diluar keduannya. Benar untuk terjemahan maknanya, ‘con-text’
adalah sesame teks yang selalu ada bersama dengan teks untuk mereka adalah
context. Selainitu, kebersamaan mereka seringkali berarti didalam teks sebagai
bagian dai teks. Seperti, teks adalah kulit luar dari makna yang menghidupkan
(dan juga memproduksi) readers’ contextual resources: linguistic resources,
conception resources of reality, values, beliefs dan lain-lain.
Context includes all the following
1.
Substance:
the physical material which carries or relays text.
2. Music and pictures
3.
Paralanguage:
meaningful behavior accompanying language, such as voice quality, gestures,
facial expressions and touch (in speed), and choice of typeface and letter
sizes (in writing).
4.
Situation:
the properties and relations of subjects and people in the vinicity of the
text, as perceived by the participants.
5.
Co-text:
text which precedes or follows that under analysis, and which participants
judge to belong to the same discourse.
6.
Intertext:
text which participants perceive as belonging to other discourse, but which
affects their interpretation.
7.
Participants:
their intentions and interpretations, knowledge and beliefs, interpersonal
attitudes, affiliations and feelings…
8.
Function:
what the text is intended to do by the senders and addressers, or perceived to
do by the receivers and addressers.
Context
paly as essential role in what has traditionally been describe as the
‘understanding’ of text
Kesimpulan
dari semua penjelasan tersebut adalah sebuah teks dan seorang pembaca tidak
hidup tanpa memperhatikan satu sama lain, tetapi menghasilkan satu sama lain
sebagai sebuah teks dari masing-masing pembaca, dan sebagai pembaca dari
masing-masing tks. Seperti yang Tony
Bannett dan Janet Woollacott
tulis, yaitu:
The text that is read…is an
always-already culturally activated subject. The encounter between them is
always culturally, ideologically and –which is to say the same
thing-inter-textually organized in such a way that their separation as subject
and object called into question. The reader is concelved not as a subject who
stands outside in the text interprets it any more than the text is regarded as
an object the reader encounters. Rather text and reader are concelved as being
co-produced within a reading-formation, gridden on to one another in a
determinate compact unity.
Karena
itu, hubungan antara text, context dan readers bisa jadi titik pencarian
untukpembentukan meaning (makna). Text ditentukan oleh sebuah angka bagus dari
hubungan pada produksi dan membaca mereka. Context of production adalah,
diantara hal-hal lain, ketersediaan bahasa dan tidak tersambung keterbatasan
satu sama lain isinya, kesustraan dan arti konvensi lainnya, kecenderungan masa
kini, commitment of writer (national commitments, commitments related to the
writer gone, ‘race’ and social class, etc), tekanan dibuat oleh terbitan mesin
dan lembaga kebudayaan lainnya dan akhirnya penulis dari pembaca menunjukka.
Context membaca dalam lingkaran termasuk bakal pendengar, pembaca dengan
menunjukkan dengan teks tekanan-tekanan dibuat oleh terbitan dan lembaga
penyalur dan juga pembaca sesungguhnya dari teks dengan kualitas-kualitas
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic