Chapter Review
Chapter review ini dibuat dari sumber buku yang ditulis oleh A.
Chaedar Alwasilah, dalam bukunya yang berjudul “Rekayasa Literasi” pada Bab ini
membahas tentang ranah literasi yang sangat penting bagi kehidupan kita.
Sebelum mengetahui definisi literasi, saya akan membahas lima
kelompok besar penggunaan metode dan pendekatan (Approaclt), khususnya terhadap
pengajaran bahasa asing menurut para ahli bahasa, lima kelompok besar tersebut
yaitu:
Pertama, Pendekatan Struktual. Dengan grammar translation methods
yaitu meletakan fokus pembelajarannya pada penggunaan bahasa tulis dan
penguasaan tata bahasa. Tata bahasa tradisional fokus melatih siswa
mengidentifikasi jenis kata, unit-unit sintaksis( kata, frase, klausa) dan cara
menggabungkannya, yang bertujuan untuk melatih siswa dalam menganalisis
kesalahan berbahasa( error analysis), sintaksis kalimat, dan wacana. Namun,
pendekatan ini tidak menjamin siswa mampu menganalisis persoalan sosial, bahasa
yang bias gender, dan bahasa iklan yang terkadang sesat dan menyesatkan.
Kedua, Pendekatan Audioligual. Pendekatan dengan ucap (1940-1960)
yang meletakan fokusnya pada latihan dialog-dialog pendek untuk disukai oleh
siswa. Pendekatan ini kurang memberi peluang terhadap variasi ujaran untuk
berbagai fungsi. Selain itu, dalam pendekatan ini penguasaan bahasa tulis
terabaikan.
Ketiga, pendekatan kognitif dan transformatif. Sebagai implikasi
dari teori-teori syntactic structure (Chomsky, 1957). Fokus pengajaran
ini terletak pada pembangkitan (generating) potensi berbahasa siswa sesuai
dengan potensi dan kebutuhan lingkungannya. Materi yang diajarkan kepada siswa
berorientasi kesintaksis.
Keempat, pendekatan communicative competence, yang tokoh-tokohnya
antara lain Hymes(1976) dan Widdowson(1978). Tujuan pengajaran bahasa adalah
menjadikan siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi
terbatas sampai dengan komunikasi spontan dan alami. Komunikasi pun harus
bernalar, pendekatan komunikatif juga dianggap kurang eksplisit dalam upaya
menjelaskan bentuk dan fungsi, sehingga lahir tata bahasa fungsional atau
systemic functional grammar(SFG) yang dikembangkan oleh Haliday(1985),
Martin(2000) dan lain-lain.
Kelima, pendekatan literasi atau pendekatan “genre-based” sebagai
implikasi dari studi wacana. Sesuai dengan kurikulum 2004 di Indonesia, tujuan
pembelajaran adalah menjadikan sisea mampu menghasilkan wacana yang sesuai
dengan tuntutan konteks komunikasi, yang sangat menonjol dalam pendekatan ini
adalah pengenalan berbagai genre wacana lisan maupun tulisan untuk dikuasai
oleh siswa. Pembelajaran dilakukan melalui empat tahap, yaitu (1) membangun
pengetahuan (building knowledge of field), (2) menyusun model-model teks
(modeling of text), (3) menyusun teks
bareng-bareng (joint construction of text), dan (4) menciptakan sendiri teks
(independent construction of text).
Setelah mengetahui lima kelompok besar pendekatan pengajaran bahasa
asing menurut para ahli, sekarang saya akan menjelaskan definisi literasi yang
saya kutip dari bab yang berjudul rekayasa literasi.
Pada bab yang berjudul rekayasa literasi, definisi lama literasi
adalah kemampuan membaca dan menulis (7th edition oxford advanced
learner’s dictionary 2005:898). Dalam konteks persekolahan Indonesia, istilah
literasi jarang dipakai, istilah yang sering dipakai adalah pengajaran bahasa
atau pembelajaran bahasa(Setiadi: 2010) tetapi paradigma baru literasi
menurut Tati D Wardi : mahasiswa s-3 Ohio State University mengatakan. Dalam
disiplin ilmu pendidikan, kemampuan nalar sejatinya bertaut erat dengan literasi.
Kemampuan bernalar menurut Prof. Iwan Pranoto, guru besar matematika institut
teknologi Bandung. Kemampuan bernalar dalam konteks ini mencakup daya pikir
logis. Keterampilan mengelolah informasi dari bacaan dan kemampuan menyimpulkan
dengan pemikiran sendiri.
Perlu dicatat konsep literasi disini tak lagi dimaknai secara
sempit yang terbatas pada kemampuan baca- tulis, tetapi juga berkaitan dengan
kemampuan memaknai teks, seperti huruf, angka, dan simbol kultural. Seperti
gambar dan simbol secara kritis. Literasi secara bertahun-tahun dianggap
sekedar persoalan psikologis, yang berkaitan dengan kemampuan mental dan
keterampilan baca-tulis, padahal literasi adalah praktik kultural yang
berkaitan dengan persoalan sosial dan politik dunia berpaling kedifinisi baru
yang menunjukan paradigma baru dalamupaya memaknai literasi dan
pembelajarannya.
Literasi dalam arti luas seperti ini sejatinya sudak cukup lama
menjadi acuan UNESCO. Ini
bisa kita baca dari Literacy for Life, laporan UNESCO tahun 2006 tentang
literasi dunia. Di situ dinyatakan, literasi adalah hak dasar manusia sebagai
bagian esensial dari hak pendidikan. Terpenuhinya hak literasi memungkinkan
kita mengakses sains, pengetahuan teknologi, dan aturan hukum, serta mampu
memanfaatkan kekayaan budaya dan daya guna media. Singkatnya, literasi menjadi
poros upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Karena itu, ia merupakan sumbu
pusaran pendidikan.
Freebody & Luke menawarkan model literasi sebagai berikut : [1]
memahami kode dalam teks (breaking the code of text). [2] terlibat dalam
memaknai teks (participating in the meanings of texts). [3] menggunakan teks
secara fungsional (using texts functionally). [4] melakukan analisis dan
mentransformasi teks secara kritis(critically analyzing and transforming
texts). Keempat peran literasi ini dapat diringkas dalam lima verba : memahami,
melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Itulah hakikat
berliterasi secara kritis dalam masyarakat demokratis.
Makna dan rujukan literasi terus berevolusi dan kini maknanya
semakin meluas dan kompleks. Sementara itu, rujukan linguistik dan sastra
relatif konstan. Dalam banyak hal objek studi literasi bertumpang tindih dengan
objek studi budaya, yang berfokus pada hubungan-hubungan antara variabel sosial
dan maknanya atau lebih tepatnya bagaimana divisi-divisi sosial dibermaknakan (O’sulivan,
1994:71). Literasi tetap berurusan dengan penggunaan bahasa dan kini
merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling
berkaitan yaitu :
Ø Dimensi geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional)
Literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi lokal, nasional, regional atau
internasional bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial dan
vokasionalnya.
Ø Dimensi bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan,
militer, dsb) Tingkat dan efisiensi layanan publik dan militer, misalnya
bergantung pada kecanggihan teknologi komunikasi dan persenjataan yang
digunakan begitu pula pendidikan. Pendidikan yang berkualitas tinggi
menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula.
Ø Dimensi keterampilan (membaca, menulis, menghitung, bericara)
Setiap sarjana pasti mampu membaca, tetapi tidak semua sarjana mampu menulis.
Kualitas tulisan bergantung pada gizi bacaan yang disantapnya. Gizi itu akan tampak
ketika dia berbicara untuk menjadi sarjana yang baik oramg tidak cukup dengan
mengandalkan literasi, dia pun mesti memiliki numerisasi(keterampilan
menghitung) dalam tradisi barat ketiga keterampilan ini lazim disebut 3R yaitu reading,
writing dan arithmetic.
Ø Dimensi fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan,
mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri) orang
yang literat karena pendidikannya akan mampu memecahkan persoalan, tidak akan
kesulitan untuk mendapat pekerjaan, memiliki potensi untuk mencapai tujuan
hidupnya, dan gesit mengembangkan serta memproduksi ilmu pengetahuan
(kepakaran)
Ø Dimensi media (teks, cetak, visual, digital) Literasi pada zaman
sekarang, orang tidak cukup mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks
alfabetis, melainkan juga harus mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks
cetak , visual, dan digital. Berkembanglah literasi visual, literasi digital,
dan literasi virtual. Penguasaan IT (information technology) sangat penting,
sehingga kini kehebatan universitas antara lain diukur lewat webometrics, yakni
sejauh mana universitas itu diperbincangkan dalam dunia maya.
Ø Dimensi jumlah (satu, dua, beberapa) Orang multiliterat mampu
berinteraksi dalam berbagai situasi. Kemampuan ini tumbuh karena proses
pndidikan yang berkualitas tinggi. Literasi seperti halnya kemampuan
berkomunikasi, bersifat relatif. Anda mungkin sangat komunikatif dalam bahasa
Indonesia, tapi anda kurang komunikatif dalam bahasa ibu, begitu pula dengan
literasi.
Ø Dimensi bahasa (etnis, lokal, nasional, regional,internasional) ada
literasi yang sangat singular, ada literasi yang plural. Hal ini beranalogi kedimensi
monolingual, bilingual, dan multingual. Bila anda seorang Sunda dan mahasiswa
jurusan bahasa Inggris maka anda adalah orang multilingual dalam bahasa Sunda,
Indonesia dan Inggris.
Dalam lima dimensi diatas ada 10 gagasan kunci literasi yang menunjukan
perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman, dan perkembangan
ilmu pengetahuan sekarang ini. 10 gagasan literasi tersebut yaitu:
·
Keterlibatan
lembaga-lembaga sosial. Hidup bermasyarakat ini difasialitasi oleh
lembaga-lembaga sosial misalnya Rt, Rw, Kelurahan sampai DPR dan Presiden
sebagai mesin birokrat untuk menjamin keterlibatan sosial atau institutional
orders. Literasi tidak ada yang netral, semua praktik literasi dan teks tulis
memiliki ideologi yakni didikte oleh lingkungan sosial politiknya. Literasi p4(
pedoman, penghayatan dan pengalaman pancasila) pada masa orde baru sangat
kentara mencerminkan politik rezim Suharto saat itu.
·
Tingkat
kefasihan relatif. Setiap interaksi memerlukan kefasihan berbahasa dan literasi
yang berbeda, yang perlu dikuasai adalah kefasihan (literasi) minimal atau
literasi yang diperlukan untuk memainkan peran fungsional dalam setiap
interaksi.
·
Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan. Literasi membekali orang kemampuan mengembangkan
segala potensi dirinya. Penguasaan bahasa ibu adalah alat untuk berekspresi dan
mengekspresikan, serta memikirkan segala hal dalam lingkungan sosial budaya dan
pisikologisnya yang terdekat yakni keluarganya. Menulis akademik adalah bagian
dari literasi yang mesti dikuasai oleh para calon sarjana.
·
Standar
dunia. Dalam persaingan global sekarang ini rujuk mutu (brench marking)
dikembangkan ketingkat internasional sehingga tingkat literasi suatu bangsa
mudah dibandingkan dengan bangsa lainnya. Ada banyak hasil-hasil evaluasi melalui
PIRLS (progress in international reading literacy study), PISA (program for
international student assessment) dan TIMSS (the third international
mathematics and science study) untuk mengukur (quantitative literacy) literasi
matematika, literasi membaca (reading literacy) dan ilmu pengetahuan alam
(science literacy)
·
Warga
masyarakat demokratis. Media adalah salah satu pilar demokrasi pendidikan
literasi harus mendukung terciptanya demokratisasi bangsa. Proses pendidikan
harus demokratis agar para mahasiswa menjadi warga negara yang demokratis
sehingga mereka menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
·
Keragaman
lokal. Manusia literat sadar mengenai keragaman bahasa dan budaya lokal atau
cerlang budaya (Ayatrohaedi :1986) dan manusia lokal membangun literasi
dalam konteks lokalnya sebelum memasuki konteks nasional, regional, dan global.
·
Hubungan
global. Literasi tinggkat ini bergantung pada dua hal yaitu penguasaan
teknologi informasi (ICT Literacy) dan penguasaan konsep atau pengetahuan yang
tinggi.
·
Keluarga
negara yang efektif. Literasi membekali manusia kemampuan menjadi warga negaara
yang efektif. Warga negara yang efektif mengetahui hak dan kewajibannya.
·
Bahasa
inggris ragam dunia. Hubungan dan jejaring global memerlukan bahasa yang dapat
diterima oleh semua pihak. Bahasa inggris kini dipelajari oleh bangsa-bangsa
diseluruh dunia. Namun, karena setiap bangsa membangun literasi dalam bahasa
etnis dan budaya lokalnya, bahasa inggris mereka kental dengan kelokalan
sehingga muncul berbagai ragam bahasa inggris atau multiple englishes.
Pemahaman dan antisipasi atas ragam-ragam bahasa inggris merupakan bagian dari
literasi global.
·
Kemampuan
berfikir kritis. Literasi bukan sekedar mampu membaca dan menulis melainkan
juga menggunakan bahasa itu secara fasih, efektif, kritis berbicara dan menulis
merupakan tindakan literasi dan merupakan keputusan politik.
·
Masyarakat
semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda termasuk persoalan ikon, tipologi
tanda, kode, strukture dan komunikasi. Budaya adalah sistem tanda dan untuk
memakai tanda manusia harus menguasai literasi semiotik.
Setelah mengkaji tujuh ranah literasi semiotik dan sepuluh frase
kunci literasi, pendidikan bahasa berbasis literasi dilaksanakan dengan
mengikuti tujuh prinsip sebagai berikut :
1.
Literasi
adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat. Pendidikan bahasa sejak tingkat dasar
melatih dan memberdayakan siswa memfungsikan bahasa sesuai dengan konvensinya
dalam kehidupan nyata.
2.
Literasi
mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun secara lisan.
3.
Literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah. Baca tulis adalah kegiatan mengetahui
hubungan antar kata dan antar unit bahasa dalam wacana, serta antara teks dan dunia
tanpa batas.
4.
Literasi
adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. Berbaca tulis selalu ada dalam
sistem budaya (kepercayaan, sikap, cara dan tujuan budaya).
5.
Literasi
adalah kegiatan refleksi (diri) penulis dan pembaca senantiasa berfikir bahasa
dan mengaitkannya dengan pengalaman subjektif dan dunianya.
6.
Literasi
adalah hasil kolaborasi. Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua
pihak yang berkomunikasi. Segala keterampilan berbahasa sebaiknya dibangun
lewat kegiatan kolaborasi.
7.
Literasi
adalah kegiatan melakukan interprestasi. Pendidikan bahasa sejak dini melatih
mahasiswa melakukan interprestasi (mencari, menebak dan membanguan makna) atas berbagai
jenis teks dalam wacana tesktual, visual, dan digital diberbagai ranah
kehidupan dan bidang ilmu. Pendidikan berbahasa sejak dini mengintegrasikan
bahasa, sebagai media dengan pusparagam konten untuk membangun literasi
diberbagai bidang ilmu.
Opini :
Sejujurnya saya tidak terlalu paham dengan kata literasi karena
sejak saya di Sekolah Dasar, SMP, SMA saya belum pernah mendengar kata
literasi, saya mendengar kata literasi baru sekarang- sekarang ini. Dari buku
yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah, saya baru paham mengenai pengertian
literasi, literasi memiliki pengertian kemampuan membaca dan menulis. Tetapi
dalam paradigma baru literasi berarti hak pendidikan literasi juga diartikan
kemampuan memaknai teks, kemampuan bernalar yang mencakup daya berfikir logis,
keterampilan mengelolah informasi dan kemampuan menyimpulkan.
Untuk mencapai literasi yang mampu bersaing dengan negara lain,
Indonesia harus memperbaiki pengajaran literasi yang menyangkut empat dimensi
[1] linguistik atau fokus teks, [2] kognitif atau fokus minda, [3]
sosiokultural atau fokus kelompok dan[4] perkembangan atau fokus pertumbuhan (Kucer,
2005:293-4). Empat dimensi tersebut harus saling berkaitan untuk
meningkatkan kemampuan membaca dan menulis.
Saya setuju dengan frase kunci literasi yang mengatakan penguasaan
bahasa inu adalah alat untuk berekspresi dan mengekspresi karena dengan
penguasaan bahasa ibu yang baik kita dapat berekspresi dan mengekspresikan ilmu
pengetahuan yang kita punya. Kemudian dengan penguasaan bahasa ibu yang baik
kita akan lebih mudah mempelajari bahasa asing dan memahami atau melaksanakan literasi
yang sangat penting bagi kehidupan pada zaman sekarang ini.
ada sumbernya gak sob ?tolong dong ini sumbernya dari buku apa aja ?
BalasHapus