2nd Class Review
Sinar mentari di pagi ini tersenyum
manis, semanis cokelat ketika cinta melekat.
Tetesan embun masih membekas di antara rimbunan tumbuhan. Dalam kekosongan jiwa ada kekosongan raga. Otakku terus berpikir saat ku lihat birunya
langit, menatap putihnya awan yang bersih.
Sungguh alangkah nikmatnya saat panca indra ini dapat selalu merasakan
karunia-Nya yang tiada tara. Seperti
halnya saat otakku mulai berpikir tentang materi yang dibahas pada pertemuan
kedua kami dalam mata kuliah “Writing 4”, yaitu tentang meaning sebagai
sebuah kesatuan dari text, context, writer, dan reader. Bagi ku itu merupakan salah satu nikmat yang
telah Allah berikan kepada ku.
Selasa, 11 Februari 2014 merupakan
pertemuan kedua kami dalam mata kuliah “Writing 4”. Di pertemuan kali ini, pak Lala kembali
mengingatkan bahwa semester sekarang berbeda dengan semester sebelumnya. Jika di semester dua lalu kami hanya dituntut
untuk membuat tulisan yang sifatnya hanya untuk menghibur dan menginformasikan
suatu hal kepada reader (pembaca) nya, maka di semester sekarang ini
kami dituntut untuk membuat tulisan yang sifatnya lebih scientific, atau di
dalam tulisan tersebut harus berisikan pengetahuan serta isu-isu populer yang terjadi
di sekitar kita, yang mana harus disertai dengan argumen dan kritikan dari
kita. Kegiatan menulis seperti ini bisa
disebut juga sebagai “Academic Writing”.
“Academic Writing” merupakan tulisan yang sifatnya lebih formal, critical,
structure-focused, dan sistematis.
Artinya, gaya bahasa yang digunakan akan sedikit lebih kaku, memiliki
batasan-batasan, dan harus disertai dengan berbagai referensi serta fakta yang
ada. Academic writing juga
memiliki berbagai macam jenis, diantaranya: essay, paper, argumentative
paper/essay, analysis paper/essay, dan sebagainya. Dari semua jenis tersebut, pada dasarnya
memiliki tujuan dan prinsip yang sama.
Selain dituntut untuk menulis academic
writing, kami juga dituntut untuk berpikir secara kritis karena dalam mata
kuliah “Writing 4” ini kita harus bisa menjadi seorang “critical
reader” (pembaca kritis). Seperti
yang telah saya jelaskan pada class review sebelumnya, bahwa seorang
pembaca yang kritis itu mampu mengembangkan kesadaran dari bentuk, isi, dan
konteks dari suatu bacaan serta dapat memilah-milih informasi yang telah ia
dapatkan dari bacaannya. Artinya,
pembaca kritis tidak akan langsung percaya begitu saja terhadap informasi yang
telah ia dapatkan sebelum dicari kebenarannya.
Di awal pertemuan, pak Lala sedikit
memberi sindiran kepada kami perihal tujuan kami dalam menulis. Apakah kami termasuk mahasiswa yang mengikuti
mata kuliah beliau dengan tanpa tujuan, atau hanya sekedar untuk mendapatkan nilai
yang besar serta memenuhi kontrak belajar?
Setiap mahasiswa pasti memiliki jawaban yang berbeda-beda atas
pertanyaan tersebut. Akan tetapi, walau
bagaimana pun sebagai seorang mahasiswa penulis seharusnya memiliki tujuan yang
pasti dalam menulis, karena di semester empat ini pembahasannya akan lebih
kompleks dan krusial. Oleh karena itu,
setiap mahasiswa harus memiliki tujuan dan mengetahui siapa diri kita
sebenarnya.
Bagi saya, dan mungkin bagi sebagian
orang, menulis bukanlah suatu hal yang mudah, melainkan suatu hal yang amat
rumit. Menurut pak Lala, menulis itu
diartikan kedalam 3 (tiga) definisi, Definisi pertama yaitu “writing is a
way of knowing something”. Menulis
itu merupakan suatu cara untuk mengetahui sesuatu. Sesuatu disini jika dilihat dari sudut
pandang psikologi belajar bisa berupa informasi (information),
pengetahuan (knowledge), dan pengalaman (experience). Dari ketiga hal ini, sesuatu yang paling
penting diantara ketiga hal tersebut ialah pengalaman (experience).
Hal yang perlu diperhatikan sebelum
menulis, biasanya seorang penulis akan mencari sekumpulan data dengan cara
membaca, dan dari membaca itulah ia bisa mendapatkan informasi sehingga
pengetahuan yang ia miliki akan semakin bertambah. Kemudian definisi selanjutnya yaitu “writing
is a way of representing something”. Menulis
itu merupakan suatu cara untuk mempresentasikan (menerangkan) sesuatu. Sesuatu disini juga bisa berupa informasi
yang kita dapatkan dari membaca, pengetahuan, atau pengalaman yang nantinya
bisa dibentuk menjadi sebuah produk yakni ilmu pengetahuan. Sedangkan definisi yang terakhir yaitu “writing
is a way of reproducing something”.
Artinya, menulis merupakan suatu cara untuk mereproduksi sesuatu yakni
khazanah ilmu pengetahuan.
Dalam menulis juga harus disertai
dengan feeling (perasaan). Selain
itu, kita harus fokus dan memusatkan pikiran kita agar dapat berkonsentrasi
dalam menulis. Menulis juga membutuhkan
energi (tenaga) yang besar serta pemikiran yang cemerlang agar dapat menghasilkan
ide-ide yang brilian. Jadi, menulis itu
merupakan satu hal yang tidak bisa dilakukan dengan sembarangan.
Sebagai seorang yang mempelajari
bahasa asing, seyogyanya kita harus bisa menulis secara efektif baik dalam
bahasa kedua (L2) yakni bahasa asing ataupun bahasa pertama (L1) kita. Dengan kata lain, kita dituntut untuk menjadi
seorang “multilingual writer”.
Selain itu, sebagai mahasiswa bahasa, seharusnya kita juga bisa menjadi
mahasiswa yang mahir dalam menulis.
Karena melalui tulisan, kita bisa melakukan banyak hal salah satunya
seperti mengubah dunia.
Menurut Hyland, “writing is a
practice based on expectations”.
Menulis itu adalah sebuah praktek berdasarkan ekspetasi
(keinginan). Seorang penulis harus
mengerti apa yang diharapkan oleh pembacanya.
Penulis juga harus bisa mengantisipasi para pembacanya yang mungkin
menginginkan bahan bacaannya sesuai dengan apa yang telah ia baca
sebelumnya. Jadi, penulis harus
mengetahui latar belakang dari pembacanya, serta buku apa saja yang telah
dibaca olehnya untuk memaksimalkan keinginan mereka.
Sedangkan menurut Hoey (2001) yang
dikutip oleh Hyland, mengatakan bahwa writer (penulis) dan reader (pembaca)
itu diibaratkan seperti dancer (penari) yang saling mengikuti langkahnya
satu sama lain, dan membuat suatu konektifitas dimana hubungan antar keduanya
merupakan suatu art (seni).
Maksudnya, writer (penulis) dan reader (pembaca) harus
membangun koneksi diantara keduanya ketika memaknai teks yang sama, karena
pembentukan meaning (makna) itu sesungguhnya bukan terjadi di dalam teks
melainkan berdasarkan sudut pandang dari pembacanya. Dengan kata lain, yang menghidupkan roh dalam
sebuah tulisan atau bacaan itu adalah reader (pembaca).
Kemudian Barthes yang dikutip dari
buku Lehtonen (2000:74), berkata bahwa bahasa mempunyai sistem yang
mendefinisikan dan mengartikan dirinya sendiri.
Kata beliau, “meaning itu terjadi ketika ada writer (penulis)
dan reader (pembaca).” Jadi jika
ada salah satunya yang hilang, maka akan
kehilangan pula meaning nya, karena tanpa reader (pembaca)
tulisan yang kita buat akan sia-sia.
Dengan demikian, meaning dapat dibangun karena adanya kolaborasi
atau kerjasama antara writer (penulis) dan reader (pembaca).
Pada dasarnya semua negosiasi meaning
(makna) itu ada ditangan reader (pembaca). Jika seseorang sedang membaca, secara tidak
langsung berarti dia sedang bernegosiasi mencari meaning (makna) yang
terkandung dalam teks/tulisan tersebut.
Jadi, untuk memutuskan bagus atau tidaknya suatu tulisan/buku semuanya
tergantung pada reader (pembaca).
Lehtonen memandang teks sebagai semiotic
(tanda). Semiotik adalah ilmu
yang mempelajari tentang tanda, termasuk persoalan ikon, tipologi tanda, kode,
struktur, dan komunikasi. Pada dasarnya
kita semua adalah praktisi semiotik, karena setiap hari kita membaca dan
bernegosiasi dengan dunia symbol, dan mongonstruksi diri kita sendiri secara
semiotik, dari cara kita berkomunikasi non-verbal sampai cara kita berpakaian
(Luke, 2003). Selain itu, ia juga
berpendapat bahwa meaning bisa dihasilkan dari perpaduan antara text, context, writer, dan reader. Text berkaitan erat dengan writer,
sedangkan context lebih berkaitan erat dengan reader. Jadi, ketika teks tersebut berada pada
pembacanya, maka reader (pembaca) berhak sepenuhnya untuk memaknai teks
tersebut dengan konteks yang ia miliki yaitu pemahaman dari buku-buku yang
telah ia baca serta pengetahuan yang telah ia miliki sebelumnya. Sedangkan menurut Barthes, orang-orang yang
berlatih ativitas linguistik itu dianggap sebagai pusat dalam pembentukan meaning
(makna). Bahkan beliau berkata bahwa
kematian seorang penulis merupakan pertanda lahirnya pembaca. Penulis itu ibarat seorang chef di restoran yang mahal dimana ia harus bisa
mengukur sejauh mana kemampuan dan cita rasa yang mereka miliki sehingga ia
bisa menyajikan suatu hidangan yang berkualitas dan memiliki cita rasa yang
tinggi untuk dihidangkan kepada customernya.
Seorang chef dapat
dikatakan sebagai chef hanya
ketika ia sedang masak saja. Sama halnya
dengan penulis, seorang penulis juga akan dikatakan sebagai penulis ketika ia
sedang menulis. Jika ia tidak aktif
dalam menulis, maka ia tidak akan disebut sebagai penulis.
Jadi, dari uraian di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa menulis itu tidak hanya sebagai suatu cara untuk
mengetahui sesuatu, tetapi juga cara untuk mempresentasikan serta
mereproduksikan sesuatu yakni ilmu pengetahuan.
Selain itu, meaning bisa dihasilkan dari perpaduan antara text, context, writer, dan reader, karena text
berkaitan erat dengan writer, dan context berkaitan erat
dengan reader. Jadi, ketika teks
tersebut berada pada pembacanya, maka reader (pembaca) berhak sepenuhnya
untuk memaknai teks tersebut dengan konteks yang ia miliki yaitu pemahaman dari
buku-buku yang telah ia baca serta pengetahuan yang telah ia miliki sebelumnya. Oleh karena itu, meaning dapat
dibangun karena adanya kolaborasi atau kerjasama antara text, context,
writer (penulis) dan reader (pembaca).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic